FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALANGKARAYA DENGAN
NASKAH PERJANJIAN KERJASAMA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALANGKARAYA DENGAN
SMAN 2 PALANGKARAYA
Nomor : 180/PTM.63.R5/FKIP/U/2018
Nomor : 421/534/14/SMAN-2/PLK/KP/V/2020
Pada hari ini Selasa tanggal sembilan bulan Januari tahun Dua Ribu Delapan Belas
kami yang bertanda tangan di bawah ini :
1. Nama : Dr. Xxxxxx, M.Pd NIP : 05.000.016
Jabatan : Dekan FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya Alamat : Jl. RTA Milono Km.1,5 Palangka Raya
selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA
2. Nama : Dra, X. Xxx Xxxxxxx
Jabatan : Kepala SMAN-3 Palangkaraya
Alamat : XX X xxxx 0 xx 0, Xxxx Xxxxxxxx Xxxx, Xxxxxxxxxx Xxxxxx
selanjutnya disebut PIHAK KEDUA
dengan terlebih dahulu memperhatikan dan mempertimbangkan hal-hal berikut.
1. Bahwa SMAN-3 Palangkaraya Palangkaraya adalah penyelenggara pendidikan tingkat menengah atas yang berada di dalam kota Palangka Raya.
3. Bahwa SMAN-3 Palangkaraya dan Universitas Muhammadiyah Palangkaraya sepakat untuk melakukan kerjasama dalam bidang pendidikan dan pembelajaran.
Setelah memperhatikan hal-hal tersebut di atas, PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA sepakat mengadakan perjanjian kerjasama, dengan ketentuan dan syarat- syarat sebagaimana diatur dalam pasal-pasal berikut.
1. Meningkatkan dan mengembangkan kualitas pendidikan di sekolah menengah atas melalaui program dalam bidang pendidikan dan pembelajaran.
2. Mengembangkan pengetahuan, kompetensi serta wawasan guru, dosen serta mahasiswa FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya dalam dalam bidang pendidikan dan pembelajaran.
RUANG LINGKUP
Ruang lingkup perjanjian kerjasama ini meliputi :
1. Pemanfaatan sarana di bidang pendidikan.
2. Pengembangan tenaga pendidik dan calon tenaga pendidik bagi para pihak.
3. Menjadikan FKIP UM Palangkaraya sebagai mitra dalam pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah.
Pasal 3 BENTUK KERJASAMA
Kerjasama antara PIHAK PERTAMA dengan PIHAK KEDUA dilaksanakan dalam bentuk sebagai berikut.
1. Pengembangan pengetahuan, kompetensi dan wawasan guru, dosen serta mahasiswa FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya dalam implementasi Manajemen Berbasis Sekolah.
2. Pertukaran data dan informasi tentang manajemen berbasis sekolah.
3. Peningkatan kualitas pembelajaran
4. Peningkatan kualitas SDM
5. Bentuk kerjasama lain yang disusun dan disepakati oleh kedua belah pihak.
Pasal 4 PELAKSANAAN KEGIATAN
Setiap kegiatan yang disepakati oleh kedua belah pihak akan dijabarkan dan dituangkan dalam kesepakatan pelaksanaan tersendiri yang disetujui dan disepakati secara bersama, dengan mengacu pada perjanjian kerjasama ini, serta sesuai dengan ketersediaan sumber daya dan fasilitas yang dimiliki kedua belah pihak.
Pasal 5 JANGKA WAKTU
1. Perjanjian kerjasama ini berlaku untuk jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal ditandatanganinya naskah perjanjian kerjasama ini.
2. Perjanjian kerjasama ini dapat diakhiri sebelum masa berlaku yang dinyatakan dalam pasal 5 ayat 1, dan dapat diperpanjang atas kesepakatan kedua belah pihak, dengan ketentuan bahwa pihak yang mengakhiri atau memperpanjang perjanjian kerjasama ini harus memberitahukan maksud tersebut secara tertulis kepada pihak lainnya paling lambat 2 (dua) bulan sebelumnya.
3. Perjanjian kerjasama ini dapat berakhir atau batal dengan sendirinya apabila ada ketentuan perundangan atau kebijakan pemerintah yang tidak memungkinkan berlangsungnya kerjasama ini.
Pasal 6 PEMBIAYAAN
PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA sepakat bahwa pembiayaan yang timbul akibat perjanjian kerjasama ini akan diatur dalam kesepakatan khusus yang lebih operasional dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku.
LAIN-LAIN
1. Jika terjadi hal-hal yang menimbulkan perbedaan pendapat dalam perjanjian kerjasama ini, maka kedua belah pihak akan menyelesaikan sebaik-baiknya atas azas musyawarah dan mufakat,
2. Jika dalam pelaksanaan kerjasama ini terdapat kebijakan pemerintah dan atau peraturan lain yang mengakibatkan perubahan-perubahan dalam kerjasama ini, maka kedua belah pihak akan membicarakan dan menyepakatinya secara bersama,
3. Hal-hal yang belum diatur dalam perjanjian kerjasama ini akan diatur dan ditetapkan kemudian dalam addendum (kesepakatan tambahan), dan atau amandemen yang disepakati oleh kedua belah pihak serta merupakan bagian tak terpisahkan dari kesepakatan kerjasama ini.
Pasal 8 PENUTUP
Perjanjian kerjasama ini dibuat dan ditandatangani di Palangka Raya sebagaimana waktu tersebut di atas dalam rangkap 2 (dua), yang masing-masing mempunyai kekuatan hukum yang sama.
Demikian perjanjian kerjasama ini dibuat dengan itikad baik, guna meningkatkan kualitas dalam implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di lingkungan lembaga pendidikan di kedua belah pihak.
KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK COUNSELING ART UNTUK MENGURANGI KECEMASAN AKADEMIK
Karyanti Nurkhabibah Abadiyah Xxxx Xxxxx Kurniawan
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALANGKARAYA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
HALAMAN PENGESAHAN PENELITAIN KOMPETETEIF DOSEN INTERNAL
Judul Ujian : Konseling Kelompok Dengan Teknik Counseling Art Untuk
Mengurangi kecemasan akdemik Tema Ujian : Sosial Humaniora-Seni Budaya-Pendidikan Nama Ketua Peneliti : Karyanti
Jabatan Fungsional : Asisten Ahli Program Studi : BK
Alamat Email : xxxxxxxx000@xxxxx.xxx Program Studi : Bimbingan dan Konseling Nama Peserta didik : 1. Xxx Xxxxxxxx Xxxxxxxxx Yang terlibat : 2. Xxxx Xxxxx Kurniawan Biaya Ujian : 10.000.000
Mengetahui Dekan/kaprodi
Dr. Xxxxxx, M.Pd NIK.05.000.016
• Ujian yang diusulkan sesuai dengan Rencana Induk Riset;
• Ujian yang diusulkan sesuai dengan bidang keilmuan PS;
• Ujian yang diusulkan melibatkan peserta didik yang melakukan tugas akhir;
• Usulan Ujian telah dibukukan oleh prodi
X .Xxxx Xxxxxxxx
Paraf Kaprodi BK
Palangka Raya April 2020
Peneliti
Xxxxxxxx, M.Pd NIDN.
Mengetahui Kepala LP2M UM Palangkaraya
Xx. Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx, X.Xx., M.Pd.
NIK. 12.0203.008
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
PENGESAHAN ii
BAB II KAJIAN PUSTAKA
BAB III METODE UJIAN
3.1 Desain Ujian 117
3.2 Subyek Ujian 122
3.3 Variabel Ujian 126
3.4 Lokasi Ujian 130
3.5 Teknik, Instrumen, dan Bahan Pengumpulan Data 130
3.6 Validitas dan Reliabilitas Instrumen 139
3.7 Teknik Analisis Data 146
BAB IV HASIL UJIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Ujian 153
4.2 Pembahasan 197
4.3 Keterbatasan Ujian 216
BAB I PENDAHULUAN
X. Xxxxx Belakang Masalah
Ujian merupakan salah satu karya tulis yang dibuat oleh peserta didik untuk membuktikan bahwa peserta didik telah berhasil mencernakan ilmu yang dipelajarinya, sehingga dapat menerapkannya dalam bentuk karya ilmiah atas tanggung jawabnya sendiri (Widyarto, 1988 dalam Xxxxxxxxx, Xxxxx, Xxxxxxx, Xxxxxxxxx, 2012). Sebagai karya tulis ilmiah, Xxxan harus memenuhi persyaratan tertentu baik mengenai isi dan sistematika maupun mengenai teknik penulisan. Pada prinsipnya Ujian mengkaji suatu masalah yang didasarkan dan didukung melalui kegiatan Ujian atau kajian pustaka. Ujian yang dimaksudkan adalah suatu proses mencari jawaban atas suatu pertanyaan atau masalah melalui metode sistematis dan terkendali (Widyarto, 1988 dalam Xxxxxxxxx et al., 2012).
Menurut Xxxxxxx (2007) sebagai karya ilmiah, Ujian harus berbentuk Ujian yang memuat laporan tentang rangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengkaji, menjawab suatu fenomena, permasalahan, atau pertanyaan tertentu. Hasilnya disajikan dalam karya yang bersinambung, dari judul, permasalahan, teori, metode, pengolahan data sampai pada kesimpulan, diskusi, dan saran. Penulisan Ujian mempunyai dua fungsi, yakni fungsi didaktis dan fungsi evaluatif. Fungsi didaktis berarti peserta didik melatih diri dan mengembangkan penalarannya secara sistematis dan menuangkannya secara tertulis dalam bentuk karya ilmiah. Fungsi
evaluatif berarti peserta didik membuktikan kemampuan dirinya dalam mencapai suatu gelar akademis pada sarjana strata satu (Widyarto, 1988 dalam Xxxxxxxxx et al., 2012).
Peserta didik strata satu untuk mencapai gelar akademisnya, harus menyelesaikan Ujiannya dengan baik. Bagi sebagian peserta didik, Ujian adalah suatu hal yang dianggap biasa saja. Akan tetapi bagi sebagian peserta didik yang lain, Ujian bisa menjadi suatu hal yang dapat memicu kecemasan atau stres (Rosanty, 2014) yang disebabkan oleh motivasi berprestasi dan kreativitas peserta didik yang rendah (Situmorang, 2016). Proses penyusunan Ujian yang sering kali menyita waktu dan pikiran menjadikan peserta didik merasa terbebani. Oleh karena itu, Ujian dapat digolongkan sebagai salah satu stresor kecemasan bagi peserta didik. Dampak kecemasan yang ditimbulkan bagi peserta didik akan memunculkan masalah-masalah yang berhubungan dengan motivasi, prestasi, dan dampak psikologis.
Menurut Xxxxxx (1991), kecemasan peserta didik dalam menyusun tugas akhir (Ujian) di Universitas merupakan salah satu gejala academic anxiety (kecemasan akademik). Academic anxiety adalah kondisi yang ditimbulkan oleh adanya perasaan cemas yang berlebihan dengan berbagai tugas akademis yang ada di dalam institusi pendidikan. Ketika kecemasan yang dirasakan oleh peserta didik berlebihan maka akan berpengaruh secara negatif, karena peserta didik mengalami tekanan psikologis, sehingga peserta didik tersebut mendapatkan hasil belajar yang kurang baik dan lebih banyak menghindari tugas, hal ini disebabkan oleh penurunan rentang perhatian, konsentrasi dan memori pada peserta didik.
Hasil studi yang dilakukan oleh Xxxxx Xxxxxxxxxx (2015) berdasarkan kajian yang dilakukan bersama American Association of Suicidology dan Suicide Prevention Resource Center, menunjukkan bahwa di Amerika Serikat terdapat sekitar lebih dari 1000 kasus bunuh diri per tahun yang dilakukan oleh peserta didik di bawah usia 21 tahun. Secara persentase, 80% terjadi pada peserta didik laki-laki, dan 20% terjadi pada peserta didik perempuan. Namun, faktanya percobaan bunuh diri sering kali dilakukan oleh peserta didik perempuan, akan tetapi selalu mengalami kegagalan. Mayoritas disebabkan oleh pressure academically (i.e. academic anxiety of undergraduated thesis), selebihnya disebabkan oleh faktor lainnya seperti new environment, loss of a social network, loss of the safety net found at home, pressure socially, isolation and alienation, lack of coping skills, difficulty adjusting to new demands of college life, decreased academic performance and subsequent feelings of failure, dan experimentation with drugs and alcohol.
Ujian lain yang dilakukan oleh Kingkade (2015) juga menyimpulkan hasil yang senada, bahwa ada 20% peserta didik masa kini mencari perawatan dan konsultasi jiwa terkait tekanan yang mereka alami di dunia akademis. Bahkan, 9% di antaranya mengaku, secara serius mereka sempat terlintas untuk bunuh diri karena tak kuat menanggung beban yang dialaminya. Kingxxxx (2015) mengatakan bahwa angka-angka yang didapatkan dari hasil Ujian di atas merupakan indikasi bahwa peserta didik masa kini mengalami hal serius yang disebut krisis kesehatan mental. Jumlah peserta didik yang mengalami depresi dan anxiety (kecemasan) berlebih di pertengahan tahun 80-an, berkisar di angka 10% hingga 15%. Melonjak di tahun
2010-an di angka 33% hingga 40% dengan berbagai gejala yang mengikutinya, seperti gangguan makan, menyakiti diri sendiri hingga keputusan untuk bunuh diri.
Fenomena yang sama juga terjadi di Indonesia, bahwa cukup banyak peserta didik yang mengalami academic anxiety karena Ujian, di antara mereka ada yang melakukan bunuh diri bahkan hingga membunuh dosen pembimbing Ujiannya sendiri. Berdasarkan berita yang dilansir dalam media xxxxxx.xxx (2008), Xxxxxxxxx Xxxxxx, peserta didik Universitas YAI Salemba melakukan bunuh diri dengan melompat dari Gedung Universitas Atma Jaya Jakarta lantaran Ujiannya tak kunjung selesai. Berita yang dilansir oleh Xxxx (2016) melalui xxxxxxxxxxxxxx.xxx, memberitakan bahwa salah satu dosen Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Medan, yang bernama Xx. Xxxxxxx Xxxxx tewas terbunuh oleh peserta didiknya sendiri di dalam toilet pada 2 Mei 2016. Motif pembunuhan yang dilakukan oleh Xxx Xxxxxxxx Xxxxxxx terhadap dosennya tersebut lantaran persoalan Ujian. Berita yang terakhir dirilis oleh Xxxxxxxx (2016) melalui Detik Xxxx.xxx pada tanggal 27 Juli 2016, diberitakan bahwa salah satu peserta didik kelas 8 Universitas Multimedia Nusantara (UMN) yang bernama Xxxxx Xxx Xxxxxxxxxx ditemukan tewas tergantung di rumahnya sendiri menggunakan kabel antena. Menurut Kasubag Humas Polres Jakarta Selatan Xxxxxx Xxxxxxxx dalam keterangannya korban diduga bunuh diri karena lantaran dua kali proposal Ujiannya ditolak oleh dosen pembimbing.
Jika dikaitkan dengan hasil Ujian yang dilakukan oleh Xxxxxxxx dan Alsa (2016), individu yang memiliki kecemasan akademik yang tinggi akan semakin
memiliki integritas akademik yang rendah. Hal ini mengakibatkan seorang individu dapat melakukan hal-hal di luar batas kewajaran, dikarenakan integritasnya sebagai seorang peserta didik telah pudar. Ottens (1991) juga menyatakan bahwa academic anxiety atau kecemasan akademik memiliki empat karakteristik yang biasanya akan ditimbulkan, yaitu pola kecemasan yang menimbulkan aktivitas mental (patterns of anxiety-engendering mental activity), perhatian yang menunjukkan arah yang salah (misdirected attention), distres secara fisik (physiological distres), dan perilaku yang kurang tepat (innappropriate behaviors). Keempat karakteristik tersebut akan muncul ketika seorang peserta didik mengalami academic anxiety yang cukup tinggi dalam menyusun Ujian.
Berdasarkan fenomena-fenomena di atas, Ujian memang merupakan tugas akhir yang membuat cemas para peserta didik. Menurut Xxxxxxx (2014) masalah yang umum dihadapi oleh peserta didik dalam menyusun Ujian adalah banyaknya peserta didik yang tidak mempunyai kemampuan tulis menulis, serta adanya ketidaktertarikan peserta didik pada Ujian. Gejala-gejala academic anxiety yang mereka rasakan secara afektif, diantaranya ialah perasaan jengkel karena dosennya sulit ditemui, merasa pesimis, dan mudah marah. Gejala-gejala fisik yang muncul antara lain berkurangnya nafsu makan, tidak bisa tidur, sulit berkonsentrasi, sakit pinggang, migrain, mata tegang, sariawan, sakit perut, dan gemetar ketika melakukan konsultasi. Selain itu gangguan perilaku yang muncul adalah mereka banyak menghabiskan waktu untuk merokok, menonton televisi, menjadi pendiam, dan malas berinteraksi. Banyak peserta didik yang terbebani oleh Ujian. Tidak sedikit peserta didik
yang lama lulusnya karena Ujian, hal tersebut disebabkan karena terlalu lama dalam mencari judul dan xxxxxx dalam menyelesaikan revisi.
Bandura (1997) mengatakan bahwa hal-hal tersebut dipicu oleh adanya ketidakyakinan peserta didik akan kemampuan dirinya untuk mengatasi tugas-tugas akademik. Keyakinan kecakapan diri/efikasi diri (self-efficacy) memainkan peran yang sentral bagi timbulnya kecemasan (Purwanto dalam Prawitasari, 2012). Self- efficacy adalah keyakinan seseorang tentang kapabilitas dirinya untuk bisa mengatasi tugas yang ia hadapi, bahwa dirinya mampu menguasai situasi dan memberikan hasil yang positif. Self-efficacy yang tinggi akan berdampak pada tereduksinya pikiran- pikiran yang menyakitkan (intrusive aversive thoughts) terkait tugas yang dihadapi dan pada gilirannya akan terjadi penurunan tingkat kecemasan.
Akar dari academic anxiety adalah self-efficacy yang rendah. Hasil Ujian Csikszentmilhalyi (dalam Xxxxxx, Xxxxxxxx, & Mecce, 2008) menyimpulkan bahwa ada tiga kategori respons afektif yang akan terjadi dalam diri peserta didik terkait dengan tugas-tugas akademik, yaitu mereka mengalami kebosanan, mereka mengalami kecemasan, atau hanyut dalam tugas atau mengalami flow. Flow adalah keadaan seorang individu yang hanyut atau lebur sepenuhnya dalam aktivitas yang dikerjakan, segenap perhatian tercurah pada aktivitas tersebut. Respon afektif mana yang akan terjadi dalam diri individu ketika menghadapi tugas-tugas akademik pada dasarnya dipengaruhi oleh dua faktor; pertama adalah derajat tantangan (kesulitan tugas) yang dihadapi dan kedua adalah derajat kapabilitas atau skill yang dimiliki individu terkait dengan tugas akademik yang harus mereka kerjakan. Seseorang akan
mengalami kebosanan dalam mengerjakan suatu tugas ketika mereka memandang bahwa kecakapan mereka jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tugas yang harus dilakukan tersebut, sebaliknya mereka akan mengalami kecemasan ketika mereka meyakini bahwa tantangan yang dihadapi melampaui kecakapan yang dimiliki. Dan individu akan mengalami flow ketika terjadi keseimbangan antara besarnya tantangan dan kapabilitas individu.
