DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
PETUNJUK PENGISIAN SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 PETUNJUK UMUM
Berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 (UU KUP), hal-hal yang perlu diperhatikan oleh Wajib Pajak adalah sebagai berikut:
1. Setiap Wajib Pajak wajib mengisi dan menyampaikan SPT Tahunan dengan benar, lengkap, dan jelas, dan menandatanganinya.
2. SPT Tahunan ditandatangani oleh pengurus, direksi, atau orang lain bukan Wajib Pajak sepanjang dilampiri dengan surat kuasa khusus.
3. SPT Tahunan dianggap tidak disampaikan apabila tidak ditandatangani atau tidak sepenuhnya dilampiri keterangan dan atau dokumen sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 534/KMK.04/2000 dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-214/PJ./2001.
4. Wajib Pajak harus mengambil sendiri formulir SPT Tahunan dan menyampaikannya paling lambat 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
5. Penyampaian SPT Tahunan dapat dilakukan melalui Kantor Pos secara tercatat atau melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-518/PJ./2001.
6. Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan SPT Tahunan harus dibayar lunas paling lambat tanggal 25 (dua puluh lima) bulan ketiga setelah tahun pajak berakhir. Apabila pembayaran dilakukan setelah tanggal jatuh tempo, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan yang dihitung dari saat jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
7. Wajib Pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang ke Kas Negara melalui Kantor Pos dan Giro atau bank yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Anggaran untuk menerima pembayaran pajak (Bank Persepsi).
8. Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak termasuk kekurangan pembayaran pajak yang terutang pada SPT Tahunan (PPh Pasal 29) paling lama 12 (dua belas) bulan. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-325/PJ./2001, permohonan harus diajukan secara tertulis kepada Kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar dengan menggunakan formulir tertentu sesuai lampiran Keputusan Direktur Jenderal tersebut.
9. Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahunan paling lama 6 (enam) bulan. Permohonan harus diajukan secara tertulis disertai Surat Pernyataan mengenai penghitungan sementara besarnya pajak terutang dalam 1 (satu) tahun pajak dan bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak menurut penghitungan sementara tersebut.
Apabila SPT Tahunan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang ditetapkan atau dalam batas waktu perpanjangan penyampaian SPT Tahunan, dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah).
10. Setiap orang yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPT Tahunan atau menyampaikan SPT Tahunan tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada Negara, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling tinggi 2 (dua) kali jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang dibayar.
Setiap orang yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPT Tahunan atau menyampaikan SPT Tahunan dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap sehingga dapat menimbulkan kerugian pada Negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
PETUNJUK KHUSUS
Dalam rangka membantu dan memudahkan pengisian SPT Tahunan PPh Pasal 21 dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Bagi Pemotong Pajak yang membayarkan upah kepada pegawai tidak tetap yang seluruh atau sebagian dari PPh Pasal 21 terutangnya ditanggung Pemerintah harus melampirkan suatu daftar khusus yang memuat nama pegawai tidak tetap, jumlah penghasilan bruto, Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), PPh Pasal 21 yang terutang, dan PPh Pasal 21 yang ditanggung pemerintah.
2. Yang wajib mengisi dan menyampaikan SPT Tahunan PPh Pasal 21 (Formulir 1721) adalah setiap Pemotong Pajak PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang terdiri dari:
a. pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan pusat maupun cabang, perwakilan atau unit, bentuk usaha tetap termasuk juga badan atau organisasi internasional yang tidak dikecualikan sebagai Pemotong Pajak berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan, sesuai dengan ketentuan Pasal 21 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apapun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;
b. bendaharawan Pemerintah termasuk bendaharawan pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga Pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan;
c. dana pensiun, badan penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja, dan badan-badan lain yang
membayar uang pensiun dan Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua;
d. perusahaan, badan, dan bentuk usaha tetap, yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan, jasa, termasuk jasa tenaga ahli dengan status Wajib Pajak dalam negeri yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya;
e. perusahaan, badan, dan bentuk usaha tetap, yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Wajib Pajak luar negeri;
f. yayasan (termasuk yayasan di bidang kesejahteraan, rumah sakit, pendidikan, kesenian, olahraga, kebudayaan), lembaga, kepanitiaan, asosiasi, perkumpulan, organisasi massa, organisasi sosial politik, dan organisasi lainnya dalam bentuk apapun dalam segala bidang kegiatan sebagai pembayar gaji, upah, honorarium, atau imbalan dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa, kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi;
g. perusahaan, badan, dan bentuk usaha tetap, yang membayarkan honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan, dan pemagangan;
h. penyelenggara kegiatan (termasuk badan pemerintah, organisasi termasuk organisasi internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan) yang membayar honorarium, hadiah atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan.
Perusahaan dan badan sebagaimana dimaksud dalam huruf d, e, dan g termasuk Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, perusahaan swasta dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan badan atau organisasi internasional dalam bentuk apapun yang tidak dikecualikan sebagai Pemotong Pajak berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan, sesuai dengan ketentuan Pasal 21 ayat
(2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000.
3. Bagi pemotong pajak yang tidak wajib memasukkan SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan (1771) wajib menyampaikan daftar biaya.
4. Pemotong Pajak PPh Pasal 21 dapat menyampaikan lampiran 1721 A-1 dalam bentuk media elektronik (a.l. disket atau cartridge) dalam struktur data yang telah ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak, sedangkan Induk SPT (Formulir 1721) tetap harus diisi dan ditandatangani oleh Pemotong Pajak dan disampaikan bersama lampirannya secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan atau dikirim melalui Kantor Pos secara tercatat atau dengan cara lain yang diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
PETUNJUK PENGISIAN FORMULIR LAMPIRAN I (FORMULIR 1721-A)
DAFTAR PEGAWAI TETAP DAN PENERIMA PENSIUN ATAU TUNJANGAN HARI TUA/TABUNGAN HARI TUA (THT)/ JAMINAN HARI TUA (JHT)
Formulir ini merupakan daftar nominatif pegawai tetap dan penerima pensiun atau THT/JHT dan PPh Pasal 21 yang dipotong dalam tahun takwim yang bersangkutan.
Dalam pengertian pegawai tetap termasuk komisaris dan anggota dewan pengawas yang merangkap sebagai pegawai tetap.
Yang dimaksud dengan Tunjangan Hari Tua/Tabungan Hari Tua (THT)/Jaminan Hari Tua (JHT) adalah THT/JHT yangdibayarkan secara bulanan atau teratur.
TAHUN TAKWIM
Bagian ini diisi dengan tahun takwim yang bersangkutan dalam kotak yang berkenaan.
Contoh : | 2 | 0 | 0 | 2 |
NPWP PEMOTONG PAJAK
Bagian ini diisi dengan NPWP Pemotong Pajak, sesuai dengan yang tercantum pada Kartu NPWP.
NAMA XXXXXXXX XXXXX
Bagian ini diisi dengan nama Pemotong Pajak, sesuai dengan yang tercantum pada Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak (Kartu NPWP).
A. DAFTAR PEGAWAI TETAP DAN PENERIMA PENSIUN ATAU THT/JHT YANG PENGHASILAN NETONYA MELEBIHI PTKP
NOMOR URUT
Kolom (1)
Kolom ini diisi sesuai dengan nomor urut yang tercantum pada tiap lembar Formulir 1721-A1 atau Formulir 1721-A2.
NAMAKolom (2)
Kolom ini diisi dengan nama pegawai tetap dan penerima pensiun atau THT/JHT sesuai dengan yang tercantum pada tiap lembar Formulir 1721-A1 atau Formulir 1721-A2.Bagi pegawai tetap dan penerima pensiun atau THT/JHT lainnya yang tidak dibuatkan Formulir 1721-A1 atau 1721-A2, namanya tidak perlu dicantumkan satu per satu.
NOMOR POKOK WAJIB PAJAK (NPWP)Kolom (3)
Kolom ini diisi dengan NPWP pegawai tetap dan penerima pensiun atau THT/JHT sesuai dengan yang tercantum pada tiap lembar Formulir 1721-A1 atau Formulir 1721-A2.
PENGHASILAN BRUTOKolom (4)
Kolom ini diisi dengan jumlah pada Angka 9 dari Formulir 1721-A1, atau dengan jumlah pada Angka 10 dari Formulir 1721-A2.
PPh PASAL 21 TERUTANGKolom (5)
Kolom ini diisi dengan jumlah pada Angka 21 dari Formulir 1721-A1, atau dengan jumlah pada Angka 18 dari Formulir 1721-A2.
PPh PASAL 21 DITANGGUNG PEMERINTAHKolom (6)
Kolom ini diisi dengan jumlah pada angka 22 dari Formulir 1721-A1.
JUMLAH
Bagian ini diisi dengan:
- Jumlah pegawai tetap dan penerima pensiun atau THT/JHT, baik yang mempunyai NPWP maupun tidak;
- Hasil penjumlahan penghasilan bruto pada Kolom (4); dan
- Hasil penjumlahan PPh Pasal 21 terutang pada kolom (5).
- Hasil penjumlahan PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah pada Kolom (6).
B. JUMLAH PEGAWAI TETAP DAN PENERIMA PENSIUN ATAU THT/JHT YANG PENGHASILAN NETONYA TIDAK MELEBIHI PTKP
Bagian ini diisi dengan:
- Jumlah pegawai tetap dan penerima pensiun atau THT/JHT yang penghasilan netonya tidak melebihi PTKP.
- Jumlah penghasilan bruto pegawai tetap dan penerima pensiun atau THT/JHT yang penghasilan netonya tidak melebihi PTKP.
C. JUMLAH A + B
Bagian ini diisi dengan:
- Hasil penjumlahan jumlah orang pada bagian A dengan bagian B Selanjutnya pindahkan hasil penjumlahan tersebut ke Formulir 1721 huruf A Angka 1 kolom (2);
- Hasil penjumlahan penghasilan bruto pada bagian A dengan bagian B Selanjutnya pindahkan hasil penjumlahan tersebut ke Formulir 1721 huruf A Angka 1 Kolom (3).
- Jumlah yang sesuai dengan jumlah Kolom (5) PPh Pasal 21 terutang pada bagian A. Selanjutnya pindahkan jumlah tersebut ke Formulir 1721 huruf A Angka 1 Kolom (4).
- Jumlah yang sesuai dengan jumlah Kolom (6) PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah pada bagian A.
Selanjutnya dilakukan penjumlahan dengan jumlah kolom (6) PPh Ditanggung Pemerintah Formulir 1721-B kemudian pindahkan hasil penjumlahan tersebut ke Formulir 1721 huruf A Angka 4.
LAMPIRAN I-A (FORMULIR 1721-A1)
PENGHASILAN DAN PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 PEGAWAI TETAP ATAU PENERIMA PENSIUN ATAU TUNJANGAN HARI TUA/ TABUNGAN HARI TUA (THT)/JAMINAN HARI TUA (JHT)
Formulir ini digunakan oleh Pemotong Pajak PPh Pasal 21 untuk menghitung besarnya penghasilan dan PPh Pasal 21 yang terutang untuk tahun takwim yang bersangkutan dari setiap pegawai tetap atau penerima pensiun atau THT/JHT yang jumlah penghasilan netonya melebihi PTKP, dilakukan dalam jangka waktu 2 (dua) bulan setelah tahun takwim berakhir. Pemotong Pajak PPh Pasal 21 dapat menyampaikan Formulir 1721-A1 dengan menggunakan media elektronik sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
Formulir ini tidak perlu diisi oleh Bendaharawan Pemerintah, PT Taspen atas pembayaran pensiun kepada penerima pensiun atau THT/JHT pegawai negeri dan pejabat negara, serta PT Asabri atas pembayaran pensiun kepada penerima pensiun atau THT/JHT pegawai negeri sipil dilingkungan TNI/POLRI.
Dalam pengertian pegawai tetap termasuk Komisaris atau anggota Dewan Pengawas yang merangkap sebagai pegawai tetap.
Yang dimaksud dengan Tunjangan Hari Tua/Tabungan Hari Tua (THT)/Jaminan Hari Tua (JHT) adalah THT/JHT yang dibayarkan secara bulanan atau teratur.
TAHUN TAKWIM
Bagian ini diisi dengan tahun takwim yang bersangkutan dalam kotak yang berkenaan.
Contoh : | 2 | 0 | 0 | 2 |
NOMOR URUT
Bagian ini diisi dengan nomor urut pengisian tiap lembar Formulir 1721-A1.
NPWP PEMOTONG PAJAK
Bagian ini diisi dengan NPWP Pemotong Pajak, sesuai dengan yang tercantum pada Kartu NPWP.
NAMA XXXXXXXX XXXXX
Bagian ini diisi dengan nama Pemotong Pajak, sesuai dengan yang tercantum pada Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak (Kartu NPWP).
ALAMAT PEMOTONG PAJAK
Bagian ini diisi dengan alamat Pemotong Pajak, sesuai dengan yang tercantum pada Kartu NPWP.
NAMA PEGAWAI ATAU PENERIMA PENSIUN ATAU THT/JHT
Bagian ini diisi dengan nama pegawai tetap atau penerima pensiun atau THT/JHT.
NPWP PEGAWAI ATAU PENERIMA PENSIUN ATAU THT/JHT
Bagian ini diisi dengan NPWP pegawai tetap atau penerima pensiun atau THT/JHT yang bersangkutan jika pegawai atau penerima pensiun atau THT/JHT tersebut telah mempunyai NPWP.
ALAMAT PEGAWAI ATAU PENERIMA PENSIUN/THT
Bagian ini diisi dengan alamat tempat tinggal pegawai tetap atau penerima pensiun atau THT/JHT yang bersangkutan.
JABATAN
Bagian ini diisi dengan jabatan pegawai tetap yang bersangkutan.
STATUS, JENIS KELAMIN, DAN KARYAWAN ASING
Berilah tanda X dalam kotak yang sesuai dengan status, jenis kelamin dan status karyawan asing pegawai tetap atau penerima pensiun atau THT/JHT.
Status tersebut ditentukan menurut keadaan pada tanggal 1 Januari tahun yang bersangkutan atau pada permulaan menjadi subjek pajak dalam negeri dalam tahun takwim yang bersangkutan.
JUMLAH TANGGUNGAN KELUARGA UNTUK PTKP
Isilah titik-titik yang tersedia dengan jumlah tanggungan keluarga yang berhak mendapatkan pengurangan PTKP, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap pegawai tetap termasuk komisaris dan anggota dewan pengawas yang merangkap sebagai pegawai tetap dan untuk setiap penerima pensiun atau THT/JHT.
Jumlah tanggungan keluarga tersebut ditentukan menurut keadaan pada tanggal 1 Januari tahun yang bersangkutan atau pada permulaan menjadi subjek pajak dalam negeri dalam tahun takwim yang bersangkutan.
Bagi karyawati dengan status kawin, PTKP yang dapat dikurangkan hanya untuk dirinya sendiri (TK/-) kecuali ada keterangan tertulis dari Pemerintah Daerah setempat serendah-rendahnya kecamatan yang menyatakan bahwa suaminya tidak menerima atau memperoleh penghasilan dalam tahun takwim yang bersangkutan. Dalam hal demikian, maka PTKP yang dapat ikurangkan selain untuk dirinya sendiri juga PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.
Bagi karyawati status tidak kawin, PTKP yang dapat dikurangkan selain untuk dirinya sendiri juga PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.
Penjelasan:
K/- berarti status kawin dan tidak mempunyai tanggungan keluarga;
TK/- berarti status tidak kawin dan tidak mempunyai tanggungan keluarga atau karyawati status kawinyang suaminya menerima atau memperoleh penghasilan dalam tahun takwim yang bersangkutan.
K/1 berarti status kawin dan mempunyai tanggungan keluarga sebanyak 1 (satu) orang;
TK/1 berarti status tidak kawin tetapi mempunyai tanggungan keluarga sebanyak 1 (satu) orang. dan seterusnya.
MASA PEROLEHAN PENGHASILAN
Bagian ini diisi dengan masa perolehan penghasilan dalam tahun takwim yang bersangkutan (misalnya : Januari
s.d. Desember 2002; Januari s.d. Mei 2002; Maret s.d. Desember 2002; dan sebagainya).
A. RINCIAN PENGHASILAN DAN PENGHITUNGAN PPh PASAL 21
PENGHASILAN BRUTO
Angka 1 sampai dengan Angka 9 diisi dengan jumlah penghasilan yang sebenarnya diterima atau diperoleh pegawai tetap atau penerima pensiun atau THT/JHT selama masa perolehan penghasilan tersebut.
Angka 1 GAJI/PENSIUN ATAU THT/JHT
Bagian ini diisi dengan jumlah gaji atau pensiun atau THT/JHT yang diterima atau diperoleh secara bulanan atau teratur oleh pegawai tetap atau penerima pensiun atau THT/JHT dalam tahun takwim yang bersangkutan.
Angka 2 TUNJANGAN PPh
Bagian ini diisi dengan jumlah tunjangan PPh yang diterima atau diperoleh pegawai tetap atau penerima pensiun atau THT/JHT dalam tahun takwim yang bersangkutan.
Angka 3
TUNJANGAN LAINNYA, UANG LEMBUR, DAN SEBAGAINYA
Bagian ini diisi dengan jumlah tunjangan, seperti tunjangan isteri dan atau tunjangan anak, tunjangan kemahalan, tunjangan jabatan, tunjangan khusus, tunjangan transpor, tunjangan pendidikan anak, dan tunjangan lainnya dengan nama apapun, termasuk uang penggantian, uang lembur, dan sebagainya, yang diterima atau diperoleh pegawai tetap atau penerima pensiun atau THT/JHT dalam tahun takwim yang bersangkutan.
Angka 4
HONORARIUM DAN IMBALAN LAIN SEJENISNYA
Bagian ini diisi dengan jumlah honorarium/imbalan lain, yang diterima atau diperoleh pegawai tetap atau penerima pensiun/THT/JHT dalam tahun takwim yang bersangkutan.
Angka 5
PREMI ASURANSI YANG DIBAYAR PEMBERI KERJA
Bagian ini diisi dengan jumlah premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa yang dibayar pemberi kerja kepada perusahaan asuransi atau penyelenggara Jamsostek untuk pegawai tetap dalam tahun takwim yang bersangkutan.
Angka 6
PENERIMAAN DALAM BENTUK NATURA DAN KENIKMATAN LAINNYA YANG DIKENAKAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21
Bagian ini diisi dengan jumlah yang sebenarnya dikeluarkan oleh pemberi kerja sehubungan dengan pemberian dalam bentuk natura dan kenikmatan kepada pegawai yang bersangkutan oleh pemberi kerja yang bukan Wajib Pajak atau Wajib Pajak yang dikenakan PPh yang bersifat final dan yang dikenakan PPh berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit).
Angka 7
JUMLAH (1 S.D. 6)
Bagian ini diisi dengan hasil penjumlahan dari jumlah pada Angka 1 sampai dengan jumlah pada Angka 6.
Angka 8
TANTIEM, BONUS, GRATIFIKASI, JASA PRODUKSI, DAN THR
Bagian ini diisi dengan jumlah tantiem, bonus, gratifikasi, jasa produksi, Tunjangan Hari Raya (THR), dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap dan biasanya diberikan sekali dalam setahun yang diterima atau diperoleh pegawai tetap termasuk komisaris dan anggota dewan pengawas yang merangkap sebagai pegawai tetap dan penerima pensiun atau THT/JHT dalam tahun takwim yang bersangkutan.
Angka 9
JUMLAH PENGHASILAN BRUTO (7 + 8)
Bagian ini diisi dengan hasil penjumlahan dari jumlah pada Angka 7 dan jumlah Angka 8.
a. BAGI PEGAWAI TETAP
PENGURANGAN
Angka 10
BIAYA JABATAN/BIAYA PENSIUN ATAS PENGHASILAN PADA ANGKA 7
Bagian ini diisi dengan jumlah biaya jabatan yang diperbolehkan, yaitu sebesar 5% dari jumlah penghasilan pada Angka 7, dengan batasan paling tinggi Rp 1.296.000,00 (satu juta dua ratus sembilan puluh enam ribu rupiah) dalam setahun atau Rp 108.000,00 (seratus delapan ribu rupiah) dalam sebulan, menurut banyaknya bulan perolehan.
b. BAGI PENERIMA PENSIUN ATAU THT/JHT
Bagian ini diisi dengan jumlah biaya pensiun yang diperbolehkan, yaitu sebesar 5% dari jumlah penghasilan pada Angka 7, dengan batasan paling tinggi Rp 432.000,00 (empat ratus tiga puluh dua ribu rupiah) dalam setahun atau Rp 36.000,00 (tiga puluh enam ribu rupiah) dalam sebulan, menurut banyaknya bulan perolehan.
Angka 11
BIAYA JABATAN/BIAYA PENSIUN ATAS PENGHASILAN PADA ANGKA 8
Bagian ini diisi dengan jumlah biaya jabatan/biaya pensiun yang diperbolehkan, yaitu sebesar 5% dari tantiem, bonus, gratifikasi, jasa produksi, THR (jumlah pada Angka 8), sepanjang jumlah yang diisikan pada Angka 10 belum mencapai jumlah batasan paling tinggi yang diperbolehkan, yaitu Rp 1.296.000,00 (satu juta dua ratus sembilan puluh enam ribu rupiah) setahun untuk pegawai tetap atau Rp 432.000,00 (empat ratus tiga puluh dua ribu rupiah) setahun untuk penerima pensiun atau THT/JHT. Perlu diperhatikan bahwa hasil penjumlahan dari jumlah pada Angka 10 dengan jumlah pada Angka 11 ini tidak boleh melebihi jumlah batasan paling tinggi tersebut.
Beberapa contoh penghitungan biaya jabatan untuk pegawai tetap adalah sebagai berikut : Contoh 1:
Misalnya masa perolehan penghasilan adalah Januari s.d. Desember 2002 (12 bulan).
Apabila diketahui bahwa jumlah pada Angka 7 adalah Rp 30.000.000,00 dan jumlah pada Angka 8 adalah Rp 0.000.000,00, maka jumlah biaya jabatan pada Angka 10 adalah Rp 1.296.000,00.
Jumlah pada Angka 10 tersebut diperoleh dari 5% x Rp 30.000.000,00 = Rp 1.500.000,00, namun yang diisikan pada Angka 10 adalah Rp 1.296.000,00 yaitu jumlah batasan paling tinggi yang diperbolehkan.
Dengan demikian pada Angka 11 ini diisi NIHIL karena jumlah yang diisikan pada Angka 10 telah mencapai jumlah batasan paling tinggi yang diperbolehkan.
Contoh 2:
Misalnya masa perolehan penghasilan adalah Januari s.d. Desember 2002 (12 bulan).
Apabila diketahui bahwa jumlah pada Angka 7 adalah Rp 20.000.000,00 dan jumlah pada Angka 8 adalah Rp 10.000.000,00, maka jumlah biaya jabatan yang diisikan pada Angka 10 adalah Rp 1.000.000,00 yaitu 5% x Rp 20.000.000,00.
Dengan demikian pada Angka 11 ini diisi Rp 296.000,00, yaitu meskipun 5% x Rp 10.000.000,00 adalah sebesar Rp 500.000,00, namun yang diisikan pada Angka 11 hanya sebesar Rp 296.000,00, karena jumlah pada Angka 10 (Rp 1.000.000,00) ditambah dengan jumlah pada Angka 11 tidak boleh melebihi jumlah batasan paling tinggi yang diperbolehkan yaitu Rp 1.296.000,00.
Cara penghitungan pada kedua contoh tersebut di atas, berlaku pula bagi penerima pensiun atau THT/JHT.
Angka 12
IURAN PENSIUN ATAU IURAN THT/JHT
Bagian ini diisi dengan jumlah iuran pensiun yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai tetap kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau pembayaran iuran THT/JHT kepada badan penyelenggara THT/JHT yang dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
Angka 13
JUMLAH PENGURANGAN (10 + 11 + 12)
Bagian ini diisi dengan hasil penjumlahan dari jumlah pada Angka 10, Angka 11 dan jumlah pada Angka 12.
PENGHITUNGAN PPh PASAL 21
Angka 14
JUMLAH PENGHASILAN NETO (9 - 13)
Bagian ini diisi dengan hasil pengurangan dari jumlah pada Angka 9 dengan jumlah pada Angka 13.
Angka 15
PENGHASILAN NETO MASA SEBELUMNYA
Bagian ini hanya diisi oleh Pemotong Pajak yang baru baik karena pegawai yang bersangkutan adalah pindahan dari kantor pusat atau kantor cabang lainnya dari pemberi kerja yang sama maupun karena pindah kerja ke
pemberi kerja yang lain dalam tahun berjalan, atau oleh Dana Pensiun bagi peserta Xxxx Xxxxxxx yang baru pensiun. Jumlah yang diisikan adalah sesuai dengan jumlah pada Angka 14 dari Formulir 1721-A1 yang dibuat oleh kantor pusat atau kantor cabang lainnya tempat pegawai tersebut dikaryakan sebelumnya, atau pemberi kerja sebelumnya (untuk pegawai yang pindah dari pemberi kerja lain) atau oleh pemberi kerja sebelum pegawai tersebut pensiun. Untuk keperluan ini, maka pegawai atau penerima penghasilan berkewajiban untuk menyerahkan bukti pemotongan PPh Pasal 21 1721 A-1 (dibuat oleh Pemotong Pajak lama) kepada Pemotong Pajak yang baru.
