SKRIPSI
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN JUAL BELI ONLINE (E-COMMERCE) DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (ITE)
SKRIPSI
LALU XXXXXXX XXXXXXX
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GUNUNG RINJANI
SELONG 2019
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN JUAL BELI ONLINE (E-COMMERCE) DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (ITE)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Gunung Rinjani
O l e h :
LALU XXXXXXX XXXXXXX NPM. 52331897FH15
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GUNUNG RINJANI
SELONG 2019
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, hidayah dan inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan akademik sebagai prasyarat untuk meraih gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Gunung Rinjani. Berbagai persoalan, tantangan dan hambatan tidak sedikit muncul dalam proses penulisan skripsi ini. Pada kesempatan yang baik dan berbahagia ini sudah pada tempatnyalah penulis menghaturkan ucapan terima kasih yang tidak terhingga kepada :
1. Xxxxx Rektor Xx. X . Xxxx Xxx B. Dachlan, SH.,MH Rektor di Universitas Gunung Rinjani
2. Xxxxx Xxxxx Xxxxxxx, SH.,MH., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Gunung Rinjani;
3. Bapak Masyhur, SH.,MH Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Gunung Rinjani;
4. Xxxxx Xxxxx Xxxxxx, SH.,MH Kaprodi Fakultas Hukum Universitas Gunung Rinjani;
5. Para dosen pengampu mata kuliah pada Program Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gunung Rinjani yang telah memberikan penulis dengan ilmu pengetahuan.
6. Para karyawan Fakultas Hukum Universitas Gunung Rinjani, atas segala pelayanan dan bantuannya selama penulis mengikuti perkuliahan.
vi
RINGKASAN
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN JUAL BELI ONLINE (E-COMMERCE) DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (ITE)
LALU XXXXXXX XXXXXXX NPM : 52331897FH15
Pada umumnya orang melakukan transaksi jual beli dengan cara bertemu langsung antara penjual dengan pembeli,dan bahkan sebelum adanya mata uang sebagai alat pembayaran transaksi jual beli dilakukan dengan cara barter atau pertukaran barang antara orang yang saling membutuhkan barang tersebut satu sama lain. Seiring perkembangan zaman, mulai muncul teknologi-teknologi baru yang mempermudah seseorang dalam melakukan pekerjaannya. Salah satu teknologi tersebut adalah Internet. Internet telah membawa perubahan pada aktifitas manusia dalam upaya untuk memenuhi segala kebutuhannya, karena internet dapat membuka cakrawala dunia yang begitu luas dan mampu menyediakan berbagai informasi dan fasilitas yang di butuhkan.
Salah satu fasilitas yang disediakan media internet kegiatan jual beli melalui media elektronik atau biasa disebut E-commerce.E-commerce banyak dilakukan oleh siapapun khususnya masyarakat bisnis modern karena di rasa dapat mengefektifkan waktu, sehingga seseorang dapat bertransaksi dengan siapapun dan kapanpun tanpa bertatap muka atau saling kenal antara masingmasing pihak dalam perdagangan. Mereka hanya mendasarkan transaksi jual beli atas rasa kepercayaan satu sama lain,sehingga perjanjian jual beli yang terjadi diantara para pihak pun dilakukan secara elektronik pula, oleh karenanya itu tidak ada berkas perjanjian seperti pada transaksi jual beli konvensional.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan sistem transaksi online (E-commerce) ditinjau dari Undang-Undang tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (ITE)?
2. Bagaimana syarat sahnya perjanjian jual-beli melalui online (E-commerce) ditinjau dari Undang-Undang tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (ITE)?
Suatu perjanjian telah dinyatakan lahir pada saat tercapainya suatu kesepakatan atau persetujuan diantara dua belah pihak mengenai suatu hal pokok yang menjadi objek perjanjian.