Hal tersebut didukung oleh data studi pendahuluan melalui wawancara singkat di SMA N 3 Palangkaraya. Bahwa 7 dari 10 peserta didik kelas XI yang peneliti wawancarai, mengeluhkan bahwa mereka mengalami academic anxiety karena memiliki self-efficacy yang rendah dalam menghadapi Ujian di kelas XII tahun ajaran 2019/2020. Mereka merasa cemas bahwa mereka tidak dapat memilih judul Ujian yang tepat, kurang memiliki kemampuan tulis menulis yang mumpuni,
tidak dapat menyusun Ujian dengan baik, mendapat pembimbing Ujian \DQkJille r´³ dan tidak dapat lulus tepat waktu karena Ujian yang terlalu lama. Padahal, jika dikaji
lebih jauh seharusnya sebagai peserta didik yang belajar mengenai keilmuan ELPELQJDQ GDselQf-h eaNlinRg´QdVapaHt dOitLeraQpkJan , s ehi³ngga hal tersebut tidak menjadi suatu kecemasan yang berlebihan. Mereka mengatakan bahwa intervensi yang dilakukan oleh Wali kelas belum optimal karena masih menggunakan layanan yang masih bersifat konvensional yaitu hanya dengan proses konseling individual saja. Selain itu juga, belum dilaksanakannya layanan konseling kelompok sebagai intervensi yang dapat digunakan untuk mereduksi kecemasan peserta didik dalam menyusun Ujian.
Berdasarkan uraian di atas maka perlu adanya upaya suatu intervensi bagi peserta didik yang mengalami academic anxiety dan memiliki self-efficacy yang rendah pada saat penyusunan Ujian. Zarei, Xxxx, dan Khajehzadeh (2010) pernah melakukan Ujian untuk mereduksi academic anxiety peserta didik di University of Hormozgan
±Iran melalui konseling kelompok dengan menggunakan pendekatan konseling cognitive, namun hasil Ujiannya menunjukkan bahwa pendekatan konseling cognitive tidak berhasil mereduksi academic anxiety. Ujian lainnya juga pernah dilakukan oleh Xxxxxxxxxxx (2011) untuk mereduksi academic anxiety dengan menggunakan konseling kelompok ³systematic motivational counseling´(SMC) namun hasilnya kurang signifikan.
Menurut Xxxxxx, Xxxxxxx, Xxxxxxxxxx, dan Xxxxx (2012 dalam Rosanty, 2014), seorang individu yang mengalami anxiety disebabkan oleh produksi hormon tiroksin yang tinggi dalam otak manusia. Seseorang yang mengalami proses emosional yang negatif akan merangsang hipotalamus memproduksi hormon tiroksin yang tinggi. Hal tersebut yang menyebabkan individu mudah lelah, mudah cemas, mudah tegang, mudah takut, dan susah tidur, sehingga keadaan individu menjadi kurang optimal. Untuk menanggulangi hal tersebut, menurut Xxxxx dan Xxxxx (2002) seseorang harus dapat menyeimbangkan diri dalam setiap kondisi yang dialami. Otak manusia memiliki empat morfin alami tubuh yaitu hormon positif yang dapat meredakan penyakit dan membuat hidup menjadi bahagia. Morfin tersebut yaitu hormon endorphin, dopamin, serotonin, dan oksitosin. Fungsi dari morfin-morfin
alami tersebut dapat membuat tubuh menjadi lebih rileks, sehingga dapat mereduksi kecemasan atau stres.
Wigram, Xxxxxxxx, dan Xxxxx (2002) menjelaskan bahwa salah satu intervensi untuk meningkatkan produksi hormon endorphin dan serotonin ialah dengan melakukan relaksasi melalui mendengarkan musik. Secara psikologis, musik memiliki hubungan yang positif dalam kehidupan manusia. Musik, dapat membuat seseorang menjadi lebih rileks, mengurangi stres, menimbulkan rasa aman dan sejahtera, meningkatkan rasa bahagia, dan membantu melepaskan rasa sakit (Djohan, 2006). Hal ini diperkuat juga oleh Ujian yang dilakukan oleh Xxxxx, Xxxxxx, dan Xxxxxx (2015) dan Zarate (2016) bahwa musik dapat meningkatkan produksi hormon endorphin dan serotonin yang mengakibatkan seorang individu dapat merasa lebih bahagia dan mereduksi kecemasan yang dialami.
Musik sebagai suatu intervensi yang dapat dilakukan dalam membantu seorang individu dalam mereduksi kecemasan dan meningkatkan self-efficacy telah banyak terbukti. Ujian yang dilakukan oleh Xxxxxx dan Xxxxxx (2012) menunjukkan bukti bahwa dengan penggunaan musik dapat mereduksi stres akademis yang dialami oleh 30 orang remaja. Selanjutnya, Ujian yang dilakukan oleh Xxxxxx, Xxxxxxx, dan Xxxxxxxx (2014) membuktikan efektivitas musik dapat mereduksi kecemasan sebelum melakukan performance. Ujian yang dilakukan oleh Xxxxxxxx- Xxxxxx (2016) menunjukkan bahwa melalui music therapy mampu meningkatkan self- efficacy individu.
Menurut Xxxxxxxx, Xxxx, XxXxxxx, Xxxxxxx, Xxxxx, dan Xxxxxxxx (2014), penggunaan musik dapat diberikan dalam proses konseling. Musik dapat digunakan untuk membantu individu memahami perkembangan emosi dan kognitif mereka. Individu dapat mendengarkan lagu, ataupun memainkan alat musik secara aktif. Melalui musik, konselor dapat membuat proses konseling menjadi lebih menarik dan efektif. Xxxxxxx, Xxxxxxx, Xxxxxxxxx, Xxxx, xxx Xxxxx Xx. (2014) juga mengungkapkan bahwa ada beberapa teknik yang dapat membantu konselor dan klien dalam melakukan reframing ide, memfokuskan perspektif, eksternalisasi emosi, dan memperdalam pemahaman dari sebuah pengalaman atau masalah. Salah satunya ialah melalui musik. Penggunaan musik dalam proses konseling memiliki banyak manfaat yang terapeutik.
Xxxxxxxx (2016) juga mengungkapkan bahwa salah satu strategi konseling untuk mengurangi, menurunkan dan mengatasi kecemasan dan ketegangan emosi adalah berupa teknik relaksasi melalui terapi musik. Teknik relaksasi merupakan coping skill yang efektif untuk menurunkan tingkat kecemasan. Keberadaan musik sebagai media terapi ini merupakan salah satu fenomena yang menarik untuk dikaji dan dikembangkan. Sejak tahun 1992, Xxxxxxxx (2016) memperkenalkan penggunaan musik dalam konseling. Musik digunakan sebagai media untuk menenangkan, dan membantu konseli untuk merasa nyaman, sehingga proses konseling menjadi lebih efektif. Penggunaan musik dalam proses konseling dikenal sebagai music therapy. Xxxxxxx dan Xxxxx (2011), dan Sharf (2012), mengkaji bahwa music therapy sebagai salah satu bentuk intervensi terapi ekspresif/seni kreatif dalam pendekatan konseling
integratif, yang dapat diterapkan dalam proses konseling. Selain itu juga, dalam jurnal yang dituliskan oleh Xxxxxxxx, Xxxxxx-Xxxxxx, Xxxxxx, dan Ucar (2016) disebutkan bahwa music therapy adalah salah satu teknik alternatif yang dapat dilakukan oleh konselor dalam membantu klien dalam mengentaskan permasalahannya. Namun pada kenyataannya di lapangan, konselor di Indonesia masih kurang menerapkan bentuk intervensi terapi musik ini dalam layanan konseling sehari-hari. Hal ini dibuktikan dengan sedikitnya jumlah kajian literatur buku konseling Indonesia yang membahas tentang terapi musik, sedikitnya Ujian mengenai terapi musik yang diterapkan dalam proses konseling, dan sedikitnya pembahasan mengenai terapi musik dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia (Djohan, 2006).
Terapi musik yang dilakukan di College of Notre Dame, Belmont, California menggunakan stimulus suara (bunyi, musik) untuk mengetahui dampak suara terhadap kondisi stres dan rileks yang dialami oleh seseorang, saat ini telah mendunia (Djohan, 2006). Namun, penerapan terapi musik ini masih jarang ditemukan, karena masih merupakan hal yang baru, khususnya dalam konseling. Terapi musik dapat berdampak positif untuk mengatasi kecemasan. Terapi musik merupakan teknik yang sangat mudah dilakukan dan terjangkau, namun efeknya cukup besar. Studi mengenai musik sebagai media terapi pernah dilakukan oleh Xxxx (2015). Dari hasil studi metaanalisis tersebut, disarankan bahwa musik dapat digunakan sebagai pendekatan dalam membantu individu yang mengalami hambatan kondisi fisik, perilaku, dan psikologis agar mampu menjadi lebih baik. Ujian mengenai pengaruh musik sebagai media terapi terhadap kecemasan akademik peserta didik juga pernah dilakukan
oleh Xxxxxxx (2014). Dari hasil Ujian tersebut, musik dapat digunakan sebagai intervensi untuk menurunkan kecemasan yang dialami oleh peserta didik. Namun, Ujian ini hanya membuktikan penggunaan musik Xxxxxx sebagai passive music therapy (terapi musik pasif) saja, dan belum mengkaji tentang pemberian musik dalam teknik active music therapy (terapi musik aktif). Berdasarkan hal tersebut, dirasa perlu untuk melakukan Ujian lebih lanjut mengenai perbedaan efektivitas pemberian terapi musik dengan teknik passive music therapy dan active music therapy untuk membuktikan teknik yang paling efektif dalam mereduksi kecemasan akademik peserta didik.
Dalam penerapannya, terapi musik itu di bagi menjadi dua, yaitu passive music therapy dan active music therapy (Wigram, Xxxxxxxx, & Xxxxx, 2002). Terapi musik pasif adalah pemberian terapi musik yang dilakukan dengan cara mengajak konseli untuk mendengarkan sebuah instrumen tertentu secara seksama. Sedangkan terapi musik aktif adalah proses pemberian terapi musik yang dilakukan dengan cara mengajak konseli untuk memainkan sebuah instrumen, bernyanyi, maupun menciptakan lagu. Kedua teknik terapi musik ini dapat dilakukan melalui konseling individual maupun kelompok.
Menurut Xxxxxxxx (2004), terapi musik merupakan salah satu jenis art therapy yang dapat dilaksanakan dalam proses kelompok. Seorang terapis atau konselor dapat menerapkan terapi musik dalam konseling kelompok untuk membantu konseli yang memiliki permasalahan yang sama, sehingga terjadi sebuah proses yang disebut dengan mutual support for each other and help with mutual problem-solving
yang terjadi di antara anggota konseling kelompok dengan sarana media musik. Selain itu juga, terapi musik aktif lebih efektif diterapkan dalam suasana kelompok karena setiap anggota kelompok memainkan alat musiknya masing-masing sehingga menciptakan suatu alunan musik yang teraupetik bagi seluruh anggota kelompok.
Dalam ranah bimbingan dan konseling, menurut Xxxxxx dan Xxxxxxxx (2011) konseling kelompok adalah proses interpersonal yang dipimpin oleh konselor yang terlatih secara profesional dan dilaksanakan dengan individu-individu yang sedang menghadapi problem-problem perkembangan khusus. Hal itu berfokus pada pikiran, perasaan, sikap, nilai, tujuan tingkah laku, tujuan individu, dan grup secara keseluruhan. Konseling kelompok merupakan sebuah layanan bantuan yang dalam pelaksanaannya membutuhkan sebuah dinamika, sedangkan dinamika akan tercipta apabila hubungan interpersonal di dalam kelompok dapat berjalan dengan baik. Xxxxx (2013) memberi pengertian konseling kelompok adalah sebuah proses interpersonal yang dinamis yang terfokus pada kesadaran, pikiran dan perilaku yang berguna sebagai fungsi terapi, pemahaman yang benar, pelepasan (katarsis), membangun kepercayaan saling peduli, saling memahami, saling menerima, dan saling mendukung.
Xxxxxxxx (2012) menyatakan bahwa kerja kelompok itu dapat saling membantu apa yang menjadi kebutuhan mereka. Di sana ada proses dinamika, saling mengubah saling menghargai, saling menyembuhkan, dan mempromosikan. Dengan kata lain kerja kelompok itu dapat menjadi wahana pengembangan diri ke arah keterampilan hidup (life skill) yang baik. Nilai-nilai yang tumbuh dalam kerja
kelompok juga sejalan dengan nilai-nilai yang ingin diperoleh dari kegiatan layanan konseling kelompok.
Dalam pendekatan konseling integrative approach, penggunaan musik dalam proses konseling disebut dengan music therapy (Xxxxxxx & Xxxxx, 2011; Sharf, 2012). Xxxxxxxx (2016) menyarankan bahwa dalam proses konseling yang modern diharapkan para konselor dapat mengintegrasikan terapi seni dalam proses bantuan terhadap konseli. Salah satu terapi seni yang dapat menembus batas-batas budaya ialah melalui musik. Siapapun menyukai musik, tanpa memandang usia, gender, suku, agama, ras, latar belakang pendidikan, dan lainnya (Djohan, 2006).
Menurut Xxxxxx, Xxxxxxxx, dan Bonde (2002), perkembangan music therapy di dunia dewasa ini dalam praktiknya banyak berpusat pada teori Behavior, yang secara spesifik lebih mengarah pada Cognitive Behavior Therapy (CBT). Ujian mutakhir mengenai music therapy yang berpusat pada teori CBT dalam pelaksanaan konseling telah banyak dilakukan, yaitu di antaranya Ujian yang dilakukan oleh Xxxxx et al. (2017), Xxxxx Xxxxxxx dan Xxxxx Xxxxxx, (2017), Xxxxxxx et al. (2016), Xxxxx-Xxxxxx et al. (2016), Xxxxxx (2015), Xxxxx (2015), Xxx-Xxx Xx et al. (2015), Xxxxxxxxxx dan Silverman (2014), Xxxxxx et al. (2007), Xxxxx, Xxxxxxxxx, dan Xxxxxx (2007). Mayoritas Ujian tersebut membuktikan efektivitas integrasi CBT dengan music therapy untuk para klien demensia, alzheimer, adiksi xxxxxxx, dan transplantasi organ. Namun, sampai saat ini Ujian dalam bidang pendidikan belum ada.
Berangkat dari hal tersebut dirasa cukup penting untuk menguji efektivitas CBT dengan music therapy dalam ranah pendidikan, khususnya untuk membantu peserta didik penyusun Ujian yang sedang bermasalah. Dengan melakukan konseling kelompok dengan pendekatan integrative approach (expressive therapies) yang berpusat pada teori pendekatan utama Cognitive Behavior Therapy (CBT), dengan menggunakan teknik passive dan active music therapy, diharapkan dapat mereduksi academic anxiety yang dialami oleh peserta didik, sekaligus meningkatkan self- efficacy mereka dalam suasana kelompok. Pemberian layanan ini diharapkan juga mampu untuk menciptakan sebuah kondisi yang memungkinkan setiap anggota kelompok untuk dapat berbagi pengalaman dalam menghadapi kondisi kecemasan yang dialami akibat self-efficacy yang rendah, serta memperoleh penguatan untuk menghadapiacademic anxiety tersebut.
Berdasarkan kajian di atas, peneliti tertarik melakukan Ujian terkait dengan keefektifan layanan konseling kelompok CBT dengan teknik passive dan active music therapy pada peserta didik yang mengalami academic anxiety dan self- efficacy yang rendah. Ujian ini dianggap penting, karena berdasarkan hasil studi literatur dari Ujian-Ujian terdahulu dan kondisi obyektif di lapangan menunjukkan bahwa peserta didik-peserta didik yang sedang menyusun Ujian mengalami academic anxiety yang cukup tinggi, karena disebabkan oleh self-efficacy mereka yang cukup rendah, sehingga perlu penanganan yang serius dalam proses konseling. Berdasarkan hasil Ujian terdahulu (Xxxxxx & Xxxxxx, 2012; Xxxxxxx, 2014; Xxxxx, Xxxxxx, & Xxxxxx, 2015; Xxxx, 2015; Zarate, 2016; Xxxxxxxx-Xxxxxx
2016) menunjukkan bahwa salah satu cara yang dapat digunakan untuk mereduksi academic anxiety dan meningkatkan self-efficacy adalah melalui intervensi music therapy. Namun, sejauh ini Ujian yang secara spesifik meneliti tentang perbandingan efektivitas antara passive dan active music therapy yang dilakukan dalam layanan konseling kelompok pendidikan belum ada, khususnya secara spesifik untuk mereduksi academic anxiety dan meningkatkan self-efficacy terhadap peserta didik penyusun Ujian. Hal inilah yang menjadi dasar dalam Ujian lanjutan yang diharapkan mampu memberikan mozaik baru dalam Ujian-Ujian relevan yang sudah pernah dilakukan sebelumnya. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, dipandang perlu untuk dilakukannya Ujian lanjutan terkait dengan keefektifan layanan konseling kelompok CBT dengan teknik passive dan active music therapy untuk mereduksi academic anxiety dan meningkatkan self-efficacy peserta didik prodi Bimbingan & Konseling UMPR yang sedang menyusun Ujian.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dapat diidentifikasi permasalahan berikut ini:
1. Peserta didik prodi Bimbingan & Konseling yang seharusnya dapat melakukan self-healing terhadap dirinya sendiri, namun masih tetap memiliki academic anxiety dalam menyusun Ujian.
2. Academic anxiety yang tinggi yang disebabkan oleh self-efficacy yang rendah merupakan gejala-gejala yang dapat menghambat peserta didik dalam menyusun Ujian.
3. Jumlah peserta didik yang mengalami academic anxiety karena self-efficacy yang rendah dalam menyusun Ujian, khususnya di Prodi Bimbingan & Konseling UMPR tergolong cukup banyak.
4. Intervensi yang dilakukan oleh PA (Penasehat Akademik) belum optimal karena masih menggunakan layanan yang masih bersifat konvensional misalnya hanya dengan proses konseling individual saja.
5. Belum dilaksanakannya layanan konseling kelompok sebagai intervensi yang dapat digunakan untuk mereduksi academic anxiety dan meningkatkan self- efficacy peserta didik yang menyusun Ujian.
6. Dibutuhkannya layanan bimbingan konseling yang dapat mereduksi academic anxiety dan meningkatkan self-efficacy peserta didik yang menyusun Ujian, misalnya dengan menggunakan konseling kelompok dengan beberapa teknik.
7. Adanya kesenjangan antara teori dengan kenyataan, bahwa penerapan intervensi music therapy secara teori dapat dilaksanakan dalam penerapan konseling, namun kenyataannya di Indonesia tidak terlalu diterapkan.
C. Cakupan Masalah
Cakupan masalah dalam Ujian ini ialah untuk mengkaji academic anxiety
dan self-efficacy peserta didik ketika menyusun Ujian, namun jika dikaji dengan
berbagai pendekatan konseling yang ada maka akan sangat kompleks. Oleh sebab itu, agar lebih terfokus dan mendalam mengingat luasnya treatment yang dapat dilakukan dalam layanan konseling kelompok, maka peneliti memfokuskan pada dua variabel independent sebagai treatment (perlakuan) yang diberikan, yaitu teknik passive dan active music therapy dalam konseling kelompok CBT. Batasan subyek Ujian yaitu peserta didik aktif yang sedang menyusun Ujian, kelas XII tahun ajaran 2019/2020 Prodi BK UMPR.
D. Rumusan Masalah
Tujuan umum dalam Ujian LQL DGDODK XQWXN PHQJDQDO
perbedaan keefektifan konseling kelompok Cognitive Behavior Therapy (CBT) dengan teknik passive music therapy dan teknik active music therapy terhadap academic anxiety dan self-efficacy peserta didik dalam menyusun Ujian"´ Dari rumusan masalah tersebut, selanjutnya dijabarkan secara spesifik sebagai berikut:
1. Apakah konseling kelompok CBT dengan teknik passive music therapy efektif untuk mereduksi academic anxiety peserta didik dalam menyusun Ujian?
2. Apakah konseling kelompok CBT dengan teknik active music therapy efektif untuk mereduksi academic anxiety peserta didik dalam menyusun Ujian?
