OVERMACHT DALAM PERJANJIAN PENGADAAN TENAGA LISTRIK BIOMASSA YANG DIADAKAN PT. PERUSAHAAN LISTRIK NEGARA (PERSERO)
OVERMACHT DALAM PERJANJIAN PENGADAAN TENAGA LISTRIK BIOMASSA YANG DIADAKAN PT. PERUSAHAAN LISTRIK NEGARA (PERSERO)
SKRIPSI
Oleh :
XXXXXXX XXXXXX XXXXXXX
Nomor Mahasiswa :18410663
PROGRAM STUDI HUKUM PROGRAM SARJANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA
1
2023
OVERMACHT DALAM PERJANJIAN PENGADAAN TENAGA LISTRIK BIOMASSA YANG DIADAKAN PT. PERUSAHAAN LISTRIK NEGARA (PERSERO)
SKRIPSI
Oleh :
XXXXXXX XXXXXX XXXXXXX
Nomor Mahasiswa :18410663
PROGRAM STUDI HUKUM PROGRAM SARJANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA
2023
2
OVERMACHT DALAM PERJANJIAN PENGADAAN TENAGA LISTRIK BIOMASSA YANG DIADAKAN PT. PERUSAHAAN LISTRIK NEGARA (PERSERO)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna memperoleh Xxxxx Xxxxxxx (Strata-1) pada Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
Oleh :
XXXXXXX XXXXXX XXXXXXX
Nomor Mahasiswa :18410663
PROGRAM STUDI HUKUM PROGRAM SARJANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA
2023
i
OVERMACHT DALAM PERJANJIAN PENGADAAN TENAGA LISTRIK BIOMASSA YANG DIADAKAN PT. PERUSAHAAN LISTRIK NEGARA (PERSERO)
Telah diperiksa dan disetujui Dosen Pembimbing Tugas Akhir untuk diajukan ke depan Xxx Xxxxuji dalam Ujian Tugas Akhir / Pendadaran pada tanggal 10 Oktober 2023
Yogyakarta, 10 Oktober 2023 Dosen Pembimbing Tugas Akhir,
Xxxx Xxxxxx X.X., M.H.
NIK : 154101313
ii
iii
HALAMAN MOTTO
ىَلَق امَ وَ كَ ُّبرَ كَ عَ َّدوَ امَ
“Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu.”
(QS. Ad-Duha : 3)
مِ ْيظ
عَ لا ِي
لِ لا للِ ا
لَّّ إِ َةوَّ ُق لَّ و
لوْ ح لّ
“Tidak ada daya dan tidak pula kekuatan kecuali karena Allah.”
And if your worries grow, do not worry. Allah’s kindness in the horizon is greater.
What you want will come to you one day. So do not rush it even if it is late.
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini ku persembahkan kepada Allah SWT, Xxxxxxxxxx XXX,
Teruntuk Mama dan Bapak ku Tercinta,
Adikku-adikku Xxxxx Xxxxxxxxx Xxxxx, dan Afinannisa Khatmiluna Khalifa Keluargaku,
Sahabat-sahabatku, Xxxxxxxxx,
Diri sendiri yang telah berjuang menyelesaikan studi ini, Terkhusus kepada Almarhum Xxxxx Xxx Xxxxxxxx yang telah banyak berjasa,
Terimakasih.
CURRICULUM VITAE
1. Nama Lengkap : Xxxxxxx Xxxxxx Xxxxxxx
3. Tanggal Lahir : 8 September 2000
4. Jenis Kelamin : Perempuan
6. Alamat Terakhir : Jl. Xxxxxxxx Xxxxxxx, Baciro, Yogyakarta
7. Alamat Asal : Kuta Lor 04/01 Kuta Belik Pemalang
8. Identitas Orang Tua/Wali
a. Nama Ayah : Sapar Xxxxx Xxxxxxx Pekerjaan Ayah : PNS
x. Xxxx Ibu : Xxxx Xxxxxxxxx Pekerjaan Ibu : PNS
a. SD : SD N 03 Badak
b. SMP : MTs Muallima’at Muhammadiyah Yogyakarta
c. SMA : MA Muallima’at Muhammadiyah Yogyakarta
a. CLD FH UII 2021
11. Hobby : Travelling
Yogyakarta, 10 Oktober 2023
Yang Bersangkutan,
Xxxxxxx Xxxxxx Xxxxxxx
NIM : 18410663
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS KARYA TULIS ILMIAH BERUPA TUGAS AKHIR MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya
Nama : XXXXXXX XXXXXX XXXXXXX
NIM 18410663
Adalah benar-benar Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta yang telah melakukan Karya Tulis Ilmiah (Tugas Akhir) berupa Skripsi dengan judul :
OVERMACHT DALAM PERJANJIAN PENGADAAN TENAGA LISTRIK BIOMASSA YANG DIADAKAN PT. PERUSAHAAN LISTRIK NEGARA (PERSERO)
Karya Tulis ini akan saya ajukan kepada Xxx Xxxxuji dalam Ujian Tugas Akhir.Pendadaran yang akan diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Sehubungan dengan hasil tersebut, dengan ini saya menyatakan:
ix
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Alhamdulillahirabbil alamin, puji dan syukur atas rahmat, karunia dan rezeki yang telah dilimpahkan oleh Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Tak lupa shalawat serta salam tercurahkan kepada Xxxx Xxxxxxxx XXX serta doa dan dukungan dari orang-orang yang tercinta hingga akhirnya penulis dapat menyelsaikan tugas akhir ini.
Tugas akhir berupa skripsi yang berjudul “Overmacht dalam Perjanjian Pengadaan Tenaga Listrik Biomassa yang Diadakan PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero)”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Strata 1 (S1) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Hambatan yang dialami penulis selama menulis skripsi ini dapat dilalui berkat rahmat-Nya serta dukungan dari orang-orang terdekat penulis.
Penulis menyadari bahwa telah banyak pihak yang memberikan bantuan yang berbentuk moril maupun materiil hingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
Untuk itu, penulis sampaikan ucapan terimakasih kepada :
1. Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang senantiasa melimpahkan segala rahmat serta karunianya kepada penulis dan Xxxx Xxxxxxxx XXX.
2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Xxxx. Xx. Xxxx Xxxx Xxxxxxxx, S.H., M.Hum
3. Almarhum Xxxxx Xxx Xxxxxxxx, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing Tugas Akhir yang telah memberikan bimbingan, nasehat dan saran kepada penulis.
4. Xxxxx Xxxx Xxxxxx, S.H. M.H. selaku Dosen Pembimbing Tugas Akhir yang telah membimbing hingga skripsi ini selesai.
5. Seluruh dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, terima kasih yang tak terhingga atas ilmu, nasihat dan doa Bapak dan Ibu berikan kepada penulis.
6. Ayahanda Sapar Xxxxx Xxxxxxx dan Ibunda Xxxx Xxxxxxxxx selaku orang tua saya. Terima kasih atas segala kasih sayang, cinta, pengorbanan, doa yang tidak pernah putus, waktu, tenaga dan biaya yang sudah kalian berikan kepadaku dengan tulus. Aku mencintai dan menyayangi kalian sepenuh hati.
7. Kakakku Xxxxxxxx tersayang atas doa dan dukungan yang terus menyemangatiku.
8. Teruntuk Dio Xxxxx Xxxxxxxx, yang selalu menjaga menemani dan memastikan keadaan ku selalu baik dan selalu mengajarkan untuk menjadi kuat. Terimakasih telah menemaniku menyelesaikan skripsi ini hingga aku menjadi sarjana, membimbing setiap langkahku, terimakasih sudah menjadi rumah ternyaman untuk pulang.
9. Adik-adikku Xxx dan Apin atas semangat, doa yang terus kalian berikan kepadaku.
10. Sahabat-sahabatku Xxxxx, Xxxxxx, Xxx, yang selalu mendengarkanku dan banyak membantuku melewati hari-hariku.
11. Teman-teman baikku Xxxxx, Xxxxxx, Xxxxx, yang berhati tulus dan selalu berusaha bersama-sama untuk ada satu sama lain.
Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan serta ketidaksempurnaan. Oleh karena itu mohon maaf apabila masih ditemukan banyak kekeliruan dalam skripsi ini. Penulis dengan senang hati untuk dapat menerima kritikan serta saran agar menciptakan skripsi yang lebih baik.
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ii
HALAMAN PENGESAHAN TUGAS AKHIR Error! Bookmark not defined.
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS KARYA TULIS ILMIAH viii
BAB II BENTUK-BENTUK OVERMACHT DAN PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PERJANJIAN 23
X. Xxxxxxan Umum Tentang Overmacht 23
B. Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian 28
C. Penyelesaian Sengketa Dalam Perjanjian 34
D. Overmacht Dalam Hukum Perikatan Islam 37
BAB III OVERMACHT DALAM PERJANJIAN PENGADAAN TENAGA LISTRIK BIOMASSA YANG DIADAKAN PT. PERUSAHAAN LISTRIK NEGARA (PERSERO) 41
A. Kewenangan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dalam Menyelesaikan Sengketa antara PT. Riau Green Energy dengan PT. Perusahaan Listrik Negara dalam Hal Overmacht 41
B. Penyelesaian Sengketa antara Para Pihak Dalam Perjanjian Pengadaan Tenaga Listrik Biomassa antara PT. Riau Green Energy dengan PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) 50
ABSTRAK
Penelitian ini mengkaji dan menganalisis kewenangan Badan Arbitrase Nasiolan Indonesia (BANI) dalam menyelesaikan sengketa antara PT. Riau Green Energy dengan PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) dalam hal overmacht dan penyelesaian sengketa antara para pihak dalam perjanjian pengadaan tenaga listrik Biomassa antara PT. Riau Green Energy dengan PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero). Penelitian ini adalah normatif dengan metode pendekatan yuridis normatif dengan metode pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data yang dilakukan untuk memperoleh data sekunder menggunakan alat pengumpul data berupa Studi Kepustakaan yang dilakukan dengan dua cara yaitu offline menghimpun data studi kepustakaan secara langsung guna menghimpun data sekunder yang dibutuhkan dan secara online studi kepustakaan yang dilakukan dengan cara searching melalui media internet guna menghimpun data penelitian. Teknik analisis terhadap data yang ada dilakukan secara deskriptif-kualitatif. Hasil penelitian menemukan, yang pertama berdasarkan Putusan Perkara No. 45009/I/ARB-BANI/2022 antara PT Riau Green Energy sebagai Pemohon melawan PT.PLN PERSERO Wilayah Riau, BANI memiliki kewenangan untuk memeriksan dan memutus perkara a quo. Kedua, kasus ini berakhir di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dengan nomor putusan Perkara No. 45009/I/ARB-BANI/2022 antara PT.PLN PERSERO Wilayah Riau sebagai Pemohon melawan PT Riau Green Energy. Keputusan BANI ini merupakan putusan yang pertama dan terakhir, tidak dapat diselesaikan melalui cara lain.
Kata Kunci : Green Energy, Overmacht, Perjanjian Pengadaan, Biomassa.