Keabsahan perjanjian jual beli online oleh pihak yang berbeda sistem hukumnya, tetap sah. Hal ini dapat dilihat walaupun berbeda sistem hukum perjanjian terjadi karena adanya suatu kesepakatan terlebih dahulu antar para pihak, dimana pada saat hendak melakukan kontrak e-commerce para pihak dapat menentukan pilihan hokum dan pilihan forum mana yang menjadi dasar pelaksanaan e-commerce serta menjadi kesepakatan kedua belah pihak apabila terjadi sengketa dikemudian hari
Ketentuan yang dan tegas mengenai tidak jelas dan tegas mengenai perjanjian e-commerce di Indonesia menimbulkan ketidakpastian hukum dan resiko yang tinggi bagi para pelaku usaha. Bentuk kontrak dalam aktivitas electronic commerce pada hakekatnya disebut dengan online contract sangat berbeda dengan kontrak konvensional.
Perkembangan e-commerce tidak dapat dilepaskan dengan adanya factor pendorong dan penghambat, dengan adanya factor pendorong yang ada dalam e- commerce lebih banyak karena kemudahan-kemudahan yang diberikan dalam e- commerce dari pada proses perdagangan biasa. Meskipun terdapat kemudahan- kemudahan yang diberikan e-commerce ternyata juga terdapat suatu faktor yang menghambat atas pelaksanaan e-commerce yang ternyata memberikan permasalahaan terhadap pelaksanaan e-commerce itu sendiri. Salah satunya adalah tanggung jawab penjual jika melakukan wanprestasi dalam jual beli melalui e- commerce.
Kata Kunci : Jual beli online, E-Commerce
ABSTRAK
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN JUAL BELI ONLINE (E-COMMERCE) DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (ITE)
Oleh :
Lalu Xxxxxxx Xxxxxxx NPM : 52331897FH15
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk untuk mengetahui pengaturan sistem transaksi online (E-commerce) ditinjau dari Undang-Undang tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (ITE); dan juga untuk mengetahui syarat sahnya perjanjian jual-beli melalui online (E-commerce) ditinjau dari Undang- Undang tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (ITE).
Penelitian ini termasuk jenis penelitian yang menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan beberapa pendekatan diantaranya pendekatan perundang-undangan (statue approach), dan pendekatan konseptual.
Dalam penelitian ini dirumuskan permasalahan yaitu Bagaimana pengaturan sistem transaksi online (E-commerce) ditinjau dari Undang-Undang tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (ITE)? Xxx Xxxxxxxxx syarat sahnya perjanjian jual-beli melalui online (E-commerce) ditinjau dari Undang-Undang tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (ITE)?.
Adapun kesimpulan yang didapatkan dalam penelitian ini adalah suatu perjanjian telah dinyatakan lahir pada saat tercapainya suatu kesepakatan atau persetujuan diantara dua belah pihak mengenai suatu hal pokok yang menjadi objek perjanjian. Sepakat disini diartikan suatu persesuaian paham (pendapat) dan keinginan diantara dua belah pihak. Dalam konteks itu terjadi pertemuan kehendak diantara dua belah pihak untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perjanjian. Dan juga Keabsahan perjanjian jual beli online oleh pihak yang berbeda sistem hukumnya, tetap sah. Hal ini dapat dilihat walaupun berbeda sistem hukum perjanjian terjadi karena adanya suatu kesepakatan terlebih dahulu antar para pihak, dimana pada saat hendak melakukan kontrak e-commerce para pihak dapat menentukan pilihan hokum dan pilihan forum mana yang menjadi dasar pelaksanaan e-commerce serta menjadi kesepakatan kedua belah pihak apabila terjadi sengketa dikemudian hari.
Kata kunci : e-commerce, jual beli
ABSTRACT
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN JUAL BELI ONLINE (E-COMMERCE) DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (ITE)
Oleh :
Lalu Xxxxxxx Xxxxxxx NPM : 52331897FH15
The purpose of this study is to determine the regulation of online transaction systems (E-commerce) in terms of the Law on Information and Electronic Transactions (ITE); and also to find out the legal requirements for online trading agreements (E-commerce) in terms of the Law on Information and Electronic Transactions (ITE).