3. Bagaimana perbedaan tingkat keefektifan antara konseling kelompok CBT dengan teknik passive music therapy dan active music therapy terhadap academic anxiety peserta didik dalam menyusun Ujian?
4. Apakah konseling kelompok CBT dengan teknik passive music therapy
efektif untuk meningkatkan self-efficacy peserta didik dalam menyusun Ujian?
5. Apakah konseling kelompok CBT dengan teknik active music therapy efektif untuk untuk meningkatkan self-efficacy peserta didik dalam menyusun Ujian?
6. Bagaimana perbedaan tingkat keefektifan antara konseling kelompok CBT dengan teknik passive music therapy dan active music therapy terhadap self- efficacy peserta didik dalam menyusun Ujian?
7. Bagaimana korelasi antara academic anxiety dan self-efficacy peserta didik dalam menyusun Ujian yang diberikan konseling kelompok CBT dengan teknik passive music therapy?
8. Bagaimana korelasi antara academic anxiety dan self-efficacy peserta didik dalam menyusun Ujian yang diberikan konseling kelompok CBT dengan teknik active music therapy?
X. Xxxxan Ujian
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, secara umum Ujian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan keefektifan dari konseling kelompok CBT dengan teknik passive music therapy vs active music therapy terhadap
academic anxiety peserta didik penyusun Ujian. Sedangkan tujuan secara khusus dari Ujian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk menguji dan menganalisis keefektifan konseling kelompok Cognitive Behavior Therapy (CBT) dengan teknik passive music therapy dalam mereduksi academic anxiety peserta didik penyusun Ujian.
2. Untuk menguji dan menganalisis keefektifan konseling kelompok Cognitive Behavior Therapy (CBT) dengan teknik active music therapy dalam mereduksi academic anxiety peserta didik penyusun Ujian.
3. Untuk menganalisis perbedaan tingkat keefektifan antara konseling kelompok Cognitive Behavior Therapy (CBT) dengan teknik passive music therapy dan active music therapy terhadap academic anxiety peserta didik penyusun Ujian.
4. Untuk menguji dan menganalisis keefektifan konseling kelompok Cognitive Behavior Therapy (CBT) dengan teknik passive music therapy dalam meningkatkan self-efficacy peserta didik penyusun Ujian.
5. Untuk menguji dan menganalisis keefektifan konseling kelompok Cognitive Behavior Therapy (CBT) dengan teknik active music therapy dalam meningkatkan self-efficacy peserta didik penyusun Ujian.
6. Untuk menganalisis perbedaan tingkat keefektifan antara konseling kelompok Cognitive Behavior Therapy (CBT) dengan teknik passive music therapy dan active music therapy terhadap self-efficacy peserta didik penyusun Ujian.
7. Untuk menganalisis korelasi antara academic anxiety dan self-efficacy peserta didik penyusun Ujian yang diberikan konseling kelompok CBT dengan teknik passive music therapy.
8. Untuk menganalisis korelasi antara academic anxiety dan self-efficacy peserta didik penyusun Ujian yang diberikan konseling kelompok CBT dengan teknik active music therapy.
F. Manfaat Ujian
1. Manfaat Teoritis
Ujian ini diharapkan dapat memperoleh kajian teoritis serta data empiris melalui hasil analisis dari efektivitas konseling kelompok Cognitive Behavior Therapy (CBT) dengan menggunakan teknik passive music therapy dan active music therapy untuk mereduksi academic anxiety dan meningkatkan self- efficacy peserta didik penyusun Ujian, sehingga secara akademis mampu memberikan kontribusi bagi khazanah ilmu pengetahuan dan pengembangan wawasan keilmuan bimbingan dan konseling Indonesia.
2. Manfaat Praktis
Adapun secara praktis, manfaat dari hasil Ujian ini antara lain ialah sebagai berikut:
a. Bagi Peserta didik
Hasil Ujian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan atau wawasan peserta didik untuk dapat mereduksi academic anxiety dan meningkatkan self-efficacy dalam penyusunan Ujian.
b. Bagi Konselor
Hasil Ujian ini diharapkan dapat memberikan insight baru bagi para konselor di Indonesia untuk dapat menyusun sebuah rancangan program dan strategi intervensi, melalui layanan konseling kelompok CBT dengan menggunakan teknik passive music therapy dan active music therapy untuk mereduksi academic anxiety dan meningkatkan self-efficacy peserta didik aktif penyusun Ujian. Secara khusus juga, dengan adanya Ujian ini diharapkan dapat memberikan sebuah ide untuk pemberian pelatihan music therapy bagi para konselor yang berminat di bidang art therapy dalam konseling.
x. Xxxx Peneliti Selanjutnya
Hasil Ujian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan baru bagi peneliti selanjutnya agar dapat terus dikembangkan melalui Ujian lebih lanjut, khususnya untuk melakukan kajian yang lebih konstruktif dengan tujuan memperbaiki keterbatasan-keterbatasan yang terdapat di dalam Ujian ini.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Pustaka
1. Kajian Hasil Ujian yang Relevan
Kajian hasil Ujian yang relevan merupakan hasil-hasil Ujian yang telah dilakukan sebelumnya dan dikaji keterkaitannya dengan Ujian yang sedang dilangsungkan. Adapun beberapa hasil Ujian yang kajiannya dapat digunakan untuk mendukung Ujian ini berkenaan dengan academic anxiety, self-efficacy, passive music therapy, active music therapy, dan konseling kelompok Cognitive Behavior Therapy (CBT), yaitu:
Self-efficacy (efikasi diri) merupakan salah satu faktor penentu dalam keberhasilan hidup (Xxxcondro & Xxxxxxxxxxx, 2012; Xxxxxxx, 2009; Xxxxxxxxxxxx, 2010; Xxxx, 2013; Sitepu, 2013; Xxxxxxxx, Xxxxx & Xxxxxxxxx, 2013; Xxxxxx, 2015; Xxxxxxxxxxxxxxx, 2018). Dalam situasi pendidikan, self-efficacy menjadi faktor penentu terjadinya academic anxiety yang dialami individu. Ujian yang dilakukan oleh Xxxxxxxx (2011), Xxxxxxx (2012), Xxxxxxx (2013), Xxxxxx (2015), Xxxxxxxx (2016) dan Xxxxxxxxx, Xxxxxxxxx dan Xxxxx (2017), Xxxxxxxxxx, Xxx dan Xxxx (2018) menunjukkan hasil bahwa adanya korelasi negatif antara academic anxiety dengan self-efficacy. Ujian ini menemukan hasil bahwa semakin rendah self-efficacy yang dimiliki oleh seorang peserta didik
maka akan mengakibatkan semakin tingginya academic anxiety mereka dalam mempelajari mata pelajaran tertentu. Ujian ini juga menambahkan bahwa kedua variabel ini sangat menentukan prestasi peserta didik, di mana peserta didik yang mengalami self-efficacy yang rendah dan academic anxiety yang tinggi akan mengakibatkan prestasi mereka rendah dalam pelajaran-pelajaran tertentu. Pada Ujian yang dilakukan oleh Xxxxx, Xxxxxxxxxxx, dan Xxxxxxxxx (1997), Ningrum (2012), Aini dan Mahardayani (2012), Xxxx dan Xxxxxxxx (2013), Xxxxxx dan Xxxxx (2017) menjelaskan bahwa efikasi diri sebagai prediktor terhadap prokrastinasi akademik peserta didik.
Ujian lain yang dilakukan oleh Xxxxxxxx dan Xxxxxxxxxx (2011), Wijaya (2012), Wahyuni (2013), Etiafani & Listiara (2015), Wikarta (2016), Xxxxxxx dan Butar-butar (2017), Xxxxxxxxxx dan Fomina (2017), Variansyah dan Listiara (2017), Xxxxxxx dan Situmorang (2017), dan Suseno (2017) menemukan variabel lain dalam kaitannya dengan self-efficacy dan academic anxiety yang dimiliki oleh seorang individu. Ujian ini menemukan bahwa self-regulation di dalam diri individu menjadi mediator dalam hubungannya antara academic anxiety, self- efficacy, dan academic examination performance seorang peserta didik. Ujian lain yang dilakukan oleh Xxxxxxxx dan Alsa (2016) menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara academic anxiety (kecemasan akademik) dan integritas akademik pada siswa dalam menghadapi Ujian Nasional. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kecemasan akademik yang dirasakan oleh siswa maka semakin rendah pula integritas akademik yang dimiliki oleh siswa. Sebaliknya,
semakin rendah kecemasan akademik yang dirasakan oleh siswa maka semakin tinggi pula integritas akademik yang dimiliki oleh siswa. Kecenderungan ini muncul ketika siswa berada dalam keadaan tertekan seperti dalam persiapan menghadapi Ujian Nasional (UN). Dalam Ujian lain, kecemasan akademik dinilai memiliki hubungan negatif dengan prestasi belajar siswa. Selain itu, kecemasan akademik yang tinggi juga akan menimbulkan menurunnya motivasi belajar yang dimiliki oleh siswa dalam kegiatan akademik. Keadaan seperti ini akan berdampak buruk pada prestasi belajar yang diraih oleh siswa. Kecemasan merupakan salah satu emosi negatif yang dimunculkan siswa saat berada dalam kegiatan atau lingkungan akademik.
Academic anxiety (kecemasan akademik) merupakan salah satu gejala yang perlu direduksi agar tercipta suasana pembelajaran yang kondusif bagi para peserta didik. Salah satu cara untuk mereduksi academic anxiety ialah melalui proses konseling yang dapat dilakukan oleh konselor. Zarei, Xxxx, dan Khajehzadeh (2010) pernah melakukan Ujian untuk mereduksi academic anxiety peserta didik di University of Hormozgan ± Iran melalui konseling kelompok dengan menggunakan pendekatan konseling cognitive, namun hasil Ujiannya menunjukkan bahwa pendekatan konseling cognitive tidak berhasil mereduksi academic anxiety. Ujian lainnya juga pernah dilakukan oleh Xxxxxxxxxxx (2011) untuk mereduksi academic anxiety dengan menggunakan konseling kelompok
³systematic motivational counseling´ 60& QDPXQ sigKniDfikVanL. OQ\D NXU
Ujian yang dilakukan oleh Xxxxxxxx, Xxxx, XxXxxxx, Xxxxxxx, Xxxxx, dan Xxxxxxxx (2014) melakukan cara yang berbeda dengan menggunakan intervensi kreatif dalam konseling. Salah satu intervensi kreatif yang dapat dilakukan dalam proses konseling dengan menggunakan media musik. Musik dapat digunakan untuk membantu remaja memahami perkembangan emosi dan kognitif mereka. Individu dapat mendengarkan lagu dan bersantai, ataupun memainkan alat musik secara aktif. Melalui musik, konselor dapat membuat proses konseling menjadi lebih menarik dan efektif. Selanjutnya, Ujian lain yang dilakukan oleh XxXxxxxxx dan XxXxxxxxx (2006), Xxxxx dan Xxxxxxxx (2014), Xxxxxxx (2015), Xxxxxxxx- Xxxxxx (2016), xxx Xxxxxxxxx, K. S. (2016) membuktikan bahwa melalui aktivitas musik dan music therapy mampu meningkatkan self-efficacy individu. Dalam studi-studi tersebut, secara khusus didapatkan hasil bahwa melalui mendengarkan dan memainkan musik secara bersama-sama, dapat mempengaruhi self-belief terkait self-efficacy para individu yang melakukan aktivitas bersama. Adanya dorongan dari dalam diri dan dari orang lain dalam memainkan musik agar dapat terdengar secara harmonis, maka seseorang akan memiliki self-efficacy yang baik.
Senada dengan Ujian yang dilakukan oleh Xxxxxx (2014), Bastemur, Xxxxxx- Xxxxxx, Xxxxxx, dan Ucar (2016) yang menjelaskan bahwa ada beberapa alternatif terapi sebagai pendekatan baru dalam konseling yang dapat dilakukan oleh seorang konselor dalam membantu klien. Di antaranya ialah melalui art therapy, fairytale therapy, music therapy, cinematherapy, bibliotherapy,
integrative therapy, dan sand therapy. Ujian yang dilakukan oleh Xxxxxxx, Xxxxxxx, Xxxxxxxxx, Xxxx, xxx Xxxxx Xx. (2014), Arizona, Wibowo, dan Japar (2016), serta Sutisna dan Xxxxxx (2017) juga mengungkapkan bahwa ada beberapa teknik yang dapat membantu konselor dan klien dalam melakukan reframing ide, memfokuskan perspektif, eksternalisasi emosi, dan memperdalam pemahaman dari sebuah pengalaman atau masalah. Salah satunya ialah melalui musik. Penggunaan musik dalam proses konseling memiliki banyak manfaat yang terapeutik (Xxxxxxxx, 2007). Teknik mendengarkan musik dijelaskan bahwa dapat secara efektif membantu permasalahan yang dialami oleh anak-anak, remaja, dan orang dewasa. Konselor dapat membantu klien berhubungan dengan perasaan yang mereka alami seperti rasa bahagia, kepercayaan diri (self-confidence), dan keyakinan diri (self-efficacy). Metode musik ini dapat digunakan dalam proses konseling baik secara individual maupun kelompok.
Konseling kelompok secara empiris terbukti dalam membantu klien mengentaskan permasalahan yang dialami (Efastri, Wibowo, 2015; Xxx & Xxxxxxxxx, 2015; Wibawa, Sutoyo & Xxxxxx, 2015; Xxxxx, Xxxxxxxxx & Xxxxxxxx, 2016; Xxxxxxx, Purwanto & Xxxxxxx, 2016; Xxxxxxxxxx, Xxxxxxxx & Xxxxx, 2016; Xxxxxx, Xxxxxxxxx & Xxxxxxx, 2016; Xxxxxx, Xxxxxx & Xxxxx, 2017; Xxxxxx, Xxxxxxxxx & Xxxxxx, 2017; Xxxxxx, Xxxxxxxxx & Xxxxxxx, 2017; Xxx, Xxxxxx & Xxxxxxx, 2017; Xxxxxxxxx, Xxxxxxxxx & Xxxxxx, 2017; Xxxxxxx, Xxxxxxxx & Xxxxxx, 2017; Xxxxxx, Xxxxx & Xxxxxxx, 2017). Dalam praktiknya, konseling kelompok dapat menggunakan teknik passive music therapy dan active music
therapy untuk mereduksi kecemasan yang dialami oleh klien. Ujian eksperimen yang dilakukan oleh Xxxxxx dan Xxxxxx (2012) bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas terapi musik dalam meningkatkan harga diri remaja yang mengalami stres akademis. Ujian ini mengidentifikasi 30 remaja dengan harga diri yang rendah dan mengalami stres akademik yang tinggi. Terapi musik diberikan dalam jangka waktu 15 hari. Hasil menunjukkan bahwa terapi musik dapat meningkatkan self- esteem remaja, hal ini dapat dilihat dari skor self-esteem kelompok eksperimen yang tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Perbedaan yang signifikan juga ditemukan antara skor pra dan pasca-intervensi dari kelompok eksperimen sedangkan kelompok kontrol tidak menunjukkan perbedaan statistik antara pra dan skor pasca-intervensi.
Selain itu juga, Ujian yang dilakukan oleh Xxxxxxxxxx (2000), Xxxxxxx dan Hum (2011), Lidyansyah (2014), Suidah dan Cahyono (2016), Xxxxxx, Xxxxx dan Xxxxxxx (2017), Xxxxxxxxx (2017), Xxxxxxxxx dan Handayani (2017), Pramudhanti dan Xxxxxxx (2017) membuktikan bahwa musik memiliki efek yang positif bagi kehidupan manusia. Xxxxxx, Xxxxxxx, dan Xxxxxxxx (2014) menguji secara spesifik efektivitas musik untuk mereduksi kecemasan sebelum performance. Para responden dipisah menjadi dua kelompok, kelompok pertama diberikan musik yang tenang dan kelompok kedua diberikan musik yang keras selama 5 menit sebelum tes dilaksanakan. Tingkat kecemasan diukur melalui kuesioner, tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, dan denyut jantung. Dibandingkan dengan para responden yang mendengarkan musik keras, para
responden yang mendengarkan menenangkan memiliki tekanan darah sistolik lebih rendah, detak jantung yang lebih rendah, dan skor tes performance yang lebih tinggi. Hasil Ujian menunjukkan bahwa musik menenangkan bermanfaat untuk mereduksi kecemasan yang dialami oleh responden. Temuan dari Ujian ini menunjukkan bahwa musik yang menenangkan dapat mengurangi kecemasan, sedangkan musik yang serba cepat meningkatkan kadar ketegangan. Hal ini senada dengan hasil Ujian yang dilakukan oleh Xxxxxxxx (2012), Xxxxxxx dan Rohmah (2012).
Ujian eksperimental musik terapi juga pernah dilakukan oleh Xxxxxxx (2014). Ujian ini bertujuan untuk menguji efektivitas musik klasik Xxxxxx dalam mengurangi tingkat stres pada enam belas peserta didik yang sedang menulis Ujian. Ujian ini menggunakan pretest posttest control group design. Proses pemberian musik klasik Xxxxxx dilakukan di empat sesi selama 1 jam. Skor tingkat stres dianalisis untuk membandingkan hasil antara pretest dan posttest, setelah itu dianalisis menggunakan uji Xxxxxxxx. Hasil ini menunjukkan bahwa musik klasik Xxxxxx cukup efektif dalam mengurangi stres di kalangan peserta didik yang menulis Ujian. Hasil Ujian ini menunjukkan bahwa mendengarkan musik klasik Xxxxxx memberikan efek penurunan pada simptom stres peserta didik yang sedang mengerjakan Ujian. Hal ini juga didukung oleh data kualitatif yang dilaporkan subjek dalam lembar apresiasi, evaluasi, dan wawancara di mana penurunan tingkat stres yang dirasakan oleh subjek terjadi setelah mengikuti pelatihan mendengarkan musik klasik Xxxxxx. Mendengarkan musik klasik Xxxxxx
dapat mempengaruhi tubuh, pikiran dan emosi, sehingga dapat memberikan ketenangan dan kedamaian ketika aktivitas mental meningkat sekaligus dapat mengurangi tekanan akibat keadaan. Hal ini senada dengan hasil Ujian yang didapatkan oleh Xxxxxxx, Xxxxxxxxxxxx, dan Xxxxx (2013).
Kajian literatur yang ditulis oleh Xxxxxxxxx (2009), Iswandi (2015), dan Situmorang (2017a; 2017b) semakin membuktikan efek positif dari musik. Studi metaanalisis juga pernah dilakukan oleh Dewi (2015). Studi ini dilakukan terhadap 40 studi yang terdiri dari total sampel Ujian sebanyak 1.555 orang. Ujian ini menunjukkan bahwa musik dapat membantu dalam meningkatkan relaksasi pada situasi yang menimbulkan stres dengan nilai yang diperoleh 0,22. Analisis selanjutnya mencoba untuk melihat bagaimana peran musik pada aspekǦaspek stres yang meliputi aspek fisik, perilaku dan psikologis. Hasilnya menunjukkan bahwa musik mampu meningkatkan kualitas aspek fisik lebih baik dengan nilai yang diperoleh 0,39, begitu pula musik dapat meningkatkan kualitas aspek perilaku dan psikologis dengan nilai yang diperoleh 0,05 untuk aspek perilaku dan 0,23 untuk aspek psikologis. Dari hasil koreksi terhadap sampling pada studiǦstudi primer dapat disimpulkan bahwa musik dapat meningkatkan perasaan relaksasi pada situasi yang menimbulkan stres. Dengan kata lain musik dapat menurunkan stres, sehingga hipotesis yang menyatakan bahwa musik dapat menurunkan stres dapat diterima. Berdasarkan analisis tambahan juga didapatkan bahwa musik dapat memperbaiki kualitas aspek fisik, perilaku dan psikologis. Musik dapat
menurunkan stres karena musik berperan dalam menyeimbangkan gelombang otak. Semakin lambat gelombang otak, maka semakin santai, puas, dan timbulnya rasa damai dalam diri.