Angka 16
JUMLAH PENGHASILAN NETO UNTUK PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 (SETAHUN/DISETAHUNKAN)
Bagian ini diisi dengan memperhatikan keadaan-keadaan sebagai berikut :
1. Apabila masa perolehan penghasilan meliputi 1 (satu) tahun takwim, yaitu Januari s.d. Desember, bagian ini diisi sesuai dengan jumlah pada angka 14.
2. Apabila masa perolehan penghasilan meliputi masa kurang dari 1 (satu) tahun takwim, maka:
a. Dalam hal pegawai yang bersangkutan pada akhir masa perolehan penghasilan yang dipindahkan ke kantor pusat atau cabang lainnya dari pemberi kerja yang sama, oleh Pemotong Pajak yang lama diisi dengan hasil perhitungan sebagai berikut:
b. Jumlah pada Angka 7 dikurangi dengan jumlah pada Angka 10 dan Angka 12 kemudian disetahunkan dan selanjutnya ditambah dengan jumlah pada Angka 8 setelah dikurangi dengan jumlah pada Angka 11.
Contoh:
Misalnya masa perolehan penghasilan adalah Januari s.d. Mei 2002 (5 bulan).Apabila diketahui bahwa:
- Jumlah pada Angka 7 adalah Rp 30.000.000,00
- Jumlah iuran pensiun pada Angka 12 adalah Rp 100.000,00
- Jumlah gratifikasi pada Angka 8 adalah Rp 10.000.000,00, maka:
- Jumlah biaya jabatan pada Angka 10 adalah Rp 540.000,00 (meskipun 5% x Rp 30.000.000,00
= Rp 1.500.000,00, namun jumlah paling tinggi yang diperbolehkan adalah 5 x Rp 108.000,00
= Rp 540.000,00).
- Jumlah biaya jabatan pada Angka 11 adalah Nihil, karena jumlah pada Angka 10 telah mencapai jumlah paling tinggi yang diperbolehkan.
- Untuk mengisi angka 16 dihitung sebagai berikut:
(Jumlah pada Angka 7 dikurangi dengan jumlah pada Angka 10 dikurangi dengan jumlah pada Angka 12) yang disetahunkan adalah Rp. 70.464.000,00, yaitu 12/5 x (Rp 30.000.000,00 - Rp 540.000,00 - Rp. 100.000,00).
- Jumlah pada Angka 8 dikurangi jumlah pada Angka 11 adalah Rp 10.000.000,00, yaitu Rp 10.000.000,00 dikurangi Nihil.
- Dengan demikian jumlah yang diisikan pada Angka 16 ini adalah Rp 80.464.000,00, yaitu Rp.
70.464.000,00 + Rp. 10.000.000,00.
c. Dalam hal pegawai yang bersangkutan pada akhir masa perolehan penghasilan:
1. Berhenti menjadi pegawai, namun tidak meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya, atau
2. Berhenti menjadi pegawai karena pensiun atau pindah ke pemberi kerja lainnya di Indonesia.
maka Angka 16 ini oleh Xxxxxxxx Xxxxx yang lama diisi dengan jumlah sesuai dengan jumlah pada Angka 14.
d. Dalam hal pegawai yang bersangkutan:
1. Pada akhir masa perolehan penghasilan berhenti menjadi pegawai dan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya, atau
2. Berhenti menjadi pegawai karena meninggal dunia, atau
3. Pegawai dari luar negeri (expatriate) yang baru berada di Indonesia dalam tahun takwim yang bersangkutan.
maka Angka 16 ini diisi dengan jumlah pada Angka 7 dikurangi dengan jumlah pada Angka 10 dan Angka 12 kemudian disetahunkan dan selanjutnya ditambah dengan jumlah pada Angka 8 setelah dikurangi dengan jumlah pada Angka 11.
Contoh butir 1, 2 dan 3 adalah sesuai perhitungan sebagaimana dimaksud dalam angka 2 huruf a diatas.
e. Dalam hal pegawai yang bersangkutan adalah pegawai baru (benar-benar baru mulai bekerja), yang pada tanggal 1 Januari tahun yang bersangkutan telah berada atau bertempat tinggal di Indonesia, pada Angka 16 ini diisi dengan jumlah sesuai dengan jumlah pada Angka 14.
f. Dalam hal pegawai yang bersangkutan adalah pindahan dari kantor pusat atau
cabang lainnya dari pemberi kerja yang sama atau pegawai baru karena pindahan dari pemberi kerja lain, atau baru pensiun, pada Angka 16 ini oleh Pemotong Pajak yang baru diisi dengan hasil penjumlahan jumlah pada Angka 14 dengan jumlah pada Angka 15.
Angka 17
PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (PTKP)
Bagian ini diisi dengan jumlah PTKP setahun yang besarnya dihitung dengan memperhatikan jumlah tanggungan keluarga untuk PTKP dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Untuk diri pegawai tetap dan penerima pensiun Rp 2.880.000,00
b. Tambahan untuk pegawai tetap dan penerima pensiun yang kawin Rp 1.440.000,00
c. Tambahan untuk setiap orang keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan Rp 1.440.000,00 lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya paling banyak 3 (tiga)
orang
Angka 18
PENGHASILAN KENA PAJAK SETAHUN/DISETAHUNKAN (16 - 17)
Bagian ini diisi dengan hasil pengurangan dari jumlah pada Angka 16 dengan jumlah pada Angka 17.
Angka 19
PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN KENA PAJAK SETAHUN/DISETAHUNKAN
Bagian ini diisi dengan hasil penerapan tarif Pasal 17 UU PPh atas penghasilan kena pajak pada Angka 18.
Angka 20
PPh PASAL 21 YANG TELAH DIPOTONG MASA SEBELUMNYA
Bagian ini hanya diisi oleh Pemotong Pajak yang baru baik karena pegawai yang bersangkutan adalah pindahan dari kantor pusat atau kantor cabang lainnya dari pemberi kerja yang sama maupun karena pindah kerja ke pemberi kerja yang lain dalam tahun berjalan, atau oleh Dana Pensiun bagi peserta Dana Pensiun yang baru pensiun. Jumlah yang diisikan adalah sesuai dengan jumlah pada Angka 21 dari Formulir 1721-A1 yang dibuat oleh kantor pusat atau kantor cabang lainnya tempat pegawai tersebut dikaryakan sebelumnya atau oleh pemberi kerja sebelumnya, atau oleh pemberi kerja sebelum pegawai tersebut pensiun.
Angka 21
PPh PASAL 21 TERUTANG
Bagian ini diisi dengan memperhatikan keadaan-keadaan sebagai berikut:
1. Dalam hal penghasilan neto untuk penghitungan PPh Pasal 21 pada Angka 16 adalah jumlah yang tidak disetahunkan (lihat butir 1, butir 2 huruf b dan d petunjuk pengisian Angka 16), maka bagian ini diisi dengan jumlah sesuai dengan jumlah pada Angka 19.
2. Dalam hal pegawai yang bersangkutan adalah pindahan dari kantor pusat atau kantor cabang lainnya dari pemberi kerja yang sama atau pegawai baru karena pindahan dari pemberi kerja lain, atau pegawai baru pensiun (lihat butir 2 huruf e petunjuk pengisian Angka 16), maka bagian ini diisi dengan jumlah hasil pengurangan dari jumlah pada Angka 19 dengan jumlah pada Angka 20.
3. Dalam hal jumlah penghasilan neto untuk penghitungan PPh Pasal 21 pada Angka 16 merupakan hasil penghitungan yang disetahunkan (lihat butir 2 huruf a dan c petunjuk pengisian Angka 16), maka bagian ini diisi dengan jumlah pajak yang sebanding, sesuai dengan banyaknya masa perolehan penghasilan, terhadap jumlah total pajak sebagai hasil penerapan tarif Pasal 17 UU PPh atas penghasilan kena pajak pada Angka 18.
Contoh : Masa perolehan penghasilan misalnya 6 bulan, yakni Januari s.d. Juni 2002 dan Penghasilan Kena Pajak pada Angka 18 adalah Rp 50.000.000,00.
Hasil penerapan tarif Pasal 17 UU PPh atas penghasilan kena pajak pada Angka 18 adalah sebesar Rp 3.750.000,00, sebagai hasil dari penghitungan sebagai berikut :
5% x Rp 25.000.000,00 = Rp 1.250.000,00
10% x Rp 25.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
Rp 3.750.000,00
Dengan demikian Angka 21 ini diisi dengan jumlah Rp 1.875.000,00, yaitu 6/12 x Rp 3.750.000,00.
Angka 22
PPh PASAL 21 DITANGGUNG PEMERINTAH
Bagian ini diisi dengan jumlah PPh Pasal 21 yang ditanggung pemerintah pada tahun takwin yang bersangkutan. Dalam hal hasil penghitungan PPh Pasal 21 yang ditanggung pemerintah lebih besar dari PPh Pasal 21 terutang (angka 21) maka maksimum jumlah yang diisikan pada angka 22 adalah sebesar jumlah pada angka 21.
Angka 23
PPh PASAL 21 YANG HARUS DIPOTONG (21 - 22)
Bagian itu diisi dengan hasil pengurangan dari jumlah pada Angka 21 dikurangi dengan jumlah pada Angka 22.
Angka 24
PPh PASAL 21 DAN PPh PASAL 26 YANG TELAH DIPOTONG DAN DILUNASI
Bagian ini diisi dengan jumlah PPh Pasal 21, dan PPh Pasal 26 (dalam hal pegawai Wajib Pajak luar negeri berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri), yang telah dipotong dan dilunasi oleh Pemotong Pajak untuk tahun takwim yang bersangkutan, dan kompensasi kelebihan tahun takwim sebelumnya.
Angka 25
JUMLAH PPh PASAL 21 YANG KURANG/LEBIH DIPOTONG
Bagian ini diisi dengan memperhatikan keadaan-keadaan sebagai berikut:
- Dalam hal jumlah pada Angka 23 lebih besar dari jumlah pada Angka 24, maka bagian ini diisi dengan hasil pengurangan dari jumlah pada Angka 23 dengan jumlah pada Angka 24 dan isikan tanda X dalam kotak a. YANG KURANG DIPOTONG (23 - 24); atau
- Dalam hal jumlah pada Angka 24 lebih besar dari jumlah pada Angka 23, maka bagian ini diisi dengan hasil pengurangan dari jumlah pada Angka 24 dengan jumlah pada Angka 23 dan isikan tanda X dalam kotak b. YANG LEBIH DIPOTONG (24 - 23); atau
- Dalam hal jumlah pada Angka 23 sama besarnya dengan jumlah pada Angka 24, maka bagian ini diisi NIHIL.
Angka 26
Bagian ini diisi dengan memperhatikan keadaan-keadaan sebagai berikut:
- Dalam hal jumlah pada Angka 25 menunjukkan jumlah yang kurang dipotong, maka bagian ini diisi dengan jumlah kekurangan PPh Pasal 21 tahun takwim yang bersangkutan yang dipotong dari gaji bulan diisinya Formulir 1721-a1 serta isikan tanda X dan bulan yang bersangkutan dalam kotak a. DIPOTONG DARI PEMBAYARAN GAJI BULAN ………………… TAHUN ; atau
- Dalam hal jumlah pada Angka 25 menunjukkan jumlah yang lebih dipotong, maka bagian ini diisi dengan jumlah kelebihan PPh Pasal 21 tahun takwim yang bersangkutan yang diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 bulan diisinya Formulir 1721-A1 serta isikan tanda x dan bulan yang bersangkutan dalam kotak b. DIPERHITUNGKAN DENGAN PPh PASAL 21 BULAN ………………… TAHUN ………………………
B. Bagian ini diisi dengan tanda X dalam kotak yang sesuai serta tanda tangan pimpinan sebagaimana dimaksud Formulir 1721 (atau yang ditunjuknya) atau kuasanya, nama lengkap yang membubuhkan tanda tangannya, serta tempat, tanggal, bulan, dan tahun diisinya Formulir 1721-A1 ini, pada tempat yang sudah tersedia.
LAMPIRAN IB (FORMULIR 1721-A2)
PENGHASILAN DAN PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 PEGAWAI NEGERI SIPIL, ANGGOTA TNI/POLRI, PEJABAT NEGARA, DAN PENSIUNANNYA
Formulir ini digunakan oleh Bendaharawan Pemerintah dan badan lain (PT Taspen dan PT Asabri) selaku Pemotong Pajak PPh Pasal 21 yang membayarkan penghasilan sehubungan dengan pekerjaan/jasa/pensiun, untuk menghitung besarnya penghasilan dan PPh Pasal 21 yang terutang untuk tahun takwim yang bersangkutan dari setiap Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI/POLRI, Pejabat Negara, dan Pensiunannya yang jumlah penghasilan netonya melebihi PTKP.
Dalam pengertian pensiunan termasuk mereka yang berhak menerima uang pensiun.
TAHUN TAKWIM
Bagian ini diisi dengan tahun takwim yang bersangkutan dalam kotak yang berkenaan.
Contoh : | 2 | 0 | 0 | 2 |
NOMOR URUT
Bagian ini diisi dengan nomor urut pengisian tiap lembar Formulir 1721-A2.
NAMA INSTANSI/BADAN LAIN
Bagian ini diisi dengan nama instansi/badan lain dari Bendaharawan Pemotong Pajak PPh Pasal 21.
Contoh :
- Direktorat Jenderal Pajak
- DPRD Propinsi Jawa Tengah
- PT Taspen
- PT Asabri
NPWP BENDAHARAWAN
Bagian ini diisi dengan NPWP Xxxxxxxxxxxx selaku Pemotong Pajak sesuai dengan NPWP yang tercantum pada Kartu NPWP.
NAMA BENDAHARAWAN
Bagian ini diisi dengan nama Xxxxxxxxxxxx selaku Pemotong Pajak, sesuai dengan nama Pemotong Pajak yang tercantum pada Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak (Kartu NPWP)
Contoh :
- Bendaharawan Proyek Pengembangan Hutan Rakyat dan Persuteraan Alam Pusat - Departemen Kehutanan dan Perkebunan.
- Bendaharawan Gaji Departemen Keuangan.
ALAMAT BENDAHARAWAN
Bagian ini diisi dengan alamat Xxxxxxxxxxxx selaku Pemotong Pajak, sesuai dengan alamat Pemotong Pajak yang tercantum pada Kartu NPWP.
NAMA PEGAWAI/PENSIUNAN
Bagian ini diisi dengan nama Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI/POLRI, Pejabat Negara, dan Pensiunannya yang menerima penghasilan.
NIP/NRP
Bagian ini diisi dengan NIP/NRP atau nomor pokok kepegawaian dari Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI/POLRI, Pejabat Negara, dan Pensiunannya yang bersangkutan.
NPWP PEGAWAI/PENSIUNAN
Bagian ini diisi dengan NPWP Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI/POLRI, Pejabat Negara, dan Pensiunannya apabila yang bersangkutan mempunyai NPWP.
ALAMAT PEGAWAI/PENSIUNAN
Bagian ini diisi dengan alamat tempat tinggal Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI/POLRI, Pejabat Negara, dan Pensiunannya.
PANGKAT/GOLONGAN
Bagian ini diisi dengan pangkat/golongan Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI/POLRI, Pejabat Negara, dan Pensiunannya.
JABATAN
Bagian ini diisi dengan Jabatan Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI/POLRI, dan Pejabat Negara.
STATUS DAN JENIS KELAMIN
Berilah tanda X dalam kotak yang sesuai dengan status dan jenis kelamin Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI/POLRI, Pejabat Negara, dan Pensiunannya. Status tersebut ditentukan menurut keadaan pada tanggal 1 Januari tahun yang bersangkutan.
JUMLAH TANGGUNGAN KELUARGA UNTUK PTKP
Istilah titik-titik yang tersedia dengan jumlah tanggungan keluarga yang berhak mendapatkan pengurangan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI/POLRI, Pejabat Negara, dan Pensiunannya.
Jumlah tanggungan keluarga tersebut ditentukan menurut keadaan pada tanggal 1 Januari tahun yang bersangkutan.
Bagi karyawati dengan status kawin, PTKP yang dapat dikurangkan hanya untuk dirinya sendiri (TK/-) kecuali apabila ada keterangan tertulis dari Pemerintah Daerah setempat, serendah-rendahnya kecamatan, yang menyatakan bahwa suaminya tidak menerima atau memperoleh penghasilan dalam tahun takwim yang bersangkutan, maka PTKP yang dapat dikurangkan, selain untuk dirinya sendiri, juga tambahan PTKP karena kawin dan PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.
Bagi karyawati dengan status tidak kawin, PTKP yang dapat dikurangkan, selain untuk dirinya sendiri, juga PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.
Penjelasan:
K/- berarti status kawin dan tidak mempunyai tanggungan keluarga;
TK/- berarti status tidak kawin dan tidak mempunyai tanggungan keluarga atau karyawati status kawin yang suaminya menerima atau memperoleh penghasilan dalam tahun takwim yang bersangkutan;
K/1 berarti status kawin dan mempunyai tanggungan keluarga sebanyak 1 (satu) orang;
TK/1 berarti status tidak kawin tetapi mempunyai tanggungan keluarga sebanyak 1 (satu) orang;dan seterusnya.
MASA PEROLEHAN PENGHASILAN
Bagian ini diisi dengan masa perolehan penghasilan dalam tahun takwim yang bersangkutan (misalnya : Januari
s.d. Desember 2002; Januari s.d. Mei 2002; Maret s.d. Desember 2002; dan sebagainya).
A. RINCIAN PENGHASILAN DAN PENGHITUNGAN PPh PASAL 21
PENGHASILAN BRUTO
Angka 1 sampai dengan Angka 10 diisi dengan jumlah penghasilan yang sebenarnya diterima atau diperoleh Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI/POLRI, Pejabat Negara, dan Pensiunannya selama masa perolehan penghasilan.
Angka 1GAJI POKOK/PENSIUN
Bagian ini diisi dengan jumlah gaji pokok yang diterima/diperoleh Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI/POLRI, Pejabat Negara atau pokok pensiun dari Pensiunan yang bersangkutan dalam tahun takwim yang bersangkutan.
Angka 2TUNJANGAN ISTERI
Bagian ini diisi dengan jumlah tunjangan isteri yang diterima/diperoleh Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI/POLRI, Pejabat Negara, dan Pensiunannya dalam tahun takwim yang bersangkutan.
Angka 3TUNJANGAN ANAK
Bagian ini diisi dengan jumlah tunjangan anak yang diterima/diperoleh Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI/POLRI, Pejabat Negara, dan Pensiunannya dalam tahun takwim yang bersangkutan.
Angka 4JUMLAH GAJI DAN TUNJANGAN KELUARGA (1 + 2 + 3)
Bagian ini diisi dengan hasil penjumlahan dari jumlah pada Angka 1 sampai dengan jumlah pada Angka 3.
Angka 5TUNJANGAN PERBAIKAN PENGHASILAN
Bagian ini diisi dengan jumlah tunjangan perbaikan penghasilan yang diterima/diperoleh Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI/POLRI, Pejabat Negara, dan Pensiunannya dalam tahun takwim yang bersangkutan.
Angka 6
TUNJANGAN STRUKTURAL/FUNGSIONAL
Bagian ini diisi dengan jumlah tunjangan struktural/fungsional yang diterima/diperoleh Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI/POLRI, Pejabat Negara, dan Pensiunannya dalam tahun takwim yang bersangkutan.
Angka 7 TUNJANGAN BERAS
Bagian ini diisi dengan jumlah tunjangan beras yang diterima/diperoleh Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI/POLRI, Pejabat Negara, dan Pensiunannya dalam tahun takwim yang bersangkutan.
Angka 8TUNJANGAN KHUSUS
Bagian ini diisi dengan jumlah tunjangan khusus yang diterima/diperoleh Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI/POLRI, Pejabat Negara, dan Pensiunannya dalam tahun takwim yang bersangkutan.
Angka 9TUNJANGAN LAIN-LAIN
Bagian ini diisi dengan jumlah tunjangan lain-lain yang diterima/diperoleh Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI/POLRI, Pejabat Negara, dan Pensiunannya dalam tahun takwim yang bersangkutan.
Angka 10JUMLAH (4 s.d. 9)
Bagian ini diisi dengan hasil penjumlahan dari jumlah pada Angka 4 s.d. jumlah pada Angka 9.
PENGURANGAN
Angka 11BIAYA JABATAN/BIAYA PENSIUN
a. BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL, ANGGOTA TNI/POLRI, DAN PEJABAT NEGARA
Bagian ini diisi dengan jumlah biaya jabatan yang diperbolehkan, yaitu sebesar 5% dari penghasilan bruto (jumlah pada Angka 10), dengan batasan paling tinggi Rp 1.296.000,00 (satu juta dua ratus sembilan puluh enam ribu rupiah) dalam setahun atau Rp 108.000,00 (seratus delapan ribu rupiah) dalam sebulan, menurut
banyaknya bulan perolehan.
b. BAGI PENSIUNAN
Bagian ini diisi dengan jumlah biaya pensiun yang diperbolehkan, yaitu sebesar 5% dari penghasilan bruto (jumlah pada Angka 10), dengan batasan paling tinggi Rp 432.000,00 (empat ratus tiga puluh dua ribu rupiah) dalam setahun atau Rp 36.000,00 (tiga puluh enam ribu rupiah) dalam sebulan, menurut banyaknya bulan perolehan.
Angka 12IURAN PENSIUN ATAU IURAN THT
Bagian ini diisi dengan jumlah iuran pensiun atau iuran THT yang dibayar oleh Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI/POLRI, dan Pejabat Negara dalam tahun takwim yang bersangkutan.
Angka 13
JUMLAH PENGUANGAN (11 + 12)
Bagian ini diisi dengan hasil penjumlahan dari jumlah pada Angka 11 dengan jumlah pada Angka 12.
PENGHITUNGAN PPh PASAL 21
Angka 14
JUMLAH PENGHASILAN NETO (10 - 13)
Bagian ini diisi dengan hasil pengurangan dari jumlah pada Angka 10 dengan jumlah pada Angka 13.
Angka 15
JUMLAH PENGHASILAN NETO UNTUK PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 (SETAHUN/DISETAHUNKAN)
Bagian ini diisi dengan memperhatikan keadaan-keadaan sebagai berikut:
1. Apabila masa perolehan penghasilan meliputi 1 (satu) tahun takwim yaitu Januari s.d. Desember, maka bagian ini diisi dengan jumlah yang sama dengan jumlah pada Angka 14.
2. Apabila masa perolehan penghasilan kurang dari satu tahun takwim (hanya untuk masa perolehan beberapa bulan saja), maka bagian ini diisi dengan jumlah penghasilan neto pada Angka 14 yang disetahunkan.
Contoh:
- Masa perolehan penghasilan adalah Januari s.d. Agustus 2002 (8 bulan).
- Jumlah penghasilan neto pada Angka 14 adalah Rp 8.000.000,00.
- Bagian ini diisi dengan Rp 12.000.000,00, yaitu 12/8 x Rp 8.000.000,00.
3. Apabila Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI/POLRI, dan Pejabat Negara seperti pada butir 2 diatas pindah tugas ke instansi lainnya, maka pengisian bagian ini oleh Bendaharawan instansi yang baru adalah dengan menjumlahkan jumlah pada Angka 14 Formulir 1721-A2 yang dibuat oleh Bendaharawan tersebut dengan jumlah pada Angka 14 Formulir 1721-A2 yang dibuat oleh Bendaharawan Instansi yang lama.
Untuk keperluan ini, maka Pegawai atau Penerima penghasilan berkewajiban untuk menyerahkan bukti pemotongan PPh Pasal 21 1721-A2 (dibuat oleh Bendaharawan instansi yang lama) kepada Bendaharawan instansi yang baru.
Contoh:
Misalnya masa perolehan penghasilan di instansi yang baru adalah September s.d. Desember 2002 (4 bulan) dan jumlah penghasilan neto pada Angka 14 adalah Rp 4.000.000,00.
Dengan demikian bagian ini diisi dengan Rp 12.000.000,00 yaitu hasil penjumlahan dari jumlah pada Angka 14 Formulir 1721-A2 ini (Rp4.000.000,00) dengan jumlah pada Angka 14 Formulir 1721-A2 yang dibuat oleh Bendaharawan instansi yang lama (Rp8.000.000,00).