This research is a type of research that uses normative legal research methods using several approaches including the statutory approach (statue approach), and the conceptual approach.
In this study the problem was formulated namely How is the regulation of online transaction systems (E-commerce) in terms of the Law on Information and Electronic Transactions (ITE)? And What are the conditions for the validity of the online purchase agreement (E-commerce) in terms of the Law on Information and Electronic Transactions (ITE) ?.
The conclusion obtained in this study is that an agreement was declared born at the time of reaching an agreement or agreement between the two parties regarding a subject matter that became the object of the agreement. Agreeing here means an agreement of understanding (opinion) and desire between the two parties. In that context there will be a will meeting between the two parties to do or not do an agreement. And also the validity of an online purchase agreement by a party with a different legal system, remains valid. This can be seen even though different legal system agreements occur because there is an agreement in advance between the parties, where when they want to enter into an e-commerce contract, the parties can determine the legal choice and which forum choice is the basis for implementing e-commerce and the second agreement parties if a dispute occurs in the future.
Keywords: e-commerce, buying and selling
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... iii LEMBAR PERSETUJUAN DEWAN PENGUJI ....................................... iv
LEMBAR PENGESAHAN DEWAN PENGUJI ........................................ v XXXX XXXXXXXXX.................................................................................... vi
PERNYATAAN viii
RINGKASAN ................................................................................................. ix
ABSTRAK ...................................................................................................... xi
ABSTRACT xii
DAFTAR ISI xiii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah................................................................. 1
B. Perumusan Masalah ....................................................................... 5
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ..................................................... 6
D. Ruang Lingkup Penelitian.............................................................. 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 8
A. Tinjauan Umum Perjanjian Jual Beli ............................................. 8
1. Pengertian Perjanjian ............................................................... 8
2. Pengertian Jual Beli.................................................................. 9
3. Syarat sahnya Perjanjian .......................................................... 9
B. Tinjauan Umum Jual Beli Online (E-commerce) 11
1. Pengertian E-commerce 11
2. Sejarah E-commerce 12
3. Konsep E-commerce 14
4. Elemen-Elemen E-commerce 18
5. Mekanisme Pembayaran E-commerce 20
6. Dasar Hukum E-commerce 22
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 26
A. Jenis Penelitian 26
B. Metode Pendekatan Penelitian 26
C. Sumber dan Jenis Bahan Hukum 27
D. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum 28
E. Analisa Data 28
F. Sistematika Penulisan 29
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 36
A. Pengaturan Sistem Transaksi Online (E-commerce) di Indonesia 36
1. Eksistensi Dan Pengakuan Sarana Elektronik/ Dokumen Elektronik Di Indonesia 36
2. E-commerce di Indonesia Sudah Diatur dalam UU Perdagangan 38
3. Kebijakan dan Regulasi Yang Mendukung E-commerce 41
B. Keabsahan Perjanjian Jual Beli Online (E-commerce) 45
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 56
A. Kesimpulan 56
B. Saran 58
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Pada dasarnya manusia hidup bermasyarakat dan saling membutuhkan satu sama lainnya. Manusia sebagai makhluk sosial saling berinteraksi untuk memenuhi kebutuhan dalam hidupnya. Upaya untuk mencapai tujuan hidupnya antara lain dengan menjalin kerja sama yang baik antara sesama manusia dalam berbagai macam bidang kehidupan manusia. Salah satunya adalah aspek ekonomi yang di dalamnya mencakup masalah-masalah perdagangan,jual beli dan sebagainya.