Ujian eksperimen juga pernah dilakukan oleh Xxxx, Xxxxxx, dan Newton (2015). Ujian ini bertujuan untuk menguji efektivitas terapi musik pasif dalam menurunkan kecemasan setelah makan terhadap para pasien yang mengidap anorexia nervosa. Hasil dari Ujian ini menunjukkan bahwa kelompok Ujian yang diberikan intervensi terapi musik secara efektif merasakan manfaat dalam mengurangi tingkat kecemasan, dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak diberikan terapi musik. Subyek Ujian dalam Ujian ini adalah para pasien rawat inap yang berusia rata-rata 22 tahun. Dalam Ujian ini juga diketahui bahwa musik adalah kegiatan menarik bagi kaum muda dan memotivasi para peserta untuk berpartisipasi dalam proses terapi. Para peserta mengakui bahwa mereka merasa terbantu dengan terapi musik, karena melalui terapi musik mereka dapat mengendalikan emosi mereka setelah makan, sehingga mencegah mereka untuk melakukan anorexia.
Hal tersebut didukung juga melalui Ujian yang dilakukan oleh Xxxxxx Xxxxxx dan Öztunç (2015). Ujian ini bertujuan untuk menguji efektivitas terapi musik untuk mengurangi kecemasan pada pasien yang berada di unit Intensive Care. Dalam Ujian ini ditunjukkan bahwa pasien yang diberikan terapi musik selama 30
± 60 menit per sesi, tingkat kecemasannya terbukti menurun. Ujian ini menemukan bahwa terapi musik dapat menurunkan denyut jantung dan
membuat nafas menjadi lebih teratur. Peneliti mengatakan bahwa terapi musik adalah sebuah bentuk intervensi yang tidak berbahaya dan murah. Ujian ini menemukan bahwa tingkat kenyamanan umum pasien meningkat setelah mereka mendengarkan musik. Ujian ini telah berhasil mengungkapkan bahwa musik mampu menciptakan perubahan yang signifikan dalam menurunkan kecemasan yang ditunjukkan melalui hasil analisis skala kecemasan, dan musik juga mampu meningkatkan tingkat kenyamanan pasien secara umum.
Ujian lainnya juga pernah dilakukan oleh Xxx dan XxXxxxxx (2015). Ujian ini bertujuan untuk menguji efektivitas terapi musik pasif dengan menggunakan The Bonny Method of Guided Imagery kepada para kaum profesional. Hasil Ujian menunjukkan adanya perkembangan aspek pribadi dan keterampilan profesional dari para responden. Mayoritas responden mengalami hasil positif dalam beragam bidang pertumbuhan pribadi dan profesional, termasuk memahami mengenai pentingnya kebutuhan untuk memelihara potensi diri sendiri dan memahami bagaimana emosi dapat mempengaruhi aspek kehidupan. Ujian ini merekomendasikan bahwa terapi pribadi dalam bentuk GIM untuk para kaum profesional dapat diterapkan.
Ujian yang sama pernah dilakukan oleh Xxxx, Xxxxxx, dan Gold (2015). Ujian ini bertujuan untuk menguji efektivitas dari terapi musik pasif dengan menggunakan metode guided imagery and music (GIM). Intervensi musik terapi ini dilakukan kepada para pekerja yang mengalami stres kerja dengan cara relaksasi dan mendengarkan musik. Efek positif ditunjukkan secara signifikan
setelah sembilan minggu dilakukannya proses intervensi. Meningkatnya kesejahteraan psikologis, berkurangnya gangguan mood, berkurangnya tingkat depresi, berkurangnya tingkat kecemasan, dan berkurangnya tekanan mental menjadi indikator keberhasilan terapi ini. Diperkuat juga dengan Ujian yang dilakukan oleh Xxxxxxxxx dan Xxxxxxxx (2015). Ujian ini bertujuan untuk merekomendasikan terapi musik sebagai salah satu metode yang dapat diterapkan untuk mengatasi generalized anxiety disorder. Para pasien direkomendasikan berdasarkan diagnosis yang sesuai dengan DSM-IV. Ujian ini menggunakan desain pretest dan posttest, dan menggunakan Beck Depression Inventory sebagai instrumen. Dari hasil uji statistik wilcoxon, menunjukkan adanya penurunan yang signifikan setelah diberikan intervensi musik terapi. Hasil menunjukkan bahwa terapi musik efektif dalam mengurangi tingkat kecemasan dan depresi pada pasien dengan generalized anxiety disorder.
Dalam proses konseling kelompok, pemberian intervensi active music therapy juga dapat dilakukan. Ujian yang dilakukan oleh Xxxxxxxx, Xxxxxxx, Xxxxxxx, xxx Xxxxxxxxx (2015) menunjukkan active music therapy dengan menggunakan lirik dapat secara efektif membantu proses konseling. Lirik dalam sebuah lagu memiliki peran penting dalam kehidupan banyak orang, termasuk kehidupan yang dialami oleh para klien. Ujian ini menjelaskan tentang cara lirik bisa digunakan untuk membantu klien menyampaikan perasaan sakit yang dialami untuk membantunya dalam proses penyembuhan (recovery). Lirik adalah kata-kata dari sebuah lagu. Terkadang terdiri dari kata-kata berima, kadang-
kadang tidak. Seringkali lirik bercerita. Biasanya lirik pada bagian reff adalah bagian utama dalam sebuah lagu. Terlepas dari suasana hati yang disampaikan, lirik membawa kembali kenangan, emosi, dan pikiran tertinggi dan terendah dari kehidupan seseorang yang mungkin tertidur atau terpendam. Dengan mendengarkan dan bahkan mengucapkan lirik lagu, klien dapat berbagi perasaan dengan konselor. Dengan demikian, ada sebuah proses katarsis yang terjadi dalam proses konseling melalui lirik lagu ini. Dengan perasaan yang dinyatakan dalam lirik akan membantu klien dalam menyadari bahwa mereka tidak sendirian dalam mengalami sakit seperti itu. Klien dapat menemukan beberapa penghiburan dan bahkan beberapa resolusi penuh makna, terutama jika mereka berbagi kata-kata dari lagu tersebut dengan konselor. Penyembuhan melalui lirik akan berdampak pada motivasi dan dapat secara instruktif klien dapat menemukan kebahagiaan dalam hidup mereka.
Dari hasil Ujian yang dilakukan, terapi musik aktif melalui lirik terbukti efektif dalam membantu klien menyelesaikan pengalaman kesedihan yang dialami oleh mereka. Dalam proses konseling, lirik dapat membantu klien dan konselor menemukan tujuan yang hendak dicapai. Lirik yang berfokus pada rasa sakit, sakit hati, dan kesedihan dapat membantu klien mengakui kesedihan yang dialami. Lirik yang berfokus pada pemulihan, recovery, atau penyembuhan dapat benar-benar membantu klien melihat berbagai kemungkinan dan membantu mereka untuk menyadari hal-hal positif yang dapat dilakukan untuk membantu mereka menyelesaikan masalah.
Ujian terhadap active music therapy juga pernah dilakukan oleh Xxxxxx (2016). Ujian ini bertujuan untuk menguji efektivitas terapi musik aktif dengan melakukan kegiatan musik improvisasi dengan alat musik dan bernyanyi dalam mereduksi kecemasan. Ujian ini menggunakan single subject design (SSD) kepada 16 orang responden yang mengalami kecemasan. Hasil Ujian menunjukkan bahwa setelah dilaksanakannya proses intervensi improvisasi instrumental dan vokal, gejala kecemasan peserta secara signifikan menurun pada minggu ke-6. Hasil Ujian juga mengungkapkan penurunan gejala kecemasan secara signifikan. Mungas dan Xxxxxxxxx (2014) juga pernah melakukan Ujian yang sama. Ujian yang dilakukan bertujuan untuk menguji dampak langsung dari intervensi terapi musik aktif dengan menggunakan drum berbasis kelompok tunggal. Hasil Ujian menunjukkan secara signifikan bahwa ada perbedaan antara hasil pretest dengan posttest. Kondisi eksperimental memiliki angka pengukuran posttest yang lebih tinggi dari pretest. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa terapi musik aktif menggunakan permainan drum efektif dalam membantu klien meningkatkan kemampuan afektifnya dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, Giovagnoli, Xxxxxxx, Xxxxxxxx, dan Raglio (2014) melakukan Ujian yang bertujuan untuk menguji efektivitas terapi musik aktif dalam meningkatkan kemampuan kognitif dan perilaku pada pasien yang mengalami chronic vascular encephalopathy. Ujian ini menggunakan desain single subject untuk menyelidiki perubahan kognitif dan perilaku yang berbeda setelah mendapatkan terapi musik aktif. Intervensi yang dilakukan selama empat bulan
dengan menggunakan terapi musik kreatif dan proses interaktif yaitu bermain musik. Enam belas sesi dilakukan bersamaan dengan terapi farmakologi. Hasil: pada awalnya pasien memiliki kecenderungan untuk mudah merasa tegang, gugup, dan marah. Tes neuropsikologi menunjukkan adanya defisit dalam kefasihan lisan, memori verbal yang pendek, memori spasial yang pendek, dan memiliki perhatian yang selektif. Setelah terapi musik aktif, profil kognitif meningkat secara signifikan dalam perhatian, koordinasi visuomotor, ingatan verbal, dan spasial.
Hal yang tidak kalah pentingnya ialah mengenai Ujian yang dilakukan oleh Xxxxxxxxx (2012). Ujian ini bertujuan untuk mengukur efektivitas dari sesi terapi musik aktif dengan menciptakan lagu, untuk meningkatkan motivasi dan kesiapan dalam pengobatan detoksifikasi. Ujian ini dilakukan kepada kelompok tunggal pasien yang akan diberikan detoksifikasi. Hasil Ujian menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara hasil pretest dan posttest dalam hal motivasi dan kesiapan untuk pengobatan. Dari hasil Ujian ini, dapat disimpulkan bahwa sesi terapi musik aktif dengan menciptakan lagu kelompok tunggal dapat menjadi intervensi yang efektif dalam meningkatkan motivasi dan kesiapan dalam pengobatan detoksifikasi.
Ujian lain mengkaji perbandingan antara pemberian passive music therapy dan active music therapy dalam proses konseling kelompok untuk mereduksi kecemasan. Ujian yang dilakukan oleh Xxxxx, Xxxxxx, dan Xxxxxx (2015) mengkaji bahwa terapi musik pasif dan aktif dapat mengatasi kecemasan dan depresi. Selama ini terapi yang dilakukan untuk mengatasi kedua hal tersebut
yaitu melalui musik terapi pasif dengan mendengarkan musik dan terapi musik aktif dengan memberikan kesempatan kepada peserta terapi untuk memainkan alat musik atau bernyanyi. Ujian mengeksploitasi efek terapi musik pasif pada orang tua yang mengalami demensia. Terbukti bahwa, terapi musik aktif dapat mengobati gangguan kecemasan dan depresi yang dialami oleh pasien. Peneliti mengukur tingkat rasa sakit dan kecemasan pasien (sebelum, setelah dan 30 menit setelah setiap pemberian terapi musik). Terapi musik menunjukkan bahwa dapat menurunkan rasa sakit dan kecemasan secara signifikan, sampai dengan 30 menit setelah sesi. Terapi musik berhasil meningkatkan kualitas hidup dari pasien sehingga memungkinkan para pasien untuk melakukan relaksasi, dan dapat melakukan interaksi yang baik dengan orang lain dengan berbicara dan mendengarkan.
Ujian lain dilakukan untuk menguji efektivitas terapi musik untuk mengatasi kecemasan dan depresi yang dialami oleh pasien yang mengalami aphasia. Para pasien diajak untuk mengekspresikan dirinya dengan menggunakan suara (bernyanyi) atau bermain instrumen. Aktivasi ini meningkatkan hormon endorphin dan serotonin yang dapat membuat pasien lebih merasa bahagia. Melalui irama, nada suara, intensitas, dan melodi dapat membantu pasien untuk pulih dan menemukan perasaan positif melalui kesenangan, dan mengembangkan kemampuan sosialnya.
Ujian yang dilakukan oleh Xxxxxxxxxxx, Xxxxxxxxxxxxxx, Poopityastaporn, dan Xxxxxxxx (2016) bertujuan untuk membandingkan efektivitas terapi musik
aktif dengan terapi musik pasif dalam mengobati pasien yang mengalami major depressive disorder. Hasil Ujian yang dihasilkan ialah pada 1 bulan, 3 bulan, dan 6 bulan, kedua kelompok terapi menunjukkan hasil statistik yang tidak signifikan jika dibandingkan dengan kelompok kontrol (yang diberikan treatment konseling kelompok). Pengurangan gejala major depressive disorder sedikit lebih besar pada kelompok terapi musik aktif dibandingkan dengan kelompok terapi musik pasif. Meskipun ada kecenderungan menuju yang hasil yang lebih baik pada laporan diri yang berkaitan dengan tingkat depresi dan kualitas hidup, perbedaan tersebut tidak signifikan secara statistik. Kesimpulan Ujian ini ialah terapi musik kelompok, baik yang melalui treatment musik aktif atau pun pasif, merupakan pilihan pengobatan yang menarik bagi pasien rawat jalan dengan majordepressive disorder. Kelompok terapi musik pasif dapat mencapai puncak efek terapi lebih cepat, tetapi kelompok terapi musik aktif memiliki efek puncak yang lebih tinggi. Terapi musik dalam konseling kelompok layak untuk dilakukan studi lebih lanjut secara lebih komprehensif.
Ujian lainnya juga pernah dilakukan oleh Xxxx (2013). Ujian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas antara bermain musik dengan mendengarkan musik untuk me-recovery para responden yang mengalami acute- stres. Ujian ini menginstruksikan 54 peserta untuk bermain 'Twinkle, Binar, Little Star" menggunakan aplikasi Smule Ocarina pada iPhone yang melibatkan mereka untuk meniup ke mikrofon iPhone dan menempatkan jari di layar untuk menghasilkan catatan yang berbeda (kelompok yang bermain musik) dan hanya
sekedar mendengarkan saja (kelompok yang mendengarkan musik). Satu minggu setelah menerima instruksi, peserta secara acak ditunjuk untuk dilakukan pengukuran. Kelompok peserta yang bermain musik menunjukkan penurunan yang signifikan dalam kadar kortisol dibandingkan dengan mereka yang hanya duduk dalam diam (kelompok yang mendengarkan musik). Namun, seperti yang diharapkan, peserta dalam kelompok yang mendengarkan musik menunjukkan penurunan yang signifikan juga dalam kadar kortisol walaupun tidak sebesar kelompok yang bermain musik.
Berdasarkan beberapa kajian pustaka Ujian terdahulu di atas, dapat dianalisis secara komprehensif bahwa terapi musik dapat secara efektif diterapkan dalam proses konseling kepada seorang individu maupun kelompok, melalui dua teknik, yaitu passive dan active music therapy. Hal tersebut didukung oleh hasil Ujian yang dilakukan oleh Xxxxxxxx et al. (2014), Bastemur et al. (2016), dan Xxxxxxx et al. (2014) yang menyatakan bahwa pentingnya intervensi kreatif dalam konseling. Salah satu intervensi kreatif yang dapat dilakukan dalam proses konseling ialah dengan menggunakan media musik yang dapat dilakukan dengan musik pasif maupun aktif. Melalui musik, konselor dapat membuat proses konseling menjadi lebih menarik dan efektif. Selain itu juga, penggunaan musik dalam proses konseling memiliki banyak manfaat yang terapeutik. Hal lain yang tidak kalah pentingnya ialah bahwa penerapan terapi musik dapat secara efektif mereduksi kecemasan dan meningkatkan self-efficacy yang dimiliki oleh seorang individu. Ujian yang pertama ialah mengenai penggunaan passive music
therapy yang terbukti secara efektif mereduksi kecemasan. Ujian yang dilakukan oleh Xxxxxx dan Xxxxxx (2012), Xxxxxx et al. (2014), Rosanty (2014), Xxxx (2015), Xxxx et al. (2015), Xxxxxx Xxxxxx dan Öztunç (2015), Xxxx et al. (2015), xxx Xxxxxxxxx & Xxxxxxxx (2015) di atas membuktikan bahwa terapi musik pasif dapat secara efektif mereduksi kecemasan. Ujian yang dilakukan oleh Xxxxxxxx- Xxxxxx (2016) menunjukkan bahwa melalui passive music therapy mampu meningkatkan self-efficacy individu.
Ujian berikutnya ialah mengenai penggunaan active music therapy. Ujian tersebut dilakukan oleh Xxxxxxxx et al. (2015), Zarate (2016), Xxxxxx dan Silverman (2014), Giovagnoliet al. (2014), xxx Xxxxxxxxx (2012). Ujian mereka berhasil membuktikan bahwa penggunaan active music therapy dapat secara efektif mereduksi kecemasan dan meningkatkan aspek-aspek positif yang dimiliki oleh seorang individu.
Ujian lain juga mengujicoba perbandingan efektivitas antara passive music therapy dan passive music therapy dalam satu Ujian yang sama. Ujian yang dilakukan oleh Xxxxx (2015) menyatakan bahwa terapi musik aktif lebih efektif dalam mengobati gangguan kecemasan dan depresi yang dialami oleh pasien. Hal tersebut senada dengan Ujian yang dilakukan oleh Xxxxxxxxxxx et al. (2016) yang menyatakan bahwa pengurangan gejala major depressive disorder sedikit lebih besar pada kelompok terapi musik aktif dibandingkan dengan kelompok terapi musik pasif. Selain itu juga, ada Ujian lainnya yang dilakukan oleh Xxxx (2013) yang menunjukkan bahwa kelompok peserta yang
bermain musik mengalami penurunan yang signifikan dalam kadar kortisol dibandingkan dengan mereka yang hanya duduk dalam diam (kelompok yang mendengarkan musik). Namun, seperti yang diharapkan, peserta dalam kelompok yang mendengarkan musik menunjukkan penurunan yang signifikan juga dalam kadar kortisol walaupun tidak sebesar kelompok yang bermain musik.
Menurut Xxxxxx, Xxxxxxxx, dan Bonde (2002), perkembangan music therapy di dunia dewasa ini dalam prakteknya banyak berpusat pada teori Behavior, yang secara spesifik lebih mengarah pada Cognitive Behavior Therapy (CBT). Ujian mutakhir mengenai music therapy yang berpusat pada teori CBT dalam pelaksanaan konseling telah banyak dilakukan, yaitu di antaranya Ujian yang dilakukan oleh Xxxxx et al. (2017), Xxxxx Xxxxxxx dan Xxxxx Xxxxxx, (2017), Xxxxxxx et al. (2016), Xxxxx-Xxxxxx et al. (2016), Xxxxxx (2015), Xxxxx (2015), Xxx-Xxx Xx et al. (2015), Xxxxxxxxxx dan Silverman (2014), Xxxxxx et al. (2007), Xxxxx, Xxxxxxxxx, dan Xxxxxx (2007). Konseling kelompok dengan pendekatan integrative approach (expressive therapies) yang berpusat pada teori pendekatan utama Cognitive Behavior Therapy (CBT), dengan menggunakan teknik passive dan active music therapy untuk mereduksi academic anxiety peserta didik terhadap Ujian adalah sebuah layanan bimbingan konseling yang diberikan untuk membantu para peserta didik terbebas dari kecemasannya dalam penyusunan tugas akhir dalam suasana kelompok. Pemberian layanan ini diharapkan mampu untuk menciptakan sebuah kondisi yang memungkinkan setiap anggota kelompok untuk dapat berbagi pengalaman dalam menghadapi kondisi kecemasan yang dialami
akibat self-efficacy yang rendah, serta memperoleh penguatan untuk menghadapi
academic anxiety tersebut.