Angka 16PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (PTKP)
Bagian ini diisi dengan jumlah PTKP setahun yang besarnya sebagai berikut:
a. untuk diri Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI/POLRI,Pejabat Negara, dan Rp 2.880.000,00 Pensiunannya
b. tambahan untuk Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI/POLRI,Pejabat Negara, dan Rp 1.440.000,00 Pensiunannya yang kawin
c. tambahan untuk setiap orang keluarga sedarah dan semenda dalam garis Rp 1.440.000,00 keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya paling
banyak 3 (tiga) orang
Angka 17
PENGHASILAN KENA PAJAK (15 - 16)
Bagian ini diisi dengan hasil pengurangan dari jumlah pada Angka 15 dengan jumlah pada Angka 16.
Angka 18
PPh PASAL 21 TERUTANG
Bagian ini diisi dengan memperhatikan keadaan-keadaan sebagai berikut:
1. Apabila masa perolehan penghasilan adalah 1 (satu) tahun takwim yaitu Januari s.d.Desember, maka Angka 18 diisi dari hasil penghitungan penerapan tarif Pasal 17 UU PPh atas penghasilan kena pajak pada Angka 17.
2. Dalam hal Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI/POLRI, atau Pejabat Negara dipindahtugaskan, maka pengisian Angka 18 oleh:
a. Bendaharawan instansi yang lama, adalah sesuai dengan contoh sebagai berikut :
- Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI/POLRI, atau Pejabat Negara (TK-) dipindah-tugaskan sejak 1 Juni 2002.
- - | Gaji Januari s.d. Mei 2002 (5 bulan): 5 x Rp 1.000.000,00 Pengurangan : | = | Rp 5.000.000,00 | |||
1. 2. | Biaya jabatan : 5% x Rp 5.000.000,00 Iuran pensiun : 5 x Rp 25.000,00 Jumlah pengurangan | = = | Rp 250.000,00 Rp 125.000,00 | Rp 375.000,00 | ||
- - | Penghasilan neto 5 bulan Penghasilan neto disetahunkan : 12/5 x Rp 4.625.000,00 | = = | Rp 4.625.000,00 Rp 11.100.000,00 | |||
171.250,00 | - - - - | PTKP (TK/-) Penghasilan Kena Pajak PPh Pasal 21 terutang 1 tahun : 5% x Rp 8.220.000,00 PPh Pasal 21 terutang 5 bulan: 5/12 x Rp 411.000,00 | = = = = | Rp 2.880.000,00 Rp 8.220.000,00 Rp 411.000,00 Rp |
Dengan demikian Angka 18 ini diisi dengan Rp 171.250,00.
b. Bendaharawan instansi yang baru, adalah sesuai dengan contoh sebagai berikut:
- Gaji Juni s.d. Desember 2002 (7 bulan) : 7 x Rp 1.000.000,00 = Rp 7.000.000,00
- Pengurangan :
1. Biaya jabatan :
5% x Rp 7.000.000,00 = Rp 350.000,00
2. Iuran pensiun :
7 x Rp 25.000,00 | = | Rp 175.000,00 | ||
Jumlah pengurangan | = | Rp 525.000,00 | ||
- Penghasilan neto 7 bulan | = | Rp 6.475.000,00 | ||
- Penghasilan neto di instansi yang lama | = | Rp 4.625.000,00 | ||
- Penghasilan neto setahun | = | Rp 11.100.000,00 | ||
- PTKP (TK/-) | = | Rp 2.880.000,00 | ||
- Penghasilan Kena Pajak | = | Rp 8.220.000,00 | ||
- PPh Pasal 21 terutang 1 tahun: | ||||
5% x Rp 8.220. 000,00 | = | Rp 411.000,00 | ||
- PPh Pasal 21 terutang pada instansi yang baru | = | |||
Rp 411.000,00 - Rp 171.250,00 | = | Rp 239.750,00 |
Dengan demikian Angka 18 ini diisi dengan Rp 239.750,00.
3. Dalam hal Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI/POLRI, atau Pejabat Negara sebagai pegawai baru, maka pengisian Angka 18 oleh Bendaharawan instansi yang bersangkutan adalah sesuai dengan contoh sebagai berikut:
Pegawai Negeri Sipil (TK/-) mulai bekerja bulan Juni 2002 dengan gaji Rp 1.000.000,00 sebulan.
- Gaji Juni s.d. Desember 2002 (7 bulan) : 7 x Rp 1.000.000,00 = Rp 7.000.000,00
- Pengurangan :
1. Biaya jabatan :
5% x Rp 7.000.000,00 2. Iuran pensiun : | = | Rp 350.000,00 | ||
7 x Rp 25.000,00 Jumlah pengurangan | = | Rp 175.000,00 | = | Rp 525.000,00 |
- Penghasilan neto 7 bulan - PTKP (TK/-) - Penghasilan Kena Pajak - PPh Pasal 21 terutang: 5% x Rp 3.595.000,00 | = = = = | Rp 6.475.000,00 Rp 2.880.000,00 Rp 3.595.000,00 Rp 179.750,00 |
Dengan demikian Angka 18 ini diisi dengan Rp 179.750,00
4. Dalam hal Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI/POLRI, atau Pejabat Negara dalam tahunberjalan memasuki masa pensiun, maka pengisian Angka 18 oleh Bendaharawan Instansi yang lama, adalah sesuai dengan contoh sebagai berikut:
Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI/POLRI, atau Pejabat Negara (K/-) pensiun sejak 1 Juli 2002.
- Gaji Januari s.d. Juni 2002 (6 bulan)
6 x Rp 1.000.000,00 = Rp 6.000.000,00
- Pengurangan :
1. Biaya jabatan :
5% x Rp 6.000.000,00 | = Rp 300.000,00 | |
2. Iuran pensiun : | ||
76 x Rp 25.000,00 | = Rp 150.000,00 | |
Jumlah pengurangan | = Rp 450.000,00 | |
- Penghasilan neto | = Rp 5.550.000,00 | |
- PTKP (TK/-) | = Rp 4.320.000,00 | |
- Penghasilan Kena Pajak | = Rp 1.230.000,00 |
- PPh Pasal 21 terutang:
5% x 1.230.000,00 = Rp 61.500,00
Dengan demikian Angka 18 ini diisi dengan Rp 61.500,00.
Angka 19
PPh PASAL 21 YANG TELAH DIPOTONG
Bagian ini diisi dengan jumlah PPh Pasal 21 yang telah dipotong untuk tahun takwim yang bersangkutan oleh bendaharawan yang bersangkutan.
Angka 20
JUMLAH PPh PASAL 21 YANG KURANG/LEBIH DIPOTONG
Bagian ini diisi dengan memperhatikan keadaan-keadaan sebagai berikut:
1. Dalam hal jumlah pada Angka 18 lebih besar dari jumlah pada Angka 19, maka bagian ini diisi dengan hasil pengurangan dari jumlah pada Angka 18 dengan jumlah pada Angka 19 dan isikan tanda X dalam kotak a. YANG KURANG DIPOTONG (18 - 19).
2. Dalam hal jumlah pada Angka 19 lebih besar dari jumlah pada Angka 18, maka bagian ini diisi dengan hasil pengurangan dari jumlah pada Angka 19 dengan jumlah pada Angka 18 dan isikan tanda X dalam kotak b. YANG LEBIH DIPOTONG (19 - 18).
3. Dalam hal jumlah pada Angka 18 sama dengan jumlah pada Angka 19, maka bagian ini diisi NIHIL.
B. Bagian ini diisi dengan tanda X dalam kotak yang sesuai hanya apabila masa perolehan penghasilan kurang dari 1 tahun.
C. Pemotong Pajak PPh Pasal 21 wajib menandatangani dan membubuhkan nama lengkap, NIP/NRP atau Nomor Pokok Kepegawaian yang bersangkutan, tempat, tanggal, bulan, dan tahun diisinya Formulir 1721-A2.
LAMPIRAN II (FORMULIR 1721-B)
DAFTAR PEGAWAI TIDAK TETAP/PENERIMA HONORARIUM
DAN PENGHASILAN LAINNYA/PENERIMA PENGHASILAN YANG DIKENAKAN
PPh PASAL 21 BERSIFAT FINAL/PEGAWAI DENGAN STATUS WAJIB PAJAK LUAR NEGERI
Formulir ini merupakan daftar yang memuat:
1. Golongan dan jumlah pegawai harian lepas, pegawai tidak tetap, pemagang, dan calon pegawai, penerima honorarium/imbalan lain (termasuk Komisaris atau Anggota Dewan Pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap), dan pemberi jasa profesi, peserta program pensiun yang melakukan penarikan iuran dana pensiun, penerima penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 21 yang bersifat final, dan pegawai dengan status Wajib Pajak luar negeri;
2. Penghasilan dan PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 26 yang terutang untuk setiap golongan penerima penghasilan tersebut pada butir 1, dan PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah untuk golongan penerima penghasilan angka 1 dan 2 kolom (2).
TAHUN TAKWIM
Bagian ini diisi dengan tahun takwim yang bersangkutan dalam kotak yang berkenaan.
Contoh : | 2 | 0 | 0 | 2 |
NPWP PEMOTONG PAJAK
Bagian ini diisi dengan NPWP Pemotong Pajak, sesuai dengan yang tercantum pada Kartu NPWP.
NAMA XXXXXXXX XXXXX
Bagian ini diisi dengan nama Pemotong Pajak, sesuai dengan yang tercantum pada Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak (Kartu NPWP).
RINCIAN GOLONGAN PENERIMA PENGHASILAN, JUMLAH PENGHASILAN, DAN PPh PASAL 21/PASAL 26 TERUTANG.
Cukup jelas
NOMOR
Kolom (1)
GOLONGAN PENERIMA PENGHASILAN
Kolom (2)
Untuk setiap nomor diisikan jumlah banyaknya orang penerima penghasilan dari masing-masing golongan. Selanjutnya jumlah banyaknya orang penerima penghasilan pada Angka 12 dipindahkan ke Formulir 1721 huruf A Angka 2 Kolom (2).
PENGHASILAN BRUTO
Kolom (3)
Kolom ini diisi dengan jumlah penghasilan bruto yang dibayarkan atau terutang dalam tahun takwim yang bersangkutan oleh Pemotong Pajak kepada masing-masing golongan penerima penghasilan pada Kolom (2). Selanjutnya jumlah penghasilan bruto pada Angka 12 Kolom (3) dipindahkan ke Formulir 1721 huruf A Angka 2 Kolom (3).
PENGHASILAN SEBAGAI DASAR PENERAPAN TARIF
Kolom (4)
Kolom ini diisi dengan jumlah penghasilan yang digunakan sebagai dasar penerapan tarif PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 26, termasuk penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 21 yang bersifat final, dengan perincian sebagai berikut:
PPh PASAL 21 TIDAK BERSIFAT FINAL
1. Kolom ini diisi dengan gabungan penghasilan dari seluruh penerima penghasilan pada Angka 1 Kolom (2) yang terdiri dari:
a. penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 21 atas jumlah yang melebihi bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan pajak penghasilan (sehari), sebagaimana diatur dalamKeputusan Menteri Keuangan;
b. penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 21 atas jumlah yang melebihi bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan pajak penghasilan (sebulan), sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan;
c. penghasilan yang dibayar secara bulananUntuk b dan c penghitungannya memperhatikan PTKP penerima penghasilan yang bersangkutan.
2. Untuk golongan penerima penghasilan pada Angka 2, kolom ini diisi dengan hasil pengurangan dari jumlah seluruh penghasilan yang melebihi PTKP dengan jumlah PTKP dari penerima penghasilan yang bersangkutan.
3. Untuk golongan penerima penghasilan pada Angka 3, kolom ini diisi dengan jumlah penghasilan yang digunakan sebagai dasar penerapan tarif PPh Pasal 21 atas penghasilan pada Kolom (3) tanpa memperhatikan PTKP dari penerima penghasilan.
4. Untuk golongan penerima penghasilan pada Angka 4, kolom ini diisi dengan jumlah penghasilan yang
digunakan sebagai dasar penerapan tarif PPh Pasal 21 atas penghasilan pada Kolom (3) tanpa memperhatikan PTKP dari penerima penghasilan.
5. Untuk golongan penerima penghasilan pada Angka 5, kolom ini diisi dengan hasil pengurangan dari jumlah seluruh penghasilan yang melebihi PTKP dengan jumlah PTKP dari penerima penghasilan yang bersangkutan (besarnya PTKP sebanding dengan jumlah masa perolehan penghasilan).
6. Untuk golongan penerima penghasilan pada Angka 6, kolom ini diisi dengan jumlah penghasilan yang digunakan sebagai dasar penerapan tarif PPh Pasal 21 atas penghasilan pada Kolom (3) tanpa memperhatikan PTKP dari penerima penghasilan.
7. Untuk golongan penerima penghasilan pada Angka 7, kolom ini diisi dengan jumlah penghasilan yang digunakan sebagai dasar penerapan tarif PPh Pasal 21 atas penghasilan pada Kolom (3) tanpa memperhatikan PTKP dari penerima penghasilan.
8. Untuk golongan penerima penghasilan pada Angka 8 (tenaga ahli yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris), kolom ini diisi dengan jumlah sebesar perkiraan penghasilan neto (50% dari penghasilan bruto).
PPh PASAL 21 BERSIFAT FINAL
9. Untuk golongan penerima penghasilan pada Angka 9, kolom ini diisi dengan jumlah penghasilan yang digunakan sebagai dasar penerapan tarif PPh Pasal 21 atas penghasilan pada Kolom (3) tanpa memperhatikan PTKP dari penerima penghasilan.
10. Untuk golongan penerima penghasilan pada Angka 10, kolom ini diisi dengan jumlah penghasilan yang digunakan sebagai dasar penerapan tarif PPh Pasal 21 atas penghasilan pada Kolom (3) tanpa memperhatikan PTKP dari penerima penghasilan.
PPh PASAL 26
11. Untuk golongan penerima penghasilan pada Angka 11, kolom ini diisi dengan jumlah penghasilan yang digunakan sebagai dasar penerapan tarif PPh Pasal 26 atas penghasilan pada Kolom (3).
PPh PASAL 21 ATAU PPh PASAL 26 TERUTANG
Kolom (5)
Kolom ini diisi dengan jumlah seluruh PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 26 yang terutang dari setiap golongan penerima penghasilan pada Kolom (2) dengan menerapkan tarif sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
PPh PASAL 21 DITANGGUNG PEMERINTAH
Kolom (6)
Untuk golongan penerima penghasilan pada Angka 1 dan 2, kolom ini diisi dengan jumlah PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah atas penghasilan pada Kolom (3). PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah yang diisikan pada kolom ini adalah jumlah PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah dari masing-masing penerima penghasilan. Dalam hal hasil penghitungan PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah lebih besar dari PPh Pasal 21 terutang maka maksimum PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah yang dapat diisikan dari masing-masing penerima penghasilan adalah sebesar PPh Pasal 21 terutang.
Untuk golongan penerima penghasilan pada angka 1 dan 2 kolom ini harus dibuatkan suatu daftar khusus yang memuat nama pegawai tidak tetap atau penerima upah, jumlah penghasilan bruto, Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), PPh Pasal 21 yang terutang, dan PPh Pasal 21 yang ditanggung pemerintah.
JUMLAH
Bagian ini diisi dengan hasil penjumlahan dari setiap jumlah pada Kolom (2), Kolom (3), Kolom (4), Kolom (5) dan Kolom (6). Jumlah pada Kolom (2) adalah jumlah golongan penerima penghasilan Angka 1 s.d. Angka 11, kecuali Angka 9 huruf b.
LAMPIRAN III (FORMULIR 1721-C)
DAFTAR PENGHASILAN YANG DIBAYARKAN KEPADA PENGURUS, DEWAN KOMISARIS, DEWAN PENGAWAS DAN TENAGA AHLI
TAHUN TAKWIM
Bagian ini diisi dengan tahun takwim yang bersangkutan dalam kotak yang berkenaan.
Contoh : | 2 | 0 | 0 | 2 |
NPWP
Bagian ini diisi dengan NPWP Pemotong Pajak sesuai dengan yang tercantum pada Kartu NPWP.
NAMA XXXXXXXX XXXXX
Bagian ini diisi dengan nama Pemotong Pajak sesuai dengan yang tercantum pada Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak (Kartu NPWP).
BAGIAN A
PENGURUS, DEWAN KOMISARIS, DAN DEWAN PENGAWAS
NOMOR
Kolom (1)
Cukup jelas
NAMA DAN ALAMAT
Kolom (2)
Kolom ini diisi dengan nama dan alamat tempat tinggal masing-masing pengurus, dewan komisaris, dan dewan pengawas.
NPWP
Kolom (3)
Kolom ini diisi dengan NPWP dari masing-masing pengurus, dewan komisaris, dan dewan pengawas.
JABATAN
Kolom (4)
Kolom ini diisi dengan jabatan dari masing-masing pengurus, dewan komisaris, atau dewan pengawas.
PENGHASILAN BRUTO
Kolom (5)
Kolom ini diisi dengan jumlah penghasilan bruto yang dibayarkan atau terutang kepada masing-masing pengurus, dewan komisaris, dan dewan pengawas.
PPh PASAL 21 TERUTANG
Kolom (6)
Kolom ini diisi dengan jumlah PPh Pasal 21 yang terutang dari masing-masing pengurus, dewan komisaris, dan dewan pengawas.
Cukup jelas
BAGIAN B TENAGA AHLI
NOMOR
Kolom (1)
NAMA DAN ALAMAT
Kolom (2)
Kolom ini diisi dengan nama dan alamat tempat tinggal masing-masing tenaga ahli pemberi jasa profesi.
NPWP
Kolom (3)
Kolom ini diisi dengan NPWP dari masing-masing tenaga ahli pemberi jasa profesi.
JENIS KEAHLIAN
Kolom (4)
Kolom ini diisi dengan jenis keahlian dari masing-masing tenaga ahli pemberi jasa profesi (pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris).
PENGHASILAN BRUTO
Kolom (5)
Kolom ini diisi dengan jumlah penghasilan bruto yang dibayarkan atau terutang kepada masing-masing tenaga ahli pemberi jasa profesi.
PENGHASILAN SEBAGAI DASAR PENERAPAN TARIF
Kolom (6)
Kolom ini diisi dengan penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 21, yaitu sebesar perkiraan penghasilan neto (50% dari penghasilan bruto).
PPh PASAL 21 TERUTANG
Kolom (7)
Kolom ini diisi dengan jumlah PPh Pasal 21 yang terutang atas penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada masing-masing tenaga ahli pemberi jasa profesi.
INDUK SPT TAHUNAN PPh PASAL 21 (FORMULIR 1721)
TAHUN TAKWIM
Bagian ini diisi dengan tahun takwim yang bersangkutan dalam kotak yang berkenaan.
Contoh : | 2 | 0 | 0 | 2 |
NPWP PEMOTONG PAJAK
Bagian ini diisi dengan NPWP Pemotong Pajak sesuai dengan yang tercantum pada Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak (Kartu NPWP).
NAMA XXXXXXXX XXXXX
Bagian ini diisi dengan nama Pemotong Pajak sesuai dengan nama yang tercantum pada Kartu NPWP.
ALAMAT PEMOTONG PAJAK
Bagian ini diisi dengan alamat Pemotong Pajak sesuai dengan yang tercantum pada Kartu NPWP.
KOTA/KODE POS
Bagian ini diisi sesuai dengan nama kota yang tercantum pada Kartu NPWP dan kode pos yang bersangkutan pada kotak yang tersedia.
TELEPON/FAX
Cukup jelas
JENIS USAHA
Bagian ini diisi dengan jenis usaha pokok yang dilakukan Wajib Pajak secara lengkap, misalnya:
- Dagang : Perdagangan besar pakaian jadi, perdagangan eceran kertas
- Industri : Industri makanan ternak, industri tekstil
- Jasa : Jasa persewaan bangunan, jasa pemborong bangunan
- Lain-lain : Pertanian/perkebunan kelapa sawit, pertambangan batubara
NAMA PIMPINAN
Bagian ini diisi dengan nama pimpinan dari Pemotong Pajak PPh Pasal 21, misalnya pimpinan perusahaan, cabang, unit, proyek, dan instansi.
A. PEMOTONGAN DAN PENYETORAN PPh PASAL 21 DAN PPh PASAL 26 DALAM TAHUN TAKWIM YANG BERSANGKUTAN.
Cukup Jelas
Angka 1Kolom (1)
Kolom (2)
Kolom ini diisi dengan jumlah seluruh pegawai tetap termasuk Komisaris, Anggota Dewan Pengawas yang merangkap sebagai pegawai tetap dan penerima pensiun atau THT/JHT yang tercantum pada Formulir 1721-A bagian C (jumlah A + B).
Kolom (3)
Kolom ini diisi dengan jumlah penghasilan bruto sesuai dengan jumlah yang tercantum pada Formulir 1721-A Kolom (4).
Kolom (4)
Kolom ini diisi dengan jumlah PPh Pasal 21/26 yang terutang sesuai dengan jumlah yang tercantum pada Formulir 1721-A Kolom (5).
Cukup jelas
Angka 2
Kolom (1)
Kolom (2)
Kolom ini diisi dengan jumlah seluruh pegawai tidak tetap, penerima honorarium dan imbalan lainnya (kecuali 9.b), serta pegawai dengan status Wajib Pajak luar negeri yang tercantum pada Formulir 1721-B Kolom (2).
Kolom (3)
Kolom ini diisi dengan jumlah penghasilan bruto sesuai dengan jumlah yang tercantum pada Formulir 1721-B Kolom (3).
Kolom (4)
Kolom ini diisi dengan jumlah PPh Pasal 21 dan Pasal 26 yang terutang sesuai dengan jumlah yang tercantum pada Formulir 1721-B Kolom (5).
Angka 3JUMLAH (1 + 2)
Bagian ini diisi dengan hasil penjumlahan dari jumlah pegawai pada Kolom (2), penghasilan bruto pada Kolom (3) dan PPh Pasal 21 serta PPh Pasal 26 yang terutang pada Kolom (4).
Angka 4
PPh PASAL 21 DITANGGUNG PEMERINTAH
Bagian ini diisi dengan jumlah PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah yang berasal dari penjumlahan jumlah pada Formulir 1721-A Huruf C Kolom (6) dengan jumlah pada Formulir 1721-B angka 12 Kolom (6).
Angka 5
PPh PASAL 21 HARUS DISETOR
Bagian ini diisi dengan hasil pengurangan jumlah pada angka 3 kolom (4) dengan jumlah pada angka 4.
Angka 6
PPh PASAL 21/PASAL 26 YANG TELAH DISETOR
Bagian ini diisi dengan jumlah PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26 yang telah disetor untuk tahun takwim yang bersangkutan. Jumlah tersebut termasuk kompensasi dari kelebihan pembayaran PPh Pasal 21 tahun sebelumnya yang diperhitungkan sebagai penyetoran PPh Pasal 21 tahun takwim yang bersangkutan.
Angka 7
STP PPh PASAL 21/PASAL 26 (HANYA POKOK PAJAK)
Bagian ini diisi dengan jumlah yang harus dibayar menurut Surat Tagihan Pajak (STP) tahun takwim yang bersangkutan, yaitu hanya pokok pajak.
Angka 8
JUMLAH (6 + 7)
Bagian ini diisi dengan hasil penjumlahan dari jumlah pada Angka 6 dengan jumlah pada Angka 7.
Angka 9
PPh PASAL 21/PASAL 26 YANG KURANG DISETOR/YANG LEBIH DISETOR
Bagian ini diisi dengan memperhatikan keadaan-keadaan sebagai berikut:
- Dalam hal jumlah pada Angka 5 lebih besar dari jumlah pada Angka 8, maka bagian ini diisi dengan hasil pengurangan dari jumlah pada Angka 5 dengan jumlah pada Angka 8 dan isikan tanda X dalam kotak a. PPh PASAL 21/PASAL 26 YANG KURANG DISETOR (ANGKA 5 - ANGKA 8); atau
- Dalam hal jumlah pada Angka 8 lebih besar dari jumlah pada Angka 5, maka bagian ini diisi dengan hasil pengurangan dari jumlah pada Angka 8 dengan jumlah pada Angka 5 dan isikan tanda X dalam kotak b. PPh PASAL 21/PASAL 26 YANG LEBIH DISETOR (ANGKA 8 - ANGKA 5); atau
- Dalam hal jumlah pada Angka 5 sama besarnya dengan jumlah pada Angka 8, maka bagian ini diisi NIHIL.
B. Apabila ternyata jumlah pada Angka 9 menunjukkan lebih setor, kelebihan tersebut diperhitungkan oleh Pemotong Pajak dengan penyetoran PPh Pasal 21 yang terutang untuk bulan dilakukannya penghitungan kembali. Jika masih ada sisanya, sisa tersebut diperhitungkan dengan penyetoran PPh Pasal 21 bulan-bulan berikutnya.