BAB I PENDAHULUAN
X. Xxxxx Belakang Masalah
Listrik merupakan salah satu bagian yang sangat penting dalam kehidupan seluruh masyarakat Indonesia untuk menunjang aktifitas sehari-hari. Pengadaan tenaga listrik di Indonesia dikelola oleh PLN (Perusahaan Listrik Negara) yang mana merupakan bagian dari Perusahaan Perseroan di bawah Kementrian BUMN (Badan Usaha Milik Negara). PLN telah berdiri sejak sekitar abad ke-19 yang didirikan oleh perusahaan pabrik gula dan teh milik Belanda. Pada saat itu, mereka berinisiasi mendirikan infrastruktur pembangkit listrik untuk keperluan pabrik. Seiring berjalannya waktu, PLN telah berkembang sebagai perusahaan penyedia tenaga listrik, pembangkit tenaga listrik, telekomunikasi, keuangan, dan pelayanan pemeliharaan.1
Kebutuhan listrik yang besar membuat PLN harus terus melakukan distribusi listrik bahkan sampai ke tempat- tempat yang belum terjangkau listrik. PLN juga melakukan inovasi untuk menghasilkan listrik dari berbagai sumber daya alam. Salah satu strategi PLN yaitu dengan menciptakan PLTBm
1 Xxxxx Xxxxxxxxx, Mengenal Sejarah PLN sebagai Perusahaan BUMN, dalam xxx.xxxxxxx.xx.xx
(Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa). Biomassa merupakan salah satu sumber energi baru dan terbarukan (EBT) yang potensinya sangat melimpah di Indonesia, tetapi penggunaannya belum optimal. Biomassa yang digunakan sebagai sumber energi (bahan bakar) di Indonesia pada umumnya, memiliki nilai ekonomis rendah, atau merupakan limbah yang telah diambil produk primernya. Biomassa tersebut dapat berasal dari tanaman, pepohonan, rumput, ubi, limbah pertanian, limbah hutan, tinja, dan kotoran ternak. Potensi sumber daya biomassa di Indonesia diperkirakan sebanyak 49.810 MW, yang berasal dari tanaman dan limbah.2 Biomassa yang dimaksud disini adalah dengan menggunakan bahan-bahan hasil alam seperti bambu. Sebagai contoh PLTBm berbahan bakar banbu yang dibangun di Desa Saliguma, Pulau Siberut, dan Kabupaten Kepulaian Mentawai, Sumatera Barat dengan kapasitaas 700kW untuk 1.233 Kepala Keluarga. PLTBm ini dibangun untuk menggantikan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang telah beropereasi di Pulau Siberut dengan kapasitas 1.300 kW. Dengan ini potensi penghematan yang akan diperoleh PLTBm dibandingan PLTD adalah 14 Milyar per tahun.3
Kehadiran inovasi baru PLN dengan menggunakan sumber daya alam biomassa ini memunculkan perjanjian antara PLN dengan pihak pelaksana,
2 Xxxxxxxxx, Xxxx, X. Xxxxxxx, X. Xxxxx, X. Xxxxxxxx, Sumber Daya Biomassa. "Potensi Energi Indonesia yang Terabaikan, IPB Press, Bogor 2013
3 Humas EBTLE, PLTBm Bambu Siberut TERANGI 3 Desa, Hemat Biaya Penyediaan Listrk Hingga 14 Miliar, 2019, dalam xxx.xxxxx.xxxx.xx.xx
yaitu pihak atau perusahaan yang dapat membantu PLN untuk menghasilkan biomassa. Salah satu perjanjian tersebut yaitu antara PT. PLN (Persero) Wilayah Riau dan Kepulauan Riau dan PT. Riau Green Energy tentang pengadaan biomassa. Kontrak ini berlangsung selama 2 tahun. Perjanjian tersebut adalah Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik antara PT PLN (Persero) Wilayah Riau dan Kepulauan Riau dan PT Riau Green Energy Untuk Pembangkit Listrik Energi Terbarikan Biomassa (PLTBm) Kapasitas 10 MW, Pasir Pangaraian – Provinsi Riau, Nomor Pembeli : 0038. PJ/REN.05.03/WRKR/2015 dan Nomor Penjual : RGE/DIR/009/IV/2015 tertanggal 28 April 2015. Dalam pelaksanaannya, PT. Riau Green Energy perlu melakukan beberapa persyaratan perijinan terkait penggunaan bahan baku, penggunaan hutan, limbah, dan sebagainya kepada pemerintah.
Salah satu perijinan yang diajukan oleh PT. Riau Green Energy yaitu Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPPKH) karena lahan yang akan dibangun pembangkit listrik 10 MW tersebut berada dalam kawasan hutan. Status lahan yang dimohonkan PT. Riau Green Energy tersebut berada pada kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) seluas ± 5,7 ha dan Areal Penggunaan Lain (APL) seluas ± 0,3 ha. Namun faktanya, perijinan tersebut tidak berjalan mulus. Perubahan peraturan perundang-undangan tentang perijinan ini membuat PT. Riau Green Energy tidak kunjung mendapatkan ijin dari pemerintah. Hal ini menyebabkan PT. Riau Green Energy terhambat dalam
melakukan kewajiban nya kepada PT. PLN Wilayah Riau dan Kepulauan Riau sesuai perjanjian.
Pada tanggal 18 Oktober 2016, PT. Riau Green Energy kembali mengajukan permohonan pinjam pakai kawasan hutan dan izin mendirikan bangunan untuk proyek pembangkit listrik tenaga biomassa (1 x 10 MW) di Kabupaten Rokan Huku kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM di Jakarta. Terlambatnya pengurusan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) tersebut selain perubahan regulasi, fakta itegritas dan covid-19, antara lain disebabkan juga pejabat yang mengeluarkan rekomendasi yang merupakan syarat pengurusan terbitnya Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) tersangkut masalah hukum (Tipikor) sedangkan pejabat sementara tidak berwenang mengeluarkannya kemudian di Kab. Rokan Hulu dan Provinsi Riau belum ada RT/RW baru, sehingga tidak dapat diterbitkan rekomendasi dari Gubernur. Berdasarkan risalah dari BPN Kab. Rokan Hulu menyampaikan bahwa Perda Kab. Rokan Hulu Nomor 19 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Rokan Hulu telah berakhir sejak tanggal 14 Agustus 2013 dan Peraturan Daerah Provinsi Riau No. 10 Tahun 1994 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Riau telah berakhir sejak tanggal 19 Agustus 2009 dan belum disahkan Perda tentang RT/RW Kabupaten maupun RT/RW provinsi yang baru hingga saat ini.
Dalam rentang waktu lebih kurang setahun tidak ada tanggapan/jawaban dari Gubernur Riau, kembali pada tanggal 18 Maret 2018 PT. Riau Green Energy (RGE)mengajukan Rekomendasi Izin Pinjam Pakai untuk Usaha Pembangkit Listrik 10 MW an. PT. Riau Green Energy kepada Gubenur Riau melalui Badan Pelayanann Perizinan Terpadu Propinsi Riau. Pada tanggal 26 November 2019 baru keluar rekomendasi dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI perihal Rekomendasi untuk Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan atas nama PT Riau Green Energy di Kabupaten Rokan Hulu. Setelah terbitnya rekomendasi dari Gubenur Riau tersebut, Pemohon pada tanggal 10 Desember 2019 melalui Staf Administrasi dan Teknis PT. Riau Green Energy telah menyerahkan persyaratan administrasi permohonan IPPKH ke Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta (bukan kantor perwakilan Pemohon di Jakarta dan karena kantor satu-satunya PT. Riau Green Energy adalah di Pekanbaru).
Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.6/MENLHK/SETJEN/ KUM.1/1/2020 Tentang Pelimpahan Kewenangan Penerbitan Perizinan Berusaha Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal ditetapkan di Jakarta tanggal 23 Januari 2020 terjadi perubahan-perubahan regulasi dalam pengurusan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dari
yang semula dimohonkan kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) kemudian berubah kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan kemudian berubah lagi kepada Badan Koordinasi Penanaman modal (BKPM), sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama dari yang diperkirakan ketika perjanjian ditandatangani yang tidak dapat diprediksi.
Adanya kendala dalam pengurusan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) diketahui oleh PT. PLN PERSERO dan ini terbukti dari adanya beberapa kali amandemen-amandemen, Berita Acara Financing Date dan Zoom Meeting (persetujuan secara lisan) terhadap perjanjian dan amandemen- amandemen tersebut dibenarkan dalam sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 23 Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik tertanggal 28 April 2015 Nomor : 0038/PJ/REN.05 03/WRKR/2015 dan Nomor Pihak kedua No. REG/DRI/009/IV/2015.4
Atas hal tersebut, PT. PLN PERSERO melayangkan gugatan kepada PT. Riau Green Energy atas wanprestasi. PT. Riau Green Energy yang merasa tindakan nya bukanlah suatu bentuk wanprestasi pun mengajukan banding atas overmacht dan disetujui oleh Xxxxx. Overmacht dalam hal ini terjadi karena PT. Riau Green Energy terhambat dalam melaksanakan kewajiban nya karena
4 Kesimpulan Pemohon Arbitrase PMH PT. RGE Perkara Nomor 45009 BANI
kebijakan Peraturan Perundang-Undangan yang berubah-ubah, bukan karena tidak mau atau berniatan untuk dengan sengaja tidak melakukan prestasi nya.
Seiring berjalannya waktu, perijinan dari pemerintah tidak kunjung disetujui. PT. PLN Wilayah Riau dan Kepulauan Riau pun kembali mengajukan gugatan ke PT. Riau Green Energy atas wanprestasi untuk yang kedua kalinya. Banding kembali diajukan oleh PT. Riau Green Energy atas overmacht dan disetujui oleh Xxxxx. Hingga pada gugatan ketiga, PT. PLN kembali mengajukan gugatan kepada PT. Riau Green Energy, dan disinilah pandangan Hakim berubah. PT. Riau Green Energy dianggap melakukan wanprestasi karena tidak kunjung melaksanakan kewajiban nya, dan Hakim mengabaikan unsur overmacht, dimana pada saat itu perijinan PT. Riau Green Energy masih dalam proses seperti sebelumnya.
Dalam isi perjanjian tersebut salah satunya menyebutkan apabila salah satu pihak tidak menjalankan kewajiban nya (wanprestasi) maka pihak tersebut harus memberikan uang jaminan yang telah disepakati. Atas wanprestasi tersebut, pada akhirnya PT. PLN mencairkan dana jaminan yang harus dibayarkan oleh PT. Riau Green Energy sesuai perjanjian apabila tidak terpenuhinya prestasi. PT. Riau Green Energy pada akhirnya mengajukan perkara ini ke ranah arbitrase, hal ini tentu menjadi menarik untuk dilakukan penelitian dengan judul “OVERMACHT DALAM PERJANJIAN PENGADAAN TENAGA LISTRIK BIOMASSA YANG DIADAKAN PLN”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan Xxxxx Xxxxxxxx yang telah Penulis uraikan maka rumusan masalah yang akan diteliti sebagai berikut :
1. Apakah Badan Arbritase Nasional Indonesia (BANI) memiliki kewenangan menyelesaikan sengketa antara PT. Riau Green Energy dengan PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) dalam hal overmacht ?
2. Bagaimana penyelesaian sengketa antara para pihak dalam perjanjian pengadaan tenaga listrik Biomassa antara PT. Riau Green Energy dengan PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui kewenangan Badan Arbritase Nasional Indonesia (BANI) dalam penyelesaian sengketa antara PT. Riau Green Energy dengan PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) dalam hal overmacht.
2. Untuk mengetahui dan menganalisa penyelesaian sengketa antara para pihak dalam perjanjian pengadaan tenaga listrik Biomassa antara PT. Riau Green Energy dengan PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).
D. Tinjauan Pustaka
1. Overmacht
Dalam hukum kontrak (hukum perjanjian) terdapat tanggung jawab para pihak yang harus dipenuhi. Apabila tanggung jawab atau kewajiban tersebut dapat tidak terpenuhi karena munculnya keadaan memaksa (overmacht / force majeure). Ketentuan dalam KUHPerdata terkait overmacht terdapat dalam Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata. Pada dasarnya ketentuan tersebut hanya mengatur masalah overmacht dalam hubungan dengan pergantian biaya ganti rugi dan bunga saja. Overmacht dalam hukum perdata diatur dalam buku III B.W dalam Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata sebagai berikut :
Pasal 1244 KUHPerdata:
Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi, dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.
Pasal 1245 KUHPerdata:
Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang. 5
5 KUHPerdata, (Burgelijk Wetboek), diterjemahkan oleh X. Xxxxxxxx dan X. Xxxxxxxxxxxxx, Jakarta : Pradya Paramita, cetakan 8, 1976, Pasal 1244 dan 1245
Rumusan kausa overmacht dalam KUHPerdata dapat dirinci sebagai berikut ;
Pertama, peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure tersebut haruslah “tidak terduga“ oleh para pihak, atau tidak termasuk dalam asumsi dasar (basic assumption) pada saat para pihak membuat kontrak itu (Pasal 1244 KUHPerdata); Kedua, peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada pihak yang harus melaksanakan presentasi (pihak debitur) tersebut (Pasal 1244 KUHPerdata); Ketiga, peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure itu diluar kesalahan pihak debitur, (Pasal 1244 KUHPerdata); Keempat, peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeuretersebut bukan kejadian yang disengaja oleh Debitur. Ini merupakan perumusan yang kurang tepat, sebab yang semestinya tindakan tersebut “diluar kesalahan para pihak (Pasal 1545 KUHPerdata), bukan tidak sengaja”. Sebab, kesalahan para pihak baik yang dilakukan dengan sengaja ataupun yang tidak sengaja, yakni dalam bentuk “kelalaian” (negligence); Kelima, para pihak tidak dalam keadaan itikat buruk (Pasal 1244 KUHPerdata);Keenam, jika terjadi force majeure, maka kontrak tersebut menjadi gugur, dan sedapat mungkin para pihak dikembalikan seperti seolah–olah tidak pernah dilakukan perjanjian (Pasal 1545 KUHPerdata); Ketujuh, jika terjadi force majeure, maka para pihak tidak boleh menuntut ganti rugi. Vide Pasal 1244 juncto Pasal 1245, juncto Pasal 1553 ayat (2) KUHPerdata. Akan
tetapi karena kontrak yang bersangkutan menjadi gugur karena adanya force majeure, maka untuk menjaga terpenuhinya unsur-unsur keadilan, pemberian restitusi atau quantum merit tentu masih dimungkinkan; dan Kedelapan, resiko sebagai akibat dari force majeure, beralih dari pihak kreditur kepada pihak debitur sejak saat seharusnya barang tersebut diserahkan (vide Pasal 1545 KUHPerdata). Pasal 1460 KUHPerdata mengatur hal ini secara tidak tepat (di luar sistem).6
2. Perjanjian Pengadaan (Tenaga Listrik)
Perjanjian merupakan kesepakatan antara dua pihak atau lebih yang menimbulkan akibat hukum, Menurut Subekti dalam buku KUHPerdata: Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Sedangkan perikatan adalah perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pasal 1313 KUHPerdata menyatakan: “Perjanjian adalah
6 Xxxxxx Xxxxxxxxx, Tinjauan Yuridis Pengelolaan Risiko dan Penyelesaian Sengketa Wanprestasi dalam Pembiayaan Murabahah antara Bank Syariah X dan PT. Z pada Badan Arbitrase Syariah Nasional dan Pengadilan Agama (Analisis Putusan Pengadilan Agama Nomor 729/Pdt.G/2009/XX.XX),Skripsi pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012, hlm. 53-54, tidak dipublikasikan.
suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”7
Dalam hal ini perjanjian yang dimaksud yaitu perjanjian pengadaan. Perjanjian pengadaan yakni perjanjian dimana pihak melakukan pekerjaan untuk pihak tertentu yang telah diterima sesuai perjanjian. PT. Riau Green Energy dalam kasus ini merupakan pihak penerima yang harus melakukan kewajiban yang telah diberikan oleh PT. PLN Riau dan Kepulauan Riau yaitu menghasilkan energi listrik biomassa.