Namun, sejauh ini Ujian yang secara spesifik meneliti tentang perbandingan efektivitas antara passive dan active music therapy yang dilakukan dalam layanan konseling kelompok pendidikan belum ada, khususnya secara spesifik untuk mereduksi academic anxiety dan meningkatkan self-efficacy yang dimiliki oleh peserta didik penyusun Ujian. Ujian ini diharapkan mampu menjawab kelemahan Ujian yang telah dilakukan oleh Xxxxx, Xxxx, dan Khajehzadeh (2010) yang membandingkan efektivitas antara tiga jenis pendekatan yaitu, behavioral, cognitive, dan cognitive-behavioral dalam mereduksi academic anxiety peserta didik melalui konseling kelompok. Dari hasil penelitan tersebut menunjukkan bahwa pendekatan konseling cognitive tidak berhasil mereduksi academic anxiety dibandingkan dengan pendekatan behavioral, dan cognitive- behavioral. Hal ini dikarenakan konseling dengan pendekatan cognitive hanya berfokus pada perubahan dalam aspek kognitif saja, tanpa melihat efek dari emosi dan perilaku yang ditampilkan akibat academic anxiety. Selain itu juga, Ujian yang akan dilakukan ini ialah sebagai respon dari hasil Ujian pernah dilakukan oleh
*KDVHP]DGHK GHQJDQ PHsQysJtemJaXticQDNDQ N
motivational counseling´ M C6), yang menunjukkan hasil yang kurang signifikan dalam mereduksi academic anxiety. Terakhir, Ujian ini juga merupakan sebagai tindak lanjut dari Ujian yang telah dilakukan oleh Xxxxxxx (2014). Dari hasil Ujian tersebut, musik dapat digunakan sebagai intervensi untuk
menurunkan academic anxiety yang dialami oleh peserta didik yang sedang menyusun Ujian. Namun, Ujian ini hanya membuktikan penggunaan musik Xxxxxx sebagai passive music therapy (terapi musik pasif) saja, dan belum mengkaji tentang pemberian musik dalam teknik active music therapy (terapi musik aktif). Hal inilah yang menjadi dasar dalam Ujian lanjutan yang diharapkan mampu memberikan mozaik baru dalam Ujian-Ujian relevan yang sudah pernah dilakukan sebelumnya.
B. Kerangka Teoretis
1. Anxiety
Pada bagian ini, anxiety yang dimaksud meliputi (1) definisi anxiety; (2) gejala- gejala anxiety; (3) tingkat anxiety; dan (4) ciri-ciri gangguan anxiety. Adapun penjelasannya sebagai ialah berikut:
1. Definisi Anxiety
Kecemasan atau dalam bahasa Inggris ialah ³anxiety”, berasal dari bahasa Latin “angustus” yang berarti kaku, dan “ango, anci” yang berarti mencekik. Kecemasan merupakan manifestasi dari berbagai proses emosi yang bercampur baur yang dimiliki individu. Menurut Xxxxx (dalam Alwisol, 2014) mengatakan bahwa kecemasan adalah fungsi ego untuk memperingatkan individu tentang kemungkinan datangnya suatu bahaya sehingga dapat disiapkan reaksi adaptif yang sesuai. Kecemasan berfungsi sebagai mekanisme yang melindungi ego karena kecemasan memberi sinyal
kepada kita bahwa ada bahaya dan kalau tidak dilakukan tindakan yang tepat maka bahaya itu akan meningkat sampai ego dikalahkan. Kecemasan adalah suatu keadaan yang memotivasi individu untuk berbuat sesuatu. Fungsi kecemasan adalah untuk memperingatkan adanya ancaman bahaya, yakni sinyal dari ego yang akan terus meningkat jika tindakan-tindakan yang layak untuk mengatasi ancaman tidak diambil. Apabila tidak bisa mengendalikan kecemasan melalui cara-cara rasional dan cara-cara langsung, maka ego akan mengandalkan cara-cara yang tidak realistik, yakni perilaku yang berorientasi pada pertahanan ego atau defence mechanism (Xxxxx dalam Xxxxx, 2013).
Kecemasan adalah suatu perasaan takut yang tidak menyenangkan yang disertai dengan meningkatnya ketegangan fisiologis, suatu dorongan yang menjadi perantara antara situasi yang mengancam dan perilaku menghindar. Kecemasan dapat diukur dengan self report, dengan mengukur ketegangan fisiologis dan dengan perilaku yang tampak (Xxxxxxx, 2005). Dinyatakan juga oleh Xxxxxxx (2005) bahwa anxiety atau kecemasan adalah suatu keadaan aprehensi atau keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi.
2. Gejala-gejala Anxiety
Anxiety atau kecemasan merupakan suatu perasaan yang tidak menyenangkan dan suatu rasa cemas yang mencengkam, keadaan khawatir akan masa depan atau akan terjadi sesuatu yang tidak diharapkan atau adanya pertentangan dalam diri sehingga rasa cemas itu akan mencengkam dengan
menimbulkan reaksi fisik yang juga akan mengganggu. Menurut Xxxxx (2000), dalam mengenali gejala kecemasan dapat ditinjau melalui tiga komponen, yaitu:
1. Komponen psikologis adalah reaksi yang tampak pada gejala-gejala psikologis berupa kegelisahan, gugup, tegang, cemas, rasa tidak aman, takut, cepat terkejut.
2. Komponen fisiologis yaitu tubuh terutama pada organ-organ berupa jantung berdebar, keringat dingin pada telapak tangan, tekanan darah meninggi (mudah emosi), sentuhan dari luar berkurang, gerakan peristaltik bertambah, gejala fisik (otot), gejala sensorik, gejala respiratori, gejala gastrointertinal, gejala urogenital.
3. Komponen sosial yaitu sebuah perilaku yang ditunjukkan oleh individu di lingkungannya. Perilaku itu dapat berupa: tingkah laku (sikap) dan gangguan tidur.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada saat mengalami kecemasan seseorang dapat mengalami tiga reaksi yaitu berubahnya keadaan psikologis, fisiologis, dan keadaan sosial sehingga menyebabkan perilakunya tidak efektif.
3. Tingkat Anxiety
Gejala anxiety atau kecemasan ada dalam bermacam-macam bentuk dan kompleksitasnya, namun biasanya cukup mudah dikenali. Seseorang yang mengalami kecemasan cenderung untuk terus menerus merasa khawatir akan
keadaan yang buruk yang akan menimpa dirinya atau diri orang lain yang dikenalnya dengan baik. Xxxxxx & Xxxxxxx (1995) membagi kecemasan menjadi 4 tingkatan yaitu:
1. Kecemasan Ringan
Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan akan peristiwa kehidupan sehari-hari. Pada tingkat ini lahan persepsi melebar dan individu akan berhati-hati dan waspada. Individu terdorong untuk belajar yang akan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas. Respon fisiologis: sesekali nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, gejala ringan pada lambung, muka berkerut dan bibir bergetar. Respon kognitif: mampu menerima rangsangan yang kompleks, konsentrasi pada masalah, menyelesaikan masalah secara efektif. Respon perilaku dan emosi: tidak dapat duduk tenang, tremor halus pada tangan, suara kadang-kadang meninggi.
2. Kecemasan sedang
Pada tingkat ini lahan persepsi terhadap lingkungan menurun/individu lebih memfokuskan pada hal penting saat itu dan mengesampingkan hal lain. Respon fisiologis: sering nafas pendek, tekanan darah naik, mulut kering, diare/konstipasi, gelisah. Respon kognitif: rangsangan luar tidak mampu diterima, berfokus pada apa yang menjadi perhatiannya. Respon perilaku dan emosi: gerakan tersentak-sentak (meremas tangan) bicara banyak dan lebih cepat, perasaan tidak nyaman.
3. Kecemasan berat
Pada kecemasan berat lahan persepsi menjadi sempit. Individu cenderung memikirkan hal yang kecil saja dan mengabaikan hal-hal yang lain. Individu tidak mampu berfikir berat lagi dan membutuhkan banyak pengarahan/tuntutan. Respon fisiologis: sering bernafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, berkeringat dan sakit kepala, penglihatan kabur. Respon kognitif: lapang persepsi sangat menyempit, tidak mampu menyelesaikan masalah. Respon perilaku dan emosi: perasaan ancaman meningkat, verbalisasi cepat, blocking.
4. Panik
Pada tingkat ini persepsi sudah terganggu sehingga individu sudah tidak dapat mengendalikan diri lagi dan tidak dapat melakukan apa-apa walaupun sudah diberi pengarahan/tuntunan. Respon fisiologis: nafas pendek, rasa tercekik dan berdebar, sakit dada, pucat, hipotensi, tidak dapat menahan buang air kecil. Respon kognitif: tidak dapat berfikir lagi. Respon perilaku dan emosi: mengamuk dan marah, ketakutan, berteriak- teriak, blocking, persepsi kacau.
Berdasarkan kajian di atas, tingkat anxiety (kecemasan) yang menjadi fokus dalam Ujian ini ialah kecemasan yang berat.
4. Ciri-ciri Gangguan Anxiety
Menurut Xxxxxxx (2005), kecemasan terdiri dari begitu banyak ciri fisik, kognisi, dan perilaku seperti:
1. Ciri-ciri fisik dari anxiety
Kegelisahan, kegugupan, tangan atau anggota tubuh bergetar atau gemetar, sensasi dari pita ketat yang mengikat di sekitar dahi, kekencangan pada pori-pori kulit perut atau dahi, banyak keringat, telapak tangan berkeringat, pening atau pingsan, mulut atau kerongkongan terasa kering, sulit berbicara, sulit bernafas, bernafas pendek, jantung berdebar keras atau berdetak kencang, suara yang bergetar, jari-jari atau anggota tubuh yang menjadi dingin, pusing, merasa lemas atau mati rasa, sulit menelan, kerongkongan terasa tersekat, leher atau punggung terasa kaku, sensasi seperti tercekik atau tertahan, tangan yang dingin dan lembab, terdapat gangguan sakit perut atau mual, panas dingin, sering buang air kecil, wajah terasa memerah, diare, merasa sensitif atau mudah marah.
2. Ciri-ciri kognisi dari anxiety
Khawatir tentang sesuatu, perasaan terganggu akan ketakutan atau aprehensi terhadap sesuatu yang terjadi di masa depan, keyakinan bahwa sesuatu yang mengerikan akan segera terjadi, tanpa ada penjelasan yang jelas, terpaku pada sensasi kebutuhan, sangat waspada terhadap sensasi kebutuhan, merasa terancam oleh orang atau peristiwa yang normalnya hanya sedikit atau tidak mendapat perhatian, ketakutan akan kehilangan kontrol, ketakutan akan ketidakmampuan untuk mengatasi masalah, berpikir bahwa dunia mengalami keruntuhan,
berpikir bahwa semuanya tidak lagi bisa dikendalikan, berpikir bahwa semuanya terasa sangat membingungkan tanpa bisa diatasi, khawatir terhadap hal-hal sepele, berpikir tentang hal mengganggu yang sama berulang-ulang, berpikir harus bisa lari dari keramaian, kalau tidak pasti akan pingsan, pikiran terasa bercampur aduk atau kebingungan, tidak mampu menghilangkan pikiran-pikiran terganggu, berpikir akan segera mati, meskipun dokter tidak menemukan sesuatu yang salah secara medis, khawatir akan ditinggal sendirian, sulit berkonsentrasi atau memfokuskan pikiran.
3. Ciri-ciri perilaku dari anxiety
Perilaku menghindar, melekat / dependen, dan terguncang.
Berdasarkan kajian di atas, ciri-ciri gangguan anxiety (kecemasan) yang menjadi fokus dalam Ujian ini ialah meliputi ciri-ciri fisik, kognisi, dan perilaku.
2. Academic Anxiety
Pada bagian ini, academic anxiety yang dimaksud meliputi (1) definisi academic anxiety; dan (2) karakteristik academic anxiety. Adapun penjelasannya ialah sebagai berikut:
1. Definisi Academic Anxiety
Menurut Cornell University (2007), academic anxiety atau kecemasan akademik adalah hasil dari proses biokimia dalam tubuh dan otak yang meningkat dan membutuhkan perhatian. Perubahan terjadi dalam respon
terhadap situasi akademik, seperti menyelesaikan tugas-tugas di sekolah/universitas, diskusi di kelas atau ketika ujian. Ketika kecemasan meningkat, tubuh akan memberikan reaksi atau respon untuk menolak atau memperjuangkannya. Menurut Xxxxxx (1991), academic anxiety atau kecemasan akademik adalah kondisi yang ditimbulkan oleh adanya perasaan cemas yang berlebihan dengan berbagai tugas akademis yang ada di dalam institusi pendidikan. Ketika kecemasan yang dirasakan oleh peserta didik berlebihan maka akan berpengaruh secara negatif karena peserta didik mengalami tekanan psikologis, sehingga peserta didik tersebut mendapatkan hasil belajar yang kurang baik dan lebih banyak menghindari tugas. Hal ini disebabkan oleh penurunan rentang perhatian, konsentrasi dan memori pada peserta didik. Namun di sisi lain, kecemasan memiliki pengaruh yang positif terhadap peserta didik karena dapat memotivasi peserta didik untuk menyelesaikan berbagai tugas akademisnya.
Lebih lanjut, Xxxxxx (1991) dan Cornell University (2007) menjelaskan mengenai hubungan antara anxiety dengan performance peserta didik dalam lingkup pendidikan. Jika semakin low (rendah) level of anxiety seorang peserta didik, maka akan semakin low (rendah) juga level of performancenya dalam pencapaian akademik. Selain itu juga, jika semakin high (tinggi) level of anxiety seorang peserta didik, maka akan semakin low (rendah) juga level of performancenya dalam pencapaian akademik. Namun, jika seorang peserta didik memiliki level of anxiety yang wajar atau
mengarah pada level middle akan cenderung memiliki level of performance yang high (tinggi). Hal ini yang membuktikan bahwa kecemasan memiliki pengaruh yang positif terhadap peserta didik karena dapat memotivasi peserta didik untuk menyelesaikan berbagai tugas akademisnya.
(Ottens, 1991 dan Cornell University, 2007)
Gambar 2.1 Hubungan antara Academic Anxiety dan Performance
Peserta didik
2. Karakteristik Academic Anxiety
Ottens (1991) menyatakan bahwa academic anxiety atau kecemasan akademik adalah masalah penting yang akan mempengaruhi sejumlah besar peserta didik. Terdapat empat karakteristik kecemasan akademik, yaitu:
1. Pola kecemasan yang menimbulkan aktivitas mental (patterns of anxiety-engendering mental activity):
Individu menunjukkan pikiran, persepsi, dan pandangan yang mengarah pada kesulitan akademik yang akan dihadapi. Hal ini melibatkan tiga aktivitas mental. Pertama dan yang terpenting adalah kekhawatiran. Individu sering merasa tidak aman dengan menganggap semua yang dilakukannya salah. Kedua, kecemasan akademik disebabkan karena self-dialog yang maladaptif. Self-dialog pada individu yang mengalami kecemasan akademik sering ditandai dengan kritik diri (self-critism) yang keras, menyalahkan diri, dan kepanikan berbicara pada diri sendiri (self-talk) yang mengakibatkan timbulnya perasaan cemas dan berkontribusi merendahkan kepercayaan diri dan mengacaukan individu dalam pemecahan masalah. Ketiga adalah rendahnya self-efficacy (keyakinan diri) individu. Individu memiliki keyakinan yang salah tentang isu-isu penting yang dapat menyebabkan munculnya kecemasan akademik, seperti bagaimana menetapkan nilai dalam diri, bagaimana cara memotivasi diri, dan bagaimana cara mengatasi kecemasan.
2. Perhatian yang menunjukkan arah yang salah (misdirected attention):
Ini merupakan masalah besar dalam kecemasan akademik. Pada umumnya individu diharapkan dapat berkonsentrasi penuh pada tugas- tugas akademik, seperti membaca buku, ujian, dan mengerjakan tugas rumah. Akan tetapi, individu yang mengalami kecemasan akademik membiarkan perhatian mereka teralihkan. Perhatian dapat dialihkan
melalui faktor eksternal (perilaku peserta didik lain, jam, suara-suara bising), atau faktor internal (kecemasan, melamun, dan reaksi fisik).
3. Distres secara fisik (physiological distres):
Banyak perubahan pada tubuh diasosiakan dengan emosi dari kecemasan menjadi terganggu jika diinterpretasikan sebagai hal yang berbahaya atau menjadi fokus utama dari perhatian selama tugas akademik berlangsung.
4. Perilaku yang kurang tepat (innappropriate behaviors):
Individu yang mengalami kecemasan akademik memilih perilaku yang mengarah pada situasi akademis yang tidak tepat. Menghindar (prokrastinasi) adalah hal yang umum dijumpai, seperti menghindar dari melaksanakan tugas (berbicara dengan teman ketika sedang belajar). Individu yang cemas juga menjawab pertanyaan ujian dengan terburu- buru atau terlalu teliti untuk menghindari kesalahan dalam ujian. Tindakan lain yang tidak tepat adalah memaksakan diri ketika dalam waktu bersantai (relax).
3. Self-Efficacy
Pada bagian ini, self-efficacy yang dimaksud meliputi (1) definisi self- efficacy; (2) faktor-faktor yang mempengaruhi self-efficacy; dan (3) aspek- aspek self-efficacy. Adapun penjelasannya ialah sebagai berikut:
1. Definisi Self-Efficacy
Menurut Bandura (1986), self-efficacy adalah penilaian seseorang
terhadap kemampuannya untuk menyusun tindakan yang dibutuhkan dalam menyelesaikan tugas-tugas khusus yang dihadapi. Self-efficacy tidak berkaitan langsung dengan kecakapan yang dimiliki individu, melainkan pada penilaian diri tentang apa yang dapat dilakukan, tanpa terkait dengan kecakapan yang dimiliki. Di samping itu, Xxxxxxx (2005) mendefinisikan self-efficacy sebagai perasaan kita terhadap kecukupan, efisiensi, dan kemampuan kita dalam mengatasi kehidupan. Baron xxx Xxxxx (dalam Ghufron & Xxxx, 2010) mendefinisikan self-efficacy sebagai evaluasi seseorang mengenai kemampuan atau kompetensi dirinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan, dan mengatasi hambatan.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa self- efficacy merupakan keyakinan atau kepercayaan individu terhadap kemampuan yang dimilikinya dalam melaksanakan dan menyelesaikan tugas-tugas yang ia hadapi, sehingga mampu mengatasi rintangan dan mencapai tujuan yang diharapkannya.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Self-Efficacy
Bandura (1986) mengemukakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi self-efficacy seseorang, yakni:
1. Pencapaian kinerja (performance attainment)
Hasil yang diharapkan secara nyata merupakan sumber penting tentang informasi self-efficacy karena didasari oleh pengalaman otentik yang telah dikuasai (Xxxxxxx, Xxxx, & Xxxxx; Biran & Xxxxxx; Xxxxx,
Xxxxxxx, & Reader, dalam Bandura, 1986). Keberhasilan yang diperoleh akan membawa seorang pada tingkat self-efficacy yang lebih tinggi, sedangkan kegagalan akan merendahkan self-efficacy, terutama jika kegagalan tersebut terjadi pada awal pengerjaan tugas dan bukan disebabkan oleh kurangnya usaha atau juga karena hambatan dari faktor eksternal. Keberhasilan yang terjadi karena bantuan dari faktor eksternal atau keberhasilan yang dicapai dianggap bukan sebagai hasil dari kemampuan sendiri tidak terlalu memberikan pengaruh terhadap peningkatan self-efficacy. Besarnya nilai yang diberikan dari pengalaman baru tergantung pada sifat dan kekuatan dari persepsi diri yang ada sebelumnya. Setelah self-efficacy terbentuk karena keberhasilan yang berulang, kegagalan yang muncul terhadap kemampuannya.