C. LAMPIRAN
Selain Lampiran Formulir 1721-A, 1721-A1 atau 1721-A2, 1721-B, dan 1721-C agar dilampirkan pula:
1. Surat Setoran Pajak lembar ke-3 sebagai bukti pelunasan atas PPh Pasal 21/Pasal 26 yang masih harus disetor pada Angka 9a;
2. Surat kuasa khusus jika SPT Tahunan ini diisi dan ditandatangani bukan oleh Pemotong Pajak sendiri;
3. Laporan Keuangan Tahunan bagi kerjasama operasi (Joint Operation);
4. Pemberitahuan pembetulan nama dan atau alamat dalam hal nama dan/atau alamat Pemotong Pajak tidak sesuai dengan yang diisi oleh dinas atau tidak sesuai dengan yang tercantum pada Kartu NPWP;
5. Lampiran lain-lain yang dianggap perlu.
CATATAN:
- Berilah tanda X dalam kotak yang telah disediakan sesuai dengan lampiran yang disampaikan.
- Di sebelah kanan atas dari masing-masing lampiran agar ditulis "LAMPIRAN ........." (sesuai dengan nomor lampiran yang bersangkutan).
D. PERNYATAAN
Pernyataan ini dibuat sehubungan dengan jaminan akan kebenaran dan kelengkapan pengisian SPT Tahunan ini.
Apabila ternyata SPT ini diisi dengan tidak benar dan atau tidak lengkap, Pemotong Pajak akan dikenakan sanksi-sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Sehubungan dengan itu, pimpinan yang bersangkutan (yang tercantum namanya didalam "NAMA PIMPINAN") atau kuasanya wajib menandatangani dan membubuhkan nama lengkap serta mencantumkan tempat, tanggal, bulan, dan tahun diisinya SPT Tahunan ini pada tempat yang sudah tersedia.
Berilah tanda X dalam kotak yang sesuai.
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PETUNJUK PENGISIAN SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN ORANG PRIBADI
PETUNJUK UMUM
Berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 (UU KUP), hal-hal yang perlu diperhatikan oleh Wajib Pajak adalah sebagai berikut:
1. Setiap Wajib Pajak wajib mengisi dan menyampaikan SPT Tahunan dengan benar, lengkap, dan jelas, dan menandatanganinya.
2. SPT Tahunan ditandatangani oleh pengurus, direksi, atau orang lain bukan Wajib Pajak sepanjang dilampiri dengan surat kuasa khusus.
3. SPT Tahunan dianggap tidak disampaikan apabila tidak ditandatangani atau tidak sepenuhnya dilampiri keterangan dan atau dokumen sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 534/KMK.04/2000 dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-214/PJ./2001.
4. Wajib Pajak harus mengambil sendiri formulir SPT Tahunan dan menyampaikannya paling lambat 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
5. Penyampaian SPT Tahunan dapat dilakukan melalui Kantor Pos secara tercatat atau melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-518/PJ./2001.
6. Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan SPT Tahunan harus dibayar lunas paling lambat tanggal 25 (dua puluh lima) bulan ketiga setelah tahun pajak berakhir. Apabila pembayaran dilakukan setelah tanggal jatuh tempo dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan yang dihitung dari saat jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
7. Wajib Pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang ke Kas Negara melalui Kantor Pos dan Giro atau bank yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Anggaran untuk menerima pembayaran pajak (Bank Persepsi).
8. Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak termasuk kekurangan pembayaran pajak yang terutang pada SPT Tahunan (PPh Pasal 29) paling lama 12 (dua belas) bulan. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-325/PJ./2001, permohonan harus diajukan secara tertulis kepada Kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar dengan menggunakan formulir tertentu sesuai lampiran Keputusan Direktur Jenderal tersebut.
9. Direktur Jenderal pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahunan paling lama 6 (enam) bulan. Permohonan harus diajukan secara tertulis disertai Surat Pernyataan mengenai penghitungan sementara besarnya pajak terutang dalam 1 (satu) tahun pajak dan bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak menurut penghitungan sementara tersebut.
Apabila SPT Tahunan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang ditetapkan atau dalam batas waktu perpanjangan penyampaian SPT Tahunan, dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah).
10. Setiap orang yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPT Tahunan atau menyampaikan SPT Tahunan tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada Negara, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling tinggi 2 (dua) kali jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang dibayar.
Setiap orang yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPT Tahunan atau menyampaikan SPT Tahunan dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap sehingga dapat menimbulkan kerugian pada Negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
PETUNJUK PENGISIAN FORMULIR
LAMPIRAN I (FORMULIR 1770-I) PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI
A. PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI DARI USAHA DAN ATAU PEKERJAAN BEBAS BAGI WAJIB PAJAK YANG MENGGUNAKAN PEMBUKUAN
Bagian ini digunakan untuk melaporkan besarnya penghasilan neto dalam negeri dari usaha dan atau pekerjaan bebas bagi Wajib Pajak yang menggunakan pembukuan, meliputi jumlah penghasilan berdasarkan laporan keuangan komersial, jumlah setelah penyesuaian fiskal positif, jumlah setelah penyesuaian fiskal negatif, dan penghasilan neto dalam negeri setelah penyesuaian fiskal yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sendiri, istri dan anak/anak angkat yang belum dewasa dalam Tahun Pajak yang bersangkutan.
Penghasilan tersebut tidak termasuk penghasilan yang telah dikenakan pajak bersifat final dan dikenakan pajak tersendiri serta penghasilan yang tidak termasuk objek pajak.
Bagi Wajib Pajak yang laporan keuangannya telah di Audit oleh Kantor Akuntan Publik, agar dicantumkan nama, NPWP Kantor Akuntan Publik tersebut dan kolom Opini diisi sesuai dengan kode opini sebagai berikut:
1 | Wajar Tanpa Syarat |
2 | Wajar Dengan Syarat |
3 | Tidak Wajar |
4 | Tidak Ada Opini |
Bagi yang menggunakan jasa konsultan pajak, agar dicantumkan nama dan NPWP Kantor Konsultan Pajak.
1. PENGHASILAN BERDASARKAN LAPORAN KEUANGAN KOMERSIAL
Diisi dengan jumlah penghasilan berdasarkan Laporan Keuangan Komersial yang dilampirkan pada SPT Tahunan baik yang belum di Audit maupun yang telah di Audit oleh Kantor Akuntan Publik yang diterima atau diperoleh dalam Tahun Pajak yang bersangkutan.
a. Diisi dengan jumlah penerimaan/perolehan bruto dari kegiatan usaha dan atau pekerjaan bebas;
b. Diisi sesuai dengan jumlah Harga Pokok Penjualan menurut pembukuan;
c. Diisi sesuai hasil dari pengurangan antara Peredaran Usaha dengan Harga Pokok Penjualan selama tahun pajak yang bersangkutan;
d. Diisi dengan biaya-biaya umum dan administrasi dari kegiatan usaha;
e. Diisi dengan jumlah penghasilan neto dari usaha sebagai hasil pengurangan antara Laba/Rugi bruto Usaha dengan Biaya-biaya;
2. PENYESUAIAN FISKAL POSITIF
penyesuaian fiskal positif adalah penyesuaian yang bersifat menambah atau memperbesar terhadap penghasilan berdasarkan laporan keuangan komersial, karena adanya biaya, pengeluaran, dan kerugian yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dalam menghitung penghasilan kena pajak berdasarkan ketentuan Undang-undang Pajak
Penghasilan beserta peraturan pelaksanaannya, karena adanya perbedaan saat pengakuan biaya dan penghasilan atau karena penghitungan biaya menurut metode fiskal lebih rendah dari penghitungan menurut metode akuntansi komersial, serta karena adanya penghasilan yang merupakan objek pajak yang tidak termasuk dalam penghasilan komersial, yaitu sebagai berikut:
a. Diisi dengan penyesuaian berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf i UU PPh, yaitu misalnya pengeluaran perusahaan untuk pembelian/perbaikan rumah atau kendaraan pribadi, biaya perjalanan pribadi/keluarga, biaya premi asuransi pribadi/keluarga, dan pengeluaran lainnya untuk kepentingan pribadi wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya;
b. Diisi dengan penyesuaian berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf d UU PPh, yaitu premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa yang dibayar oleh Xxxxx Xxxxx. Pada saat Wajib Pajak menerima
penggantian atau santunan asuransi, penerimaan tersebut bukan merupakan objek pajak;
c. Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) huruf d UU PPh, penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan (benefit in-kind) bukan merupakan penghasilan bagi pegawai yang bersangkutan. Oleh karena itu sesuai dengan prinsip taxability and deductibility, penyesuaian berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf e UU PPh, bagi Wajib Pajak pemberi kerja tidak dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan. Namun pemberian natura berupa penyediaan makanan/minuman di tempat kerja bagi seluruh pegawai, demikian pula pemberian natura dan kenikmatan di daerah terpencil yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, serta pemberian natura atau kenikmatan yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya (seperti : pakaian dan peralatan khusus untuk keselamatan kerja, pakaian seragam petugas keamanan, antar jemput pegawai, serta akomodasi untuk awak kapal), dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan.
Lihat : Keputusan Menteri Keuangan Nomor 466/KMK.04/2000
d. Penyesuaian berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf f UU PPh, pembayaran gaji, honorarium, dan imbalan lain sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) UU PPh, dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sepanjang jumlahnya tidak melebihi kewajaran. Kewajaran diukur berdasarkan standar yang berlaku umum untuk pekerjaan dengan kualifikasi yang sama yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Atas selisih yang melebihi kewajaran tersebut dapat
dikategorikan sebagai pembagian laba
e. Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) huruf a UU PPh, bantuan atau sumbangan dan harta hibahan yang diterima oleh badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial, atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, bukan merupakan penghasilan sepanjang tidak terdapat hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Oleh karena itu sesuai dengan prinsip taxability and deductibility, penyesuaian berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf g UU PPh, bagi Wajib Pajak pemberi bantuan atau sumbangan dan harta hibahan tersebut tidak dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan
f. Penyesuaian berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf h UU PPh, Pajak penghasilan badan serta kredit pajak bukan merupakan biaya perusahaan
g. Diisi dengan penyesuaian berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf j UU PPh, yaitu pembayaran gaji kepada pemilik atau orang yang menjadi tanggungannya tidak dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan
h. Penyesuaian berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf k UU PPh, sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan, serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan
bukan merupakan biaya perusahaan
i. Cukup jelas (daftar rincian perhitungan penyusutan fiskal lampirkan pada SPT)
j. Cukup jelas (daftar rincian perhitungan amortisasi fiskal lampirkan pada SPT)
k. Penyesuaian berdasarkan ketentuan umum Pasal 4 dan Pasal 6 UU PPh beserta peraturan pelaksanaannya, dalam hal:
- terdapat penghasilan yang tidak diakui secara komersial akan tetapi termasuk Objek Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan tidak bersifat final;
- terdapat biaya-biaya perusahaan lainnya atau kerugian yang diakui secara komersial akan tetapi tidak dapat diakui secara fiskal.
3. PENYESUAIAN FISKAL NEGATIF
Yang dimaksud dengan penyesuaian fiskal negatif adalah penyesuaian terhadap penghasilan neto komersial dalam rangka menghitung Penghasilan Kena Pajak berdasarkan UU PPh beserta peraturan pelaksanaannya, yang bersifat mengurangi penghasilan dan atau menambah biaya-biaya komersial.
a. Cukup jelas
b. Cukup jelas (daftar rincian perhitungan penyusutan fiskal lampirkan pada SPT)
c. Cukup jelas (daftar rincian perhitungan amortisasi fiskal lampirkan pada SPT)
d. Cukup jelas
e. Cukup jelas
4. PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI SETELAH PENYESUAIAN FISKAL
Diisi sesuai dengan penjumlahan antara Penghasilan Berdasarkan Laporan Keuangan Komersial dengan Penyesuaian Fiskal Positif dikurangi dengan Penyesuaian Fiskal Negatif.
B. PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI DARI USAHA DAN ATAU PEKERJAAN BEBAS BAGI WAJIB PAJAK YANG MENGGUNAKAN NORMA PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO
Bagian ini digunakan untuk menghitung besarnya seluruh penghasilan dalam negeri yang diterima atau diperoleh Xxxxx Xxxxx sendiri, isteri dan anak/anak angkat yang belum dewasa dari usaha dan atau pekerjaan bebas yang melakukan pencatatan dan memilih menggunakan Xxxxx Xxxxhitungan dalam Tahun Pajak yang bersangkutan.
Yang berhak menggunakan Xxxxx Xxxxhitungan adalah Wajib Pajak yang peredaran usahanya atau penerimaan brutonya kurang dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) setahun dan telah memberitahukan untuk menggunakan Xxxxx Xxxxhitungan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari Tahun Pajak yang bersangkutan. Dalam hal Wajib Pajak dengan status kawin pisah harta, jumlah Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) tersebut merupakan gunggungan peredaran usaha atau penerimaan bruto dari usaha suami, isteri dan anak/anak angkat yang belum dewasa.
Penghasilan tersebut tidak termasuk Penghasilan yang telah dikenakan PPh bersifat final dan Penghasilan yang tidak termasuk objek pajak.
C. PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN
Bagian ini diisi dengan penghasilan neto dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan yang diterima atau diperoleh Xxxxx Xxxxx sendiri, isteri dan anak/anak angkat yang belum dewasa, termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh dari pemberi kerja yang tidak wajib memotong PPh Pasal 21 serta dari pemberi kerja yang bukan subjek pajak namun tidak dikecualikan untuk memotong PPh Pasal 21 kecuali:
1. Penghasilan isteri dari satu pemberi kerja;
2. Anak/anak angkat yang belum dewasa yang memperoleh penghasilan dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usahanya orang yang mempunyai hubungan istimewa.
Pengertian Wajib Pajak di sini termasuk pejabat negara, pegawai negeri sipil, anggota TNI/POLRI, karyawan BUMN/D, para penerima pensiun/Tunjangan Hari Tua/Tabungan Hari Tua, Warga Negara Indonesia yang bekerja pada kedutaan besar negara asing, perwakilan negara asing dan Perwakilan Organisasi Internasional.
Bagi pejabat negara, pegawai negeri sipil, anggota TNI/POLRI, dan pensiunan yang menerima penghasilan berupa honorarium dan imbalan lain dengan nama apapun yang telah dipotong PPh Pasal 21 bersifat final,
penghasilan tersebut tidak dimasukkan dalam bagian ini.
Catatan: Lampiran Formulir 1721-A, 1721-A2 dan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 dari setiap pemberi kerja Tahun Pajak yang bersangkutan
D. PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI LAINNYA (TIDAK TERMASUK PENGHASILAN YANG TELAH DIKENAKAN PPh BERSIFAT FINAL)
Bagian ini digunakan untuk melaporkan besarnya penghasilan neto dalam negeri lainnya seperti bunga, dividen, royalti, sewa, penghargaan dan hadiah, keuntungan dari penjualan/pengalihan harta dan penghasilan lain-lain yang diterima atau diperoleh Xxxxx Xxxxx sendiri, istri dan anak/anak angkat yang belum dewasa dalam Tahun Pajak yang bersangkutan.
Penghasilan tersebut tidak termasuk penghasilan yang telah dikenakan pajak bersifat final dan dikenakan pajak tersendiri serta penghasilan yang tidak termasuk objek pajak.
LAMPIRAN II (FORMULIR 1770-II)
DAFTAR PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN PPh OLEH PIHAK LAIN, PPh YANG DITANGGUNG PEMERINTAH, PENGHASILAN NETO DAN PAJAK ATAS PENGHASILAN YANG DIBAYAR/DIPOTONG/TERUTANG
DI LUAR NEGERI
Diisi dengan rincian kredit PPh yang dipotong/dipungut pihak lain tidak termasuk yang bersifat final dan dikenakan pajak tersendiri serta rincian penghasilan neto dari luar negeri yang diterima Xxxxx Xxxxx sendiri, isteri dan anak/anak angkat yang belum dewasa dalam Tahun Pajak yang bersangkutan, kecuali istri yang telah hidup berpisah atau yang mengadakan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan.
A. DAFTAR PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN PPh OLEH PIHAK LAIN DAN PPh YANG DITANGGUNG PEMERINTAH
Bagian ini merupakan rincian angsuran PPh berupa pemotongan/pemungutan oleh pihak lain dan PPh yang ditanggung Pemerintah yang diperhitungkan sebagai kredit pajak.
B. PENGHASILAN NETO DAN PAJAK ATAS PENGHASILAN DIBAYAR/DIPOTONG/TERUTANG DI LUAR NEGERI
Bagian ini dipergunakan untuk:
1. Melaporkan rincian penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri dan penghitungan kredit pajak luar negeri dari Wajib Pajak sendiri, isteri dan anak/anak angkat yang belum dewasa dalam Tahun Pajak yang bersangkutan, kecuali penghasilan:
a. isteri yang telah hidup berpisah;
b. isteri yang mengadakan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan;
2. Mengajukan permohonan kredit pajak luar negeri.
LAMPIRAN III (FORMULIR 1770-III) PENGHASILAN YANG TELAH DIKENAKAN PAJAK BERSIFAT FINAL,
DIKENAKAN PAJAK TERSENDIRI, PENGHASILAN PENGUSAHA TERTENTU, DAN PENGHASILAN YANG TIDAK
TERMASUK OBYEK PAJAK
Formulir ini digunakan untuk menghitung besarnya penghasilan neto dalam negeri dari usaha dan dari luar usaha, yang diterima atau diperoleh Xxxxx Xxxxx sendiri, isteri, anak/anak angkat yang belum dewasa dalam tahun pajak yang bersangkutan yang pajaknya dibayar/dipotong/dipungut oleh pihak lain dan bersifat final, yang dikenakan pajak tersendiri, dan penghasilan pengusaha tertentu serta penghasilan yang tidak termasuk obyek pajak, kecuali penghasilan:
1. Isteri yang telah hidup berpisah;
2. istri yang melakukan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan, yang harus dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh istri sendiri.
LAMPIRAN IV (FORMULIR 1770-IV
DAFTAR HARTA DAN KEWAJIBAN PADA AKHIR TAHUN
Formulir ini digunakan untuk melaporkan setiap harta dan kewajiban/utang pada akir tahun pajak yang dimiliki Wajib Pajak sendiri, isteri, anak/anak angkat yang belum dewasa, kecuali harta dan kewajiban yang dimilik i:
1. Isteri yang telah hidup berpisah;
2. Isteri yang melakukan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan; yang harus dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh isteri sendiri.
Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang menyelenggarakan pembukuan, formulir ini digunakan untuk melaporkan setiap harta dan kewajiban/utang pada akhir tahun pajak yang dimiliki Wajib pajak sendiri, isteri anak/anak angkat yang belum dewasa, yang belum dilaporkan dalam laporan keuangan.
Contoh Pengisian Daftar Harta:
No. | Jenis Harta | Tahun Perolehan | Harta Perolehan (Rp) | Keterangan |
1. | Rumah Jl. Veteran No. 6, Solo | 1995 | 80.000.000 | |
2. | Rumah Jl. Casablanca 20, Jakarta | 0000 | 000.000.000 | |
3. | Mobil (Toyota, 1990) | 0000 | 00.000.000 | |
4. | Mobil (BMW, 2000) | 0000 | 000.000.000 | |
5. | Deposito (Bank Bali) | 1998 | 50.000.000 | |
6. | Deposito (BNI) | 1998 | 50.000.000 |
SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WP ORANG PRIBADI (FORMULIR 1770)
TAHUN PAJAK
Diisi pada kotak yang tersedia dengan angka tahun buku dan periode tahun buku.
Contoh : Tahun buku 2002 | 2 | 0 | 0 | 2 |
Periode Januari-Desember
0 | 1 | 0 | 2 | s.d | 1 | 2 | 0 | 2 |
NPWP
Diisi sesuai dengan NPWP yang tercantum pada Kartu NPWP.
NAMA WAJIB PAJAK
Diisi sesuai dengan nama Wajib Pajak yang tercantum pada Kartu NPWP.
ALAMAT TEMPAT TINGGAL
Diisi sesuai dengan alamat lengkap yang tercantum pada Kartu NPWP.
KOTA/KODE POS
Diisi sesuai dengan nama kota yang tercantum pada Kartu NPWP dan Kode pos yang bersangkutan pada kotak yang tersedia.
CATATAN
- Dalam hal Kartu belum diperoleh, NPWP diisi sesuai dengan yang tercantum pada Bukti Pendaftaran Wajib Pajak
- Dalam hal terjadi perubahan identitas, Wajib Pajak harus melaporkan identitas yang baru ke Kantor Pelayanan Pajak dimana Wajib Pajak tersebut terdaftar
JENIS USAHA/PEKERJAAN BEBAS
Diisi sesuai dengan jenis usaha dan atau pekerjaan bebas dan nomor klasifikasi lapangan usaha yang dilakukan oleh Wajib Pajak secara lengkap. Apabila jenis usaha dan atau pekerjaan bebas lebih dari satu, maka yang dipilih adalah jenis kegiatan usaha atau pekerjaan bebas inti/utama.
MEREK USAHA
Diisi sesuai dengan merek usaha yang digunakan untuk usaha/pekerjaan bebas yang dilakukan oleh Xxxxx Xxxxx.
Contoh :
- Toko Buku "Berita Pajak"
ALAMAT USAHA/PEKERJAAN BEBAS
Diisi sesuai dengan alamat sebenarnya dari tempat usaha/pekerjaan bebas/pekerjaan yang dilakukan.
NOMOR TELEPON/FAX
Diisi sesuai dengan Nomor telepon/Nomor fax tempat tinggal dan tempat usaha/Kantor.
A. CARA PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO
Beri tanda X dalam kotak yang tersedia, sesuai dengan cara penghitungan penghasilan neto yang digunakan.
B. PENGHASILAN NETO
1. Cukup jelas
2. Cukup jelas
3. Cukup jelas
4. Cukup jelas
5. Cukup jelas
C. PENGHASILAN KENA PAJAK
6. Diisi jumlah zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah sesuai dengan bukti setoran yang sah.
Contoh:
Sdr. Xxxxx adalah seorang pegawai dengan gaji Rp 1.000.000,-/bulan. Disamping itu dia mempunyai usaha dengan omzet setahun sebesar Rp 7.000.000,- dengan mempekerjakan dua orang pegawai, dan digaji masing-masing Rp 250.000,-/bulan dan membayar biaya listrik sebesar Rp 25.000,-/bulan.
Penghitungan zakat atas penghasilan:
Sebagai Pegawai | Sebagai Pengusaha | Jumlah | |
Penghasilan Bruto | 12.000.000,- | 7.000.000,- | 19.000.000,- |
Biaya Jabatan/Biaya Usaha | 600.000,- | 6.300.000,- | 6.900.000,- |
Penghasilan Neto | 11.400.000,- | 700.000,- | 12.100.000,- |
Zakat atas Penghasilan 2,5% | 285.000,- | 17.500,- | 302.500,- |
*) Biaya Usaha sebesar Rp 6.300.000,- terdiri dari Gaji Pegawai Rp 6.000.000,- (12 x 2 x Rp 250.000,-) dan Biaya listrik Rp 300.000,- (12 x Rp 25.000,-)
7. Cukup jelas
8. Hanya diisi oleh Xxxxx Xxxxx yang menyelenggarakan pembukuan.
Diisikan disini jumlah kerugian fiskal yang telah ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak untuk Tahun Pajak 5 (lima) tahun sebelumnya yang belum habis dikompensasikan. Dalam hal kerugian fiskal tersebut belum ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak, diisi dengan kerugian fiskal menurut SPT Tahunan PPh
Contoh:
Xxxx Xxxxxxx dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak-nya menggunakan pembukuan dalam tahun 1997 menderita kerugian fiskal sebesar Rp. 1.200.000.000,00. dalam 5 (lima) tahun berikutnya rugi laba fiskal Xxxx Xxxxxxx sebagai berikut :
Tahun 1998, laba fiskal = Rp 200.000.000,00
Tahun 1999, rugi fiskal = (Rp 300.000.000,00)
Tahun 2000, laba fiskal = NIHIL
Tahun 2001, laba fiska = Rp 100.000.000,00
Tahun 2002, laba fiskal = Rp 800.000.000,00
Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut:
Rugi fiskal tahun 1997 = (Rp 1.200.000.000,00)
Laba fiskal tahun 1998 = Rp 200.000.000,00 + Sisa rugi fiskal tahun 1997 = (Rp 1.000.000.000,00) Rugi fiskal tahun 1999 = Rp 300.000.000,00 + Sisa rugi fiskal tahun 1997 = (Rp 1.000.000.000,00) Laba fiskal tahun 2000 = NIHIL
Sisa rugi fiskal tahun 1997 = (Rp 1.000.000.000,00) Laba fiskal tahun 2001 = Rp 100.000.000,00+ Sisa rugi fiskal tahun 1997 (Rp 900.000.000,00) Laba fiskal tahun 2002 = Rp 800.000.000,00+ Sisa rugi fiskal tahun 1997 = (Rp 100.000.000,00)
Rugi fiskal tahun 1997 sebesar Rp 100.000.000,00 yang masih tersisa pada akhir tahun 2002 tidak boleh dikompensasikan lagi dengan laba fiskal tahun 2003, sedangkan rugi fiskal tahun 1999 sebesar Rp 300.000.000,00 hanya boleh dikompensasikan dengan laba fiskal tahun 2003 dan 2004, karena jangka waktu 5 tahun yang dimulai sejak tahun 2000 berakhir pada akhir tahun 2004.