Perjanjian pengadaan barang dan jasa berguna sebagai pelengkap dalam kerja sama. Dokumen ini mampu menghindarkan pihak di dalamnya dari risiko tertentu. Setiap pihak akan bertanggung jawab sesuai dengan kesepakatan. Pengadaan barang maupun jasa sendiri dapat dilakukan melalui berbagai metode. Misalnya memakai metode penyedia. Kemudian bisa juga menggunakan metode swakelola. Apa saja metodenya sangat umum untuk mengandalkan dokumen atau kontrak. Perjanjian pengadaan barang dan jasa adalah perjanjian tertulis antara PA/KPA/PPK dengan penyedia benda atau pelaksana swakelola. Benda tersebut dapat berupa barang maupun jasa.8
7 KUHPerdata, (Burgelijk Wetboek), diterjemahkan oleh X. Xxxxxxxx dan X. Xxxxxxxxxxxxx, Jakarta : Pradya Paramita, cetakan 8, 1976, Pasal 1313, hlm. 338.
8 Salsabila Xxxxxx Xxxxxxxxx, Xxxxxxxxan Pengadaan Barang dan Jasa, Definisi hingga Contoh, 2022:hlm 1, xxxxx://xxxx.xxxxxxx.xxx/xxxxxxx-xxxxxx/xxxxxxxxxx-xxxxxxxxx-xxxxxx-xxx-xxxx/
Dalam prakteknya, perjanjian untuk pengadaan barang dan jasa dari pemasok sebagai penyedia penyelesaian tepat waktu dan bekerja sesuai dengan janji yang terkandung dalam dokumen. Selain itu, penyedia layanan wajib merumuskan kontrak yang diajukan oleh pengguna pendekatan akan digunakan dalam penelitiam ini menggunakan pendekatan empiris untuk yuridis. Dalam pengadaan barang dan jasa menjadi penyedia layanan tetap bertanggung jawab atas semua konsekuensi yang timbul dari pekerjaan subkontrak, dan apabila terbukti dalam pelaksanaan penyedia jasa tenaga kerja, tidak sesuai dengan perencanaan atau keterlambatan dalam penyelesaian penyedia layanan akan dikenakan sanksi sesuai dengan kesepakatan yang telah ditetapkan.9
3. Tenaga Listrik Biomassa
Kebutuhan tenaga listrik yang semakin besar membuat PLN harus menggunakan tenaga listrik sebagai upaya pemerataan listrik di Indonesia. Tenaga Listrik Biomassa merupakan salah satu inovasi baru yang dipilih oleh PLN sebagai energi alternatif pembangkit listrik.
Biomassa merupakan istilah untuk semua bahan organik yang berasal dari tanaman (termasuk alga, pohon dan tanaman). Biomassa diproduksi oleh tanaman hijau yang mengkonversi sinar matahari menjadi bahan tanaman melalui proses fotosintesis Sumber daya biomassa dapat dianggap sebagai materi organik, di mana energi sinar matahari yang disimpan dalam ikatan kimia. Ketika ikatan antar karbon berdekatan, molekul hidrogen dan oksigen yang rusak oleh pencernaan, pembakaran, atau dekomposisi, zat ini melepaskan disimpan, energi kimia mereka.10
E. Orisinalitas Penulisan
Peneliti dalam melakukan penelitian belum pernah menjumpai penelitian yang sama dengan penelitian ini. Contoh penelitian yang sudah ada sebelumnya sebagai berikut :
1. Penelitian yang dilakukan oleh Xxxxx Xxxx Xxxxx (2016) berjudul “Kajian Hukum Keadaan Memaksa (Force majeure) Menurut Pasal 1244 dan Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”. Tujuan Penulisan ini adalah untuk mengetahui apakah factor-faktor perjanjian yang mempengaruhi Keadaan Memaksa (force majeure) dan bagaimana implikasi pembatalan
10 McKendry, P. 2002. Energy production from biomass (part 1): overview of biomass, Journal of Bioresource Technology, Vol. 83, Hal. 37-46.
perjanjian yang disebabkan Keadaan Memaksa (force majeure), yang dengan menggunakan metode penelitian hukum normative disimpulkan bahwa: 1. Keadaan memaksa force majeure / overmacht adalah suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya perjanjian, yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya, di mana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung risiko serta tidak dapat menduga pada waktu perjanjian dibuat. Kesemuanya itu sebelum debitur lalai untuk memenuhi prestasinya pada saat timbulnya keadaan tersebut. Faktor yang mempengaruhi keadaan memaksa (force majeure), menurut KUH Perdata ada 3 (tiga) unsur yang harus dipenuhi untuk keadaan memaksa, yaitu : a.Tidak memenuhi prestasi; b. Ada sebab yang terletak di luar kesalahan debitur ; c. Faktor penyebab itu tidak dapat di duga sebelumnya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur. Apabila terjadi keadaan memaksa (force majeure) dan memenuhi unsur a dan c, maka force majeure/overmacht ini disebut absolute overmacht atau keadaan memaksa yang bersifat obyektif. Dasarnya adalah ketidakmungkinan (impossibility) memenuhi prestasi karena bendanya lenyap/musnah. Jika terjadi force majeure/overmacht yang memenuhi unsur b dan c, keadaaan ini disebut relatieve overmacht atau keadaan memaksa yang bersifat subyektif.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Agri Xxxxxxxxxxx Xxxxxxxxxxxxxxx (2015) berjudul Force majeure (Overmacht) Dalam Hukum Kontrak (Perjanjian)
Indonesia. Tujuan Penelitian ini adalah untuk menelaah kedudukan dan fungsi overmacht / force majeur dalam hukum kontrak Indonesia. Force majeure ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap salah satu pihak yang dirugikan dalam suatu perjanjian, dengan ketentuan telah terpenuhinya syarat objektif dan/syarat subjektif. Pengaturan Force majeure terdapat dalam KUHPerdata dan mencakup situasi seperti kebakaran, banjir, gempa, hujan badai, angin topan, (atau bencana alam lainnya), situasi seperti kebakaran, banjir, gempa, hujan badai, angin topan, (atau bencana alam lainnya), pemadaman listrik, kerusakan katalisator, sabotase, perang, invasi, perang saudara, pemberontakan, revolusi, kudeta militer, terorisme, nasionalisasi, blokase, embargo, perselisihan perburuhan, mogok, dan sanksi terhadap suatu pemerintahan.
F. Definisi Operasional
Adapun maksud dari judul skripsi “Overmacht dalam Perjanjian Pengadaan Tenaga Listrik Biomassa yang Diadakan PLN” adalah terkait kesesuaian unsur-unsur overmacht dalam peraturan perundang-undangan dengan implementasi yang dilakukan oleh hakim dalam menangani kasus yang terjadi antara PT, Riau Green Energy dengan PT. PLN Wilayah Riau dan Kepulauan Riau.
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Metode Penelitian hukum ini merupakan Penelitian Normatif. Tipe Penelitian adalah penelitian hukum Normatif dengan pendekatan Yuridis Normatif yaitu menginventarisasi, mengkaji dan menganalisis serta memahami hukum sebagai perangkat peraturan atau norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan yang mengatur mengenai kehidupan manusia.11 Dikatakan demikian karena dalam penelitian ini digunakan cara- cara pendekatan terhadap masalah yang diteliti dengan cara meninjau dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku atau meneliti bahan pustaka. Penelitian ini menggunakan penelitian normatif karena tidak diperlukan data-data empiris sebagai sumber data primer melainkan hanya menelaah ketentuan hukum Islam sebagai sumber data.12
2. Objek Penelitian
Data-data yang akan diteliti dalam penelitian ini yaitu Putusan BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) No. 22.1501/11/BANI/AT-dr, Kesimpulan Pemohon Arbitrase PMH PT. RGE Perkara No. 45009 BANI, serta beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia terkait penerapan overmacht dalam perjanjian pengadaan tenaga listrik
11 Xxxxxxxx Xxxxxxxx, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, hlm.
13.
12 X X X Xxxxxxx Xxxxxx, S H Xxxxxx Xxxxxxx, and M M SE, Xxxxxx Penelitian Hukum: Normatif
Xxx Xxxxxxx (Prenada Media, 2018).
Biomassa antara PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) dengan PT. Riau Green Energy.
3. Bahan Hukum
Penelitian ini bersifat normatif dengan data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari :
1) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. 13 Dalam hal ini Penulis mengambil Putusan BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) No. 22.1501/11/BANI/AT-dr, Kesimpulan Pemohon Arbitrase PMH PT. RGE Perkara No. 45009 BANI, serta beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia seperti Overmacht dalam hukum perdata diatur dalam buku III B.W dalam Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata.
2) Bahan Hukum Sekunder
13 Xxxxxxxx Xxxxxxxx and Xxx Xxxxxxx, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cet XVIII, PT Raja Grafindo Persada, Depok, 2018.
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder terdiri dari rancangan undang-undang, buku, teks, maupun tulisan-tulisan tentang hukum baik dalam bentuk buku ataupun jurnal- jurnal serta artikel yang berhubungan dengan penelitian ini.
4. Metode Pendekatan
Adapun metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan statutory (perundang-undangan) dan studi kasus. Penggunaan pendeketan statutory ini karrena meneliti peraturan Perundang-undangan yang dalam penormaanya masih terdapat kekurangan atau malah menyuburkan praktek penyimpangan baik dalam tataran teknis atau dalam pelaksanaanya dilapangan. Studi kasus dapat membuat peneliti memiliki pemahaman yang utuh dan terintegrasi mengenai interelasi berbagai fakta dan dimensi dari kasus khusus yang dikaji.14
5. Metode Pengumpulan Data
Adapun metode pengumpulan data yang digunakan yaitu Studi Dokumen dan Pustaka. Menurut Xxxxxxxx dokumen merupakan catatan peristiwa
14 Xxxxxxxxx, Xxxxxx. (2009). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. (Edisi ke- 3). Depok: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3)
yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar atau karya- karya berbentuk monumental dari seseorang. Dokumen yang berbentuk tulisan misalnya catatan harian, sejarah kehidupan (life histories), ceritera, biografi, peraturan, kebijakan.15 Menurut Xxxxxxxxxxxxxxxx, teknik kepustakaan merupakan cara pengumpulan data bermacam-macam material yang terdapat di ruang kepustakaan, seperti koran, buku-buku, majalah, naskah, dokumen dan sebagainya yang relevan dengan penelitian.16
6. Metode Analisis
Adapun metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif yaitu menyajikan kajian pada data-data yang diperoleh dari objek penelitian. Suatu penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang diteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya17 Bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian diuraikan dan dihubungkan antara satu sama lain sedemikian rupa, sehingga dapat disajikan dengan penulisan yang lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.
15 Xxxxxxxx, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: CV Alfabeta,2016.
16 Xxxxxxxxxxxxxxxx, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta : PT. Gramedia, 1983.
17 Xxxxxxxxx Xxx, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 2016
H. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan, penelitian ini disusun dengan menggunakan sistematika sebagai berikut :
BAB I Pendahuluan
Merupakan bab yang memuat pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penelitian.
BAB II Tinjauan Umum
Merupakan bab yang menyajikan teori-teori dan konsep yang bersumber dari peraturan perundang-undangan maupun literatur-literatur mengenai overmacht dalam perjanjain pengadaan tenaga listrik biomassa oleh PLN.
BAB III Analisis dan Pembahasan
Merupakan bab yang akan memaparkan dan menjelaskan hasil penelitian yang berupa unsur-unsur overmacht, beda kaitan overmacht dengan wanprestasi dalam perjanjian yang dilakukan oleh PLN dan bagaimana hukumnya tentang dana jaminan yang dicairkan, serta kewenangan badan arbitrase dalam menyelesaikan sengketa.