2. Pengalaman orang lain (vicarious experience)
Self-efficacy dapat juga dipengaruhi karena pengalaman orang lain. Individu yang melihat atau mengamati orang lain yang mencapai keberhasilan dapat menimbulkan persepsi self-efficacy-nya. Dengan melihat keberhasilan orang lain, individu dapat meyakinkan dirinya bahwa ia juga bisa untuk mencapai hal yang sama dengan orang yang ia amati. Ia juga meyakinkan dirinya bahwa jika orang lain dapat melakukannya, ia juga harus dapat melakukannya. Jika seseorang melihat bahwa orang lain yang memiliki kemampuan yang sama ternyata gagal meskipun ia telah berusaha dengan keras, maka dapat menurunkan
penilaiannya terhadap kemampuan dia sendiri dan juga akan mengurangi usaha yang akan dilakukan (Brown & Inonye dalam Bandura, 1986).
Ada kondisi-kondisi di mana penilaian terhadap self-efficacy khususnya sensitif pada informasi dari orang lain. Pertama adalah ketidakpastian mengenai kemampuan yang dimiliki individu. Self- efficacy dapat diubah melalui pengaruh modeling yang relevan ketika seseorang memiliki sedikit pengalaman sebagai dasar penilaian kemampuannya. Karena pengetahuan yang dimiliki tentang kemampuan diri sendiri sangat terbatas, maka individu tersebut lebih bergantung pada indikator yang dicontohkan (Tataka & Tataka dalam Bandura, 1986). Kedua adalah penilaian self-efficacy selalu berdasarkan kriteria di mana kemampuan dievaluasi (Festinger; Suls & Xxxxxx dalam Bandura, 1986). Kegiatan yang dapat memberikan informasi eksternal mengenai tingkat kinerja dijadikan dasar untuk menilai kemampuan seseorang. Tetapi sebagian besar kinerja tidak memberikan informasi yang cukup memenuhi, sehingga penilaian self-efficacy diukur melalui membandingkannya dengan kinerja dari orang lain (Bandura, 1986).
3. Persuasi verbal (verbal persuasion)
Persuasi verbal digunakan untuk memberikan keyakinan kepada seseorang bahwa ia memiliki suatu kemampuan yang memadai untuk mencapai apa yang diinginkan. Seseorang yang berhasil diyakinkan secara verbal akan menunjukkan suatu usaha yang lebih keras jika
dibandingkan dengan individu yang memiliki keraguan dan hanya memikirkan kekurangan diri ketika menghadapi suatu kesulitan. Namun, peningkatan keyakinan individu yang tidak realistis mengenai kemampuan diri hanya akan menemui kegagalan. Hal ini dapat menghilangkan kepercayaan self-efficacy orang yang dipersuasi.
4. Keadaan dan reaksi psikologis (physicological state).
Seseorang menjadikan keadaan fisiologisnya sebagai sumber informasi untuk memberikan penilaian terhadap kemampuan dirinya. Individu merasa gejala-gejala somatik atau ketegangan yang timbul dalam situasi yang menekan sebagai pertanda bahwa ia tidak dapat untuk menguasai keadaan atau mengalami kegagalan dan hal ini dapat menurunkan kinerjanya. Dalam kegiatan yang membutuhkan kekuatan dan stamina tubuh, seseorang merasa bahwa keletihan dan rasa sakit yang ia alami merupakan tanda-tanda kelemahan fisik dan hal ini menurunkan keyakinan akan kemampuan fisiknya.
3. Aspek-aspek Self-Efficacy
Menurut Xxxxxxx (1997), keyakinan akan kemampuan diri individu dapat bervariasi pada masing-masing dimensi. Dimensi-dimensi tersebut yaitu:
1. Tingkat (level) / magnitude
Dimensi ini berkaitan dengan derajat kesulitan tugas di mana individu merasa mampu atau tidak untuk melakukannya, sebab kemampuan diri
individu berbeda-beda. Konsep dalam dimensi ini terletak pada keyakinan individu atas kemampuannya terhadap tingkat kesulitan tugas. Jika individu dihadapkan pada tugas-tugas yang disusun menurut tingkat kesulitannya, maka keyakinan individu akan terbatas pada tugas-tugas yang mudah, kemudian sedang, hingga tugas-tugas yang paling sulit, sesuai dengan batas kemampuan yang dirasakan untuk memenuhi tuntutan perilaku yang dibutuhkan pada masing-masing tingkat. Individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi cenderung memilih tugas yang tingkat kesukarannya sesuai dengan kemampuannya.
2. Kekuatan (strength)
Dimensi ini lebih menekankan pada tingkat kekuatan atau kemantapan individu terhadap keyakinannya. Self-efficacy menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan individu akan memberikan hasil yang sesuai dengan yang diharapkan individu. Self-efficacy menjadi dasar bagi dirinya melakukan usaha yang keras, bahkan ketika menemui hambatan sekalipun. Orang yang memiliki keyakinan yang kuat akan bertekun pada usahanya, meskipun pada tantangan yang sulit, tidak mudah merasa putus asa terhadap rintangan yang dialami. Dimensi ini mencakup pada derajat kemantapan individu terhadap keyakinannya. Kemantapan inilah yang menentukan ketahanan dan keuletan individu.
3. Keluasan (Generality)
Dimensi ini berkaitan dengan keyakinan individu akan
kemampuannya melaksanakan tugas di berbagai aktivitas. Aktivitas yang bervariasi menuntut individu yakin atas kemampuannya dalam melaksanakan tugas atau aktivitas tersebut, apakah individu merasa yakin atau tidak. Dengan semakin banyak self-efficacy yang dapat diterapkan pada berbagai kondisi maka semakin tinggi self-efficacy seseorang. Individu dengan self-efficacy yang tinggi akan mampu menguasai beberapa bidang sekaligus untuk menyelesaikan suatu tugas. Individu yang memiliki self-efficacy yang rendah hanya menguasai sedikit bidang yang diperlukan dalam menyelesaikan suatu tugas. Individu mungkin yakin akan kemampuannya pada banyak bidang atau hanya beberapa bidang tertentu, misalnya seorang peserta didik yakin akan kemampuannya pada mata kuliah statistik tetapi ia tidak yakin akan kemampuannya pada mata kuliah bahasa inggris, atau seseorang yang ingin melakukan diet, yakin akan kemampuannya dapat menjalankan olahraga secara rutin, namun ia tidak yakin akan kemampuannya mengurangi nafsu makan, itulah mengapa dietnya tidak berhasil.
4. Konseling Kelompok
1. Definisi Konseling Kelompok
Konseling kelompok adalah bagian dari proses pendidikan yang teratur dan sistematis yang terwujud dalam suatu proses pemberian bantuan
yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli yang disebut konselor kepada individu yang sedang mengalami suatu masalah pada akhirnya individu atau klien itu dapat mengatasi masalah yang dihadapinya. Proses bantuan itu melalui kegiatan dinamika kelompok (Prayitno, 2013).
Menurut Xxxxxx dan Xxxxxxxx (2011) konseling kelompok adalah proses interpersonal yang dipimpin oleh konselor yang terlatih secara profesional dan dilaksanakan dengan individu-individu yang sedang menghadapi problem-problem perkembangan khusus. Hal itu berfokus pada pikiran, perasaan, sikap, nilai, tujuan tingkah laku dan tujuan individu dan grup secara keseluruhan. Konseling kelompok merupakan sebuah layanan bantuan yang dalam pelaksanaannya membutuhkan sebuah dinamika, sedangkan dinamika akan tercipta apabila hubungan interpersonal di dalam kelompok dapat berjalan dengan baik.
Lebih lanjut, Wibowo (2005) mengatakan bahwa konseling kelompok adalah suatu proses interpersonal yang dinamis yang menitikberatkan (memusatkan) pada kesadaran berpikir dan tingkah laku, melibatkan fungsi terapeutik, berorientasi pada kenyamanan, ada rasa saling percaya mempercayai, ada pengertian, penerimaan dan bantuan. Serupa dengan pendapat Winkel dan Hastuti (2011), konseling kelompok yaitu suatu proses antarpribadi yang dinamis, yang terpusat pada pemikiran dan perilaku yang disadari.
Xxxxx (2012) memberi pengertian konseling kelompok adalah sebuah proses interpersonal yang dinamis yang terfokus pada kesadaran, pikiran dan perilaku yang berguna sebagai fungsi terapi, pemahaman yang benar, pelepasan (katarsis), membangun kepercayaan saling peduli, saling memahami, saling menerima, dan saling mendukung. Xxxxxxxx (2012) menyatakan bahwa kerja kelompok itu dapat saling membantu apa yang menjadi kebutuhan mereka. Di sana ada proses dinamika, saling mengubah saling menghargai, saling menyembuhkan, dan mempromosikan. Dengan kata lain kerja kelompok itu dapat menjadi wahana pengembangan diri ke arah keterampilan hidup (life skill) yang baik. Nilai-nilai yang tumbuh dalam kerja kelompok juga sejalan dengan nilai-nilai yang ingin diperoleh dari kegiatan layanan konseling kelompok.
Selanjutnya, menurut Xxxxx (2010) konseling kelompok membantu para anggota mengurangi dampak dari keyakinan negatif dan mengembangkan pengalaman hidup saat ini yang lebih bermanfaat. Dalam prosesnya, akan ada penciptaan keyakinan positif berdasarkan pengalaman nyata dari perasaan dicintai dari sesama anggota kelompok.
Menurut Xxxxxxxxx dan Xxxxxx (2009) konseling kelompok sangat membantu dalam membantu anggota kelompok dalam menempatkan struktur informasi yang membingungkan dalam konteks dan menyediakan kerangka kerja untuk mengatur dan menggunakan informasi tersebut. Berdasarkan hal tersebut, konseling kelompok terlepas dari teori orientasi
atau pengalaman mereka, bisa mendapatkan keuntungan yang diperoleh dari pengetahuan tentang bagaimana kelompok berkembang dan belajar keterampilan yang dibutuhkan untuk efek perubahan dari sudut pandang perkembangan.
Layanan konseling kelompok memungkinkan sejumlah anggota kelompok yang secara bersama-sama memperoleh berbagai informasi dari nara sumber yaitu guru pembimbing, serta informasi dari teman-teman anggota kelompoknya yang berguna untuk menunjang kehidupan sehari- hari, baik sebagai individu maupun sebagai anggota kelompok, yang pada akhirnya ia dapat mengambil keputusan sendiri.
Layanan konseling kelompok dan bimbingan kelompok memang hampir sama. Bedanya hanya terletak pada muatan materi yang didukungnya. Pada konseling kelompok materi yang didukungnya bersifat individual, sedangkan topik pada bimbingan kelompok bersifat umum. Prayitno (2013) mencirikan kelompok sebagai berikut: (1) adanya interaksi di antara orang-orang dalam kumpulan itu, (2) adanya ikatan emosional sebagai pernyataan kebersamaan, (3) ada tujuan bersama yang ingin dicapai, (4) adanya kepatuhan terhadap pimpinan, (5) adanya norma yang harus ditaati bersama.
Dapat disimpulkan bahwa konseling kelompok merupakan layanan bantuan yang diberikan kepada konseli yang dilaksanakan dalam suasana kelompok, dan dipimpin oleh seseorang yang disebut pemimpin kelompok.
Dalam konseling kelompok terdapat dinamika kelompok yang sangat bermanfaat untuk membantu dalam mengentaskan masalah anggota kelompok.
2. Tujuan Konseling Kelompok
Setiap layanan yang dilaksanakan selalu memiliki tujuan yang akan dicapai, begitu pula dengan konseling kelompok. Adapun tujuan konseling kelompok menurut Xxxxxx (2005) adalah pengembangan diri, pembahasan dan pemecahan masalah pribadi yang dialami oleh masing- masing anggota kelompok, agar terhindar dari masalah, dan masalah terselesaikan dengan cepat melalui bantuan dari anggota kelompok yang lain. Menurut Xxxxxx dan Xxxxxxxx (2011), konseling kelompok bertujuan untuk membantu konseli mengatasi masalah mereka melalui penyesuaian diri dan perkembangan kepribadian hari ke hari. Beberapa hal yang menjadi gambaran tujuan konseling kelompok menurut Xxxxx (2012), antara lain:
1. Untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan diri, serta untuk mengembangkan identitas sebagai pribadi yang unik.
2. Untuk mengetahui kesamaan kebutuhan dan masalah sesama anggota dan untuk mengembangkan rasa keterhubungan.
3. Untuk membantu anggota kelompok belajar bagaimana membangun hubungan yang intim dan bermakna.
4. Untuk membantu anggota kelompok dalam menemukan sumber daya dalam keluarga dan masyarakat sebagai cara mengatasi keprihatinan mereka.
5. Untuk meningkatkan penerimaan diri, kepercayaan diri, harga diri dan untuk mencapai pandangan baru tentang diri sendiri dan orang lain.
6. Untuk mempelajari cara mengekspresikan emosi dengan cara yang sehat.
7. Untuk mengembangkan kepedulian dan kasih sayang untuk kebutuhan dan perasaan orang lain.
8. Untuk menemukan cara alternatif dalam menangani masalah yang sedang berkembang dan untuk menyelesaikan konflik tertentu.
9. Untuk meningkatkan pengarahan diri sendiri, saling ketergantungan, dan tanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang lain.
10. Untuk menjadi sadar akan pilihan seseorang dan mampu membuat pilihan yang bijak.
11. Untuk membuat rencana yang spesifik untuk mengubah perilaku tertentu.
12. Untuk mempelajari keterampilan sosial yang lebih efektif.
13. Untuk mempelajari cara dalam menantang orang lain secara baik-baik, peduli, jujur dan terus terang.
14. Untuk memperjelas nilai-nilai seseorang dan memutuskan apa dan bagaimana mengubah perilaku mereka.
5. Pendekatan Cognitive Behavior Therapy (CBT)
Konseling pendekatan CBT adalah konseling yang berfokus pada wawasan yang menekankan pada proses untuk mengubah pikiran negatif dan keyakinan maladaptif yang dimiliki oleh individu (Xxxxx, 2013). Inti dari pendekatan CBT didasarkan pada alasan teoritis mengenai cara manusia merasa dan berperilaku, yang ditentukan oleh bagaimana mereka memandang dan menstruktur pengalaman mereka sendiri. Asumsi teoritis konseling CBT adalah bahwa komunikasi internal manusia dapat diakses oleh introspeksi, bahwa kepercayaan konseli memiliki makna yang sangat pribadi, dan bahwa makna ini dapat ditemukan oleh konseli dari apa yang dipelajari atau ditafsirkan oleh konseli.
Konseling CBT pada hakekatnya memiliki tujuan untuk mengubah cara berpikir konseli yang maladaptif dengan membantu mereka menyadari automatic thought (pikiran-pikiran otomatis) dan distorsi kognitif yang bersumber pada core belief yang telah menetap. Maka hal yang perlu untuk dilakukan adalah dengan membantu individu menstruktur kembali pikiran- pikiran negatif yang dimiliki menuju pikiran-pikiran yang lebih adaptif. Individu cenderung untuk mempertahankan keyakinan mereka tentang diri mereka sendiri, dunia mereka, dan masa depan mereka. Fokus utama dari konseling CBT adalah untuk membantu konseli dalam menguji dan merestrukturisasi keyakinan inti yang mereka miliki. Dengan mendorong konseli untuk mengumpulkan dan mempertimbangkan bukti yang mendukung
keyakinan mereka tersebut, konselor membantu konseli untuk mengubah suasana hati dan perilaku mereka (Xxxxx, 2013).
1. Tujuan Pendekatan CBT
Jika seseorang sering mengalami pikiran maladaptif dapat menyebabkan stres atau gangguan psikologis. Tujuan dasar dari CBT adalah untuk menghilangkan prasangka atau distorsi kognitif sehingga individu dapat berfungsi lebih efektif. Distorsi kognitif ditantang, diuji, dan dibahas untuk membawa perasaan, perilaku, dan pemikiran yang lebih positif (Xxxxx, 2013). Sehingga, ketika pikiran maladaptif sering terjadi pada individu, pendekatan CBT berguna untuk mencari pikiran maladaptif dan membantu individu memahami kesalahan berpikir dan membuat perubahan di pemikiran konseli.
2. Karakteristik CBT
CBT memiliki beberapa karakteristik unik yang membedakannya dari pendekatan lain. Hal ini bergantung pada prinsip-prinsip dan prosedur dari metode ilmiah, dan prinsip-prinsip eksperimen yang berasal dari pembelajaran secara sistematis yang diterapkan untuk membantu individu dalam mengubah perilaku maladaptif. Menurut Xxxxx (2012), karakteristik khas yang membedakannya dengan pendekatan lainnya adalah CBT memiliki kegiatan yang sistematis untuk tujuan spesifik dan evaluasi. Konsep dan prosedur dinyatakan secara eksplisit, diuji secara empiris, dan terus direvisi. Penilaian dan pengobatan terjadi secara bersamaan. Adapun karakteristiknya meliputi:
1. Penilaian perilaku
Penilaian perilaku terdiri dari satu set prosedur yang digunakan untuk mendapatkan informasi yang akan memandu pengembangan rencana perawatan spesifik untuk setiap konseli dan membantu mengukur efektivitas pengobatan. Menurut Xxxxx (2012), penilaian perilaku melibatkan lima karakteristik yang konsisten dengan terapi perilaku; (1) penilaian perilaku ditujukan untuk mengumpulkan informasi yang unik dan rinci tentang masalah konseli; (2) berfokus pada fungsi dan kondisi kehidupan konseli saat ini; (3) berkaitan dengan pengambilan sampel dari perilaku konseli untuk memberikan informasi tentang bagaimana konseli biasanya berfungsi dalam berbagai situasi; (4) fokus yang sempit daripada berurusan dengan seluruh kepribadian konseli, dan (5) terintegrasi dengan terapi.
2. Tujuan utama terapi
Aspek yang paling unik dari konseling kelompok CBT adalah mengenai tujuan perubahan yang spesifik. Pendekatan CBT untuk terapi kelompok lebih berfokus pada daerah tujuan perubahan yang spesifik dibandingkan dengan pendekatan yang lainnya. Pada konseling kelompok CBT, tahap awal kerja kelompok yang dikhususkan untuk konseli memperluas langkah penilaian mereka dengan merumuskan pernyataan spesifik dari tujuan pribadi yang ingin mereka capai. Tujuan identifikasi menentukan arah gerakan terapi. Meskipun pemimpin kelompok memandu
diskusi dan bekerja sama dengan anggota, anggota kelompok sendiri memilih tujuan pribadi mereka (Xxxxx, 2012). Anggota kelompok menguraikan perilaku bermasalah yang ingin mereka ubah dan keterampilan baru yang mereka ingin pelajari. Tujuan pribadi yang diatur oleh konseli, mungkin mengurangi kecemasan dalam situasi ujian, menghilangkan fobia yang mengganggu fungsi efektif, mengatasi depresi, belajar keterampilan dalam komunikasi, mengembangkan strategi pemecahan masalah untuk mengatasi berbagai situasi yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari, menurunkan berat badan, dan menyingkirkan kecanduan (untuk merokok, alkohol, atau obat lain). Pada awal setiap sesi agenda diatur untuk memprioritaskan tujuan anggota dan untuk menjelaskan bagaimana waktu akan dipergunakan. Agenda ini diciptakan oleh anggota dan pemimpin kelompok. Sebuah kelompok CBT yang terbaik adalah yang memiliki usaha kolaboratif.