Apabila jumlah kerugian yang dapat dikompensasi dalam Tahun Pajak yang bersangkutan berasal dari sisa kerugian beberapa tahun lalu supaya dibuatkan rincian dalam lampiran tersendiri.
PERHATIAN:
- Apabila jumlah seluruh penghasilan neto pada Angka 5 menunjukkan jumlah nihil atau negatif (minus), maka Angka 6 ini diisi dengan NIHIL, Walaupun sampai dengan Tahun Pajak sebelumnya masih terdapat sisa kerugian tahun-tahun lalu yang masih dapat dikompensasi dalam tahun Pajak yang bersangkutan.
- Apabila kerugian fiskal tahun-tahun yang masih dapat dikompensasi dalam tahun Pajak yang bersangkutan jumlahnya lebih besar dari jumlah penghasilan neto Tahun Pajak yang bersangkutan, yang diisikan pada Angka 6 paling banyak adalah sebesar penghasilan neto pada Angka 5.
Kerugian yang berasal dari penghasilan yang telah dikenakan PPh bersifat final dan penghasilan yang tidak termasuk objek pajak, serta kerugian usaha/modal di luar negeri tidak boleh dikompensasikan.
9. Cukup jelas
10. Bagian ini diisi dengan penghasilan tidak kena pajak yang besarnya adalah sebagai berikut:
a. Rp 2.880.000,00 untuk Wajib Pajak.
b. Rp 1.440.000,00 tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin.
c. Rp 2.880.000,00 tambahan untuk seorang isteri (hanya seorang isteri). yang diberikan apabila ada penghasilan isteri yang digabungkan dengan penghasilan suami, dalam hal isteri:
c.1. bukan karyawati, tetapi mempunyai penghasilan dari usaha/pekerjaan bebas yang tidak ada hubungannya dengan usaha/pekerjaan bebas suami, anak/anak angkat yang belum dewasa.
c.2. bekerja sebagai karyawati pada pemberi kerja yang bukan sebagai Pemotong Pajak walaupun tidak mempunyai penghasilan dari usaha/pekerjaan bebas.
c.3. bekerja sebagai karyawati pada lebih dari 1 (satu) pemberi kerja.
d. Rp. 1.440.000,00 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah (misal ayah, ibu atau anak kandung) dan xxxxxxx (misal mertua dan anak tiri) dalam garis keturunan lurus, serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak tiga orang untuk setiap keluarga. Saat yang menentukan untuk menghitung besarnya penghasilan tidak kena pajak adalah awal Tahun Pajak atau saat mulainya menjadi subjek pajak dalam negeri dalam Tahun Pajak.
e. Warisan yang belum terbagi sebagai Wajib Pajak menggantikan yang berhak tidak memperoleh pengurangan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
f. PTKP bagi Wajib Pajak masing-masing suami isteri yang telah hidup berpisah untuk diri masing-masing Wajib Pajak diperlakukan seperti Wajib Pajak Tidak Kawin sedangkan tanggungan sesuai dengan kenyataan sebenarnya yang
diperkenankan.
Bagi Xxxxx Xxxxx yang kawin pisah harta dan penghasilan baik suami maupun isteri Xxxxx 8 ini diisi dengan tanda strip (-) dan membuat lembar penghitungan penghasilan serta PPh terutang tersendiri. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu yang tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain yang tidak dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final diisi dengan tanda strip (-)
Catatan: Berikan tanda X pada kotak yang sesuai mengenai status, yaitu:
(TK/…) adalah WP tidak kawin, ditambah dengan banyaknya tanggungan yang mendapat pengurangan PTKP.
(K/……) adalah WP kawin ditambah dengan banyaknya tanggungan yang endapat pengurangan PTKP.
(K/I/……) adalah WP kawin, isteri mempunyai penghasilan sesuai ketentuan huruf c, ditambah dengan banyaknya tanggungan yang mendapat pengurangan PTKP.
(PH) adalah Wajib Pajak kawin yang pisah harta dan penghasilan.
(HB/……) adalah Wajib Pajak kawin yang telah hidup berpisah ditambah banyaknya tanggungan yang mendapat pengurangan PTKP.
Contoh: | K/- | adalah kawin tanpa tanggungan |
K/2 | adalah kawin + 2 orang tanggungan | |
K/I/ | 3adalah kawin + isteri mempunyai penghasilan sesuai ketentuan huruf c, ditambah | |
dengan tanggungan 3 orang. |
11. Cukup Jelas
D. PPh TERUTANG
12. Diisi dengan hasil penerapan tarif Pasal 17 UU PPh atas Penghasilan Kena pajak yang tercantum pada Angka
11. Tarif PPh adalah sebagai berikut:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak Sampai dengan Rp 25.000.000,005%
Di atas Rp 25.000.000,00 s.d. Rp 50.000.000,00 10%
Di atas Rp 50.000.000,00 s.d. Rp 100.000.000,00 15%
Di atas Rp 100.000.000,00 s.d. Rp 200.000.000,00 25%
Di atas Rp 200.000.000,00 35%
Catatan: Dalam penerapan tarif pajak, jumlah Penghasilan Kena Pajak (PKP) dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh.
Contoh untuk WP yang melakukan perjanjian pisah harta dan penghasilan:
Seorang Wajib Pajak dalam tahun 2001 menerima atau memperoleh penghasilan neto sebesar Rp 204.608.000,00. Wajib Pajak berstatus kawin pisah harta dan mempunyai 3 (tiga) orang anak, sedangkan isterinya menerima atau memperoleh penghasilan neto dari usaha sebesar Rp 106.912.000,00.
Penerapan tarif untuk masing-masing suami dan isteri adalah sebagai berikut :
Penghasilan Neto suami Rp 204.608.000,00
Penghasilan Neto isteri Rp 106.912.000,00 +/+
Penghasilan Neto gabungan Rp 311.520.000,00
PTKP : K/I/3 Rp 11.520.000,00-/-
Penghasilan Kena Pajak Rp 300.000.000,00
PPh terutang gabungan (suami dan isteri) :
5% x Rp 25.000.000,00 = Rp 1.250.000,00
10% x Rp 25.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp 50.000.000,00 = Rp 7.500.000,00
25% x Rp 100.000.000,00 = Rp 25.000.000,00
35% x Rp 100.000.000,00 = Rp 35.000.000,00 +/+ Rp 71.250.000,00
a. Untuk SPT suami
PPh terutang diisi = 204.608.000,00 X Rp. 71.250.000,00 = Rp. 46.797.380,58
311.520.000,00
b. Untuk SPT isteri
PPh terutang diisi = 106.912.000,00 X Rp. 71.250.000,00 = Rp. 24.452.619,42
311.520.000,00
13. Diisi dengan selisih antara besarnya pajak yang telah dikreditkan dengan besarnya pajak yang dapat dikreditkan di Indonesia setelah adanya pengembalian/pengurangan pajak penghasilan yang dibayar/dipotong/terutang di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (5) UU PPh, yang diterima dalam Tahun Pajak yang bersangkutan sepanjang pengembalian/pengurangan bukan disebabkan oleh adanya perubahan penghasilan;
14. Diisi dengan hasil penjumlahan dari jumlah pada Angka 12 dengan jumlah angka 13.
E. KREDIT PAJAK
15. Cukup jelas
16. Cukup jelas
17. Cukup jelas
F. PPh KURANG/LEBIH BAYAR
19. Cukup jelas
G. PERMOHONAN
Hanya diisi apabila terdapat jumlah PPh yang lebih bayar pada Angka 18b. Wajib Pajak harus memberi tanda X dalam kotak yang tersedia.
Permohonan ini tidak berlaku apabila kelebihan pembayaran berasal dari PPh yang ditanggung pemerintah.
H. ANGSURAN PPh PASAL 25 TAHUN PAJAK BERIKUTNYA
Beri tanda X dalam kotak yang sesuai:
a. Diisi dengan jumlah angsuran bulanan PPh Pasal 25 Tahun Pajak berikutnya yang dihitung 1/12 dari jumlah Pajak Penghasilan yang harus dibayar sendiri pada Angka 16 huruf a dikurangi dengan pengembalian/pengurangan PPh Pasal 24 pada angka 13, kecuali apabila terdapat hal-hal tertentu sebagaimana tersebut pada huruf b berikut ini:
b. Penghitungan dalam lampiran tersendiri apabila:
1. Terdapat sisa kerugian tahun sebelumnya yang dikompensasikan
1.1. Apabila jumlah sisa kerugian habis dikompensasi dengan penghasilan neto Tahun Pajak yang bersangkutan atau Tahun Pajak yang bersangkutan merupakan Tahun Pajak terakhir untuk dapat melakukan kompensasi kerugian, maka angsuran bulanan PPh Pasal 25 Tahun Pajak berikutnya dihitung atas dasar penghasilan neto Tahun Pajak yang bersangkutan dan tanpa memperhitungkan kompensasi kerugian.
Contoh:
Menurut SPT PPh Tahun Pajak 2002:
Penghasilan Neto Rp. 108.640.000,00 (jumlah pada Angka 5)
Kompensasi atas kerugian 2001
(jumlah pada Angka 8) Rp. 20.000.000,00 -/- Penghasilan Neto setelah
Kompensasi (jumlah pada Angka 9) Rp. 88.640.000,00 PTKP-K/3 (jumlah pada Angka 10) Rp. 8.640.000,00 -/- penghasilan Xxxx Xxxxx
(jumlah pada Angka 11) Rp. 80.000.000,00 atau:
penghasilan Neto
(jumlah pada Angka 5) Rp. 108.640.000,00
Kerugian tahun 1997 Rp. 158.640.000,00 Dikompensasi(jumlah pada Angka 9) Rp. 108.640.000,00 -/-
Penghasilan Neto setelah kompensasi
(jumlah pada Angka 9) NIHIL
catatan:
Sisa kerugian Tahun Pajak 1997 sebesar Rp. 50.000.000,00
(Rp. 158.640.000,00 - Rp. 108.640.000,00) tidak dapat dikompensasi lagi dengan penghasilan neto Tahun Pajak 2003 karena sudah lewat waktu 5 (lima) tahun.
Jumlah PPh Ps. 21, 22, 23 dan 24 untuk Tahun Pajak 2002 = Rp. 3.250.000,00 Penghitungan PPh Pasal 25 untuk Tahun Pajak 2003:
Berdasarkan contoh di atas, dasar penghitungan angsuran PPh Pasal 25 untuk tahun Pajak 2003 adalah penghasilan neto tahun Pajak 2002 tanpa memperhitungkan kompensasi kerugian, sebagai berikut:
Penghasilan Neto Tahun Pajak 2002 Rp. 8.640.000,00
Penghasilan Tidak Kena Pajak (K/3) Rp. 108.640.000,00 -/-
Penghasilan Kena Pajak Rp. 100.000.000,00
PPh terutang:
5% x Rp.25.000.000,00 = Rp. 1.250.000,00
10% x Rp.25.000.000,00 = Rp. 2.500.000,00
15% x Rp.50.000.000,00 = Rp. 7.500.000,00 +/+
Rp. 11.250.000,00
Jumlah PPh Ps. 21, 22,
23 dan 24 = Rp. 3.250.000,00 -/-
Rp. 8.000.000,00
Angsuran bulanan PPh Ps. 25 Tahun Pajak 2003:
= 1/12 x Rp. 800.000,00 = Rp. 666.666,67
1.2. Apabila jumlah sisa kerugian tidak habis dikompensasi dengan penghasilan neto Tahun Pajak yang bersangkutan dan Tahun Pajak yang bersangkutan tidak merupakan Tahun Pajak terakhir untuk dapat melakukan kompensasi, sehingga masih terdapat sisa kerugian yang dapat dikompensasi dengan penghasilan neto Tahun Pajak berikutnya, maka angsuran bulanan PPh Pasal 25 Tahun Pajak berikutnya dihitung atas dasar penghasilan neto Tahun Pajak yang bersangkutan dikurangi dengan sisa kerugian yang masih dapat dikompensasi dengan penghasilan neto Tahun Pajak berikutnya.
Apabila penghasilan neto Tahun Pajak yang bersangkutan lebih kecil dari sisa kerugian yang masih dapat dikompensasi dengan penghasilan neto Tahun Pajak berikutnya, maka angsuran PPh Pasal 25 Tahun Pajak berikutnya adalah NIHIL.
Contoh A :
Menurut SPT PPh Tahun Pajak 2002:
Penghasilan Neto (jumlah pada Angka 5) Rp. 108.640.000,00 Kerugian Tahun Pajak 2001 Rp. 158.640.000,00
Dikompensasi (jumlah pada Angka 8) Rp. 108.640.000,00 -/-
Penghasilan Neto setelah kompensasi
(jumlah pada Angka 9) NIHIL
Jumlah PPh Ps. 21, 22, 23 dan 24 Rp. 3.250.000,00
Catatan:
Sisa kerugian Tahun Pajak 2001 yang belum dikompensasi sebesar Rp. 50.000.000,00 dapat dikompensasi dengan penghasilan neto Tahun Pajak 2003.
Penghitungan PPh Pasal 25 Tahun Pajak 2003:
Penghasilan Neto Tahun Pajak 2002 Rp. 108.640.000,00 Sisa kerugian Tahun Pajak 2001 yang
Masih dapat dikompensasi dengan penghasilan
Neto Tahun Pajak 2003 Rp. 50.000.000,00 -/-
Penghasilan Neto setelah kompensasi
(jumlah pada Angka 9) Rp. 58.640.000,00
Penghasilan Tidak Kena Pajak (K/3) Rp. 8.640.000,00 -/-
Penghasilan Kena Pajak Rp. 50.000.000,00
PPh terutang:
5% x Rp. 25.000.000,00 = Rp. 1.250.000,00
10% x Rp. 25.000.000,00 = Rp. 2.500.000,00 +/+
Rp. 3.750.000,00
Jumlah PPh Ps. 21, 22,
23 dan 24 = Rp. 3.250.000,00 -/-
Rp. 500.000,00
Angsuran bulanan PPh Ps. 25 Tahun Pajak 2003:
= 1/12 x Rp. 500.000,00 = Rp. 41.666.67
Contoh B:
Menurut SPT PPh Tahun Pajak 2002:
Penghasilan Neto (jumlah pada Angka 5) Rp. 108 640.000,00
Kerugian Tahun Pajak 2001 Rp. 225 640.000,00
Dikompensasi
(jumlah yang dicantumkan pada Angka 8) Rp. 108.640.000,00 -/-
Penghasilan Neto setelah kompensasi
(jumlah pada Angka 9) NIHIL
Penghitungan PPh Pasal 25 untuk Tahun Pajak 2003:
Penghasilan Neto Tahun Pajak 2002 Rp. 108 640.000,00
Sisa kerugian Tahun Pajak 2001 yang masih Rp. 117 000.000,00
dapat dikompensasi dengan penghasilan neto Tahun Pajak 2003
Karena sisa kerugian dapat dikompensasi dengan penghasilan neto Tahun Pajak 2003 lebih besar dari penghasilan neto Tahun Pajak 2002, maka angsuran bulanan PPh Pasal 25 Tahun Pajak 2003 adalah NIHIL.
2. Dalam tahun berjalan diterbitkan ketetapan untuk tahun yang lalu Apabila angsuran bulanan PPh Pasal 25 menurut surat ketetapan pajak Tahun Pajak yang lalu lebih besar, sama atau lebih kecil dari SPT PPh Tahun Pajak yang bersangkutan, maka angsuran bulan PPh Pasal 25 Tahun Pajak berikutnya dihitung atas dasar jumlah PPh terutang menurut surat ketetapan pajak tersebut dengan memperhatikan ada atau tidaknya unsur kompensasi kerugian.
2.1. Jika di dalam SPT PPh Tahun Pajak yang bersangkutan tidak terdapat unsur kompensasi kerugian
Contoh :
Menurut SPT PPh Tahun Pajak 2002:
PKP Rp. 100 000.000,00
PPh terutang (jumlah pada Angka 12) Rp. 21 250.000,00
PPh Pasal 21, 22, 23, dan 24 Rp 3.250 000,00
Menurut surat ketetapan pajak Tahun Pajak yang lalu (2002): PKP Rp. 200 000.000,00
PPh terutang Rp. 51 250.000,00
Penghitungan angsuran PPH Pasal 25 untuk Tahun Pajak 2003:
a. Berdasarkan SPT PPh Tahun Pajak 2002 :
PKP Rp. 100. 000.000,00
PPh terutang (jumlah pada angka 12):
5% x Rp. 25.000.000,00 Rp. 1. 250.000,00
10 x Rp. 25.000.000,00 Rp. 2. 500.000,00
15% x Rp. 25.000.000,00 Rp. 7.500.000,00 +/+
Rp.11. 250.000,00
Jumlah PPh Pasal 21,
22, 23, dan 24 Rp. 3.250 000,00 -/-
Rp. 8.000 000,00
Angsuran PPh Pasal 25:
1/12 x Rp. 8.000 000,00 Rp. 666.666,67
b. Berdasarkan surat ketetapan pajak Tahun Pajak yang lalu (2002):
PKP menurut surat ketetapan pajak Tahun 2002 Rp. 200.000.000,00 PPh terutang menurut surat ketetapan Pajak 2002.
5% x Rp. 25.000.000,00 Rp. 1.250.000,00
10% x Rp. 25.000.000,00 Rp. 2.500.000,00
15% x Rp. 50.000.000,00 Rp. 7.500.000,00
25% x Rp. 100.000.000,00 Rp. 25.000.000,00 +/+
Rp. 36.250.000,00
PPh Pasal 21, 22, 23, dan 24 menurut SPT Tahunan
PPh Tahun Pajak 2002 Rp. 3.250.000,00 -/- PPh yang harus dibayar sendiri Rp. 33.000.000,00 Angsuran PPh Pasal 25 Tahun Pajak 2003
1/12 x Rp.33.000.000,00 = Rp.2.750.000,00
Jumlah angsuran PPh Pasal 25 berdasarkan surat ketetapan pajak tahun 2002 lebih besar dari SPT PPh tahun 2002, maka angsuran PPh Pasal 25 Tahun 2003 dihitung berdasarkan surat ketetapan pajak tahun 2002. mikian pula apabila angsuran PPh Pasal 25 berdasarkan surat ketetapan ajak tahun 2002 sama atau lebih kecil dari SPT PPh Tahun 2002, maka angsuran PPh Pasal 25 dihitung berdasarkan surat ketetapan pajak tahun 2002.
2.2. Jika di dalam SPT PPh Tahun Pajak yang bersangkutan terdapat unsur kompensasi kerugian, maka dalam menghitung angsuran PPh Pasal 25 Tahun Pajak berikutnya perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
2.2.1. apabila terdapat surat ketetapan Pajak Tahun Pajak yang lalu, maka yang diperhatikan adalah ketetapan pajak tersebut tanpa memperhatikan penghasilan netonya apakah sama atau lebih kecil penghasilan neto menurut SPT PPh tahun Xxxxx yang bersangkutan sebelum adanya kompensasi kerugian.
2.2.2. dalam hal jumlah kerugian habis dikompensasi dengan penghasilan neto Tahun Pajak 2002 sehingga tidak ada lagi sisa kerugian yang dapat dikompensasi dengan penghasilan neto Tahun Pajak berikutnya, maka angsuran bulanan PPh Pasal 25 Tahun Pajak berikutnya dihitung atas dasar PPh terutang menurut surat ketetapan pajak terakhir (Tahun Pajak yang lalu).
Menurut SPT Tahunan Pajak 2002 :
Contoh:
Penghasilan Neto (jumlah pada angka 5) Rp. 108.640.000,00
Kompensasi kerugian Tahun Pajak 2001 Rp. 20.000.000,00 (jumlah pada angka 8)
Penghasilan Tidak Kena Pajak (K/3) Rp. 8.640.000,00
Jumlah PPh Ps. 21, 22, 23, dan 24 Rp. 3.250.000,00
Menurut surat ketetapan pajak Tahun Pajak 2002: Penghasilan NetoRp. 128.640.000,00
Penghitungan angsuran PPh Pasal 25 untuk Tahun Pajak 2003:
a. Berdasarkan SPT PPh tahun 2002
Penghasilan Neto Rp. 108.640.000,00 Penghasilan Tidak Kena Rp 8.640.000,00 -/- Pajak (K/3)
Penghasilan Kena Pajak Rp. 100.000.000,00
PPh terutang:
5% x Rp. 25.000.000,00 Rp. 1.250.000,00
10% x Rp. 25.000.000,00 Rp. 2.500.000,00
15% x Rp. 50.000.000,00 Rp. 7.500.000,00 +/+
Rp. 11.250.000,00
Jumlah PPh Ps 21, 22,
23, dan 24 Rp. 3.250 000,00 -/-
Rp. 8.000 000,00
Angsuran PPh Pasal 25 untuk Tahun 2003:
1/12 x Rp. 8.000 000,00 Rp. 666.666,67
b. Berdasarkan surat ketetapan Pajak Tahun Pajak 2001:
penghasilan Neto Rp. 128.640.000,00
Penghasilan Tidak Kena Pajak Rp. 8.640.000,00 -/-
Penghasilan Kena Pajak Rp. 120.000.000,00 Besarnya PPh atas Penghasilan Kena Pajak
menurut surat ketetapan pajak tahun 2002:
5% x Rp. 25.000.000,00 | = Rp. 1.250.000,00 | |
10% x Rp. 25.000.000,00 | = Rp. 2.500.000,00 | |
15% x Rp. 50.000.000,00 | = Rp. 7.500.000,00 | |
25% x Rp. 20.000.000,00 | = | Rp. 5.000.000,00 +/+ |
Rp. 16.250.000,00 |
Jumlah PPh Ps. 21, 22, 23, dan 24 Menurut SPT Tahunan PPh Tahun
Pajak 2002 = Rp. 3.250 000,00 -/-
PPh yang harus dibayar sendiri = Rp. 13.000 000,00 Angsuran PPh Pasal 25 untuk Tahun 2003:
= 1/12 x Rp. 13.000 000,00 Rp. 1.083.333,33
Apabila jumlah angsuran PPh Pasal 25 berdasarkan surat ketetapan pajak tahun 2002 lebih besar dari SPT PPh tahun 2002, maka angsuran PPh Pasal 25 tahun 2003 dihitung berdasarkan surat ketetapan pajak tahun 2002. Demikian pula apabila angsuran bulanan PPh Pasal 25 berdasarkan surat ketetapan pajak tahun 2002 sama atau lebih kecil dari SPT PPh tahun 2002, maka angsuran PPh Pasal 25 tahun 2003 tetap dihitung berdasarkan surat Ketetapan Pajak tahun 2002.
2.2.3. Jika jumlah kerugian tidak habis dikompensasi dalam tahun Pajak yang bersangkutan, sehingga masih terdapat sisa kerugian yang dapat dikompensasi dengan penghasilan neto Tahun Pajak berikutnya, maka angsuran bulanan PPh Pasal 25 Tahun Pajak berikutnya dihitung berdasarkan besarnya PPh terutang atas penghasilan neto menurut surat ketetapan pajak terakhir (tahun pajak yang lalu atau tahun sebelum tahun pajak yang lalu) setelah memperhitungkan sisa kerugian yang masih dapat dikompensasi dengan penghasilan neto tahun pajak berikutnya.
Contoh:
Menurut SPT PPh Tahun Pajak 2002:
Penghasilan Neto (jumlah pada angka 5) Rp. 108.640.000,00
Kerugian tahun 2001 Rp. 255.640.000,00 Dikompensasi (jumlah yang dicantumkan pada Angka 8) Rp. 108.640.000,00 Penghasilan Tidak Kena Pajak (K/3) Rp. 8.640.000,00
Jumlah PPh Ps. 21, 22, 23, dan 24 Rp 6.250.000,00
Catatan:
Sisa kerugian Tahun Pajak 2001 sebesarRp. 147.000.000,00
(Rp. 255.640.000,00 - Rp. 108.640.000,00) dapat dikompensasi dengan penghasilan neto Tahun Pajak 2003.