BAB IV Penutup
Merupakan bab yang berisi kesimpulan dari pembahasan tentang rumusan masalah dan dilengkapi dengan saran sebagai bahan rekomendasi penelitian
BAB II
BENTUK-BENTUK OVERMACHT DAN PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PERJANJIAN
X. Xxxxxxan Umum Tentang Overmacht
1. Pengertian Overmacht
Overmacht merupakan salah satu bagian dari hukum perdata, spesifiknya dalam hukum kontrak. Dimana overmacht merupakan suatu keadaan memaksa yang bisa menyebabkan sebuah prestasi dalam kontrak tidak dilakukan karena beberapa alasan khusus atau alasan tak terduga. Overmacht merupakan suatu klausa yang lazim berada dalam suatu perjanjian atau kontrak. Kedudukan overmacht / force majeur ini berada dalam perjanjian pokok. Overmacht merupakan keadaan ketika seorang debitur terhalang untuk menjalankan prestasinya karena peristiwa tak terduga dalam masa kontrak, keadaan tersebut tidak bisa dipertanggungjawabkan kepada debitur, sementara debitur dalam keadaan beritikad baik.
Overmacht ketentuannya diatur dalam Pasal 1244 dan 1245
KUHPerdata, yang intinya bahwa keadaan memaksa terjadi apabila debitur
terhalang untuk memenuhi prestasinya dikarenakan suatu keadaan yang
tidak dapat diduga sebelumnya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan,
sehingga debitur dibebaskan dalam penggantian rugi, biaya dan bunga. Pasal 1244 KUH Perdata menyebutkan:
“Jika ada alasan untuk itu si berhutang harus dihukum mengganti biaya, rugi, dan bunga, apabila ia tidak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan karena suatu hal yang tak terduka, pun tidak dapat dipertanggung jawabkan padanya, karenanya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya”.
“Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadianntak disengaja si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang” 18
Dari pasal-pasal di atas, disimpulkan bahwa overmacht adalah keadaan dimana Debitur terhalang dalam memenuhi prestasinya karena suatu keadaan yang tak terduga lebih dahulu dan tidak dapat dipertanggungkan kepadanya, debitur dibebaskan untuk membayar ganti rugi dan bunga. Dijelaskan pula pada Pasal 1444 (1) dan (4) KUHPerdata yang menjelaskan tentang pemenuhan ganti rugi yang berbunyi : “Jika barang tertentu yang menjadi pokok persetujuan musnah, tak dapat diperdagangkan, atau hilang hingga tak diketahui sama sekali apakah barang itu masih ada, atau tidak, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar kesalahan debitur dan sebelum ia lalai menyerahkannya19 Overmacht disebut sebagai dasar hukum yang
18 Subekti dan xxxxxxxxxxxxx, Kitab Undang-undang Hukum Perdata hlm.225-226
19 Subekti dan xxxxxxxxxxxxx, Kitab Undang-undang Hukum Perdata hlml.225
memaafkan atau rechtsvaardigings-ground karena dengan cara bagaimanapun suatu barang hilang atau musnah, orang yang mengambil barang itu sekali-kali tidak bebas dan kewajiban untuk mengganti.
Overmacht ialah suatu keadaan yang “memaksa”. Overmacht menjadi landasan hukum yang “memaafkan” kesalahan seorang debitur. Peristiwa overmacht “mencegah” debitur menanggung akibat dan resiko perjanjian. Itulah sebabnya overmacht merupakan penyimpangan dari asas hukum. Menurut asas umum setiap kelalaian dan keingkaran mengakibatkan si pelaku wajib mengganti kerugian serta memikul segala resiko akibat kelalaian dan keingkaran. Akan tetapi jika pelaksanaan pemenuhan perjanjian yang menimbulkan kerugian terjadi karena overmacht, debitur dibebaskan menanggung kerugian yang terjadi. Ini berarti apabila debitur tidak melaksanakan perjanjian yang menyebabkan timbulnya kerugian dari pihak kreditur. Kerugian terjadi semata-mata oleh keadaan atau peristiwa di luar kemampuan perhitungan debitur, maka keadaan atau peristiwa tadi menjadi dasar hukum yang melepaskan debitur dari kewajiban mengganti kerugian (schadevergoeding). Dengan kata lain, debitur bebas dan lepas dari kewajiban membayar ganti rugi, apabila dia berada dalam keadaan “overmacht”, dan overmacht itu menghalangi/ merintangi debitur melaksanakan pemenuhan prestasi. Overmacht merupakan dasar hukum yang menyampingkan atau menyingkirkan asas yang terdapat pada pasal 1239 : setiap wanprestasi yang menyebabkan
kerugian, mewajibkan debitur untuk membayar ganti rugi (schadevergoeding).20
2. Teori Overmacht
Keadaan memaksa ada dua macam yaitu : keadaan memaksa absolut (absolut onmogelijkheid) dan keadaan memaksa relatif (relatieve onmogelijkheid). Keadaan memaksa yang absolut merupakan suatu keadaan dimana debitur sama sekali tidak dapat memenuhi perutangannya kepada kreditur, oleh karena adanya gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar. Sedangkan keadaan memaksa yang relatif, merupakan suatu keadaan yang menyebabkan debitur masih mungkin untuk melaksanakan prestasinya. Pada pelaksanaan prestasi itu harus dilakukan dengan memberikan korban yang besar yang tidak seimbang atau menggunakan kekuatan jiwa yang di luar kemampuan manusia atau kemungkinan tertimpa bahaya kerugian yang sangat besar.21
Teori-teori dan Ajaran Overmacht dibagi menjadi 2 antara lain:
a. Ajaran Overmacht objektif atau ajaran ketidakmungkinan yang mutlak. Ajaran ini menyatakan bahwa Debitur dikatakan dalam keadaan Overmacht apabila pemebuhan prestasi itu ‘tidak mungkin
20 Xxxxxxx, Xxxx Xxxxx. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Overmacht Dalam Perjanjian Mudharabah (Studi Komparatif Antara Hukum Islam Dan Hukum Perdata,. 2017.
21 Agri Xxxxxxxxxxx Xxxxxxxxxxxxxxx, Force Majeure (Overmacht) Dalam Hukum Kontrak (Perjanjian) Indonesia, Vol.1 No.1, 2015.
bagi siapapun bagi setiap orang” Contoh : A harus menyerahkan sapi kepada B, sapi itu ternyata di tengah jalan disambar petir, sehingga prestasi tidak mungkin dilaksankan bagi A dan bagi siapapun. Dalam hal demikian menurut ajaran Overmacht Objektif ada Overmacht.
b. Ajaran Overmacht Subjektif atau ajaran ketidakmungkinan relative.
Ajaran ini menyatakan bahwa Debitur dikatakan dalam keadaan Overmacht, apapbila pemenuhan prestasi itu “bagi Debitur itu sendiri memang tidak dapat dilakukan, tetapi orang lain mungkin masih bisa melakukan”.Contoh : Seorang pedagang tertentu harus menyerahkan barang-barang tertentu pada pedagang lain, kemudian ternyata harga barang itu sangat meningkat, sehingga pedagang tersebut tidak mungkin untuk membeli barang yang harganya tinggi tersebut akibatnya ia tidak bisa memenuhi barang-barang tersebut pada pedagang yang lain itu.
Ketidakmungkinan Debitur untuk memenuhi prestasi menurut ajaran Overmacht objektif disebut impossibilitas, sedangkan ketidak mungkinan Debitur untuk memenuhi prestasi hanya bagi Debitur
tertentu menurut ajaran Overmacht Subjektif tersebut difficultas (menimbulkan kaberatan).22
3. Akibat Overmacht (Keadaan Memaksa)
Ada tiga akibat keadaan memaksa, yaitu ;
a. debitur tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUHPerdata);
b. beban risiko tidak berubah, terutama pada keadaan memaksa sementara;
c. kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi hukum bebas dari kewajibannya untuk menyerahkan kontra prestasi, kecuali untuk yang disebut dalam Pasal 1460 KUH Perdata.
Ketiga akibat itu dibedakan menjadi dua macam, yaitu
1) akibat keadaan memaksa absolut, yaitu akibat nomor a dan c, dan
2) akibat keadaan memaksa relatif, yaitu akibat nomor b.
B. Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian
Secara umum perjanjian adalah: Kesepakatan para pihak tentang sesuatu hal yang melahirkan perikatan / hubungan hukum, menimbulkan hak dan kewajiban, apabila tidak dijalankan sebagai mana yang diperjanjikan akan ada sanksi.23 Pasal 1313 KUH Perdata, Perjanjian adalah suatu perbuatan
22 Xxxxxxx X. Xxxxx, Segi-segi Hukum Perjanjian., Alumni, Bandung, 1986.hlm. 87
23 Subekti dan xxxxxxxxxxxxx, Kitab Undang-unfang Hukum Perdata
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dalam bentuknya, perjanjian berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan-kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.24
1. Asas-Asas Hukum Perjanjian
Adapun asas-asas hukum perjanjian yang merupakan asas-asas umum (principle) yang harus diindahkan oleh setiap yang terlibat di dalam suatu perjanjian itu. Ada beberapa asas penting dalam suatu kontrak atau perjanjian:
a. Asas kebebasan berkontrak Asas kebebasan berkontrak merupakan otonomi para pihak (partij autonomie atau freedom of making contract), sebagai penjabaran dari Buku III KUHPerdata. Asas ini dapat disimpulkan dari Ps 1338 Ayat (1) KUHPerdata: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya “. Dari kata “semua” dapat disimpulkan bahwa asas kebebasan berkontrak mengakibatkan hukum perjanjian bersifat atau menganut sistem terbuka, dimana undang-undang memberikan kebebasan yang seluas-luasnya bagi para pihak dalam masyarakat, yaitu: Untuk mengadakan perjanjian,
24 Subekti dan xxxxxxxxxxxxx, Kitab Undang-unfang Hukum Perdata
tentang objek perjanjian, dll asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan ketertiban umum. Kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian di Indonesia meliputi ruang lingkup:
a) Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;
b) Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian;
c) Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang akan dibuatnya;
d) Kebebasan untuk menentukan obyek perjanjian;
e) Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian;
f) Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan perundang- undangan yang bersifat opsional.
Ketentuan hukum yang ada di dalam KUH Perdata hanya bersifat pelengkap, yang baru akan berlaku bagi para pihak apabila pihak- pihak tidak mengaturnya sendiri di dalam perjanjian, kecuali ketentuanketentuan yang bersifat memaksa yang memang wajib dan harus dipatuhi. Subekti menyebut asas kebebasan berkontrak adalah asas otonomi karena para pihak membuat undang-undang bagi mereka sendiri. Asas Kebebasan Berkontrak merupakan prinsip umum dan tertulis diakui sebagian besar negara di dunia dengan kata lain bersifat universal.
x. Xxxx konsensualitas
Asas konsensualitas, yang berasal dari perkataan consensus yang artinya sepakat. Maksudnya adalah bahwa pada dasarnya perjanjian dan perikatan timbul sejak detik tercapainya kesepakatan. Dengan perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apa bila sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal pokok dan tidaklah diperlukan suatu formalitas.
x. Xxxx Pacta Sunt Servanda.