3. Rencana treatment
Setelah anggota menentukan tujuan mereka, rencana pengobatan untuk mencapai tujuan tersebut dirumuskan. Teknik perilaku kognitif berorientasi pada tindakan; anggota diharapkan untuk mengambil peran aktif dengan tugas, bukan hanya bersikap pasif dan hanya berbicara tentang masalah mereka sendiri. Awalnya, pemimpin kelompok secara umum mengembangkan rencana secara kolaboratif yang mencakup setiap anggota kelompok. Setelah penilaian awal dilaksanakan, peserta kelompok
bersama-sama dengan pemimpin kelompok menetapkan strategi intervensi yang mungkin digunakan dalam proses konseling yang akan dilaksanakan. Pada akhirnya, orang yang memiliki masalah adalah penentu dari strategi atau tindakan yang harus diambil. Beberapa teknik yang paling umum digunakan adalah modeling, pembentukan, latihan perilaku, pembinaan, pekerjaan, umpan balik, restrukturisasi kognitif, desensitisasi, pemecahan masalah, meditasi, latihan relaksasi (melalui musik), manajemen stres, dan pemberian informasi.
4. Evaluasi tujuan
Setelah sasaran perilaku telah diidentifikasi dengan jelas, tujuan pengobatan tertentu, dan prosedur terapi digambarkan, hasil terapi dapat secara obyektif dinilai. Karena kelompok CBT menekankan pentingnya mengevaluasi keefektifan teknik yang mereka gunakan, penilaian kemajuan konseli ke arah tujuan mereka masing-masing. Jika kelompok bertemu selama 10 minggu untuk pelatihan keterampilan sosial, misalnya, data dasar tentang keterampilan ini kemungkinan akan diambil pada sesi awal. Pada setiap sesi berikutnya penilaian perubahan perilaku dapat dilakukan sehingga anggota dapat menentukan bagaimana tingkat keberhasilan yang sudah terpenuhi. Menyediakan anggota dengan umpan balik adalah bagian penting dari konseling kelompok CBT ini.
Keputusan untuk menggunakan teknik-teknik tertentu berdasarkan keefektifan yang dimiliki. Kisaran teknik ini cukup luas, dan banyak
praktisi konseling kelompok CBT sangat eklektik dalam pilihan mereka dari prosedur perawatan. Mereka bersedia untuk menarik teknik dari banyak pendekatan terapi dalam membantu anggotanya mengubah pola berpikir mereka, perasaan, dan perilaku.
6. Konseling Kelompok Pendekatan CBT
Konseling kelompok CBT membantu untuk menetapkan tujuan individual dan keterampilan mengatasi masalah. Konseling kelompok pendekatan CBT melibatkan partisipasi dan keterlibatan anggota secara bertahap untuk menetapkan tujuan, perencanaan, pengambilan keputusan, dan saling membantu orang lain (Xxxxx, 2012). Adapun tahapan konseling kelompok pendekatan CBT adalah sebagai berikut (Xxxxx, 2012):
1. Tahap Awal (Initial Stage)
Calon anggota kelompok umumnya hanya mengetahui sedikit mengenai program perilaku kognitif. Jadi, untuk memberikan semua informasi terkait tentang proses kelompok sebelum para anggota bergabung. Anggota kelompok harus diberi tahu mengenai apa itu CBT, bagaimana cara kerjanya, dan apa yang unik dari pendekatan CBT.
Selama fase awal konseling kelompok, anggota mempelajari bagaimana fungsi kelompok dan bagaimana masing-masing sesi disusun berdasarkan tujuan. Pada tahap ini berhubungan dengan membantu para anggota kelompok untuk berkenalan satu sama lain, mengorientasikan para anggota kelompok, meningkatkan motivasi anggota kelompok, memberikan harapan bahwa
perubahan itu memungkinkan, mengidentifikasi area masalah untuk eksplorasi, menciptakan rasa aman, dan membangun kohesi awal.
Membangun kohesi adalah pondasi untuk kerja efektif selama setiap tahap pengembangan kelompok, dan pemimpin memiliki peran sentral dalam
membangun kepercayaan dan menciptakan iklim ³NHVHODPDWDQ´ 6HW
dibuka oleh anggota kelompok yang check-in dengan menyatakan perkembangan yang signifikan satu seminggu, melaporkan pekerjaan rumah mereka, dan mengidentifikasi topik atau isu yang ingin mereka masukkan ke dalam agenda sesi. Jika pemimpin tidak memperhatikan proses kelompok, tinjauan ulang ini mungkin menjadi deenergizing karena setiap orang dapat melaporkan bagaimana pekerjaan rumahnya.
Xxxxxxxx dan Xxxxxxx (dalam Corey, 2012) menyarankan agar setiap sesi diakhiri dengan ulasan atau ringkasan sesi. Proses ini, yang paling baik dilakukan oleh anggota kelompok, memberi kesempatan kepada para anggota kelompok untuk mengklarifikasi tujuan mereka dan mengidentifikasi wawasan dan keterampilan yang telah dieksplorasi.
2. Tahap Kerja: Perencanaan Perlakuan dan Penerapan Teknik (Working Stage: Treatment Plan and Techniques Application)
Perencanaan perlakuan melibatkan pemilihan seperangkat prosedur yang paling sesuai dari beberapa strategi spesifik yang telah terbukti efektif dalam mencapai perubahan perilaku. Penilaian dan evaluasi berlanjut sepanjang tahap
kerja, dan pemimpin kelompok harus terus mengevaluasi tingkat keefektifan sesi dan seberapa baik pencapaian tujuan pengobatan.
Untuk melakukan evaluasi ini selama tahap kerja, para pemimpin terus mengumpulkan data mengenai hal-hal seperti partisipasi, kepuasan anggota, kehadiran, dan penyelesaian tugas yang disepakati di antara sesi. Penilaian ini juga mencakup mengumpulkan data untuk menentukan apakah ada masalah dalam kelompok dan sejauh mana tujuan kelompok tercapai. Sepanjang jalannya kelompok, individu memantau perilaku dan situasi di mana hal tersebut terjadi. Dengan cara ini mereka dapat dengan cepat menentukan strategi yang efektif atau tidak efektif. Dengan proses evaluasi yang terus berlanjut ini, baik anggota maupun pemimpin memiliki dasar untuk melihat strategi alternatif dan strategi yang lebih efektif.
3. Tahap Pengakhiran (Final Stage)
Pada tahap pengakhiran dari konseling kelompok CBT, pemimpin kelompok bersama dengan para anggota kelompok mentransfer perubahan yang telah mereka tunjukkan dalam kelompok, ke lingkungan hidup mereka sehari- hari. Sesi latihan yang melibatkan simulasi dunia nyata digunakan untuk mempromosikan transfer perubahan kea rah yang lebih baik ini.
Anggota melatih apa yang ingin mereka katakan kepada orang-orang yang dianggap penting dalam kehidupan mereka dan mempraktikkan perilaku baru yang lebih adaptif. Umpan balik dari orang lain dalam kelompok, bersama dengan pembinaan, dapat sangat berguna pada tahap akhir. Sesi dirancang
secara sistematis sehingga perilaku baru secara bertahap terbawa ke dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun persiapan untuk generalisasi dan pemeliharaan perubahan perilaku diberi fokus khusus pada tahap akhir, namun hal ini merupakan karakteristik khas dari semua fase konseling kelompok CBT.
Proses konsolidasi dan mengembangkan strategi untuk mentransfer apa yang dipelajari dalam kelompok ke kehidupan sehari-hari adalah tujuan utama dari tahap akhir. Penghentian dan tindak lanjut merupakan salah satu perhatian khusus dalam kelompok CBT. Wawancara lanjutan jangka pendek dan jangka panjang dapat dilakukan, untuk menentukan hasil kelompok. Wawancara lanjutan dapat berfungsi sebagai "sesi pendorong" yang membantu anggota mempertahankan perilaku yang berubah dan terus terlibat dalam perubahan yang diarahkan sendiri.
Sesi tindak lanjut memberi kesempatan kepada para anggota kelompok untuk meninjau kembali apa yang telah mereka pelajari, untuk memperbarui kelompok tentang bagaimana keadaan mereka, dan untuk mendorong anggota agar bertanggung jawab atas perubahan atau kekurangan mereka.
Dari penjelasan di atas langkah konseling kelompok pendekatan CBT dalam Ujian ini adalah: (1) tahap awal, yakni menjelaskan tentang konseling kelompok CBT kepada anggota kelompok dan membangun kohesi;
(2) tahap kerja, yakni menerapkan teknik spesifik yakni teknik passive music therapy dan active music therapy; (3) tahap pengakhiran, yakni anggota kelompok mempertahankan perubahan yang diperoleh dari tahap kerja; (4)
tindak lanjut, yakni memberikan posttest 2 dan melakukan wawancara tentang passive music therapy dan active music therapy untuk mengetahui keberhasilan teknik.
1. Peran Pemimpin Kelompok CBT
Xxxxx (2012) menjelaskan bahwa peran pemimpin kelompok ialah membantu anggota kelompok dalam memecahkan masalah dan mengembangkan keterampilan baru. Pemimpin kelompok harus terampil dalam berbagai intervensi singkat yang ditujukan, agar efisien dan efektif. Pemimpin kelompok CBT, mengasumsikan bahwa anggota kelompok belajar dan berlatih keterampilan sosial dalam kelompok, sehingga mereka dapat berperilaku untuk hidup sehari-hari.
Peran pemimpin kelompok pada pendekatan CBT memiliki struktur yang rinci, berorientasi masalah dan cenderung memanfaatkan intervensi jangka pendek. Adapun beberapa peran dari pemimpin kelompok kognitif perilaku di antaranya: (a) pemimpin kelompok menarik beragam teknik yang dirancang untuk mencapai tujuan bersama, (b) pemimpin memberikan penguatan kepada anggota untuk mengembangkan keterampilan baru, (c) pemimpin mengajarkan anggota kelompok bahwa mereka bertanggung jawab untuk menjadi terlibat baik dalam kelompok maupun di luar kelompok, (d) pemimpin membantu anggota kelompok untuk berlatih keterampilan baru dan menerapkannya di rumah serta arahan yang tepat dibuat ketika tujuan yang wajar belum tercapai.
Fungsi utama dari pemimpin adalah melayani sebagai model perilaku yang tepat dan mempersiapkan anggota sebagai model dengan peran bermain
untuk satu sama lain. Pemimpin kelompok diharapkan mampu menerapkan pengetahuan mereka tentang prinsip-prinsip perilaku dan keterampilan untuk penyelesaian masalah. Dalam pandangan Bandura, salah satu proses yang mendasar di mana konseli belajar perilaku baru adalah imitasi dari pemodelan sosial yang disediakan oleh konselor. Oleh karena itu, pemimpin kelompok harus menyadari dampak dari nilai-nilai mereka, sikap, dan perilaku pada anggota kelompok, serta perilaku model anggotanya satu sama lain.
7. Asumsi Masalah Academic Anxiety menurut CBT
Berdasarkan konsep dasar terkait academic anxiety yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa academic anxiety merupakan penilaian subyektif atau sikap individu tentang pikiran, persepsi, dan pandangan yang mengarah pada kesulitan akademik yang akan dihadapi. Penilaian individu terhadap kesulitan akademik berdasarkan pengalaman atau peristiwa, ketika individu dihadapkan pada peristiwa atau pengalaman masa lalu, maka akan mempengaruhi cara individu menghadapi masalah, meliputi cara berpikir, perasaan yang ditimbulkan, perilaku yang dilakukan, serta reaksi tubuh yang muncul. Sehingga dibutuhkan suatu pendekatan yang memandang masalah individu dari bagaimana individu tersebut berpikir, merasa, dan berperilaku terhadap tubuhnya. Pendekatan yang tepat adalah pendekatan kognitif perilaku (CBT).
Model kognitif perilaku (CBT) terdiri dari hierarki pikiran yang dibagi menjadi tiga bagian utama yaitu: (a) Negative Automatic Thoughts (NATs): pikiran yang muncul secara otomatis, cepat, dan tanpa sadar dari dalam pikiran
ketika seseorang sedang mengalami stres atau emosi negatif terkait dengan
kesulitan akademik yang akan dihadaSL VHSHUUjiWan L WSXL NVULXjiaUOnDiLtuQW ´³ ³
DGDODK VHVXDWX \DQJ PHQDNXWNDQ´ GOO N
asumsi yang mendasari dan memandu perilaku individu sehari-hari, menetapkan standar, nilai-nilai hidup, dan aturan untuk hidup. Selanjutnya adalah (c) Keyakinan inti (core belief), merupakan keyakinan paling dasar tentang diri, yaitu keyakinan bahwa tidak mampu secara akademik dan keyakinan tidak berdaya.
.H\DNLQDQ LQGLYLGX WHUKDGDS NHWLGp DNEHUGD
mengerjakan Ujian NDUHQD NHPDPSXDQ DNDGHPLV VD\D
WLGDN PHPLOLNL NHPDPSXDQ PHQXcoOreLbeVlie f) \DQJ ED
inilah yang telah menetap dan dapat memunculkan distorsi kognitif, yaitu kondisi yang mencirikan pikiran depresif tentang kesulitan akademik yang akan dihadapi, sehingga individu mengalami masalah dan memiliki gambaran tertentu dari masalahnya tersebut.
Berdasarkan pernyataan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ketika individu memiliki academic anxiety maka akan mengakibatkan gangguan emosional seperti: tidak percaya diri, kecemasan, depresi, dll. Kondisi yang mencirikan pikiran depresif ini muncul karena adanya distorsi kognitif atau pikiran-pikiran negatif terkait ketidakberdayaan atau ketidakmampuannya dalam hal akademik. Distorsi kognitif terbentuk dari core belief yang telah menetap yaitu merupakan keyakinan paling dasar tentang diri, adanya keyakinan tidak mampu secara akademik dan keyakinan tidak berdaya, keyakinan-keyakinan ini terbentuk
berdasarkan pengalaman atau peristiwa yang dialami oleh individu. Sehingga ketika individu mengalami masalah terkait academic anxiety, maka hal yang perlu untuk dilakukan adalah dengan membantu individu menstruktur kembali pikiran- pikiran negatif yang dimilki menuju pikiran-pikiran yang lebih adaptif. Berikut ini merupakan bentuk adaptasi konsep “Hot Cross Bun” (HCB) dan CBT untuk Academic Anxiety:
8. Konseling Kelompok CBT dengan Music Therapy
Dalam pendekatan konseling integrative approach, penggunaan musik dalam proses konseling disebut dengan music therapy (Xxxxxxx & Xxxxx, 2011; Sharf, 2012). Xxxxxxxx (2016) menyarankan bahwa dalam proses konseling yang modern diharapkan para konselor dapat mengintegrasikan terapi seni dalam proses bantuan terhadap konseli. Salah satu terapi seni yang dapat menembus batas-batas budaya ialah melalui musik. Siapapun menyukai musik, tanpa memandang usia, gender, suku, agama, ras, latar belakang pendidikan, dan lainnya (Djohan, 2006).
Dalam Ujian ini menggunakan teknik passive dan active music therapy berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Xxxxxx, Xxxxxxxx, dan Bonde (2002), Djohan (2006), Xxxxxxx (2013), dan Xxxxxxxx (2016) yang berpusat pada teori pendekatan utama Cognitive Behavior Therapy (CBT). Kedua teknik tersebut dielaborasikan ke dalam salah satu layanan konseling, yaitu konseling kelompok yang mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Xxxxxx (2005), dan Xxxxx (2012). Menurut Xxxxxx, Xxxxxxxx, dan Bonde (2002), perkembangan music therapy di dunia dewasa ini dalam praktiknya banyak berpusat pada teori
Behavior, yang secara spesifik lebih mengarah pada Cognitive Behavior Therapy (CBT). Ujian mutakhir mengenai music therapy yang berpusat pada teori CBT dalam pelaksanaan konseling telah banyak dilakukan, yaitu di antaranya Ujian yang dilakukan oleh Xxxxx et al. (2017), Xxxxx Xxxxxxx dan Xxxxx Xxxxxx, (2017), Xxxxxxx et al. (2016), Xxxxx-Xxxxxx et al. (2016), Xxxxxx (2015), Xxxxx (2015), Xxx-Xxx Xx et al. (2015), Xxxxxxxxxx dan Silverman (2014), Xxxxxx et al. (2007), Xxxxx, Xxxxxxxxx, dan Xxxxxx (2007). Konseling kelompok dengan pendekatan integrative approach (expressive therapies) yang berpusat pada teori pendekatan utama Cognitive Behavior Therapy (CBT), dengan menggunakan teknik passive dan active music therapy untuk mereduksi academic anxiety peserta didik terhadap Ujian adalah sebuah layanan bimbingan konseling yang diberikan untuk membantu para peserta didik terbebas dari kecemasannya terhadap penyusunan tugas akhir dalam suasana kelompok. Pemberian layanan ini diharapkan mampu untuk menciptakan sebuah kondisi yang memungkinkan setiap anggota kelompok untuk dapat berbagi pengalaman dalam menghadapi kondisi kecemasan yang dialami akibat self- efficacy yang rendah, serta memperoleh penguatan untuk menghadapi academic anxiety tersebut.
Berdasarkan teori Music Therapy based on Cognitive Behavior Therapy (Wigram, Xxxxxxxx, & Xxxxx 2002), seorang peserta didik yang mengalami academic anxiety disebabkan oleh adanya karena adanya distorsi kognitif atau pikiran-pikiran negatif terkait ketidakberdayaan atau ketidakmampuannya dalam hal akademik. Distorsi kognitif terbentuk dari core belief yang telah menetap,
yaitu merupakan keyakinan paling dasar tentang diri, adanya keyakinan tidak mampu secara akademik dan keyakinan tidak berdaya, keyakinan-keyakinan ini terbentuk berdasarkan pengalaman atau peristiwa yang dialami oleh individu. Sehingga, ketika individu mengalami masalah terkait academic anxiety, maka hal yang perlu untuk dilakukan adalah dengan membantu individu menstruktur kembali pikiran-pikiran negatif yang dimiliki menuju pikiran-pikiran yang lebih adaptif. Dengan menggunakan teknik passive music therapy yang berpusat pada CBT ini, diharapkan dapat membantu mereka menyadari pikiran-pikiran negatif yang menyebabkan hal tersebut, kemudian mengevaluasi pikirannya, dan selanjutnya mereka bereksplorasi alternatif untuk mengubah pikiran negatif tentang dirinya dan lingkungannya melalui aktivitas mendengarkan musik secara reseptif/pasif dengan guided imagery.
Selain itu juga, dengan menggunakan teknik active music therapy yang berpusat pada CBT ini, diharapkan dapat membantu menyadari kecemasannya tersebut, kemudian mengevaluasi kecemasannya tersebut berdasarkan pengalaman masa lalunya yang tidak menyenangkan, selanjutnya mereka berdamai dengan pengalaman masa lalunya, dan mengoptimalkan kemampuan yang dimiliki agar dapat menyelesaikan Ujian dengan baik melalui aktivitas musik secara aktif, yaitu menciptkan lagu (composing), improvisasi, dan re- creating music. Hal lain yang tidak kalah pentingnya dari pemberian music therapy ini ialah untuk membantu konseli meningkatkan produksi 4 hormon positif yang dimiliki oleh setiap individu, yaitu endorphin, dopamin, serotonin, dan oksitosin.
9. Music Therapy sebagai Teknik Cognitive Behavior Therapy (CBT)
Xxxxx (2012) mengatakan bahwa dalam penerapan CBT, keputusan untuk menggunakan teknik-teknik tertentu berdasarkan keefektifan yang dimiliki. Penggunaan teknik dalam CBT cukup luas, dan banyak praktisi kelompok CBT sangat eklektik (integratif) dalam penerapan prosedur perawatan. Mereka bersedia untuk menggunakan teknik dari banyak pendekatan terapi dalam membantu kliennya dalam mengubah pola berpikir mereka, perasaan, dan perilakunya.
Salah satu teknik dalam pelaksaan konseling eklektik (integratif) CBT ialah dengan music therapy (Xxxxx & Xxxxx, 2011; Xxxxxxx & Xxxxx, 2011; Sharf, 2012). Xxxxxxxx (2016) juga menyarankan bahwa dalam proses konseling yang modern diharapkan para konselor dapat mengintegrasikan terapi seni dalam proses bantuan terhadap konseli. Salah satu terapi seni yang dapat menembus batas-batas budaya ialah melalui musik. Siapapun menyukai musik, tanpa memandang usia, gender, suku, agama, ras, latar belakang pendidikan, dan lainnya (Djohan, 2006).