Menurut surat ketetapan pajak tahun 2002:
Penghasilan Neto Rp. 235.640.000,00
Kerugian tahun 2001 Rp. 255.640.000,00 Dikompensasi (jumlah yang dicantumkan pada Angka 8) Rp 235.640.000,00
Catatan:
Sisa kerugian Tahun Pajak 2001 sebesar Rp. 20.000.000,00
(Rp. 255.640.000,00 - Rp 235.640.000,00) dapat dikompensasi dengan penghasilan neto Tahun Pajak 2003.
b. Berdasarkan surat ketetapan Pajak tahun 2002:
Penghasilan Neto menurut SKP Rp. 235.640.000,00 Sisa kerugian yang masih dapat dikompensasi dengan
penghasilan neto tahun 2003 Rp. 20.000.000,00 -/-
Penghasilan Neto setelah Kompensasi Rp. 215.640.000,00
Penghasilan Tidak Kena Pajak (K/3) Rp. 8.640.000,00 -/-
Penghasilan Kena Pajak Rp. 207.000.000,00
Pajak Penghasilan terutang :
5% x Rp. 25.000.000,00 = Rp. 1.250.000,00
10% x Rp. 25.000.000,00 = Rp. 2.500.000,00
15% x Rp. 50.000.000,00 = Rp. 7.500.000,00
25% x Rp. 100.000.000,00 = Rp. 25.000.000,00
35% x Rp. 7.000.000,00 = Rp. 2.450.000,00 +/+
Rp. 38.700.000,00
Jumlah PPh Ps 21, 22, 23, dan 24 Menurut SPT Tahunan
PPh Tahun Pajak 2002 = Rp. 6.250 000,00 -/-
Rp. 32.450.000,00
Angsuran PPh Pasal 25 tahun pajak 2003:1/12 X Rp. 32.450.000,00 = Rp. 2.704.166.66
Jika jumlah angsuran PPh Pasal 25 berdasarkan Surat Ketetapan Pajak Tahun 2002 lebih besar, sama atau lebih kecil dari SPT PPh tahun 2002, maka angsuran PPh Pasal 25 tahun 2003 dihitung berdasarkan Surat Ketetapan Pajak tahun 2002.
Dalam hal sisa kerugian yang dapat dikompensasi dengan penghasilan neto Tahun Pajak 2003 lebih besar dari penghasilan neto menurut surat ketetapan pajak tahun 2002, maka angsuran PPh Pasal 25 untuk tahun Pajak 2003 adalah NIHIL.
Contoh:
Menurut SPT PPh Tahun Pajak 2002:
Penghasilan Neto (jumlah Angka 5) Rp. 108.640.000,00
Kerugian tahun 2001 Rp. 255.640.000,00 Dikompensasi jumlah yang dicantumkan pada Angka 8) Rp. 108.640.000,00 Catatan:
Sisa kerugian Tahun Pajak 2001 sebesar Rp. 147.000.000,00
(Rp. 255.640.000,00 - Rp. 108.640.000,00) dapat dikompensasi dengan penghasilan neto Tahun Pajak 2003.
Menurut surat ketetapan pajak tahun 2002:
Penghasilan Neto Rp. 110.000.000,00
Penghasilan angsuran PPh Pasal 25 Tahun Pajak 2003:
Karena sisa kerugian yang dapat dikompensasi dengan penghasilan neto Tahun Pajak 2003 (Rp. 147.000.000,00) lebih besar dari penghasilan neto menurut SKP tahun 2002 (Rp. 110.000.000,00), maka angsuran PPh Pasal 25 Tahun Pajak 2003 adalah NIHIL.
3. Terdapat penghasilan tidak teratur
Penghasilan tidak teratur (tidak termasuk dalam penghasilan teratur) adalah keuntungan selisih kurs dari utang/piutang dalam mata uang asing dan keuntungan dari pengalihan harta (equital gain) sepanjang bukan merupakan penghasilan dari kegiatan usaha pokok serta penghasilan lainnya yang bersifat insidentil.
Apabila terdapat penghasilan tidak teratur dalam Tahun Pajak yang bersangkutan, misalnya penghasilan dari kontrak 2 (dua) mobil, maka angsuran bulanan PPh Pasal 25 untuk Tahun Pajak 2003 dihitung berdasarkan penghasilan neto seluruhnya dikurangi dengan penghasilan tidak teratur tersebut.
Contoh: | |
Menurut SPT PPh Tahun Pajak 2002: | |
Penghasilan Neto seluruhnya | Rp. 508.640.000,00 |
Jumlah PPh Pasal 21, 22, dan 24 | |
Jumlah PPh Pasal 23 (atas kontrak 2 buah | Rp. 00.000.000,00 |
Mobil sebesar Rp. 00.000.000,00) | Rp. 3.600.000,00 |
Penghitungan angsuran PPh Pasal 25 untuk Tahun Pajak 2003:
Penghasilan Neto seluruhnya (jumlah pada angka 5) Rp. 508.640.000,00
Penghasilan Xxxx tidak teratur Rp. 60.000.000,00 -/-
Penghasilan Neto teratur Rp. 448.640.000,00
PTKP K/3 Rp. 8.640.000,00 -/-
Penghasilan Kena Pajak Rp. 440.000.000,00
PPh Terutang:
5% x Rp. 25.000.000,00 = Rp. 1.250.000,00
10% x Rp. 25.000.000,00 = Rp. 2.500.000,00
15% x Rp. 50.000.000,00 = Rp. 7.500.000,00
25% x Rp. 100.000.000,00 = Rp. 25.000.000,00
35% x Rp. 240.000.000,00 = Rp. 84.000.000,00 +/+
Rp. 120.250.000,00
Jumlah PPh Ps. 21, 22, dan 24 Tahun Pajak 2002 Rp. 51.250.000,00 -/- (tidak termasuk PPh Pasal 23 atas kontrak mobil)
Angsuran PPh Pasal 25 tahun pajak 2003 Rp. 69.000.000,00
= 1/12 X Rp. 69.000.000,00 Rp. 5.750.000,00
4. Terdapat Pembayaran Zakat atas Penghasilan
Dalam hal terdapat zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, terdapat hal-hal tertentu (terdapat sisa kerugian tahun sebelumnya yang dikompensasikan, dalam tahun berjalan diterbitkan setoran pajak untuk tahun pajak yang lalu, dan terdapat penghasilan tidak teratur), maka penghitungan angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 mengikuti pola penghitungan sebagaimana contoh penghitungan angsuran PPh Pasal 25 sebelumnya (angka 20 huruf b angka 1 s/d 3) dengan memperhitungkan zakat atas penghasilan yang telah dibayarkan.
Contoh: Menurut SPT PPh Tahun Pajak 2002: Penghasilan Neto (jumlah pada angka 5) | Rp. 111.425.000,00 | |
Zakat atas Penghasilan (jumlah pada angka 6) Jumlah penghasilan neto setelah pengurangan Zakat atas penghasilan (jumlah pada angka 7) | Rp. 2.785.000,00 Rp. 108.640.000,00 | |
Kompensasi kerugian (jumlah pada angka 8) Penghasilan Neto setelah kompensasi kerugian (jumlah pada angka 9) | Rp. 20.000.000,00 Rp. 88.640.000,00 | |
Penghasilan Tidak Kena Pajak K/3 (jumlah pada 10) Penghasilan Kena Pajak (jumlah pada angka 11) | Rp. 8.640.000,00 Rp. 80.000.000,00 | |
Atau: Penghasilan neto (jumlah pada angka 5) | Rp. 111.425.000,00 | |
Kerugian tahun 1997 : | Rp. 161.425.000,00 |
Dikompensasi (jumlah pada angka 8) Rp. 111.425.000,00 Penghasilan Neto setelah kompensasi kerugian Rp. NIHIL (jumlah pada angka 9)
Catatan:
kerugian tahun pajak 1997 setelah dikompensasi sebesar Rp. 50.000.000,00 (Rp. 161.425.000,00 - Rp. 111.425.000,00) tidak dapat lagi dikompensasi dengan penghasilan neto tahun pajak 2003 karena sudah lewat waktu 5 (lima) tahun.
Penghasilan PPh Pasal 25 untuk Tahun Pajak 2003:
Penghasilan neto (jumlah pada angka 5) Rp. 111.425.000,00 Zakat atas Penghasilan (jumlah pada angka 6)
Jumlah penghasilan neto setelah pengurangan Rp. 2.785.000,00
zakat atas penghasilan (jumlah pada angka 7) Rp. 108.640.000,00 Penghasilan Tidak Kena Pajak K/3 (Jumlah pada angka 10) Rp. 8.640.000,00 penghasilan Kena Pajak (jumlah pada angka 11) Rp. 100.000.000,00
PPh Terutang:
5% x Rp. 25.000.000,00 = Rp. 1.250.000,00
10% x Rp. 25.000.000,00 = Rp. 2.500.000,00
15% x Rp. 50.000.000,00 = Rp. 7.500.000,00 +/+ Rp.11.250.000,00
Jumlah PPh Pasal 21, 22, 23 dan 24 Tahun 2002 Rp. 3.250.000,00 -/-
Rp. 8.000.000,00
Angsuran PPh Pasal 25 untuk tahun pajak 2003:
1/12 X Rp.8.000.000,00 Rp. 666.666,67
Perhatian:
1. Besarnya angsuran PPh Pasal 25 dapat berubah sesuai dengan perubahan yang terjadi atas dasar penghitungan angsuran PPh Pasal 25 dalam Tahun Pajak berjalan.
2. Angsuran PPh Pasal 25 untuk Tahun Pajak yang bersangkutan dapat dibayar di muka sekaligus berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-13/PJ.23/1989 tanggal 1 Maret 1989.
I. Cukup Jelas
J. JUMLAH HARTA DAN JUMLAH KEWAJIBAN PADA AKHIR TAHUN
Cukup jelas
K. LAMPIRAN
a. Cukup jelas
b. Cukup jelas
c. Cukup jelas
d. Cukup jelas
e. Cukup jelas
f. Cukup jelas
g. Cukup jelas
h. Cukup jelas
i. Lampiran-lampiran lainnya yang dianggap perlu atau untuk menjelaskan penghitungan besarnya penghasilan yang dibuat sendiri oleh Xxxxx Xxxxx, misalnya:
- Asli Bukti Setoran Zakat;
- Asli Tanda Bukti Pembayaran Fiskal Luar Negeri (TBPFLN);
- Fotocopy Ijin Xxxxx Xxxxxx Xxxxx (IKATA) yang masih berlaku untuk WP orang asing.
- Asli Surat Keterangan Penghasilan (Certificate of Income) dari perusahaan induk untuk WP asing.
L. PERNYATAAN
Pernyataan ini dibuat sehubungan dengan jaminan akan kebenaran dan kelengkapan pengisian SPT Tahunan. Apabila ternyata diisi dengan tidak benar dan atau tidak lengkap, Wajib Pajak akan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Sehubungan dengan itu, Wajib Pajak atau kuasanya wajib menandatangani dan membubuhkan nama lengkap serta mencantumkan tempat, tanggal, bulan dan tahun diisinya SPT pada tempat yang tersedia. Beri
tanda (X) dalam kotak yang sesuai.
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
PETUNJUK PENGISIAN SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN ORANG PRIBADI
YANG TIDAK MELAKUKAN USAHA/PEKERJAAN BEBAS (FORMULIR 1770S)
PETUNJUK UMUM
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 (UU KUP), hal-hal yang perlu diperhatikan oleh Wajib Pajak adalah sebagai berikut:
1. Setiap Wajib Pajak wajib mengisi dan menyampaikan SPT Tahunan dengan benar, lengkap, dan jelas, dan menandatanganinya.
2. SPT Tahunan ditandatangani oleh pengurus, direksi, atau orang lain bukan Wajib Pajak sepanjang dilampiri dengan surat kuasa khusus.
3. SPT Tahunan dianggap tidak disampaikan apabila tidak ditandatangani atau tidak sepenuhnya dilampiri keterangan dan atau dokumen sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 534/KMK.04/2000 dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-214/PJ./2001.
4. Wajib Pajak harus mengambil sendiri formulir SPT Tahunan dan Menyampaikannya paling lambat 3(tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
5. Penyampaian SPT Tahunan dapat dilakukan melalui Kantor Pos secara tercatat atau melalui perusahaan jasa atau jasa ekspedisi atau jasa kurir yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-518/PJ./2001.
6. Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan SPT Tahunan harus dibayar lunas paling lambat tanggal 25 (dua puluh lima) bulan ketiga setelah tahun pajak berakhir. Apabila pembayaran dilakukan setelah tanggal jatuh tempo, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan yang dihitung dari saat jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
7. Wajib Pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang ke Kas Negara melalui Kantor Pos dan Giro atau bank yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Anggaran untuk menerima pembayaran pajak (Bank Persepsi).
8. Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wjib Pajak dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak termasuk kekurangan pembayaran pajak yang terutang pada SPT Tahunan (PPh Pasal 29) paling lama 12 (dua belas) bulan. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-325/PJ./2001, permohonan harus diajukan secara tertulis kepada Kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar dengan menggunakan formulir tertentu sesuai lampiran Keputusan Direktur Jenderal tersebut.
9. Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahunan paling lama 6 (enam) bulan. Permohonan harus diajukan secara tertulis disertai Surat Pernyataan mengenai penghitungan sementara besarnya pajak terutang dalam 1 (satu) tahun pajak dan bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak menurut penghitungan sementara tersebut.
Apabila SPT Tahunan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang ditetapkan atau dalam batas waktu perpanjangan penyampaian SPT Tahunan, dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah).
10. Setiap orang yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPT Tahunan atau menyampaikan SPT Tahunan tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian Negara, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling tinggi 2 (dua) kali jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang dibayar.
Setiap orang yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPT Tahunan atau menyampaikan SPT Tahunan dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap sehingga dapat menimbulkan kerugian pada Negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
PETUNJUK PENGISIAN FORMULIR LAMPIRAN I (FORMULIR 1770 S)
RINCIAN PENGHASILAN NETO & DAFTAR PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN OLEH PIHAK LAIN SERTA PPh YANG DITANGGUNG PEMERINTAH
A. PENGHASILAN NETO SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN
Bagian ini diisi dengan penghasilan neto dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan yang diterima atau diperoleh Xxxxx Xxxxx sendiri, isteri dan anak/anak angkat yang belum dewasa, termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh dari pemberi kerja yang tidak wajib memotong PPh Pasal 21 serta dari pemberi kerja yang bukan subjek pajak namun tidak dikecualikan untuk memotong PPh Pasal 21 kecuali:
1. Penghasilan isteri dari satu pemberi kerja;
2. Anak/anak angkat yang belum dewasa yang memperoleh penghasilan dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha orang yang mempunyai hubungan istimewa.
Pengertian Wajib Pajak di sini termasuk pejabat negara, pegawai negeri sipil, anggota TNI/POLRI, karyawan BUMN/D, para penerima pensiun/Tunjangan Hari Tua/Tabungan Hari Tua, Warga Negara Indonesia yang bekerja pada kedutaan besar negara asing, perwakilan negara asing dan Perwakilan Organisasi internasional.Bagi pejabat negara, pegawai negeri sipil, anggota TNI/POLRI, dan pensiunan yang menerima penghasilan berupa honorarium dan imbalan lain dengan nama apapun yang telah dipotong PPh Pasal 21 bersifat final, penghasilan tersebut tidak dimasukkan dalam bagian ini.
Catatan:
Lampirkan Formulir 1721-A1, 1721-A2 dan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 dari setiap pemberi kerja Tahun Pajak yang bersangkutan.
B. PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI LAINNYA (TIDAK TERMASUK PENGHASILAN YANG TELAH DIKENAKAN PPh BERSIFAT FINAL)
Bagian ini digunakan untuk melaporkan besarnya penghasilan neto dalam negeri lainnya seperti bunga, dividen, royalti, sewa, penghargaan dan hadiah, keuntungan dari penjualan/pengalihan harta dan penghasilan lain-lain yang diterima atau diperoleh Xxxxx Xxxxx sendiri, istri dan anak/anak angkat yang belum dewasa dalam Tahun Pajak yang bersangkutan. Penghasilan tersebut tidak termasuk penghasilan yang telah dikenakan pajak bersifat final dan dikenakan pajak tersendiri serta penghasilan yang tidak termasuk objek pajak.
C. DAFTAR PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN PPh OLEH PIHAK LAIN DAN PPh YANG DITANGGUNG PEMERINTAH
Bagian ini merupakan rincian angsuran PPh berupa pemotongan/ pemungutan oleh pihak lain dan PPh yang ditanggung Pemerintah yang diperhitungkan sebagai kredit pajak.
LAMPIRAN II (FORMULIR 1770 S) DAFTAR HARTA DAN KEWAJIBAN
Formulir ini digunakan untuk melaporkan setiap harta dan kewajiban/utang pada akhir tahun pajak yang dimiliki Wajib Pajak sendiri, isteri, anak/anak angkat yang belum dewasa, kecuali harta dan kewajiban yang dimiliki:
1. Isteri yang telah hidup berpisah;
2. Isteri yang melakukan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan; yang harus dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh lsteri sendiri.
Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang menyelenggarakan pembukuan, formulir ini digunakan untuk melaporkan setiap harta dan kewajiban/utang pada akhir tahun pajak yang dimiliki Wajib pajak sendiri, isteri, anak/anak angkat yang belum dewasa, yang belum dilaporkan dalam laporan keuangan.
Contoh Pengisian Daftar Harta :
No. | Jenis Harta | Tahun Perolehan | Harta Perolehan (Rp) | Keterangan |
1. | Rumah Jl. Veteran No. 6, Solo | 1995 | 80.000.000 | |
2. | Rumah Jl. Casablanca 20, Jakarta | 0000 | 000.000.000 | |
3. | Mobil (Toyota, 1990) | 0000 | 00.000.000 | |
4. | Mobil (BMW, 2000) | 0000 | 000.000.000 | |
5. | Deposito (Bank Bali) | 1998 | 50.000.000 | |
6. | Deposito (BNI) | 1998 | 50.000.000 |
SPT TAHUNAN PPh WP ORANG PRIBADI
YANG TIDAK MELAKUKAN KEGIATAN USAHA/PEKERJAAN BEBAS (FORMULIR 1770 S)
TAHUN PAJAK
Diisi pada kotak yang tersedia sesuai dengan Tahun Pajak, misalnya 2001, 2002, dan seterusnya.
Contoh : | 2 | 0 | 0 | 2 |
NPWP
Diisi sesuai dengan NPWP yang tercantum pada Kartu NPWP.
NAMA WAJIB PAJAK
Diisi sesuai dengan nama Wajib Pajak yang tercantum pada Kartu NPWP.
ALAMAT TEMPAT TINGGAL
Diisi sesuai dengan alamat lengkap yang tercantum pada Kartu NPWP.
KOTA/KODE POS
Diisi sesuai dengan nama kota yang tercantum pada Kartu NPWP dan kode pos yang bersangkutan pada kotak yang tersedia.
CATATAN
- Dalam hal Kartu NPWP belum diperoleh, NPWP diisi sesuai dengan yang tercantum pada Bukti Pendaftaran Wajib Pajak
- Dalam hal terjadi perubahan identitas, Wajib Pajak harus melaporkan identitas yang baru ke Kantor Pelayanan Pajak dimana Wajib Pajak tersebut terdaftar
PEKERJAAN
Diisi sesuai dengan pekerjaan dan nomor klasifikasi lapangan usaha yang dilakukan oleh Wajib Pajak secara lengkap.
NOMOR TELEPON/FAX
Diisi sesuai dengan Nomor telepon/Nomor fax tempat tinggal dan tempat bekerja/Kantor.
A. PENGHASILAN NETO
1. Cukup Jelas
2. Cukup Jelas
3. Cukup Jelas
4. Cukup Jelas
B. PENGHASILAN KENA PAJAK
5. Diisi jumlah zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah sesuai dengan bukti setoran yang sah.
Contoh :
Sdr. Xxxxx adalah seorang pegawai dengan gaji Rp 1.000.000,-/ bulan. Disamping itu dia mempunyai usaha dengan omzet setahun sebesar Rp 7.000.000,- dengan mempekerjakan dua orang pegawai, dan digaji masing-masing Rp 250.000,-/bulan dan membayar biaya listrik sebesar Rp 25.000,-/bulan.
Penghitungan zakat atas penghasilan:
Sebagai Pegawai | Sebagai Pengusaha | Jumlah | |
Penghasilan Bruto | 12.000.000,- | 7.000.000,- | 19.000.000,- |
Biaya Jabatan/Biaya Usaha | 600.000,- | 6.300.000,-*) | 6.900.000,- |
Penghasilan Neto | 11.400.000,- | 700.000,- | 12.100.000,- |
Zakat atas Penghasilan 2,5% | 285.000,- | 17.500,- | 302.500,- |
*) Biaya Usaha sebesar Rp 6.300.000,- terdiri dari Gaji Pegawai Rp 6.000.000,- (12 x 2 x Rp 250.000,-) dan Biaya listrik Rp 300.000,- (12 x Rp 25.000,-)
6. Bagian ini diisi dengan penghasilan tidak kena pajak yang besarnya adalah sebagai berikut:
a. Rp 2.880.000,00 untuk Wajib Pajak;
b. Rp 1.440.000,00 tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
c. Rp 2.880.000,00 tambahan untuk seorang isteri (hanya seorang isteri), yang diberikan apabila ada penghasilan isteri yang digabungkan dengan penghasilan suami, dalam hal isteri:
c.1. bukan karyawati, tetapi mempunyai penghasilan dari usaha/pekerjaan bebas yang tidak ada hubungannya dengan usaha/pekerjaan bebas suami, anak/anak yang belum dewasa;
c.2. bekerja sebagai karyawati pada pemberi kerja yang bukan sebagai Pemotong Pajak Walaupun tidak mempunyai penghasilan dari usaha/pekerjaan bebas;
c.3. bekerja sebagai karyawati pada lebih dari 1 (satu) pemberi kerja.
d. Rp. 1440.000,00 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah (misal ayah, ibu atau anak kandung) dan semenda (misal mertua dan anak tiri) dalam garis keturunan lurus, serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak tiga orang untuk setiap keluarga. Saat yang menentukan untuk menghitung besarnya penghasilan tidak kena pajak adalah awal Tahun Pajak atau saat mulainya menjadi subjek pajak dalam negeri dalam Tahun Pajak;
e. Warisan yang belum terbagi sebagai Wajib Pajak menggantikan yang berhak tidak memperoleh pengurangan Penghasilan Tidak Kena Pajak;
f. PTKP bagi Wajib Pajak masing-masing suami isteri yang telah hidup berpisah untuk diri masing-masing Wajib Pajak diperlakukan seperti Wajib Pajak Tidak Kawin sedangkan tanggungan sesuai dengan kenyataan sebenarnya yang
diperkenankan.
Bagi Xxxxx Xxxxx yang kawin pisah harta dan penghasilan baik suami maupun isteri Xxxxx 8 ini diisi dengan tanda strip (-) dan membuat lembar penghitungan penghasilan serta PPh terutang tersendiri
Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu yang tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain yang tidak dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final diisi dengan tanda strip (-)
Catatan: Berikan tanda X pada kotak yang sesuai mengenai status, yaitu:
(TK/……) adalah WP tidak kawin, ditambah dengan banyaknya tanggungan yang mendapat pengurangan PTKP.
(K/………) adalah WP kawin ditambah dengan banyaknya tanggungan yang mendapat pengurangan PTKP.
(K/I/……) adalah WP kawin, isteri mempunyai penghasilan sesuai dengan ketentuan huruf c, ditambah dengan banyaknya tanggungan yang mendapat pengurangan PTKP.
(PH) adalah Wajib Pajak Kawin yang pisah harta dan penghasilan.
(HB/……) adalah Wajib Pajak kawin yang telah hidup berpisah ditambah banyaknya tanggungan yang mendapat pengurangan PTKP.
Contoh:
7. Cukup jelas
8. Cukup jelas
C. PPh TERUTANG
K/- adalah kawin tanpa tanggungan
K/2 adalah kawin + 2 orang tanggungan
K/I/3 adalah kawin + isteri mempunyai penghasilan sesuai ketentuan huruf c, ditambah dengan tanggungan 3 orang.
9. Diisi dengan hasil penerapan tarif Pasal 17 UU PPh atas Penghasilan Kena Pajak yang tercantum pada Angka 8.
Tarif PPh adalah sebagai berikut: Lapisan Penghasilan Kena Pajak | Tarif Pajak |
Sampai dengan Rp 25.000.000,00 | 5% |
Di atas 25.000.000,00 s.d Rp 50.000.000,00 | 10% |
Di atas 50.000.000,00 s.d Rp 100.000.000,00 | 15% |
Di atas 100.000.000,00 s.d Rp 200.000.000,00 | 25% |
Di atas 200.000.000,00 | 35% |
Catatan:
Dalam penerapan tarif pajak, jumlah Penghasilan Kena Pajak (PKP) dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah.
Contoh untuk WP yang melakukan perjanjian pisah harta dan penghasilan :
Seorang Wajib Pajak dalam tahun 2001 menerima atau memperoleh penghasilan neto sebesar Rp 204.608.000,00. Wajib Pajak berstatus kawin pisah harta dan mempunyai 3 (tiga) orang anak, sedangkan isterinya menerima atau memperoleh penghasilan neto dari usaha sebesar Rp 106.912.000,00.