Ps 1338 Ayat (1) KUHPerdata. Para pihak harus mematuhi dan menghormati perjanjian yang dibuatnya karena perjanjian tersebut merupakan Undang-undang bagi kedua belah pihak.
d. Asas Itikad Baik
Asas ini ada dua yaitu subyektif dan obyektif, diatur di dalam Pasal 1338 Ayat (3) KUHPerdata bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Asas itikad baik subyektif adalah kejujuran pada diri seseorang atau niat baik yang bersih dari para pihak, sedangkan asas itikad baik obyektif merupakan pelaksanaan perjanjian itu harus berjalan di atas rel yang benar, harus mengindahkan norma – norma kepatutan dan kesusilaan.
e. Asas Personalitas atau asas kepribadian yang berarti bahwa pada umumnya tidak seorangpun dapat membuat perjanjian kecuali untuk dirinya sendiri, karena suatu perjanjian hanya mengikat bagi
pihak-pihak yang membuatnya.Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat perjanjian hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata. Pengecualian (Pasal 1317 dan 1318 KUHPerdata)
f. Asas Force majeur atau asas overmacht atau asas keadaan memaksa bahwa dengan asas ini debitur dibebaskan dari kewajiban untuk membayar ganti rugi akibat tidak terlaksananya perjanjian karena sesuatu sebab yang memaksa. Keadaan memaksa ini merupakan suatu keadaan debitur memang tidak dapat berbuat apa-apa terhadap suatu keadaan atau peristiwa yang timbul di luar dugaannya.
g. Asas Exceptio Non Adimpleti Contractus, asas ini merupakan suatu pembelaan bagi debitur untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi akibat tidak dipenuhinya perjanjian dengan alasan bahwa krediturpun telah melakukan kelalaian dalam perjanjian tersebut. Asas ini berlaku didalam suatu perjanjian timbal - balik.25
2. Unsur-Unsur Perikatan
Unsur-unsur perikatan meliputi 4 hal yaitu : 1. Hubungan hukum; 2. Kekayaan; 3. Para Pihak; 4. Prestasi. Terhadap hubungan yang terjadi
25 Xxxxxxx Xxxxxxx & Xxxxxx Xxx, Hukum Perjanjian Indonsia, Perpustakaan FH UII, Yogyakarta, 1989.
dalam lalu lintas masyarakat, hukum meletakkan “hak” pada satu pihak dan meletakkan “kewajiban” pada pihak lainnya. Apabila satu pihak tidak mengindahkan atau melanggar hubungan tadi, lalu hukum memaksakan supaya hubungan tersebut dipenuhi atau dipulihkan. Untuk menilai suatu hubungan hukum perikatan atau bukan, maka hukum mempunyai ukuran (kriteria) tertentu.26
Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya sesuai yang diperjanjikan, maka pihak yang satu berhak untuk menempuh jalur hukum untuk mendapatkan haknya. Wujud dari tidak memenuhi perjanjian itu ada tiga macam, yaitu: Debitur sama sekali tidak memenuhi perikatan; Debitur terlambat memenuhi perikatan; Debitur keliru atau tidak pantas memenuhi perikatan. Debitur wajib membayar ganti rugi, setelah dinyatakan lalai ia tetap tidak memenuhi perikatan itu”. (pasal 1243 KUH Perdata). “ganti rugi terdiri dari biaya rugi dan bunga” (pasal 1244 s.d. 1246 KUH Perdata). “ganti rugi itu harus mempunyai hubungan langsung (hubungan kausal) dengan ingkar janji” (pasal 1248 KUH Perdata). Ada kemungkinan bahwa ingkar janji itu bukan kesalahan debitur, tetapi keadaan memaksa bagaimana ganti rugi itu diselesaikan oleh ajaran resiko. Dengan dernikian, secara sempit dapat disimpulkan bahwa prestasi adalah pemenuhan kewajiban-kewajiban yang
26 Xxxxxx, Xxxx Xxxxx. Implementasi Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dalam Hukum Perjanjian. Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara 10.1 (2020).
timbul dari hubungan perjanjian. Kewajiban itu adalah kewajiban kontraktual. Kemudian kewajiban kontraktual tersebut dapat berasal dari peraturan perundang-undangan, kontrak atau perjanjian yang dibuat para pihak, kepatutan dan kebiasaan.27
C. Penyelesaian Sengketa Dalam Perjanjian
Setiap perjanjian yang dibuat para pihak harus dilaksanakan secara sukarela dan itikad baik, namun seringkali terjadi para pihak dalam perjanjian melakukan pelanggaran. Penyelesaian sengketa dalam perjanjian dibagi menjadi 2 macam yaitu melalui pengadilan dan diluar pengadilan.
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan adalah suatu pola penyelesaian sengketa yang terjadi antara para pihak yang diselesaikan oleh pengadilan. Putusannya bersifat mengikat. Sedangkan penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa (ADR) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli (Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Pilihan Penyelesaian Sengketa).
Apabila mengacu ketentuan Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 maka cara penyelesaian sengketa melalui ADR dibagi menjadi lima cara, yaitu
1. konsultasi,
2. negosiasi,
3. mediasi,
4. konsiliasi, atau
5. penilaian ahli. 28
Di dalam literatur juga disebutkan dua pola penyelesaian sengketa, yaitu
the binding adjudicative procedure dan the nonbinding adjudicative procudere.
1. The binding adjudicative procedure, yaitu suatu prosedur penyelesaian sengketa yang di dalam memutuskan perkara hakim mengikat para pihak. Bentuk penyelesaian sengketa ini dapat dibagi menjadi empat macam, yaitu
1) Litigasi,
2) Arbitrase,
3) Mediasi-Arbitrase, dan
4) Hakim Partikelir.
2. The nonbinding adjudicative procedure, yaitu suatu proses penyelesaian sengketa yang di dalam memutuskan perkara hakim atau orang yang ditunjuk tidak mengikat para pihak. Penyelesaian sengketa dengan cara ini dibagi menjadi enam macam, yaitu
1) Konsiliasi,
2) Mediasi,
3) Mini-Trial,
4) Summary Jury Trial,
5) Neutral Expert Fact-Finding, dan
6) Early Expert Neutral Evaluation. 29
Kedua penyelesaian sengketa itu berbeda antara satu dengan yang lainnya. Perbedaannya terletak pada kekuatan mengikat dari putusan yang dihasilkan oleh institusi tersebut. Kalau the binding adjudicative procedur, putusan yang dihasilkan oleh institusi yang memutuskan perkara adalah mengikat para pihak, sedangkan dalam the nonbinding adjudicative procedur, putusan yang dihasilkan tidak mengikat para pihak. Artinya dengan adanya putusan itu para pihak dapat menyetujui atau menolak isi putusan tersebut.
29 Xxxxxxxxx, Alternative Dispute Resolution (Pilihan Penyelesaian Sengketa, Makalah disajikan pada Penataran Dosen Hukum Perdata, diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 1996, hlm.
Persamaan dari kedua pola penyelesaian sengketa tersebut adalah sama-sama memberikan putusan atau pemecahan dalam suatu kasus.30
D. Overmacht Dalam Hukum Perikatan Islam
Overmacht dalam hukum Islam adalah Al-Dharurah, berasal dari kata dharra, yadhurru yang artinya merusak dan memberikan mudarat.atau sangat memaksa/kebutuhan yang amat mendesak apabila tidak dipenuhi.31 Overmacht Pada kaidah Ushuliyah disebut:
تا روضحملا هيبت لا ةرورضلا
Artinya : “Keadaan daeurat memperbolehkan hal-hal yang dilarang”
Kaidah tersebut memiliki makna bahwa keadaan darurat adalah alasan diperbolehkannya sesuatu yang dilarang dan melanggar larangan tersebut.
Hal tersebut di jelaskan dalam Surat Al An’am ayat 119 yang berbunyi :
ناِ وَ هِ يْ َلِا مْ ُترْ رِ ُطض
ا ام
لَّّ
مْ ُكْيَلعَ مَ رَّ ح
ام مْ ُكَل لَ ص
دْ َقو
هِ ْيَلعَ اللِّ
مُ س
ا رَ كِ ذ
امَّ م
اوْ لُ ُكْأَت لَّّ َا مْ ُكَل امَ و
نيْ دِ َتعْ مُ ْلا
مُ َلع
َا وَ
كَّبر
نَّ ِا م„ ْلع
رِ ْيَغ
مْ هِ ىِٕ اۤ وَ هْ َابِ ن
وْ ُّلض
ُي ارً يثِ َك
30 Xxxxx, X. X, Hukum Kontrak, Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Cet. Keenam, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 140.
31 Xxxxx Xxxx Xxxxxx, Ensiklopedia Hukum Islam 2, PT. Xxxxxxx Xxxx Xxx Xxxxx, Jakarta, 1997. hlm. 260
Artinya : mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, Padahal Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. dan Sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas”.32
Kebolehan berbuat atau meninggalkan sesuatu karena darurat adalah untuk memenuhi penolakan terhadap bahaya, jika terjadi pertentangan antara nas dan mashlahah, maka didahulukan mashlahah.33 Sedangkan unsur-unsur darurat meliputi empat hal pula, yaitu kondisi darurat yang dihadapi; perbuatan yang dilakukan untuk mengatasi kondisi darurat; objek darurat, dan orang yang berada dalam kondisi darurat.34
Dalam kaitan ini XX. Xxxxxx xx-Zuhaili membagi kepentingan manusia akan sesuatu dengan lima klasifikasi, yaitu35 :
32 Q.S. Al-an’am 6: 119 Departemen Agama RI,. Alquran dan Terjemahnya . (Lubuk Agung, Bandung.) hal. 207
33 Xxxxxxxx, Xxxxxxxx Xxx. “Kritik Terhadap Konsep Mashlahah Najm Addîn At-Tûfi”.,
Madani Vol. 19, no. 1. 2015 hlm. 29 .
34 Xxxxx Xxxx Xxxxxx, Ensiklopedi Hukum Islam, (Cet. 1, Jakarta: Xxxxxxx Xxxx Xxx Xxxxx, 1996), hlm. 261
35 Xxxxxx xx zuhaily, op cit., hal 246-2
a. Darurat, yaitu kepentingan manusia yang diperbolehkan menggunakan sesuatu yang dilarang, karena kepentingan itu menempati puncak kepentingan kehidupan manusia, bila tidak dilaksanakan maka mendatangkan kerusakan. Kondisi semacam ini memperbolehkan segala yang diharamkan atau dilarang, seperti memakai sutra bagi laki-laki yang telanjang, dan sebagainya;
b. Hajiah, yaitu kepentingan manusia akan sesuatu yang bila tidak dipenuhi mendatangkan kesulitan atau mendekati kerusakan. Kondisi semacam ini tidak menghalalkan yang haram. Misalnya, seseorang yang tidak mampu berpuasa maka diperbolehkan berbuka dengan makanan halal, bukan makanan haram;
x. Xxxxxxx, yaitu kepentingan manusia untuk menciptakan kehidupan yang layak. Maka hukum diterapkan menurut apa adanya karena sesungguhnya hukum itu mendatangkan manfaat. Misalnya, makan makanan pokok seprti beras, ikan, sayur- mayur, lauk pauk, dan sebagainya;
d. Fudu, yaitu kepentingan manusia hanya sekedar untuk berlebih- lebihan, yang memungkinkan mendatangkan kemaksiatan atau keharaman. Kondisi semacam ini dikenakan hukum Saddud Dzariah, yakni menutup segala kemungkinan yang mendatangkan kerusakan.
e. Contoh kaidah diatas adalah bahwa darah para pejuang Islam ketika perang dianggap suci untuk dipakai shalat, tetapi bila mengenai orang lain dianggap najis, dan sebagainya.36
Dari kaidah dan penjelasan diatas dapat dipahami bahwa keadaan darurat yang membuat hal-hal yang dilarang menjadi diperbolehkan karena keadaan yang memaksa, harus disesuaikan dengan seberapa darurat keadaan tersebut, tidak boleh dinimakti seenaknya saja, sebab tetap ada batasan pada kemutlakan kaidah. Hukum Islam juga memiliki sifat yang dinamis sehingga dapat disesuaikan seiring berjalannya waktu. Kaidah dan penjelasan tersebut dapat dijadikan sebagai landasan teori untuk meninjau permasalahan keadaan memaksa atau overmacht dalam Islam.
36 Ibid hal 246
BAB III
OVERMACHT DALAM PERJANJIAN PENGADAAN TENAGA LISTRIK BIOMASSA YANG DIADAKAN PT. PERUSAHAAN LISTRIK NEGARA (PERSERO)
A. Kewenangan Badan Arbitrase Nasioal Indonesia (BANI) dalam menyelesaikan sengketa antara PT. Riau Green Energy dengan PT. Perusahaan Listrik Negara (PERSERO) dalam Hal Overmacht.
Dalam konteks perjanjian antara perusahaan, istilah "overmacht" merujuk pada keadaan di mana salah satu pihak tidak dapat memenuhi kewajibannya karena adanya kejadian di luar kendali mereka yang menghalangi atau mengganggu pelaksanaan perjanjian. Dalam bahasa Inggris, istilah ini dikenal sebagai "force majeure" atau "act of God” yaitu tindakan administratif penguasa, perintah dari yang berkuasa, keputusan, segala tindakan administratif yang menentukan atau mengikat, suatu kejadian mendadak yang tidak dapat diatasi oleh pihak-pihak dalam perjanjian37
Overmacht dalam arti luas berarti suatu keadaan di luar kekuasaan manusia yang mengakibatkan salah satu pihak dalam perjanjian tidak dapat memenuhi prestasinya.38 Overmacht dapat mencakup berbagai situasi yang
37 Rachmat S.S. Soemadipradja: Dalam: Putusan MA RI Reg. No. 15 K/Sip/1957; No. 24 K/Sip/1958; No. 558 K/Sip/1971; No. 409 K/Sip/1983; No. 3389 K/Sip/1984; No. 409 K/Sip/1983; 21/Pailit/2004/PN.Niaga.Jkt.Pst.
38 Xxxxxxxxxx F.X, Hukum Bangunan Dasar - Dasar Hukum Dalam Proyek Sumber Daya Manusia, Rineka Cipta, 1996. hlm 17
tidak dapat diprediksi atau dihindari, seperti bencana alam (gempa bumi, banjir, badai), perang, tindakan pemerintah, kerusuhan sipil, kebakaran besar, peristiwa lingkungan yang tidak biasa, atau gangguan teknis yang serius. Situasi-situasi ini dapat menghancurkan kemampuan suatu perusahaan untuk memenuhi kewajibannya dalam perjanjian.