Dalam penerapannya, terapi musik itu di bagi menjadi dua, yaitu passive music therapy dan active music therapy (Wigram, Xxxxxxxx, & Xxxxx, 2002). Terapi musik pasif adalah pemberian terapi musik yang dilakukan dengan cara mengajak konseli untuk mendengarkan sebuah instrumen tertentu secara seksama. Sedangkan terapi musik aktif adalah proses pemberian terapi musik
yang dilakukan dengan cara mengajak konseli untuk memainkan sebuah instrumen, bernyanyi, maupun menciptakan lagu. Kedua teknik terapi musik ini dapat dilakukan melalui konseling individual maupun kelompok.
Menurut Xxxxxxxx (2016), konselor dapat melakukan kegiatan seperti mendengarkan musik kepada konseli, melakukan improvisasi, dan menyusun/menciptakan lagu. Mendengarkan musik dapat membantu konseli mengubah suasana hati mereka dengan baik, mengurangi kecemasan mereka atau membangkitkan emosi mereka. Ketika konselor bekerja dengan konseli dengan menggunakan musik, improvisasi dapat dicapai secara konkret dengan meminta konseli untuk melakukan variasi pada tema musik (Wigram 2004, dalam Xxxxxxxx, 2016). Improvisasi yang dimaksudkan ialah konseli dapat bermain dengan instrumen mereka dan mengubah melodi (yaitu, membuat musik menjadi lebih cepat, lebih lambat, atau divariasikan).
Teknik yang terakhir ialah proses menciptakan dan mengembangkan sebuah lagu/musik, dipandang sebagai terapi yang berasal dari dalam diri konseli itu sendiri (Xxxxxxx & Xxxxxxx, 1977 dalam Xxxxxxxx, 2016). Menciptakan lagu/musik adalah tindakan kreatif yang menempatkan konseli berada pada perasaan mereka sendiri. Hal ini dapat digunakan sebagai cara untuk penyembuhan yang melekat dalam tindakan kreatif (Xxxxxxx, 1983 dalam Xxxxxxxx, 2016). Dalam praktik yang sebenarnya, konselor dapat meminta atau mendorong konseli untuk menulis/menciptakan sebuah karya lagu/musik yang
mewakili diri mereka sendiri. Pada sesi berikutnya, konseli dapat berbicara tentang pengalaman menulis/menciptakan sebuah karya lagu/musik tersebut.
Menurut Xxxxan (2006) dan Xxxxxxxx (2016), pada dasarnya hampir semua jenis musik bisa dinamakan untuk terapi musik. Namun kita harus tahu pengaruh setiap jenis musik terhadap pikiran. Setiap nada, melodi, ritme, harmoni, timbre, bentuk dan gaya musik akan memberi pengaruh berbeda kepada pikiran dan yang kita capai. Ada dua macam teknik terapi musik:
1. Terapi Musik Aktif (Active Music Therapy)
Dalam terapi musik aktif, klien diajak untuk bernyanyi, belajar main menggunakan alat musik, menirukan nada-nada, bahkan membuat lagu singkat. Dengan kata lain, klien berinteraksi aktif dengan dunia musik.
2. Terapi Musik Pasif (Passive Music Therapy)
Dalam terapi musik pasif, klien diajak untuk mendengarkan musik. Terapi ini merupakan terapi musik yang murah, mudah dan efektif. Xxxxx hanya mendengarkan dan menghayati suatu alunan musik tertentu yang disesuaikan dengan masalahnya. Hal terpenting dalam terapi musik pasif adalah pemilihan jenis musik harus tepat dengan kebutuhan pasien.
Menurut Xxxxxx, Xxxxxxxx, dan Xxxxx (2002) dan Xxxxxxx (2013), teknik terapi musik itu dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Musik Terapi Pasif (Passive Music Therapy)
Dalam sesi reseptif, klien akan mendapat terapi dengan mendengarkan musik. Terapi ini lebih menekankan pada physical, emotional intellectual,
aesthetic of spiritual dari musik itu sendiri, sehingga klien akan merasakan ketenangan atau relaksasi. Musik yang digunakan dapat bermacam jenis dan style, tergantung dengan kondisi yang dihadapi oleh klien.
2. Musik Terapi Aktif (Active Music Therapy)
Terapi musik diterapkan dengan melibatkan klien secara langsung untuk ikut aktif dalam sebuah sesi terapi, melalui cara:
a. Menciptakan lagu (composing). Cara ini dilakukan dengan mengajak klien untuk menciptakan lagu sederhana ataupun membuat lirik dan terapis yang akan melengkapinya secara harmoni.
b. Improvisasi. Cara ini merupakan upaya membuat musik secara spontan dengan bernyanyi ataupun bermain musik pada saat itu juga dan membuat improvisasi dari musik yang diberikan oleh terapis.
c. Re-creating Music merupakan cara mengajak klien bernyanyi ataupun bermain instrumen musik dari lagu-lagu yang sudah dikenal.
10. Teknik Passive Music Therapy
Pada bahasan tentang teknik passive music therapy yang dimaksud meliputi
(1) definisi teknik passive music therapy; (2) tujuan teknik passive music therapy; (3) tahapan teknik passive music therapy; dan (4) keunggulan teknik passive music therapy. Adapun penjelasannya ialah sebagai berikut:
1. Definisi Teknik Passive Music Therapy
Passive music therapy merupakan salah satu teknik music therapy yang dapat dipergunakan dalam proses konseling (Wigram, Xxxxxxxx, & Xxxxx 2002;
Xxxxxxxx, 2016). Passive music therapy adalah sebuah teknik dalam terapi, konseling, dan pembinaan untuk membantu individu atau sekelompok orang agar menjadi sadar dan dapat mengatasi masalah dalam kehidupan nyata, dengan bantuan melalui mendengarkan musik secara reseptif dengan guided imagery. Passive music therapy dilakukan dengan merefleksi dan berdiskusi tentang pengalaman masa lalu, pengalaman masa kini, dan harapan-harapan di masa depan (Situmorang, 2018).
Jika dipandang dari pendekatan CBT, memanfaatkan musik sebagai sebuah sarana bantuan dapat menyediakan perangkat yang mendukung untuk memahami keyakinan inti maladaptif dan restrukturisasi kognitif individu (Situmorang, 2018). Selain itu, musik dapat merubah perasaan, memberikan pemahaman baru dan meningkatkan kemungkinan bahwa individu akan melaksanakan perilaku baru dan diinginkan. Melalui musik dengan guided imagery, seseorang dapat belajar bagaimana perilaku yang tidak diinginkan menjadi berperilaku dalam perilaku yang diinginkan (Situmorang, 2018).
Passive music therapy sangat mempengaruhi individu karena dampak xxxxxxxx dari musik, dialog, dan efek suara. Dengan passive music therapy membawa konseli ke dalam setiap peristiwa penting dalam kehidupannya (Situmorang, 2018). Berdasarkan pandangan psikoanalisis, memanfaatkan passive music therapy dalam terapi dapat membuat alam bawah sadar berkomunikasi dengan pikiran sadar dari musik yang didengarkan (Wigram, Xxxxxxxx, & Xxxxx 2002). Saat musik diperdengarkan, perasaan individu akan tersentuh oleh alunan
musik dan guided imagery dengan emosi menyenangkan atau tidak menyenangkan yang mencerminkan pengalaman individu secara simbolis menuju alam sadar (Situmorang, 2018).
Passive music therapy adalah intervensi terapeutik yang memungkinkan konseli menilai secara visual di dalam imajinasinya mengenai pengalaman- pengalaman berinteraksi dengan orang lain, lingkungannya, dan masalah-masalah pribadi. Dengan passive music therapy dapat membantu memperkuat aliansi terapeutik dengan komunikasi dan pengalaman antara klien dan terapis (Situmorang, 2018). Bahkan, penggunaan passive music therapy dalam konseling memungkinkan konselor untuk dapat menarik kesimpulan dari beberapa orientasi psikologis.
Dari penjelasan di atas, dapat dianalisis bahwa passive music therapy adalah salah satu teknik yang dapat digunakan dalam proses konseling dengan menggunakan musik dengan guided imagery guna menumbuhkan eksplorasi diri dan pengubahan guna mengatasi masalah individu. Jika dikaitkan dengan Ujian, selanjutnya dapat disimpulkan bahwa konseling kelompok CBT dengan teknik passive music therapy adalah layanan yang diberikan untuk membantu anggota kelompok yang menunjukkan academic anxiety, sehingga dapat membantu mereka untuk mampu menyadari pikiran-pikiran negatif yang menyebabkan hal tersebut, kemudian mengevaluasi pikirannya, dan selanjutnya mereka bereksplorasi alternatif untuk mengubah pikiran negatif tentang dirinya
dan lingkungannya melalui aktivitas mendengarkan musik secara reseptif/pasif dengan guided imagery.
2. Tujuan Teknik Passive Music Therapy
Tujuan pelaksanaan konseling kelompok dengan teknik passive music therapy adalah untuk membantu anggota kelompok yang menunjukkan academic anxiety, sehingga dapat membantu mereka menyadari pikiran-pikiran negatif yang menyebabkan hal tersebut, kemudian mengevaluasi pikirannya, dan selanjutnya mereka bereksplorasi alternatif untuk mengubah pikiran negatif tentang dirinya dan lingkungannya melalui aktivitas mendengarkan musik secara reseptif/pasif dengan guided imagery. Adapun penjabaran tujuan dari pelaksanaan konseling kelompok dengan teknik passive music therapy adalah sebagai berikut:
1. Anggota kelompok mampu menyadari pikiran-pikiran negatif yang selama ini menyebabkan kecemasan akademik yang membuat mereka merasa tertekan.
2. Anggota kelompok mengenal dan menyadari automatic thought dan distorsi kognitif yang dimiliki.
3. Anggota kelompok mengevaluasi kecemasannya tersebut berdasarkan pengalaman masa lalunya yang tidak menyenangkan.
4. Anggota kelompok berdamai dengan masa lalunya.
5. Anggota kelompok dapat menjadi rileks dan mereduksi kecemasannya.
6. Anggota kelompok dapat meningkatkan rasa bahagianya, sehingga lebih dapat optimal dalam hidup kesehariannya.
7. Anggota kelompok memiliki keterampilan untuk melawan pikiran dan keyakinan maladaptif dengan automatic thought alternative.
8. Anggota kelompok mampu menyadari kemampuan yang dimilikinya.
9. Anggota kelompok dapat meningkatkan self-efficacy yang dimiliki guna menyelesaikan Ujian dengan baik.
10. Anggota kelompok memiliki keterampilan yang efektif dilakukan untuk mengaktivasi perilaku positif dalam kehidupan sehari-hari.
3. Tahapan Teknik Passive Music Therapy
Untuk melaksanakan teknik passive music therapy dapat ditempuh dengan beberapa tahapan. Dalam teknik passive music therapy dengan guided imagery terdapat bebarapa tahapan atau langkah-langkah seperti berikut (Situmorang, 2018):
1. Pengarahan
Mempersiapkan atau menyusun petunjuk membantu individu untuk mempersiapkan diri. Hal ini juga dapat membantu individu untuk menangkap kesan mereka, dan mampu untuk mengingatkan mereka mengenai proses sesi mendengarkan musik secara reseptif. Dalam petunjuk ini dapat direkomendasikan kepada para anggota kelompok agar tetap nyaman dalam mendengarkan musik, memperhatikan posisi tubuh, mengatur pernapasan guna untuk melepaskan ketegangan, dan hal terkait reaksi pribadi yang terbentuk.
2. Pemilihan Musik
Musik dapat dipilih sendiri oleh individu atau kelompok atau oleh konselor. Musik yang dipilih hendaknya memberikan nuansa ketenangan dalam membantu para konseli dalam proses pemahaman diri selama konseling berlangsung. Konselor harus memilih musik yang dapat disesuaikan situasi individu, masalah, kebutuhan, dan tujuan. Selanjutnya, yang menjadi pertimbangan lainnya adalah isu-isu keragaman seperti latar belakang dan budaya. Tidak semua jenis musik dapat digunakan dalam passive music therapy. Menurut Xxxxxxx (2009), karakteristik musik yang bersifat terapi adalah musik yang nondramatis, dinamikanya bisa diprediksi, memiliki nada yang lembut, harmonis, dan tidak berlirik, temponya 60-80 beat per minute, dan musik yang dijadikan terapi merupakan musik pilihan konseli. Musik yang bersifat sebaliknya adalah musik yang menimbulkan ketegangan, tempo yang cepat, irama yang keras, ritme yang irregular, tidak hamonis, atau dibunyikan dengan volume keras tidak akan menimbulkan efek terapi. Efek yang timbul adalah meningkatkan denyut nadi, tekanan darah, laju pernafasan, dan meningkatkan stres.
Musik sedatif adalah musik yang memiliki frekuensi rendah, tanpa lirik, kombinasi dari alat musik yang memiliki unsur string, tempo lambat, kenaikan nada, frekuensi dan ketukan disarankan mengikuti hukum Xxxxxxxxx (Xxxxxxx, 2009). Diagram di bawah ini menunjukkan bagaimana nada dasar yang
disarankan sesuai dengan frekuensi berdasarkan Hukum Pytagoras sehingga menjadi lebih adaptif. Selama proses passive music therapy berlangsung, konselor dapat melakukan proses diskusi dengan konseli. Di akhir sesi, konselor dapat membantu konseli dalam menetapkan komitmen dan harapan- harapnnya di masa depan.
4. Keunggulan Teknik Passive Music Therapy
Secara teknis, proses passive music therapy menginstruksikan konseli untuk mendengarkan musik yang relevan dengan guided imagery terkait dengan permasalahan yang dialami. Menurut Xxxxxxxxxx (2018) adapun keunggulan passive music therapy dalam proses terapeutik adalah:
1. Memfasilitasi individu untuk belajar lebih banyak tentang dirinya (eksplorasi diri).
2. Individu dapat belajar pola maladaptif tentang masalah emosi dan sosialnya.
3. Menawarkan altrenatif yang adaptif untuk mengatasi permasalahan yang dialami.
4. Menawarkan pengalaman emosional yang mendalam dan peluang untuk koneksi sosial yang lebih dalam.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa passive music therapy berpotensi sebagai solusi untuk sejumlah kesulitan dan dapat memberikan manfaat terapeutik. Selain itu, passive music therapy dapat memberikan cara yang aman bagi seseorang untuk mendiskusikan pikiran dan perasaan mereka baik secara pribadi maupun kelompok.
11. Konseling Kelompok CBT dengan Teknik Passive Music Therapy
untuk mereduksi Academic Anxiety dan meningkatkan Self-Efficacy
Konseling kelompok CBT mencakup beragam topik dan format yang diarahkan pada memberikan informasi dan pengentasan masalah (Corey, 2012). Konseling kelompok dengan menggunakan musik menjadi pilihan alternatif saat ini (Xxxxxxxx, 2016). Konseling kelompok CBT dengan menggunakan teknik passive music therapy dapat bekerja dengan baik jika pemimpin kelompok dan anggota kelompok menjalin kerjasama dan komunikasi yang baik hingga mencapai tujuan (Xxxxxx, Xxx Xx, Xxxxxx, & Xxxxx, 2007). Ujian yang dilakukan oleh Xxxxxxxx et al. (2014) melakukan cara yang berbeda dengan menggunakan intervensi kreatif dalam konseling. Salah satu intervensi kreatif yang dapat dilakukan dalam proses konseling dengan menggunakan media musik. Musik dapat digunakan untuk membantu individu memahami perkembangan emosi dan kognitif mereka. Individu dapat mendengarkan lagu dan bersantai, ataupun memainkan alat musik secara aktif. Melalui musik, konselor dapat membuat proses konseling menjadi lebih menarik dan efektif. Ujian lain yang dilakukan oleh Xxxxxxx (2014) menunjukkan bahwa musik klasik Xxxxxx cukup efektif dalam mengurangi stres di kalangan peserta didik yang menulis Ujian mereka, kemudian hasil Ujian Xxxxxxxx-Xxxxxx (2016) menunjukkan bahwa melalui music therapy mampu meningkatkan self-efficacy individu.
Dalam Ujian ini, penerapan konseling kelompok CBT berfokus pada penggunaan teknik passive music therapy. Konseling kelompok CBT ini dilaksanakan dengan menggunakan musik dan guided imagery yang bertujuan
untuk membangkitkan keinginan atau suatu kesadaran kepada para peserta didik dalam rangka mencapai suatu tujuan yang diharapkan yakni agar dapat mereduksi academic anxiety dan meningkatkan self-efficacy dalam menyusun Ujian.
12. Teknik Active Music Therapy
Pada bahasan tentang teknik active music therapy yang dimaksud meliputi (1) definisi teknik active music therapy; (2) tujuan teknik active music therapy; (3) tahapan teknik active music therapy; dan (4) keunggulan teknik active music therapy. Adapun penjelasannya ialah sebagai berikut:
1. Definisi Teknik Active Music Therapy
Active music therapy merupakan salah satu teknik music therapy yang dapat dipergunakan dalam proses konseling (Wigram, Xxxxxxxx, & Xxxxx 2002; Xxxxxxxx, 2016). Active music therapy adalah sebuah teknik dalam terapi, konseling, dan pembinaan untuk membantu individu atau sekelompok orang agar menjadi sadar dan dapat mengatasi masalah dalam kehidupan nyata, dengan bantuan melalui memainkan musik secara aktif, meliputi menciptakan lagu (composing), improvisasi, dan re-creating music. Active music therapy dilakukan dengan upaya berdiskusi tentang pengalaman masa lalu, pengalaman masa kini, dan harapan- harapan di masa depan melalui menciptakan lagu baru yang dibimbing oleh pemimpin konseling, melakukan improvisasi dengan lagu tertentu, dan memainkan alat musik secara bersama-sama dengan lagu yang sudah dikenal (Situmorang, 2018).
Jika dipandang dari pendekatan CBT, memanfaatkan musik sebagai sebuah sarana bantuan dapat menyediakan perangkat yang mendukung untuk memahami keyakinan inti maladaptif dan restrukturisasi kognitif individu (Situmorang, 2018). Selain itu, musik dapat mengubah perasaan, memberikan pemahaman baru dan meningkatkan kemungkinan bahwa individu akan melaksanakan perilaku baru dan diinginkan. Melalui musik dengan menciptakan lagu (composing), improvisasi, dan re-creating music, seseorang dapat belajar bagaimana dapat mengubah kebiasaan lama yang maladaptif menjadi lebih adaptif (Situmorang, 2018).
Active music therapy adalah teknik yang memanfaatkan peralatan musik yang dimainkan secara bersama-sama (Wigram, Xxxxxxxx, & Xxxxx, 2002). Memainkan musik secara bersama-sama dapat mempengaruhi sikap, perasaan, dan perilaku individu. Active music therapy melibatkan jenis instrumen yang dimainkan, lagu atau musik yang dipilih, dan lirik yang diciptakan, yang semuanya memiliki tujuan terapeutik (Situmorang, 2018).
Dalam layanan konseling, active music therapy menawarkan konselor mengenai strategi yang kreatif dan menyenangkan. Konselor dapat menggunakan active music therapy sebagai intervensi untuk memfasilitasi konseli dalam memperoleh keakraban, mengidentifikasi keunikan pribadi, dan perasaan klien (Xxxxxxxx, 2016). Active music therapy juga dapat digunakan sebagai mekanisme terapi untuk membantu membangun hubungan konseling, mengeksplorasi isu-isu gaya hidup, untuk mempromosikan wawasan dan kesadaran, dan reorientasi (Wigram, Xxxxxxxx, & Xxxxx 2002).