Penerapan tarif untuk masing-masing suami dan isteri adalah sebagai berikut:
Penghasilan Neto Suami Rp 204.608.000,00
Penghasilan Neto isteri Rp 106.912.000,00 +/+
Penghasilan Neto gabungan Rp 311.520.000,00
PTKP : K/I/3 Rp 11.520.000,00 -/-
Penghasilan Kena Pajak Rp 300.000,00
PPh terutang gabungan (suami dan isteri):
5% x Rp 25.000.000,00 = Rp 1.250.000,00
10% x Rp 25.000.000,00 Rp 2.500.000,00
15% x Rp 50.000.000,00 = Rp 7.500.000,00
25% x Rp 100.000.000,00 = Rp 25.000.000,00
35% x Rp 100.000.000,00 = Rp 35.000.000,00 +/+ Rp 71.250.000,00
a. Untuk SPT suami
PPh terutang diisi = 204.608.000,00 X Rp. 71.250.000,00 = Rp. 46.797.380,00 000.000.000,00
b. Untuk SPT isteri
PPh terutang diisi = 106.912.000,00 X Rp. 71.250.000,00 = Rp. 24.452.619,00 000.000.000,00
10. Diisi dengan selisih antara besarnya pajak yang telah dikreditkan dengan besarnya pajak yang dapat dikreditkan di Indonesia setelah adanya pengembalian/pengurangan pajak penghasilan yang dibayar/dipotong/terutang diluar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (5) UU PPh, yang diterima dalam Tahun Pajak yang bersangkutan sepanjang pengembalian/pengurangan bukan disebabkan oleh adanya perubahan penghasilan.
11. Cukup jelas
D. KREDIT PAJAK
12. Cukup jelas
13. Cukup jelas
14. Cukup jelas
E. PPh KURANG/LEBIH DIBAYAR
15. Cukup jelas
F. PERMOHONAN
Hanya diisi apabila terdapat jumlah PPh yang lebih bayar pada angka 15. Wajib Pajak harus memberi tanda silang (X) dalam kotak yang tersedia. Permohonan tidak berlaku apabila kelebihan bayar berasal dari PPh yang ditanggung pemerintah.
G. ANGSURAN PPh PASAL 25 TAHUN PAJAK BERIKUTNYA
Beri tanda X dalam kotak yang sesuai:
a. Diisi dengan jumlah angsuran bulanan PPh Pasal 25 tahun Pajak berikutnya yang dihitung 1/12 dari jumlah PPh yang harus dibayar sendiri pada angka 13.
b. Lampirkan penghitungan jika PPh Pasal 25 dihitung tersendiri jika dalam tahun berjalan terdapat SKP untuk tahun lalu, terdapat penghasilan tidak teratur, terdapat pembayaran zakat atas penghasilan.
1. Dalam Tahun Pajak Berjalan diterbitkan Ketetapan Pajak untuk Tahun yang Lalu Apabila angsuran bulanan PPh Pasal 25 menurut surat ketetapan pajak Tahun Pajak yang lalu lebih besar, sama atau lebih kecil dari SPT PPh Tahun Pajak yang bersangkutan, maka angsuran bulanan PPh Pasal 25 tahun Pajak berikutnya dihitung atas dasar jumlah PPh terutang menurut surat ketetapan pajak tersebut:
Contoh:
Menurut SPT PPh Tahun Pajak 2002:
PKP Rp 100.000.000,00
PPh terutang (jumlah pada Angka 12) Rp 21.250.000,00 PPh Pasal 21, 22, 23, dan 24 Rp 3.250.000,00
Menurut surat ketetapan pajak Tahun Pajak yang lalu (2002):
PKP Rp 200.000.000,00
PPh terutang Rp 51.250.000,00
Penghitungan angsuran PPh Pasal 25 untuk Tahun Pajak 2003:
a. Berdasarkan SPT PPh Tahun Pajak 2002:
PKP Rp 100.000.000,00
PPh terutang :
5% x Rp 25.000.000,00 = Rp 1.250.000,00
10% x Rp 25.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp 50.000.000,00 = Rp 7.500.000,00 +/+
Rp 11.250.000,00
Jumlah PPh Pasal 21, 22,
23, dan 24 Rp 3.250.000,00 -/-
Rp 8.000.000,00
Angsuran PPh Pasal 25 : 1/12 x Rp 8.000.000,00 Rp 666.666,67
b. Berdasarkan surat ketetapan pajak Tahun Pajak yang lalu (2002):
PKP menurut surat ketetapan pajak tahun 2002 Rp 200.000.000,00 PPh terutang menurut surat ketetapan pajak 2002
5% x Rp 25.000.000,00 = Rp 1.250.000,00
10% x Rp 25.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp 50.000.000,00 = Rp 7.500.000,00
25% x Rp 100.000.000,00 = Rp 25.000.000,00 +/+
Rp 36.250.000,00
PPh Pasal 21, 22,23, dan 24 menurut SPT Tahunan
PPh tahun Pajak 2002 Rp 3.250.000,00 -/- Rp 33.000.000,00
Angsuran PPh Pasal 25 Tahun Pajak 2003:
1/12 x Rp 33.000.000,00 = Rp 2.750.000,00
Jumlah angsuran PPh Pasal 25 berdasarkan surat ketetapan pajak tahun 2002 lebih besar dari SPT PPh tahun 2002, maka angsuran PPh Pasal 25 tahun 2003 dihitung berdasarkan surat ketetapan pajak tahun 2002. Demikian pula apabila angsuran PPh Pasal 25 berdasarkan surat ketetapan pajak tahun 2002 sama atau lebih kecil dari SPT PPh Tahun Pajak 2002, angsuran PPh Pasal 25 dihitung berdasarkan surat ketetapan pajak tahun 2002.
-/-
-/-
2. Terdapat Penghasilan tidak Teratur
Penghasilan tidak teratur (tidak termasuk dalam penghasilan teratur) adalah keuntungan selisih kurs dari utang/piutang dalam mata uang asing dan keuntungan dari pengalihan harta (equital gain), serta penghasilan lainnya yang bersifat insidentil.
Apabila terdapat penghasilan tidak teratur dalam Tahun Pajak yang bersangkutan, misalnya penghasilan dari kontrak 2 (dua) mobil, maka angsuran bulanan PPh Pasal 25 untuk Tahun Pajak 2003 dihitung berdasarkan penghasilan neto seluruhnya dikurangi dengan penghasilan tidak teratur tersebut.
Contoh
Menurut SPT PPh Tahun Pajak 2002:
Penghasilan Neto seluruhnya Rp 508.640.000,00
Jumlah PPh Pasal 21, 22 dan 24 Rp 51.250.000,00 Jumlah PPh Pasal 23 (atas kontrak 2 buah Rp 0.000.000,00 Mobil sebesar Rp 00.000.000,00)
Penghitungan angsuran PPh Pasal 25 untuk Tahun Pajak 2003:
Penghasilan Neto seluruhnya Rp 508.640.000,00
Penghasilan Neto tidak teratur Rp 60.000.000,00
Penghasilan Neto teratur Rp 448.640.000,00
PTKP K/3 Rp 8.640.000,00
Penghasilan Kena Pajak Rp 440.000.000,00
PPh Terutang:
5% x Rp 25.000.000,00 = Rp 1.250.000,00
10% x Rp | 25.000.000,00 | = | Rp | 2.500.000,00 |
15% x Rp | 50.000.000,00 | = | Rp | 7.500.000,00 |
25% x Rp 100.000.000,00 = Rp 25.000.000,00
35% x Rp 240.000.000,00 = Rp 84.000.000,00 +/+
Jumlah PPh Ps. 21, 22, dan
24 Tahun Pajak 2002 Rp 120.250.000,00
(tidak termasuk PPh Pasal
23 atas kontrak mobil) Rp 00.000.000,00 -/- Rp 69.000.000,00
5.750.000,00
Angsuran PPh Pasal 25 Tahun Pajak 2003
1/12 x Rp 69.000.000,00 = Rp
-/-
3. Terdapat Pembayaran Zakat atas Penghasilan
Dalam hal terdapat zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, terdapat hal-hal tertentu (dalam tahun berjalan diterbitkan setoran pajak untuk tahun pajak yang lalu, dan terdapat penghasilan tidak teratur), maka penghitungan angsuran Pajak Penghasilan pasal 25 mengikuti pola penghitungan sebagaimana contoh penghitungan angsuran PPh Pasal 25 sebelumnya dengan memperhitungkan zakat atas penghasilan yang telah dibayarkan.
Contoh:
Menurut SPT PPh Tahun Pajak 2002:
Penghasilan NetoRp 111.425.000,00
Zakat atas Penghasilan Rp 2.785.000,00
Jumlah penghasilan neto setelah
Pengurangan zakat atas penghasilan Rp 108.640.000,00
Penghasilan Tidak Kena Pajak K/3 Rp 8.640.000,00
Penghasilan Kena Pajak Rp 100.000.000,00
PPh Terutang:
5% x Rp 25.000.000,00 = Rp 1.250.000,00
10% x Rp 25.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp 50.000.000,00 = Rp 7.500.000,00+/+
Rp 11.250.000,00
Jumlah PPh Pasal 21, 22, 23
an 24 Tahun 2002 Rp 3.250.000,00-/-
Rp 8.000.000,00
Angsuran PPh Pasal 25 untuk tahun pajak 2003:
1/12 x Rp. 8.000.000,00 Rp 666.666,67,00
Perhatian:
1. Besarnya angsuran PPh Pasal 25 dapat berubah sesuai dengan perubahan yang terjadi atas dasar penghitungan angsuran PPh Pasal 25 dalam Tahun Pajak berjalan.
2. Angsuran PPh Pasal 25 untuk Tahun Pajak yang bersangkutan dapat dibayar dimuka sekaligus berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-13/PJ.23/1989 tanggal 1 Maret 1989.
H. PENGHASILAN YANG TELAH DIKENAKAN PAJAK BERSIFAT FINAL DAN DIKENAKAN PAJAK TERSENDIRI
Formulir ini digunakan untuk menghitung besarnya penghasilan neto dalam negeri, yang diterima atau diperoleh Xxxxx Xxxxx sendiri, isteri, anak/anak angkat yang belum dewasa dalam tahun pajak yang bersangkutan yang pajaknya dibayar/dipotong/dipungut oleh pihak lain dan bersifat final, dan yang dikenakan pajak tersendiri, kecuali penghasilan:
1. Isteri yang telah hidup berpisah;
2. Isteri yang melakukan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan, yang harus dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh isteri sendiri.
I. PENGHASILAN YANG TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK
Formulir ini digunakan untuk menghitung besarnya penghasilan yang tidak termasuk obyek pajak, yang diterima atau diperoleh Xxxxx Xxxxx sendiri, isteri, anak/anak angkat yang belum dewasa dalam tahun pajak yang bersangkutan, kecuali penghasilan:
1. Isteri yang telah hidup berpisah;
2. Isteri yang melakukan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan, yang harus dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh isteri sendiri
J. JUMLAH HARTA DAN JUMLAH KEWAJIBAN PADA AKHIR TAHUN
Cukup jelas
K. LAMPIRAN
Selain formulir 1770 S harus dilampirkan pula:
a. Cukup jelas.
b. Cukup jelas.
c. Cukup jelas.
d. Cukup jelas.
e. Lampiran-lampiran lainnya yang dianggap perlu atau untuk menjelaskan penghitungan besarnya penghasilan yang dibuat sendiri oleh Xxxxx Xxxxx, misalnya:
- Asli Bukti Setoran Zakat
- Asli Tanda Bukti Pembayaran Fiskal Luar Negeri (TBPFLN)
Catatan:-Berilah tanda X dalam kotak yang sesuai
- Disebelah kanan atas dari setiap lampiran supaya ditulis LAMPIRAN ……(sesuai dengan urutan lampiran yang bersangkutan)
- Apabila tempat yang tersedia untuk mengisi lampiran tidak mencukupi, maka dapat dibuat lampiran tambahan.
L. PERNYATAAN
Pernyataan ini dibuat sehubungan dengan jaminan akan kebenaran dan kelengkapan pengisian SPT Tahunan. Apabila ternyata diisi dengan tidak benar atau tidak lengkap, Wajib Pajak akan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Sehubungan dengan itu, Wajib Pajak atau kuasanya wajib menandatangani dan membubuhkan nama lengkap serta mencantumkan tempat, tanggal, bulan dan tahun diisinya SPT pada tempat yang tersedia.
Beri tanda silang (X) dalam kotak yang sesuai.
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
PETUNJUK PENGISIAN SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN BADAN PETUNJUK UMUM
Berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 (UU KUP), hal-hal yang perlu diperhatikan oleh Wajib Pajak adalah sebagai berikut:
1. Setiap Wajib Pajak wajib mengisi dan menyampaikan SPT Tahunan dengan benar, lengkap, dan jelas, dan menandatanganinya.
2. SPT Tahunan ditandatangani oleh pengurus, direksi, atau orang lain bukan Wajib Pajak sepanjang dilampiri dengan surat kuasa khusus.
3. SPT Tahunan dianggap tidak disampaikan apabila tidak ditandatangani atau tidak sepenuhnya dilampiri keterangan dan atau dokumen sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 534/KMK.04/2000 dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-214/PJ./2001.
4. Wajib Pajak harus mengambil sendiri formulir SPT Tahunan dan menyampaikannya paling lambat 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
5. Penyampaian SPT Tahunan dapat dilakukan melalui Kantor Pos secara tercatat atau melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-518/PJ./2001.
6. Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan SPT Tahunan harus dibayar lunas paling lambat tanggal 25 (dua puluh lima) bulan ketiga setelah tahun pajak berakhir. Apabila pembayaran dilakukan setelah tanggal jatuh tempo, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan yang dihitung dari saat jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
7. Wajib Pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang ke Kas Negara melalui Kantor Pos dan Giro atau bank yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Anggaran untuk menerima pembayaran pajak (Bank Persepsi).
8. Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak termasuk kekurangan pembayaran pajak yang terutang pada SPT Tahunan (PPh Pasal 29) paling lama 12 (dua belas) bulan. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-325/PJ./2001, permohonan harus diajukan secara tertulis kepada Kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar dengan menggunakan formulir tertentu sesuai lampiran Keputusan Direktur Jenderal tersebut.
9. Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahunan paling lama 6 (enam) bulan. Permohonan harus diajukan secara tertulis disertai Surat Pernyataan mengenai penghitungan sementara besarnya pajak terutang dalam 1 (satu) tahun pajak dan bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak menurut penghitungan sementara tersebut.
Apabila SPT Tahunan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang ditetapkan atau dalam batas waktu perpanjangan penyampaian SPT Tahunan, dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah).
10. Setiap orang yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPT Tahunan atau menyampaikan SPT Tahunan tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada Negara, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling tinggi 2 (dua) kali jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang dibayar.
Setiap orang yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPT Tahunan atau menyampaikan SPT Tahunan dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap sehingga dapat menimbulkan kerugian pada Negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
PETUNJUK PENGISIAN FORMULIR
LAMPIRAN - I (FORMULIR 1771 -I dan FORMULIR 1771 - I/$)
- PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO FISKAL
1. PENGHASILAN NETO KOMERSIAL
Yang dimaksud dengan penghasilan neto komersial adalah semua penghasilan yang sebenarnya diterima dan atau diperoleh dari kegiatan usaha dan dari luar kegiatan usaha termasuk penghasilan yang dikenakan PPh final dan yang tidak termasuk Objek Pajak, dikurangi dengan pengeluaran/biaya-biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan berdasarkan sistem dan metode pembukuan komersial yang dianut secara taat azas seperti yang tercemin dalam laporan keuangan komersial, sebelum dilakukan penyesuaian-penyesuaian fiskal berdasarkan UU PPh dan peraturan pelaksanaannya.
a. Diisi dengan jumlah penerimaan/perolehan bruto dari kegiatan usaha.
b. Diisi dengan jumlah biaya langsung dan biaya tidak langsung yang berkaitan dengan produksi/pembelian dan pemasaran barang atau jasa yang dihasilkan dan dijual atau yang diperdagangkan, kecuali biaya-biaya umum dan administrasi. Bagi perusahaan yang kegiatan usahanya tidak menghasilkan/memperdagangkan produk barang atau jasa (seperti : holding company, dana pensiun, reksa dana, KIK-EBA, dan modal ventura), pada dasarnya tidak ada biaya-biaya yang termasuk dalam kategori harga pokok penjualan, sehingga seluruh biaya perusahaan dapat dimasukkan ke dalam kategori biaya umum dan administrasi.
c. Diisi dengan biaya-biaya umum dan administrasi dari kegiatan usaha.
d. Cukup jelas.
e. Diisi dengan jumlah penghasilan neto (setelah dikurangi biaya-biaya yang terkait) yang diterima/diperoleh selain dari kegiatan usaha tersebut pada huruf a, seperti : penghasilan dari modal, penghasilan dari penjualan/pengalihan/persewaan harta, serta penghasilan lainnya yang bukan merupakan penghasilan dari kegiatan usaha atau tidak ada kaitannya dengan kegiatan usaha.
2. PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PAJAK PENGHASILAN FINAL DAN YANG TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK
Untuk menghitung penghasilan neto fiskal yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan umum, penghasilan yang dikenakan PPh final dan penghasilan yang tidak termasuk sebagai Objek Pajak harus dikeluarkan. Diisi dengan jumlah penghasilan neto komersialnya dan dalam hal mengalami kerugian komersial, diisi sesuai dengan jumlah kerugian komersial tersebut, sehingga hasil pengurangan pada jumlah penghasilan neto fiskalnya menjadi nihil.
3. PENYESUAIAN FISKAL POSITIF
Yang dimaksud dengan penyesuaian fiskal positif adalah penyesuaian terhadap penghasilan neto komersial (di luar unsur penghasilan yang dikenakan PPh final dan yang tidak termasuk Objek Pajak) dalam rangka menghitung Penghasilan Kena Pajak berdasarkan UU PPh beserta peraturan pelaksanaannya, yang bersifat menambah penghasilan dan atau mengurangi biaya-biaya komersial tersebut pada angka 1.
a. Penyesuaian berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf b UU PPh, pengeluaran perusahaan untuk pembelian/perbaikan rumah atau kendaraan pribadi, biaya perjalanan pribadi/keluarga, biaya premi asuransi pribadi/keluarga, dan pengeluaran lainnya untuk kepentingan pemegang saham, sekutu, atau anggota, tidak dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan.
b. Penyesuaian berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf c UU PPh, pembentukan atau pemupukan dana cadangan secara fiskal tidak dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan. Namun untuk jenis-jenis usaha tertentu yang secara ekonomis memang diperlukan adanya cadangan untuk menutup beban atau kerugian yang akan terjadi di kemudian hari, secara fiskal diperkenankan, yang terbatas pada : piutang tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi (financial lease), cadangan klaim dan cadangan kerugian untuk usaha asuransi, serta cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan.
Lihat:
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 80/KMK.04/1995 s.t.d.t.d. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 204/KMK.04/2000.
c. Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) huruf d UU PPh, penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan (benefit in-kind) bukan merupakan penghasilan bagi pegawai yang bersangkutan. Oleh karena itu sesuai dengan prinsip taxability and deductibility, penyesuaian berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf e UU PPh, bagi Wajib Pajak pemberi kerja tidak dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan. Namun pemberian natura berupa penyediaan makanan/minuman di tempat kerja bagi seluruh pegawai, demikian pula pemberian natura dan kenikmatan di daerah terpencil yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, serta pemberian natura atau kenikmatan yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya (seperti : pakaian dan peralatan khusus untuk keselamatan kerja, pakaian seragam petugas keamanan, antar-jemput pegawai, serta akomodasi untuk awak kapal), dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan.
Lihat:
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 466/KMK.04/2000.
d. Penyesuaian berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf f UU PPh, pembayaran gaji, honorarium, dan imbalan lain sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan kepada pemegang saham atau pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) UU PPh, dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sepanjang jumlahnya tidak melebihi kewajaran. Kewajaran diukur berdasarkan standar yang berlaku umum untuk pekerjaan dengan kualifikasi yang sama yang
dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Atas selisih yang melebihi kewajaran tersebut dapat dikategorikan sebagai pembagian laba.
e. Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) huruf a UU PPh, bantuan atau sumbangan dan harta hibahan yang diterima oleh badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial, atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, bukan merupakan penghasilan sepanjang tidak terdapat hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. Oleh karena itu sesuai dengan prinsip taxability and deductibility, penyesuaian berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf g UU PPh, bagi Wajib Pajak pemberi bantuan atau sumbangan dan harta hibahan tersebut tidak dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan.
Zakat atas penghasilan yang dibayar oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak, dengan syarat:
- Penghasilan yang dikenakan zakat merupakan Objek Pajak yang telah dilaporkan dalam SPT Tahunan;
- Pembayaran zakat dilakukan kepada Badan Amil Zakat (BAZ) atau Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk atau disahkan pembentukannya oleh Pemerintah Pusat/Daerah;
Dengan demikian zakat atas harta selain penghasilan dan zakat atas penghasilan yang tidak memenuhi persyaratan tersebut tidak dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan(perlakuan pajaknya sama dengan sumbangan).
f. Penyesuaian berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf h UU PPh, Pajak Penghasilan badan serta kredit pajak bukan merupakan biaya perusahaan.
g. Berdasarkan pasal 4 ayat (3) huruf i UU PPh, bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi bukan merupakan penghasilan. Oleh karena itu sesuai dengan prinsip taxability and deductibility, penyesuaian berdasarkan Pasal 9 ayat 1) huruf j UU PPh, bagi perseroan tersebut pembayaran gaji kepada para anggotanya tidak dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan.
h. Penyesuaian berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf k UU PPh, sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan, serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan bukan merupakan biaya perusahaan.
i. Cukup jelas (lihat lampiran Daftar Penyusutan dan Amortisasi Fiskal).
j. Cukup jelas (lihat lampiran Daftar Penyusutan dan Amortisasi Fiskal).
k. Penyesuaian berdasarkan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000, dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak dapat ditetapkan saat pengakuan biaya dalam hal-hal tertentu dan bagi Wajib Pajak tertentu sesuai dengan kebijaksanaan Pemerintah.
Lihat:
- Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-184/PJ./2002;
- Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-08/PJ.42/2002.
l. Penyesuaian berdasarkan ketentuan umum Pasal 4 dan Pasal 6 UU PPh beserta peraturan pelaksanaannya, dalam hal:
- terdapat penghasilan yang tidak diakui secara komersial akan tetapi termasuk Objek Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan tidak bersifat final;
- terdapat biaya-biaya perusahaan lainnya atau kerugian yang diakui secara komersial akan tetapi tidak dapat diakui secara fiskal.
4. PENYESUAIAN FISKAL NEGATIF
Yang dimaksud dengan penyesuaian fiskal negatif adalah penyesuaian terhadap penghasilan neto komersial (di luar unsur penghasilan yang dikenakan PPh final dan yang tidak termasuk Objek Pajak) dalam rangka menghitung Penghasilan Kena Pajak berdasarkan UU PPh beserta peraturan pelaksanaannya, yang bersifat mengurangi penghasilan dan atau menambah biaya-biaya komersial tersebut pada angka 1.
a. Cukup jelas (lihat lampiran Daftar Penyusutan dan Amortisasi Fiskal).
b. Cukup jelas (lihat lampiran Daftar Penyusutan dan Amortisasi Fiskal).
c. Penyesuaian berdasarkan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000, dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak dapat ditetapkan saat pengakuan penghasilan dalam hal-hal tertentu dan bagi Wajib Pajak tertentu sesuai dengan kebijaksanaan Pemerintah.
Lihat:
- Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-141/PJ./1999;
- Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-563/PJ./2001;
- Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-184/PJ./2002;
- Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-08/PJ.42/2002.
d. Penyesuaian berdasarkan ketentuan umum Pasal 6 UU PPh beserta peraturan pelaksanaannya, dalam hal terdapat biaya-biaya perusahaan lainnya atau kerugian yang tidak diakui secara komersial akan tetapi dapat diakui secara fiskal.
5. FASILITAS PENANAMAN MODAL BERUPA PENGURANGAN PENGHASILAN NETO
Diisi dari Daftar Fasilitas Penanaman Modal angka 5 (lampiran khusus SPT).
6. PENGHASILAN NETO FISKAL
Cukup Jelas.
LAMPIRAN II (FORMULIR 1771 - II dan FORMULIR 1771 - II/$)
- KREDIT PAJAK DALAM NEGERI
Diisi dengan rincian bukti pungut PPh Pasal 22 dan bukti potong PPh Pasal 23 yang telah dibayar melalui pemungutan/pemotongan pajak oleh pihak lain, atas penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan tidak bersifat final yang diterima/diperoleh dan dilaporkan dalam SPT Tahunan tahun pajak ini.
LAMPIRAN III (FORMULIR 1771 - III dan FORMULIR 1771 - III/$)
- KREDIT PAJAK LUAR NEGERI
Diisi dengan rincian bukti pemotongan/pembayaran Pajak Penghasilan yang terutang di luar negeri atas penghasilan yang diterima/diperoleh dari negara tersebut, yang dikenakan Pajak Penghasilan di Indonesia tidak bersifat final dan dilaporkan dalam SPT Tahunan tahun pajak ini.