Di Indonesia, terdapat suatu lembaga penyelesaian sengketa yaitu arbitrase yang merujuk pada proses penyelesaian sengketa alternatif diluar pengadilan oleh pihak ketiga yang independent yaitu arbiter atau badan arbitrase. Para pihak yang bersengketa harus setuju untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dan mengikuti prosedur yang ditetapkan dalan Perjanjian Arbitrase.
Secara singkat kronologis dalam Putusan BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) No. 22.1501/11/BANI/AT-dr PT. Riau Green Enery tidak dapat melaksanakan prestasi sebagaimana diperjanjikan karena PT. Riau Green Enery dalam keadaan overmacht. Keadaan memaksa tersebut yaitu kondisi Covid-19 yang melanda Indonesia telah menghalangi PT. Riau Green Enery dalam pengurusan perizinan. Kendala akibat covid ini dialami karena adanya pembatasan dalam pengurusan dan terhalangnya tim dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ketika akan turun ke lapangan [cek lokasi] yang berada di Desa Rokan Jaya, Kecamatan Kepenuhan Kabupaten Rojan Hulu Provinsi Riau.
Adanya perubahan regulasi dalam pengurus Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan [IPPKH] karena lahan yang akan dibangun pembangkit listrik 10 MW tersebut berada dalam kawasan hutan. Sebagaimana tertera dalam Kesimpulan Pemohon Perkara No. 45009/I/ARB-BANI/2022, Pada tanggal 18 Oktober 2016, PT. Riau Green Enery kembali mengajukan permohonan izin pinjam pakai kawasan hutan dan izin mendirikan bangunan untuk proyek pembangkit listrik tenaga biomasa [1 x 10 MW] di Kabupaten Rokan Hulu kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal [BKPM] di Jakarta.
Terlambatnya pengurusan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan [IPPKH] tersebut selain perubahan regulasi, fakta itegritas dan covid-19, antara lain disebabkan juga pejabat yang mengeluarkan rekomendasi yang merupakan syarat pengurusan terbitnya Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan [IPPKH] tersangkut masalah hukum [Tipikor] sedangkan pejabat sementara tidak berwenang mengeluarkannya kemudian di Kab. Rokan Hulu dan Provinsi Riau belum ada RT/RW baru, sehingga tidak dapat diterbitkan rekomendasi dari Gubernur.
Berdasarkan risalah dari BPN Kab. Rokan Hulu menyampaikan bahwa Perda Kab. Rokan Hulu Nomor 19 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Rokan Hulu telah berakhir sejak tanggal 14 Agustus 2013 dan Peraturan Daerah Provinsi Riau No. 10 Tahun 1994 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Riau telah berakhir sejak tanggal 19 Agustus 2009 dan
belum disahkan Perda tentang RT/RW Kabupaten maupun RT/RW provinsi yang baru hingga saat ini.
Pada tanggal 11 Juli 2017 PT. Riau Green Energy mengajukan permohonan rekomendasi kepada Gubernur Riau berupa surat tanda terima 11 Juli 2017 terhadap pengiriman surat permohonan untuk mendapat Rekomendasi Gubenur izin pinjam pakai Kawasan Hutan untuk Usaha Ketenagalistrikan a.n. PT. Riau Green Energy kepada Kepala DPMPTSP Pekanbaru. Dalam rentang waktu lebih kurang setahun tidak ada tanggapan/jawaban dari Gubernur Riau, kembali pada tanggal 18 Maret 2018 PT. Riau Green Energy [RGE] mengajukan Rekomendasi Izin Pinjam Pakai untuk Usaha Pembangkit Listrik 10 MW an. PT. Riau Green Energy kepada Gubenur Riau melalui Badan Pelayanann Perizinan Terpadu Propinsi Riau
Pada tanggal 10 April 2019 kembali Pemohon [PT. Riau Green Energi] mengajukan rekomendasi Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk usaha ketenagalistrikan melalui Kepala Dinas Penanaman Modal dan pelayanan Terpadu Provinsi Riau dan menyerahkan persyaratan permohonan Izin/Rekomendasi Pinjam Pakai Kawasan Hutan [baru] bahwa pada tanggal 15 April 2019 PT. Riau Green Energi [tanda terima].
Pada tanggal 26 November 2019 baru keluar rekomendasi dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI perihal Rekomendasi untuk Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan atas nama PT Riau Green Energy di Kabupaten Rokan
Hulu. Setelah terbitnya rekomendasi dari Gubenur Riau tersebut, Pemohon pada tanggal 10 Desember 2019 melalui Staf Administrasi dan Teknis PT. Riau Green Energy telah menyerahkan persyaratan administrasi permohonan IPPKH ke Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta. Bahwa PT. Riau Green Energy [Bukan kantor perwakilan Pemohon di Jakarta dan karena kantor satu-satunya PT. Riau Green Energy adalah di Pekanbaru].
Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.6/MENLHK/SETJEN/ KUM.1/1/2020 Tentang Pelimpahan Kewenangan Penerbitan Perizinan Berusaha Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal ditetapkan di Jakarta tanggal 23 Januari 2020 terjadi perubahan-perubahan regulasi dalam pengurusan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan [IPPKH] dari yang semula dimohonkan kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal [BKPM] kemudian berubah kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan kemudian berubah lagi kepada Badan Koordinasi Penanaman modal [BKPM], sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama dari yang diperkirakan ketika perjanjian ditandatangani yang tidak dapat diprediksi.
Adanya kendala dalam pengurusan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan [IPPKH] diketahui oleh Termohon dan ini terbukti dari adanya beberapa kali amandemen-amandemen, Berita Acara Financing Date dan Zoom Meeting [persetujuan secara lisan] terhadap perjanjian dan amandemen-amandemen tersebut dibenarkan dalam sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 23
Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik tertanggal 28 April 2015 Nomor : 0038/PJ/REN.05 03/WRKR/2015.
Berdasarkan pemaparan data diatas, penulis menganalisis bahwa PT. Riau Green Energi memenuhi teori overmacht objektif dan teori overmacht subjektif
a. Teori subjektif. yaitu pelaksanaan perjanjian sedang diusahakan oleh PT. Riau Green Energy, tetapi diluar kekuasaannya dan bukan kesalahan dari PT. Riau Green Energi menyebabkan terhalangnya kewajiban tersebut untuk direalisasikan, dan kejadian ini tidak dapat diduga sebelumnya saat pengadaan perjanjian, maka hal ini tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak PT. Riau Green Energi karena tidak ada itikad buruk.
b. Sedangkan overmacht subjektif dapat dibuktikan bahwa selain sebagai upaya untuk menghindari kerugian yang timbul, PT. Riau Green Energy juga tetap nengupayakan melakukan langkah untuk memperoleh prestasi seperti IPPKH yang terus merenus dilakukan sampai dengan terbitnya izin. Meskipun dalam keadaan tidak memungkinkan terwujudnya kewajiban, namun PT. Riau Green Energi tetap ada itikad baik untuk menghindarkan kerugian.
Overmacht objektf dan subjektif adalah dua konsep yang berhubungan dengan penilaian terhadap keberadaan overmacht dalam konteks hukum.
Overmacht dalam sengketa ini, diakui pada gugatan pertama dan gugatan kedua yang berakhir di tingkat banding. Pada gugatan ketiga, pandangan hakim berubah PT. Riau Green Energy dianggap melakukan wanprestasi oleh hakim karena tidak kunjung melakukan kewajibannya, dan Hakim mengabaikan unsur overmacht, dimana pada saat itu perijinan PT. Riau Green Energy masih dalam proses seperti sebelumnya. PT. PLN PERSERO akhirnya mencairkan dana jaminan yang harus dibayarkan oleh PT. Riau Green Energy sesuai perjanjian apabila tidak terpenuhinya prestasi. Keadaan overmacht dalam gugatan ketiga ini tidak diakui padahal telah memenuhi syarat-syarat overmacht.
Akibat pencairan yang dilakukan oleh Bank Mandiri terhadap Bank Garansi yaitu PT. Riau Green Energy sebesar Rp.3.475.530.000 [tiga melyar Empat ratus tujuh puluh lima juat lima ratus tiga puluh ribu rupiah] kerekening No.1001320226 pada Bank Bukopin, Pihak PT. Riau Green Energy telah dirugikan dan sampai sekarang PT. Riau Green Energy tetap berkewajiban membayar Bank Garasi setiap bulannya sampai sekarang kepada Pihak Asurasi [PT. ASEI] sebagai pihak yang mengcover Jaminan Pelaksanaan Tahap II untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Terbaru Biomasa 10 MW dan telah memutus perjanjian secara sepihak sementara PT. Riau Green Energy sudah mengeluarkan biaya operasional sebesar Rp. 00.000.000.000 (Delapan belas milyar enam ratus enam puluh empat juta sembilan ratus lima puluh satu ribu empat ratus tujuh puluh tujuh rupiah).
Pada akhirnya, PT. Riau Green Energy memutuskan untuk mengajukan penyelesaian sengketa ke ranah arbitrase. Sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik antara PT PLN (Persero) Wilayah Riau dan Kepulauan Riau dan PT Riau Green Enery Untuk Pembangkit Listrik Energi Terbarukan Biomassa (PLTBm) Kapasitas 10 MW, Pasir Pangairan – Provinsi Riau, Nomor Pembeli : 0038.PJ/REN.05.03/WRKR/2015 dan Nomor Penjual : RGE/DIR/009/iv/2015, tertanggal 28 April 2015, yang berbunyi sebagai berikut:
1. Apabila timbul perselisihan di antara PARA PIHAK yang berkaitan dengan pelaksanaan Perjanjian ini, maka PIHAK yang mengakui adanya perselisihan tersebut akan memberitahukan secara tertulis tentang adanya perselisihan tersebut kepada PIHAK lainnya dan PARA PIHAK akan berusaka menyelesaikan perselisihan tersebut secara musyawarah dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak pemberitahuan tersebut
2. Apabila jangka waktu penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atas telah berakhit dan perselisihan tidak dapat diselesaikan secara musyawarah mufakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka PARA PIHAK sepakat untuk menyelesaikan perselisihan tersebut melakui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang mana putusannya adalah final dan mengikat.
Klausula arbitrase diatas menjadi dasar kewenangan BANI untuk memeriksa dan memutus perkara tersebut.
Berdasarkan Pasal 1 angka 8 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Lembaga arbitrase (selanjutnya disebut “badan”) adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang
bersengketa untuk menyelesaikan suatu sengketa. 39 Menurut ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Pada proses pemeriksaan perkara arbitrase, sesuai ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dinyatakan bahwa Semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara tertutup. Berbeda dengan proses di peradilan bahwa terhadap putusannya para pihak masih dapat mengajukan banding dan kasasi, maka dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak terbuka upaya hukum banding kasasi maupun peninjauan kembali.
Dari analisis diatas dapat disimpulkan bahwa Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa antaran PT. Riau Green Energy dengan PT. PLN (PERSERO)
39 Anangga X. Xxxxxxxxx, X. Xxxxxx Xxxxx. Badan Arbitrase, Proses Arbitrase, dan Pengadilan Negeri : Sebuah Distingsi. 2022 xxxxx://xxx.xxxxxxxxxxx.xxx/xxxxxx/x/xxxxx-xxxxxxxxx--xxxxxx- arbitrase--dan-pengadilan-negeri--sebuah-distingsi
B. Penyelesaian Sengketa antara Para Pihak Dalam Perjanjian Pengadaan Tenaga Listrik Biomassa antara PT. Riau Green Energy dengan PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
Penyelesaian sengketa dalam perjanjian Pengadaan Tenaga Listrik ini merujuk kepada Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sebagai lembaga penyelesaian sengketa. Keputusan untuk menyelesaikan sengketa dengan merujuk kepada BANI dilakukan karena Xxxxx dalam hal ini mengabaikan unsur overmacht dan menghukum serta menyimpulkan PT. Riau Green Energy melakukan wanprestasi.
Jika hakim dalam suatu kasus tidak mengakui overmacht (force majeure) dalam keadaan memaksa yang dialami oleh salah satu pihak, maka pihak yang mengalami keadaan memaksa tersebut mungkin akan dianggap bertanggung jawab atas wanprestasi atau pelanggaran kontrak. Dalam hal ini, pihak yang tidak dapat memenuhi kewajibannya dalam perjanjian mungkin akan diharuskan untuk membayar ganti rugi kepada pihak lain yang menderita kerugian akibat ketidakmampuan tersebut.
Keputusan hakim dalam mengakui atau tidak mengakui overmacht akan tergantung pada fakta dan bukti yang disajikan dalam persidangan, serta interpretasi hukum yang diterapkan. Hakim akan mengevaluasi apakah keadaan yang dialami oleh pihak tersebut memenuhi kriteria overmacht berdasarkan
hukum yang berlaku dan klausul yang ada dalam perjanjian. Apabila hakim tidak mengakui overmacht, pihak yang mengalami keadaan memaksa mungkin memiliki opsi untuk mengajukan banding atau melakukan upaya hukum lainnya, tergantung pada sistem peradilan yang berlaku dalam yurisdiksi tersebut.
Jika faktanya terjadi overmacht namun hakim tidak mengakui overmacht dalam keputusannya, ada beberapa opsi yang dapat dipertimbangkan:
1. Banding Pihak yang merasa bahwa keputusan hakim tidak memperhitungkan overmacht yang terjadi dapat mengajukan banding ke pengadilan tingkat yang lebih tinggi. Dalam banding, argumen dan bukti yang mendukung adanya overmacht dapat diajukan kembali kepada panel hakim yang baru.
2. Revisi Keputusan: Beberapa yurisdiksi memungkinkan pihak untuk meminta revisi keputusan hakim yang tidak memperhitungkan overmacht berdasarkan alasan tertentu, seperti adanya bukti baru yang relevan atau kesalahan dalam proses hukum.
3. Mediasi atau Arbitrase: Jika perjanjian antara pihak-pihak yang terlibat memiliki klausul penyelesaian sengketa melalui mediasi atau arbitrase, pihak dapat memilih untuk mengajukan sengketa tersebut kepada pihak ketiga yang netral dan terlatih dalam menangani sengketa. Mediator
atau arbiter dapat mempertimbangkan bukti overmacht yang ada dan membuat keputusan yang berbeda dari keputusan hakim sebelumnya.
4. Negosiasi dan Perundingan: Pihak-pihak yang terlibat dapat mencoba untuk melakukan negosiasi dan perundingan untuk mencapai kesepakatan di luar pengadilan. Dalam negosiasi, pihak yang terkena overmacht dapat menyampaikan argumen dan bukti yang kuat mengenai keberadaan overmacht dan mencoba mencapai kesepakatan yang mempertimbangkan situasi tersebut.
Berdasarkan pemaparan diatas, penyelesaian sengketa melalui arbitrase merupakan the binding adjudicative procedure, yaitu suatu prosedur penyelesaian sengketa yang di dalam memutuskan perkara hakim mengikat para pihak.40 PT. Riau Green Energy mengambil langkah banding karena di gugatan ketiga, PT. Riau Green Energy.
Dalam Kesimpulan Pemohon Perkara No. 45009/I/ARB- BANI/2022disebutkan bahwa dalam hal mengabaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan baik dalam keadaan normal atau karena kondisi overmacht sedangkan hal tersebut sangat terkait bagi pelaksanaan perbaikan hak dan kewajiban para pihak, maka berlaku prinsip dalam perjanjian exeptio non
40 Xxxxx, X. X, Hukum Kontrak, Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Cet. Keenam, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 140.
adempleti contractus, dalam hal ini ketika sama-sama para pihak beritikad baik mengadakan addendum-adendum karena overmacht beberapa kali, namun pada keadaan yang sama pada akhirnya tidak dilaksanakan addendum dengan mengabaikan permohonan oleh debitur mengajukan permohonan untuk itu tetapi tetap diabaikan, adalah itikad buruk kreditur. Dengan ini, PT. Riau Green Energy ditetapkan tidak dalam keadaan memaksa karena adanya itikad buruk, dan dinyatakan melakukan wanprestasi.
Wanprestasi dan overmacht (force majeure) adalah konsep yang terkait dalam konteks perjanjian, tetapi memiliki perbedaan yang signifikan.
1. Wanprestasi (Breach of Contract):
41 Kesimpulan Pemohon Perkara No. 45009/I/ARB-BANI/2022
Wanprestasi terjadi ketika salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban yang telah disepakati dalam perjanjian. Ini dapat mencakup kegagalan untuk memberikan barang atau jasa yang dijanjikan, pelanggaran ketentuan perjanjian, atau ketidakmampuan untuk memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan. Wanprestasi biasanya terjadi karena kesalahan atau kelalaian salah satu pihak.
Ketika terjadi wanprestasi, pihak yang menderita kerugian dapat memiliki hak-hak hukum untuk mengajukan klaim ganti rugi, membatalkan perjanjian, atau mengambil tindakan hukum lainnya untuk melindungi kepentingan mereka.
2. Overmacht
Overmacht terjadi ketika salah satu pihak tidak dapat memenuhi kewajibannya dalam perjanjian karena adanya kejadian di luar kendali mereka yang menghalangi atau mengganggu pelaksanaan perjanjian. Contoh-contoh overmacht termasuk bencana alam, perang, tindakan pemerintah, gangguan teknis yang serius, atau peristiwa lingkungan yang tidak biasa.
Dalam situasi overmacht, pihak yang terkena dampak kejadian tersebut mungkin dapat mengklaim kekebalan atau penangguhan kewajiban mereka sesuai dengan klausul force majeure yang mungkin ada dalam perjanjian. Klausul force majeure biasanya mengatur konsekuensi hukum
dan prosedur yang berlaku ketika terjadi kejadian yang dianggap sebagai
overmacht.
Pengumuman Tentang Penutupan Sementara Layanan Perizinan Secara Tatap Muka di BKPM untuk mencegah meluasnya penyebaran Covid 19 tanggal 16 Maret 2020 telah membuktikan bahwa berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2020 ditetapkan sebagai Bencana Non Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 [Covid-19] yang telah membatasi aktifitas baik di Instansi pemerintah maupun swasta dan tempat-tempat umum lainnya yang menyebabkan terlambatnya penerbitanya Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan [IPPKH] yang disebabkan oleh keadaan yang tidak dapat diprediksi sebelumnya. Menurut ahli Xxx Xxxxxxxx, Bencana
42 Kesimpulan Pemohon Perkara No. 45009/I/ARB-BANI/2022
Non Alam Penyebaran Corona Virus Diseas 2019 [Covid-19] adalah keadaan kahar [overmacht] yang berada diluar kemampuan debitur dan bukan kesalahan debitur tidak terlaksananya perjanjian dan kreditur tidak diperbolehkan memutuskan perjanjian secara sepihak.43
Berdasarkan fakta-fakta hukum dari bukti-bukti surat, keterangan saksi dan pendapat ahli dapat disimpulkan bahwa tidak berprestasinya disebabkan karena adanya perubahan regulasi dalam pengurusan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dan adanya Fakta Intergritas dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Hehutanan yang menyatakan tidak melakukan kegiatan apapun di lapangan sebelum ada izin dari Menteri serta kondisi bencana Covid- 19 berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2020 telah ditetapkan sebagai Bencana Non Alam Penyebaran Corona Virus Diseas 2019 (Covid-19) yang melanda Indonesia bahkan dunia dapat dikatagorikan sebagai Keadaan Memaksa (overmacht/force majeur/kahar) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf c perjanjian.
Menurut Xxxxxxxx Xxxxxx, “Dasar-dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dari Perjanjian dan dari Undang-undang)” 1994. hal. 18-19 : bahwa keadaan memaksa adalah bahwa debitur terhalang dalam memenuhi prestasinya karena suatu keadaan yang tidak terduga lebih dulu dan tidak dapat
43 Ibid
dipertanggungjawabkan kepadanya, maka debitur dibebaskan untuk mengganti biaya rugi dan bunga, sehingga akibat dari overmacht tersebut adalah :
1. Kreditur tidak dapat minta pemenuhan prestasi [pada overmacht
sementara sampai berakhirnya keadaan overmacht].
2. Gugurnya kewajiban untuk mengganti kerugian [Pasal 1244, 1245].
3. Pihak lawan tidak perlu minta pemutusan perjanjian [Pasal 1266 tidak berlaku, putusan hakim tidak perlu].
4. Gugurnya kewajiban untuk berprestasi dari pihak lawan.
Pasal 1245 KUH Perdata menentukan: ”Tidaklah biaya, rugi, dan bunga harus digantinya, apabila karena keadaan memaksa atau karena suatu keadaan yang tidak disengaja, si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang”.44
Berdasarkan bukti-bukti diatas maka menurut para Ahli, PT. PLN PERSERO telah melakukan wanprestrasi. Menurut pendapat Ahli Xx. Xxx Xxxxxxxx, SH. MH yang menyatakan bahwa jika seorang debitur tidak melakukan prestasi karena dalam keadaan kahar (overmacht) maka kreditur tidak dapat meminta pelaksanaan prestasi kepada debitur sampai dengan keadaan kahar (overmacht) tersebut dapat diatasi, dan kreditur tidak dapat
44 KUH Perdata Pasal 1244 dan Pasal 1245
memutuskan perjanjian secara sepihak karena hal tersebut kreditur dapat dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum.
Setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum diwajibkan untuk mengganti kerugian yang timbul dari kesalahannya.45 Bentuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh PT. PLN PERSERO telah memenuhi unsur-unsur berikut :
1. Adanya perbuatan
Perbuatan PT. PLN (Persero) dengan sengaja memutuskan perjanjian secara sepihak dan tidak melaksanakan perpanjangan Comercial Operation Date (COD) karena adanya perubahan regulasi dalam pengurusan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dan adanya Fakta Intergritas dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Hehutanan yang menyatakan tidak melakukan kegiatan apapun di lapangan sebelum ada izin dari Menteri serta di tengah kondisi bencana Covid-19 berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2020 telah ditetapkan sebagai Bencana Non Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang melanda Indonesia bahkan dunia, maka perbuatan PT. PLN (Persero) tersebut sangat layak dan patut
45 KUH Perdata Pasal 1365
secara hukum untuk dinyatakan telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata;
2. Melawan hukum
Menurut ahli Xxx Xxxxxxxx, sejak tahun 1919 arti dari melawan hukum memiliki pengertian luas yang meliputi hal-hal sebagai berikut : (Affidavit halaman 16 s/d 17).
a. Melanggar undang-undang
b. Melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum (hak subjektif orang lain).
x. Xxxtentangan dengan kewajiban hukum si pelaku
d. Bertentangan dengan kesusilaan (geode zeden).
e. Bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain (atau dikenal dengan istilah asas kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian/PATIHA).
3. Ada kesalahan dari pelaku
Kesalahan yang dilakukan oleh PT. PLN PERSERO yaitu mengabaikan permintaan PT. Riau Green Energy untuk memperpanjang perjanjian sehubungan dengan masih adanya keadaan yang memenuhi unsur keadaan memaksa/ overmacht yang mana merupakan kelalaian kreditur sehingga merugikan debitur yang sedang dalam keadaan overmacht.
4. Adanya hubungan sebab dan akibat antara perbuatan dan kerugian
Perjanjian yang tidak diperpanjang oleh PT. PLN PERSERO merupakah sebab kerugian yang dialami oleh PT. Riau Green Energy. Pasalnya, debitur sedang dalam keadaan overmacht, namunn kreditur memutuskan untuk tidak melanjutkan perjanjian.
5. Adanya kerugian
Akibat pencairan yang dilakukan oleh Bank Mandiri terhadap Bank Garansi PT. Riau Green Energy sebesar Rp.3.475.530.000 (tiga melyar Empat ratus tujuh puluh lima juat lima ratus tiga puluh ribu rupiah]) kerekening No.1001320226 pada Bank Bukopin, Pihak PT. Riau Green Energy telah dirugikan dan sampai sekarang PT. Riau Green Energy tetap berkewajiban membayar Bank Garasi setiap bulannya sampai sekarang kepada Pihak Asurasi (PT. ASEI) sebagai pihak yang mengcover Jaminan Pelaksanaan Tahap II untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Terbaru Biomasa 10 MW dan telah memutus perjanjian secara sepihak sementara PT. Riau Green Energy sudah mengeluarkan biaya operasional sebesar Rp. 00.000.000.000 (Delapan belas milyar enam ratus enam puluh empat juta sembilan ratus lima puluh satu ribu empat ratus tujuh puluh tujuh rupiah)
Kalaupun Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik antara PT. PLN (PERSERO) Wilayah Riau dan Kepulaian Riau dan PT. Riau Green Energy tanggal 28 April 2015 tersebut diperpanjang dan uang jaminan bank garansi dikembalikan kepada PT. Riau Green Energy, PT. PLN
(PERSERO) tidak ada mengalami kerugian apapun karena skema kerjasama adalah XXX kemudian dalam addendum ke-4 dirubah oleh PT. Riau Green Energi menjadi BOOT (Build, Own, Operate and Transfer) dimana modal seluruhnya berasal dari PT. Riau Green Energi. Tindakan PT. PLN (PERSERO) tersebut selain telah merugikan PT. Riau Green Energi sebagai penyedia Pembangkit Listrik Tenaga Terbaru Biomasa 10 MW dimana modal 100% dari PT. Riau Green EnergI, PT. PLN (PERSERO) juga telah menghambat dan menghalang- halangi upaya pemerintah yang tengah mengupayakan adanya terobosan pemanfaatan biomassa guna mengurangi peran bahan bakar fosil yang masih dominan secara nasional dan mendorong capaian target bauran Energi Baru dan Terbarukan (EBT) pada tahun 2025 hingga tahun 2029 sebesar 23,5%.