Pengkreditan Pajak Penghasilan yang terutang/dibayar di luar negeri terhadap Pajak Penghasilan yang terutang di Indonesia (kolom (7)) tidak boleh melebihi jumlah tertentu yang dihitung berdasarkan formula sebagai berikut:
Jumlah Penghasilan Dari LN X Total PPh Terutang Penghasilan Kena Pajak
atau sama dengan total PPh terutang, mana yang lebih kecil
Dalam hal penghasilan yang diterima/diperoleh di luar negeri berasal dari beberapa negara, maka penghitungan kredit pajak berdasarkan formula tersebut dilakukan untuk masing-masing negara (ordinary credit per country basis).
Lihat:
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 164/KMK.03/2002.
LAMPIRAN IV (FORMULIR 1771 - IV DAN FORMULIR 1771 - IV/$)
- PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PPh FINAL
- PENGHASILAN YANG TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK
Diisi dengan penghasilan-penghasilan tertentu yang dikenakan PPh final baik melalui pemotongan oleh pihak lain atau dengan menyetor sendiri serta penghasilan-penghasilan tertentu yang tidak termasuk sebagai Objek Pajak yang diterima atau diperoleh dalam tahun pajak ini, sesuai dengan jumlah bruto atau nilai transaksinya. Wajib Pajak wajib memperlihatkan serta membuat daftar rincian bukti-bukti pemotongan/pembayaran pajaknya apabila diminta untuk keperluan pemeriksaan kewajiban pajak.
LAMPIRAN V (FORMULIR 1771 - V dan FORMULIR 1771 - V/$)
- DAFTAR PEMEGANG SAHAM/PEMILIK MODAL
- DAFTAR SUSUNAN PENGURUS DAN KOMISARIS
- Wajib Pajak yayasan dan badan-badan lain yang tidak dimiliki atas dasar penyertaan modal, serta KIK Reksa Dana dan KIK - EBA, cukup mengisi Daftar Pemegang Saham/Pemilik Modal dengan pernyataan : "TIDAK ADA", pada kolom (2).
- Wajib Pajak perusahaan masuk bursa, pemegang saham publik tidak perlu dirinci per nama (dapat dinyatakan secara kumulatif) kecuali apabila kepemilikan sahamnya berjumlah 5% atau lebih dari jumlah modal disetor.
- Daftar Susunan Pengurus Dan Komisaris diisi lengkap tetapi tidak termasuk tingkat manajer.
LAMPIRAN VI (FORMULIR 1771 - VI dan FORMULIR 1771 - VI/$)
- DAFTAR PENYERTAAN MODAL PADA PERUSAHAAN AFILIASI
- DAFTAR PINJAMAN DARI/KEPADA PEMEGANG SAHAM DAN ATAU PERUSAHAAN AFILIASI
- Kedua daftar diisi dengan angka saldo akhir tahun berdasarkan laporan keuangan komersial yang dilampirkan pada SPT Tahunan.
- Penyertaan modal yang dicantumkan adalah penyertaan modal yang memenuhi kriteria hubungan istimewa baik langsung maupun tidak langsung.
- Pinjaman yang dicantumkan adalah pinjaman dari/kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa baik langsung maupun tidak langsung.
- Wajib Pajak yang tidak mempunyai penyertaan modal atau penyertaan modalnya tidak memenuhi kriteria hubungan istimewa, demikian pula Wajib Pajak yang tidak mempunyai pinjaman dari/kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, cukup mengisi daftar dengan pernyataan : "TIDAK ADA", pada kolom (2).
SPT INDUK (FORMULIR 1771 dan FORMULIR 1771/$)
TAHUN PAJAK:
Isilah kotak yang tersedia dengan angka tahun buku dan periode tahun buku perusahaan.
Contoh:
Contoh : Tahun buku 2002 | 2 | 0 | 0 | 2 |
Periode Januari-Desember
0 | 1 | 0 | 2 | s.d | 1 | 2 | 0 | 2 |
NPWP:
Diisi sesuai dengan NPWP yang tercantum dalam Kartu NPWP.
NAMA WAJIB PAJAK:
Diisi sesuai dengan nama yang tercantum dalam Kartu NPWP.
ALAMAT:
Diisi sesuai dengan alamat yang tercantum dalam Kartu NPWP. Kode pos dan nomor telpon apabila tidak tercantum dalam Kartu NPWP tetap wajib diisi.
NEGARA DOMISILI KANTOR PUSAT (KHUSUS BUT):
Diisi sesuai dengan nama negara domisili fiskal kantor pusat BUT di luar negeri sesuai ketentuan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang berlaku, atau dalam hal belum ada P3B, berdasarkan ketentuan Undang-undang Perpajakan Indonesia.
JENIS USAHA:
Diisi sesuai dengan jenis kegiatan usaha yang dilakukan. Apabila jenis kegiatan usaha lebih dari satu, maka yang dipilih adalah jenis kegiatan usaha yang utama/inti. Pengisian Kode Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) dilakukan oleh KPP tempat Wajib Pajak terdaftar.
PEMBUKUAN/LAPORAN KEUANGAN:
Dalam hal menyelenggarakan pembukuan dalam mata uang Dollar Amerika Serikat, sebutkan Nomor dan Tanggal Surat Persetujuan Direktur Jenderal Pajak, serta Tahun dimulainya. Nyatakan apakah pembukuan/laporan keuangan perusahaan untuk tahun buku ini "Diaudit" atau "Tidak Diaudit" oleh Akuntan Publik, dengan mengisi kotak yang sesuai dengan "X". Dalam hal diaudit, isilah Opini Akuntan dalam kotak yang tersedia dengan kode angka sebagai berikut:
1. - untuk opini : Wajar Tanpa Syarat;
2. - untuk opini : Wajar Dengan Syarat;
3. - untuk opini : Tidak Wajar;
4. - untuk : Tidak Ada Opini.
NAMA KANTOR AKUNTAN PUBLIK:
Diisi apabila pembukuan/laporan keuangan perusahaan oleh Akuntan Publik.
NPWP :
Cukup jelas.
NAMA KANTOR KONSULTAN PAJAK :
Diisi apabila dalam rangka melaksanakan kewajiban dan hak perpajakannya Wajib Pajak menggunakan jasa Konsultan Pajak.
NPWP:
Cukup jelas.
A. PENGHASILAN KENA PAJAK:
1. Cukup jelas.
2. Kompensasi kerugian fiskal dari tahun-tahun pajak yang lalu berdasarkan Pasal 6 ayat (2) UU PPh atau karena memperoleh fasilitas penanaman modal berupa kompensasi kerugian fiskal yang lebih lama. Diisi dari Perhitungan Kompensasi Kerugian Fiskal, jumlah kolom Tahun Pajak ini (lampiran khusus SPT).
3. Apabila hasil pengurangan angka 1 dengan angka 2 menunjukkan jumlah negatif, maka angka 3 diisi dengan nilai "0" (nol).
B. PAJAK PENGHASILAN TERUTANG:
4. Diisi dengan jumlah hasil penerapan tarif Pasal 17 UU PPh atas Penghasilan Kena Pajak pada angka 3, sebagai berikut:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
S.d. Rp 50.000.000,- 10%
Di atas Rp 50.000.000,- s.d. Rp 100.000.000,- 15% Di atas Rp100.000.000,- 30%
Catatan:
Untuk keperluan penerapan tarif pajak, jumlah Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh.
5. Dalam hal memperoleh pengurangan atau pengembalian pajak atas penghasilan yang terutang/dibayar di luar negeri (PPh Pasal 24), yang sebelumnya telah diperhitungkan sebagai kredit PPh yang terutang pada tahun pajak yang lalu, diisi sebesar jumlah pengurangan atau pengembalian pajak tersebut.
Lihat:
Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 164/KMK.03/2002.
6. Cukup Jelas.
C. KREDIT PAJAK:
7. Dalam hal memperoleh fasilitas PPh ditanggung Pemerintah atas penghasilan dari pekerjaan jasa konstruksi, jasa konsultan, dan atau jasa pemasok dalam rangka proyek Pemerintah yang dananya seluruhnya atau sebagian dibiayai dengan hibah dan atau pinjaman luar negeri, diisi sebesar jumlah PPh yang tidak bersifat final yang dihitung dengan formula sebagai berikut:
DANA PINJAMAN LN/HIBAH X PPh TERUTANG TOTAL BIAYA PROYEK
Lihat:
- Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995 s.t.d.t.d.
- Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2001;
- Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000;
- Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000;
- Keputusan Menteri Keuangan Nomor 559/KMK.04/2000;
- Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-13/PJ.42/2002.
8. Cukup Jelas.
9. Beri tanda "X" dalam salah satu kotak yang tersedia sesuai dengan hasil pengurangan jumlah pada angka 6 dengan jumlah pada angka 7 dan angka 8.
10. Huruf a dan b cukup Jelas.
Huruf c diisi sebesar jumlah Fiskal Luar Negeri pegawai perusahaan yang ditanggung oleh perusahaan dalam rangka perjalanan ke luar negeri untuk kepentingan perusahaan, sepanjang dapat dibuktikan pembayarannya oleh perusahaan dan sepanjang tidak dibebankan sebagai biaya perusahaan.
Huruf d diisi sebesar jumlah PPh atas penghasilan dari pengalihan tanah dan bangunan bagi perusahaan selain pengembang/real estat dan yayasan atau organisasi sejenis, yang dilaporkan dalam Formulir 1771-I angka 1 huruf e.
D. PPh KURANG/LEBIH BAYAR:
11. Beri tanda "X" dalam salah satu kotak yang tersedia sesuai dengan hasil pengurangan jumlah pada angka 9 dengan jumlah pada angka 10.
E. PERMOHONAN:
Beri tanda "X" dalam salah satu kotak yang tersedia sesuai dengan permohonan yang dimaksud.
F. XXXXXXXX PPh PASAL 25 TAHUN BERJALAN:
Penghitungan besarnya angsuran bulanan PPh Pasal 25 tahun berjalan untuk semua Wajib Pajak, atas penghasilan yang dikenakan PPh yang tidak bersifat final.
a. Penghasilan yang menjadi dasar penghitungan angsuran, bagi:
- Wajib Pajak pada umumnya, adalah berdasarkan penghasilan teratur menurut SPT Tahunan tahun pajak yang lalu;
- Wajib Pajak BUMN/BUMD, adalah berdasarkan rencana pendapatan menurut RKAP tahun pajak berjalan yang telah disetujui/disahkan oleh RUPS dan setelah dilakukan penyesuaian fiskal berdasarkan ketentuan UU PPh. Apabila RKAP tahun pajak berjalan belum disetujui/disahkan oleh RUPS, maka digunakan rencana pendapatan dari RKAP tahun pajak yang lalu setelah dilakukan penyesuaian fiskal berdasarkan ketentuan UU PPh;
- Wajib Pajak bank dan perusahaan pembiayaan sewa guna usaha dengan hak opsi (financial lease), adalah berdasarkan penghasilan neto menurut laporan keuangan triwulan terakhir yang disetahunkan dan setelah dilakukan penyesuaian fiskal berdasarkan ketentuan UU PPh.
Lihat:
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 522/KMK.04/2000 s.t.d.t.d. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 84/KMK.03/2002.
b. Diisi dari Perhitungan Kompensasi Kerugian Fiskal, jumlah kolom Tahun Berjalan (lampiran khusus SPT).
c. Cukup jelas.
d. Cukup jelas.
e. Cukup jelas.
f. Cukup jelas.
g. Angsuran PPh Pasal 25, bagi:
- Wajib Pajak pada umumnya, berlaku mulai bulan ketiga tahun berjalan;
- Wajib Pajak BUMN/BUMD, berlaku sejak bulan pertama tahun berjalan;
- Wajib Pajak bank, berlaku untuk tiga bulan pertama tahun berjalan, dan selanjutnya dihitung kembali setiap tiga bulan dengan cara yang sama.
G. PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PPh FINAL DAN YANG TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK
a. Cukup jelas.
b. Cukup jelas.
H. LAMPIRAN:
- Surat Setoran Pajak lembar ke-3 PPh Pasal 29:
Wajib dilampirkan oleh semua Wajib Pajak, kecuali apabila tidak ada setoran akhir (nihil). Dalam hal Wajib Pajak melakukan pembayaran dengan media e-payment melalui bank-bank persepsi tertentu yang telah ditunjuk oleh DJP, lampirkan bukti pembayaran pajak yang sah sebagai pengganti SSP lembar ke-3;
- Laporan Keuangan (lengkap):
Wajib dilampirkan oleh semua Wajib Pajak tanpa kecuali. Dalam hal pembukuan/laporan keuangan diaudit oleh Akuntan Publik, lampirkan laporan keuangan yang telah diaudit;
- Daftar Penyusutan dan Amortisasi Fiskal:
Wajib dilampirkan oleh semua Wajib Pajak sesuai bentuk formulir terlampir, kecuali apabila Wajib Pajak tidak memiliki dan mempergunakan harta berwujud dan atau harta tak berwujud/pengeluaran lainnya sebagai aktiva tetap yang pembebanannya harus dilakukan melalui penyusutan/amortisasi;
- Perhitungan Kompensasi Kerugian Fiskal:
Wajib dilampirkan oleh Wajib Pajak yang mempunyai hak kompensasi kerugian fiskal dari tahun-tahun pajak yang lalu, sesuai bentuk formulir terlampir;
- Pernyataan Transaksi Dalam Hubungan Istimewa:
Wajib dilampirkan oleh Wajib Pajak yang melakukan transaksi-transaksi tertentu dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa atau perusahaan afiliasi (intra-group transactions), sesuai bentuk formulir terlampir;
- Daftar Fasilitas Penanaman Modal:
Wajib dilampirkan oleh Xxxxx Xxxxx yang memperoleh fasilitas penanaman modal, sesuai bentuk formulir terlampir;
- Daftar Cabang Utama Perusahaan:
Wajib dilampirkan oleh Wajib Pajak yang mempunyai kantor-kantor cabang atau tempat-tempat usaha utama di berbagai lokasi, sesuai bentuk formulir terlampir;
- Surat Setoran Pajak lembar ke 3 PPh Pasal 26 Ayat (4):
Wajib dilampirkan oleh semua Wajib Pajak BUT (selain perusahaan pelayaran/penerbangan asing dan perwakilan dagang asing), kecuali apabila pajak tidak terutang. Dalam hal Wajib Pajak melakukan pembayaran dengan media e-payment melalui bank-bank persepsi tertentu yang telah ditunjuk oleh DJP, lampirkan bukti pembayaran pajak yang sah sebagai pengganti SSP lembar ke-3;
- Perhitungan PPh Pasal 26 Ayat (4):
Wajib dilampirkan oleh semua Wajib Pajak BUT (meskipun pajak tidak terutang), sesuai bentuk formulir terlampir;
- Surat Kuasa Khusus:
Wajib dilampirkan oleh Xxxxx Xxxxx yang pengisian SPT Tahunannya dikuasakan kepada pihak lain yang berkompeten.
I. PERNYATAAN:
Diisi selengkapnya, tempat dan tanggal pengisian SPT Tahunan serta identitas dan tanda tangan pengurus perusahaan yang berwenang. Dalam hal SPT Tahunan diisi oleh kuasa Wajib Pajak, dalam kolom "jabatan/kedudukan" diisi dengan keterangan "kuasa Wajib Pajak".
LAMPIRAN-LAMPIRAN KHUSUS SPT TAHUNAN
1. DAFTAR PENYUSUTAN DAN AMORTISASI FISKAL
- Diisi per jenis harta berwujud/tidak berwujud yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan yang dapat disusutkan/diamortisasi.
- Kolom CATATAN diisi dengan informasi yang relevan (apabila ada) mengenai:
- tahun-tahun revaluasi yang pernah dilakukan;
- fasilitas penanaman modal berupa penyusutan/amortisasi dipercepat;
- Kolom METODE PENYUSUTAN/AMORTISASI diisi dengan kode:
METODE PENYUSUTAN/AMORTISASI | KODE | PENGGUNAAN |
Garis Lurus | GL | Komersial/Fiskal |
Jumlah Angka Tahun | JAT | Komersial |
Saldo Menurun | SM | Komersial/Fiskal |
Saldo Menurun Ganda | SMG | Komersial |
Jumlah Jam Jasa | JJJ | Komersial |
Jumlah Satuan Produksi | JSP | Komersial/Amortisasi Fiskal |
Metode Lainnya | ML | Komersial |
- Bagi Wajib Pajak yang menyelenggarakan pembukuan dalam mata uang Dollar Amerika Serikat, perhatikan ketentuan mengenai kurs konversi aktiva tetap sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 533/KMK.04/2000.
Lihat:
- Keputusan Menteri Keuangan Nomor 520/KMK.04/2000 s.t.d.d.
- Keputusan Menteri Keuangan Nomor 138/KMK.03/2002;
- Keputusan Menteri Keuangan Nomor 521/KMK.04/2000;
- Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-220/PJ./2002;
- Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-316/PJ./2002;
- Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-07/PJ.42/2002;
- Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ.42/2002;
2. PERHITUNGAN KOMPENSASI KERUGIAN FISKAL
- Kolom KERUGIAN DAN PENGHASILAN NETO FISKAL 5 TAHUN TERAKHIR diisi dengan data yang bersumber dari Surat Ketetapan Pajak atau Keputusan Keberatan/Putusan Banding, atau dalam hal tidak/belum ada keputusan tersebut,
bersumber dari SPT Tahunan.
- Kolom-kolom KOMPENSASI KERUGIAN FISKAL diisi dengan distribusi besarnya kompensasi kerugian fiskal untuk masing-masing tahun setelah tahun terjadinya kerugian fiskal.
Dalam hal memperolehFasilitas penanaman modal berupa kompensasi kerugian fiskal yang lebih dari 5 tahun (kerugian fiskal dari hasil penanaman modal sejak saat mulai berproduksi komersial), jumlah tahun dan kolom dapat ditambah dengan menggunakan lembar kedua.
- Bagi Wajib Pajak yang menyelenggarakan pembukuan dalam mata uang Dollar Amerika Serikat, perhatikan ketentuan mengenai kompensasi kerugian fiskal sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 533/KMK.04/2000.
- Pindahkan jumlah pada kolom TAHUN PAJAK INI ke FORMULIR 1771 atau FORMULIR 1771/$ (Huruf A Angka 2), dan pindahkan jumlah pada kolom TAHUN BERJALAN ke FORMULIR 1771 atau FORMULIR 1771/$ (Huruf F Butir b).
3. PERNYATAAN TRANSAKSI DALAM HUBUNGAN ISTIMEWA
- Angka 1, angka 2, dan angka 3:
Jenis-jenis transaksi yang dilakukan dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa diisi dalam kotak-kotak yang tersedia dengan kode angka sebagai berikut:
1. Transaksi pembelian barang.
2. Transaksi penjualan barang.
3. Transaksi pembelian/penggunaan jasa.
4. Transaksi penjualan/penyediaan jasa.
5. Transaksi persewaan harta berwujud.
6. Transaksi penggunaan harta tak berwujud.
7. Transaksi lainnya.
- Angka 1 :
Untuk masing-masing jenis transaksi yang dilakukan, jelaskan pada sisi kotaknya dengan siapa transaksi dilakukan dan besarnya nilai transaksi.
- Angka 2 :
Dalam hal ada perjanjian dengan DJP mengenai penentuan harga transfer, sebutkan Nomor/Tanggal Perjanjian dan periode berlakunya. Jelaskan untuk jenis-jenis transaksi yang mana (dengan kode angka), yang dilakukan dengan siapa, serta sebutkan metode penentuan harga transfer yang disepakati dalam perjanjian, pada sisi kotaknya.
- Angka 3 :
Dalam hal tidak ada perjanjian dengan DJP mengenai penentuan harga transfer, sebutkan untuk masing-masing jenis transaksi, metode penentuan harga transfer yang dipergunakan, pada sisi kotaknya.
4. DAFTAR FASILITAS PENANAMAN MODAL
- Angka 1 :
a. Diisi Nomor/Tanggal Surat Persetujuan Ketua BKPM mengenai penanaman modal;
b. Diisi Nomor/Tanggal Surat Keputusan Menteri Keuangan mengenai pemberian fasilitas penanaman modal.
- Angka 2 :
a. JUMLAH PENANAMAN MODAL YANG DISETUJUI,
diisi sesuai dengan jumlah dalam mata uang yang tercantum berdasarkan Surat Persetujuan Ketua BKPM. Apabila mata uang tersebut berbeda dengan mata uang yang dipergunakan dalam pembukuan perusahaan, cantumkan juga jumlah nilai ekuivalennya dalam mata uang pembukuan dengan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat transfer dana ke rekening perusahaan. Dalam hal dana belum ditransfer, jumlah nilai ekuivalennya dapat menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada tanggal Surat Persetujuan Ketua BKPM (berikan catatan kaki yang dipandang perlu);
b. PENANAMAN MODAL, baru atau perluasan, beri tanda silang dalam kotak yang sesuai berdasarkan Surat Persetujuan Ketua BKPM;
c. DI BIDANG, isi sesuai dengan bidang usaha yang disetujui untuk penanaman modal berdasarkan Surat Persetujuan Ketua BKPM;
d. FASILITAS YANG DIBERIKAN, beri tanda silang dalam kotak-kotak jenis fasilitas yang sesuai (dan angka 6 sampai 10 dalam kotak tahun) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan).
- Angka 3 :
REALXXXXX XXXXXXXXX MODAL:
a. TAHUN INI, diisi dengan jumlah realisasi penanaman modal dalam tahun pajak SPT Tahunan selama periode sampai saat mulai berproduksi komersial, yang dinyatakan dalam mata uang pembukuan berdasarkan laporan keuangan yang telah diaudit oleh Akuntan Publik;
b. S.D. TAHUN INI, diisi dengan jumlah realisasi penanaman modal kumulatif sampai dengan tahun pajak SPT Tahunan selama periode sampai saat mulai berproduksi komersial, berdasarkan laporan realisasi penanaman modal yang telah diaudit oleh Akuntan Publik.
- Angka 4:
Diisi dengan tanggal saat mulai berproduksi komersial berdasarkan laporan realisasi penanaman modal yang telah diaudit oleh Akuntan Publik.
- Angka 5:
FASILITAS PENGURANGAN PENGHASILAN NETO, isi dalam kotak tahun dengan angka 1 sampai 6 secara berurut untuk setiap tahun pajak sejak tahun saat mulai berproduksi komersial (SMBK), dan besarnya fasilitas pengurangan penghasilan neto untuk tahun pajak tersebut yang dihitung sebesar 5% dari jumlah realisasi penanaman modal tersebut pada angka 3 huruf b. Pindahkan jumlah hasil perhitungan angka 5 ke FORMULIR 1771-I atau FORMULIR 1771-I/$ (Angka 4 Kolom (3)).
Lihat:
- Peraturan Pemerintah Nomor 148 Tahun 2000;
- Keputusan Menteri Keuangan Nomor 571/KMK.04/2000.
5. DAFTAR CABANG UTAMA
- Diisi dengan informasi alamat lengkap dan NPWP (apabila sudah terdaftar di KPP lokasi) hanya untuk kantor-kantor cabang atau tempat-tempat usaha utama di berbagai lokasi. Kantor-kantor cabang pembantu atau perwakilan yang berada di
bawahnya cukup disebutkan jumlahnya saja.
6. PERHITUNGAN PPh PASAL 26 AYAT (4)
- Angka 1 :
PENGHASILAN NETO KOMERSIAL, diisi dari FORMULIR 1771-I atau FORMULIR 1771-I/$ (Jumlah Angka 1).
- Angka 2 :
PENYESUAIAN FISKAL POSITIF/NEGATIF, diisi dari FORMULIR 1771-I atau FORMULIR 1771-I/$ (Jumlah
Angka 2 dan Angka 3). Dalam hal Wajib Pajak/BUT dikenakan PPh badan yang bersifat final, penyesuaian fiskal positif/negatif harus dihitung tersendiri sesuai ketentuan yang berlaku berdasarkan pembukuan/laporan keuangan.
- Angka 3 :
PENGHASILAN NETO FISKAL, apabila jumlahnya negatif maka pengisian selanjutnya tidak perlu dilakukan karena tidak akan terutang PPh Pasal 26 ayat (4).
- Angka 4 :
PAJAK PENGHASILAN BADAN TERUTANG, diisi dari FORMULIR 1771 atau FORMULIR 1771/$ (Huruf B Angka
6), atau dalam hal dikenakan PPh final, diisi dari FORMULIR 1771-IV atau FORMULIR 1771-IV/$ (Bagian A Angka 7 atau 8).
- Angka 5 :
DASAR PENGENAAN PPh PASAL 26 AYAT (4), apabila jumlahnya negatif maka
pengisian selanjutnya tidak perlu dilakukan karena tidak akan terutang PPh Pasal 26 ayat (4).
- Angka 6 :
PPh PASAL 26 AYAT (4), apabila jumlahnya ada, beri tanda "X" dalam kotak yang sesuai dan lengkapi dengan informasi yang diperlukan pada sisi kotak yang diberi tanda "X".