46 Kesimpulan Pemohon Perkara No. 45009/I/ARB-BANI/2022
Pencairan dana jaminan (security deposit) dalam konteks overmacht dapat bervariasi tergantung pada ketentuan yang tercantum dalam perjanjian dan hukum yang berlaku di yurisdiksi yang relevan. Menurut Pasal 1245 KUH Perdata “Tidaklah biaya, rugi dan bunga harus digantinya, apabila karena keadaan memaksa (overmacht) atau karena suatu keadaan yang tidak disengaja, si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.” 47 Gugurnya kewajiban untuk mengganti kerugian (Pasal 1244, 1245).
Berdasarkan permohonan arbitrase Perkara No. 45009/I/ARB- BANI/2022, BANI memutuskan untuk mengabulkan permohonan PT. Riau Green Energy tersebut dengan menghukum Pemohon dan Termohon untuk membayar biaya administrasi, biaya pemeriksaan, biaya arbiter masing-masing seperdua bagian dan memerintakhakn Termohon untuk membayar/mengembalikan kepada Pemohon setengan bagian administrasi, biaya pemeriksaan, dan biaya arbiter yatiu sebesar Rp 153.234.950,00.
Xxxxx X.X., mengemukakan tiga akibat dari keadaan memaksa, yaitu16
1) debitur tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUH Perdata); 2) beban risiko tidak berubah, terutama pada keadaan memaksa sementara; 3) kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi hukum bebas dari
47 KUHPerdata Pasal 1245
kewajibannya untuk menyerahkan kontraprestasi, kecuali untuk yang disebut dalam Pasal 1460 KUH Perdata.48
Penyelesaian sengketa yang diajukan oleh PT. Riau Green Energy ke Badan Pengadilan Arbitrase Nasional (BANI) Penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini memiliki sifat pertama dan terakhir. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa memberikan pembatasan yang tegas dan jelas mengenai kompetensi absolut dari forum Arbitrase.49 Salah satu forum arbitrase yaitu BANI yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dari perjanjian tersebut, sehingga meniadakan kewenangan dari pengadilan negeri untuk mencampurinya.
48 Xxxxx X.X., S.H., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW) (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2001), hlm.184-185.
49 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 3
BAB IV PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Kewenangan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dalam menyelesaikan sengketa perjanjian pengadaan tenaga listrik biomassa yang diadakan PT. Perusahaan Listrik Negara (PERSERO) dengan PT. Riau Green Energy. Berdasarkan Putusan Perkara No. 45009/I/ARB-BANI/2022 antara PT Riau Green Energy sebagai Pemohon melawan PT.PLN PERSERO Wilayah Riau, BANI memiliki kewenangan untuk memeriksan dan memutus perkara a quo, sebagaimana termuat dalam ketentuan pasal 24 ayat (2) Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik antara PT. Perusahaan Listrik Negara (PERSERO) dengan PT. Riau Green Energy yang menyatakan bahwa apabila perselisihan tidak dapat diselesaikan secara musyawarah mufakat, maka Para Pihak sepakat untuk menyelesaikan perselisihan tersebut melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang mana putusannya adalah final dan mengikat.
2. Kasus ini berakhir di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dengan nomor Putusan Perkara No. 45009/I/ARB-BANI/2022 antara PT Riau Green Energy sebagai Pemohon melawan PT.PLN PERSERO Wilayah Riau. Putusan BANI ini merupakan putusan yang pertama dan terakhir,
tidak dapat diselesaikan melalui cara lain. Pada akhirnya, BANI memutuskan menyatakan Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik antaran PT PLN (PERSERO) Wilayah Riau dan Kepaulauan Riau dan PT Riau Green Energy Untuk Pembangkir Listrik Energi Terbarukan Biomassa (PLTBm) Kapasitas 10 MW, Pasir Pangairan – Provinsi Riau, Nomor Pembeli
:0038.PJ/REN.05.03/WRKR/2015 DAN Nomor Penjual :
RGE/DIR/009/IV/2015 tertanggal 28 April 2015, sah dan berharga. Menghukum Pemohon dan Termohon untuk membayar biaya administrasi, biaya pemeriksaan, dan arbiter masing-masing setengah bagian. Memerintahkan Termohon untuk membayar/mengembalikan kepada Pemohon seperdua bagian biaya administrasi, biaya pemeriksaan, dan biaya arbiter, yaitu sebesar Rp 153.234.940,00.
B. SARAN
1. Dalam sengketa ini, seharusnya para pihak memperjelas apa saja yang menjadi bagian dari overmacht, selain itu para pihak juga mempertegas kompetensi lembaga agar tidak terjadi dualisme sistem penyelesaian sengketa. Selain itu, Mahkamah Agung seharusnya dapat memberikan batasan kepada Hakim terkait prinsip pengadilan tidak boleh menolak perkara (Pasal 10 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Mahkamah Agung perlu melihat mengenai kompetensi
absolut dalam Pasal 3 Undang-Undang Arbitrase disebutkan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang atau harus menolak suatu permohonan penyelesaian sengketa yang di dalamnya telah terdapat klausul arbitrase.
2. Sengketa seharusnya bisa diselesaikan melalui ADR yang memiliki beberapa keunggulan antara lain sifat kesukarelaan dalam proses karena tidak ada unsur paksaan, prosedur yang cepat, bersifat non judicial, hemat waktu dan biaya, dan pemeliharaan hubungan kerja. Karena PT. Riau Green Energy mengajukan kasus ini ke ranah arbitrase, maka putusan dari BANI adalah putusan yang pertama dan terakhir, dimana putusan tersebut tentunya sifatnya final dan mempunyai kekuatan hukum tetap serta mengikat para pihak sebagaimana ketentuan Pasal 60 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
A. BUKU
Az-Xxxxxxx, Xxxxxx. Fiqih Islam wa Adillatuhu, Gema Insani, Jakarta, 2011. Xxxxxx Xxxxx Xxxx, Ensiklopedia Hukum Islam 2, PT. Xxxxxxx Xxxx Xxx Xxxxx,
Jakarta, 1997.
Xxxxxxx Xxxxxxx dan Xxxxxx Xxx, Hukum Perjanjian Indonesia, Perpustakaan FH UII, Yogyakarta, 1989.
Xxxxxxxxxx F.X, Hukum Bangunan Dasar - Dasar Hukum Dalam Proyek Sumber Daya Manusia, Rineka Cipta, 1996.
Xxxxxxx X. Xxxxx, Segi-segi Hukum Perjanjian., Alumni, Bandung, 1986. Xxxxxxxxx, Wati, X. Xxxxxxx, X. Xxxxx, X. Xxxxxxxx, Sumber Daya
Biomassa. "Potensi Energi Indonesia yang Terabaikan, IPB Press, Bogor, 2013.
H.S. Salim, Hukum Kontrak, Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Cet. Keenam, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.
H.S. Xxxxx, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, 2001.
Xxxxxxxxx Xxxxxx, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan, Bagian Pertama, FH UII Press, Yogyakarta, 2013.
Xxxxxxxxxxxxxxxx, Metode-metode Penelitian Masyarakat, PT. Gramedia, Jakarta, 1983.
Xxxxxxxx Xxxxxxxxxx, Hukum Perikatan Alumni, Bandung, 1982. Xxxxxxxxx, Xxxxxx, Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia.
(Edisi ke-3) : Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan
Pendidikan Psikologi (LPSP3) Depok, 2009
X. Xxxxxxxx dan X. Xxxxxxxxxxxxx, KUHPerdata, (Burgelijk Wetboek), ctk. Kedepalan, Pradya Paramita, Jakarta, 1976.
X X X Xxxxxxx Xxxxxx, S H Xxxxxx Xxxxxxx, and M M S E, Xxxxxx Penelitian Hukum : Normatif dan Empiris, Pradana Media, 2018.
Xxxxxxxx, Xxxxxxxx. Penelitian Hukum Normatif, PT. Raja Grafinfo Persada, Jakarta, 2003. .
Xxxxxxxx Xxxxxxxx dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatid Suatu Tinjauan Singkat, Ctk XVIII, PT. Raja Grafindo Persada, Depok, 2018.
Xxxxxxxx, Memahami Penelitian Kualitatif, CV Alfabeta, Depok, 2016. Xxxxxxxxx Xxx, Metode Penelitian Hukum, Ctk. Kedelapan, Sinar Grafika,
Jakarta, 2016.
B. JURNAL
Isradjuningtias , Agri Chairunnisa , Force majeure (Overmacht) Dalam Hukum Kontrak (Perjanjian) Indonesia, , Vol.1 No.1, 2015.
XxXxxxxx, Xxxxx. "Energy production from biomass (part 1) overview of biomass." Bioresource technology 83.1 (2002) pg.37-46.
Xxxxxxxx, Xxxxxxxx Xxx. “Kritik Terhadap Konsep Mashlahah Najm Addîn At-Tûfi”., Madani Vol. 19, no. 1. 2015 hlm. 29 .
Xxxxx, Xxxxx Xxxx, “Kajian Hukum Keadaan Memaksa (Force majeure) Menurut Pasal 1244 Dan Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.” Lex Privatum, Vol. IV, No. 2, 2016
Xxxxxx, Xxxx Xxxxx. "Implementasi Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dalam Hukum Perjanjian." Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara 10.1 (2020).
Xxxxxx X. Xxxxxxx and Xxxxxxx R. Xxxxxx, ‘Force majeure and Commercial Impractiability: Issues to Consider Before the Next Hurricane or Matural Disaster Hits’, The Michigan Business Law Journal, Volume 1, Issue 1, Spring 2009, pg. 17.
Xxxxxx Xxxxxx , Xxx Xxxxxxx. “Analisis Pengadaan Barang dan Jasa.”, Epigram, Vol.11 No.2 Oktober 2014:115-122 2014 hlm 1
C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1244 dan Pasal 1245
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 3.
D. PUTUSAN PENGADILAN
Kesimpulan Pemohon Perkara No. 45009/I/ARB-BANI/2022 Putusan BANI No. 45009/I/ARB-BANI/2022
E. MAKALAH DAN SKRIPSI
Xxxxxx Xxxxxxxxx, Tinjauan Yuridis Pengelolaan Risiko dan Penyelesaian Sengketa Wanprestasi dalam Pembiayaan Murabahah antara Bank Syariah X dan PT. Z pada Badan Arbitrase Syariah Nasional dan Pengadilan Agama (Analisis Putusan Pengadilan Agama Nomor 729/Pdt.G/2009/XX.XX),Skripsi pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012, hlm. 53-54, tidak dipublikasikan.
Xxxxxxxxx, Alternative Dispute Resolution (Pilihan Penyelesaian Sengketa), Makalah disajikan pada Penataran Dosen Hukum Perdata, diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 1996,
Xxxxxxx, Xxxx Xxxxx. "Tinjauan Hukum Islam Terhadap Overmacht Dalam Perjanjian Mudharabah (Studi Komparatif Antara Hukum Islam Dan Hukum Perdata)." (2017).
F. DATA ELEKTRONIK
Anangga X. Xxxxxxxxx, X. Xxxxxx Xxxxx. Badan Arbitrase, Proses Arbitrase, dan Pengadilan Negeri : Sebuah Distingsi. 2022
xxxxx://xxx.xxxxxxxxxxx.xxx/xxxxxx/x/xxxxx-xxxxxxxxx--xxxxxx- arbitrase--dan-pengadilan-negeri--sebuah-distingsi
Xxxxx Xxxxxxxxx, Mengenal Sejarah PLN sebagai Perusahaan BUMN, dalam xxx.xxxxxxx.xx.xx
Humas EBTKE, PLTBm Bambu Siberut TERANGI 3 Desa, Hemat Biaya Penyediaan Listrk Hingga 14 Miliar, dalam xxx.xxxxx.xxxx.xx.xx
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam Sumber Daya Biomassa Potensi Energi Indonesia yang Terabaikan, IPB Press, 2014
Salsabila Xxxxxx Xxxxxxxxx, Perjanjian Pengadaan Barang dan Jasa, Definisi hingga Contoh, dalam xxxxx://xxxx.xxxxxxx.xxx
Penjelasan masalah konsep maslahah dan xxxx bisa dilihat di buku Deskontruksi Hukum Islam Terhadap Konsep Maslahah NAJM AD- DÎN AT-TÛFI., karya Xx. Xxxxxxx xxx xxxxxxxx X.xx, X.Xx xxx.xxxxxxxx.xxx/00000000/XXXXXXXXXXXX_XXXXX_XXXXX_ ISLAM_KRITIK_TERHADAP_KONSEP_MASHLAHAH_NAJMU DDIN_AL_THUFI
Q.S. Al-an’am 6: 119 Departemen Agama RI,. Alquran dan Terjemahnya . (Lubuk Agung, Bandung.) hal. 207