Pada umumnya orang melakukan transaksi jual beli dengan cara bertemu langsung antara penjual dengan pembeli,dan bahkan sebelum adanya mata uang sebagai alat pembayaran transaksi jual beli dilakukan dengan cara barter atau pertukaran barang antara orang yang saling membutuhkan barang tersebut satu sama lain. Seiring perkembangan zaman, mulai muncul teknologi-teknologi baru yang mempermudah seseorang dalam melakukan pekerjaannya. Salah satu teknologi tersebut adalah Internet. Internet telah membawa perubahan pada aktifitas manusia dalam upaya untuk memenuhi segala kebutuhannya, karena internet dapat membuka cakrawala dunia yang begitu luas dan mampu menyediakan berbagai informasi dan fasilitas yang di butuhkan.
Salah satu fasilitas yang disediakan media internet kegiatan jual beli melalui media elektronik atau biasa disebut E-commerce.E-commerce banyak
1
dilakukan oleh siapapun khususnya masyarakat bisnis modern karena di rasa dapat mengefektifkan waktu, sehingga seseorang dapat bertransaksi dengan siapapun dan kapanpun tanpa bertatap muka atau saling kenal antara masingmasing pihak dalam perdagangan. Mereka hanya mendasarkan transaksi jual beli atas rasa kepercayaan satu sama lain,sehingga perjanjian jual beli yang terjadi diantara para pihak pun dilakukan secara elektronik pula, oleh karenanya itu tidak ada berkas perjanjian seperti pada transaksi jual beli konvensional.
E-commerce merupakan kumpulan teknologi, aplikasi, dan bisnis yang menghubungkan perusahaan atau perseorangan sebagai konsumen untuk melakukan transaksi elektronik, pertukaran barnag, dan pertukaran informasi melalui internet atau televisi atau jaringan computer lainya.1
Indonesia memiliki pangsa pasar besar kegiatan perdagangan elektronik atau e-commerce. Kementrian Komunikasi dan Informatika RI mencatat aktifitas pengguna internet hingga 2015 lalu mencapai 93,4 juta pengguna dna 7,4 juta diantaranya merupakan konsumen online shop dan berhasil mencapai nilai transaksi sebesar US$3,5 miliar. Dan jumlah itu akan bertambah hingga 8,4 juta konsumen online shop sepanjang tahun 2016 ini.
Melihat perkembangan tersebut, kegiatan e-commerce yang sebelumnya berdalil pada Undang-Undang No.11 tahun 2008 tentang informasi dan elektronik (UU ITE), dan Undang-Undang No.7 tahun 2014 tentang perdagangan (UU Perdagangan). Salah satu UU ITE diterbitkan
1 Pengertian.Temukan.”Pengertian E-commerce.” xxxx://xxx.xxxxxxxxxxxxxxxxx.xxx/ 2013/06/ pengertian-e-commerce.html (diakses tangga 27 Juli 2019:15.48)
adalah untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi para pelaku disekitar e-commerce.
Kegiatan perdagangan elektronik masih dipahami sebagai transaksi elektronik. Dan transaksi elektronik berdasarkan Pasal 1 ayat (2) UU ITE, yakni perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan computer, jaringan computer, dan/atau media elektronik lainnya.
Perkembangan e-commerce di Indonesia hingga kini cukup pesat, selain mempermudah kegiatan baik Barang maupun Jasa. Dalam proses E- commerce, Pelaku usaha baik individu maupun badan usaha memanfaatkan peluang E-commerce dalam melaksanakan operasional baik barang maupun jasa, tujuannya untuk lebih Efektif dan Efisien. Konsumen pun sekarang memanfaatkan E-commerce dengan alasan lebih menghemat waktu dan mempermudah segala bentuk apapun yang konsumen yang inginkan.
Pemerintah dalam hal ini pun tidak mau ketinggalan, dengan beberapa pengaturan pun sudah dibuat bahkan sebelum perkembangan E-commerce berkembang pesat di Indonesia.
Ditahun 2014, Pemerintah Republik Indonesi telah mengeluarkan peraturn perundang-undangan yang mengatur bisnis e-commerce di Indonesia dengan terbitnya UU No.7 Tahun 2014 tentang perdagangan.
Peraturan yang mengatur bisnis e-commerce Indonesia di UU No.7 Tahun 2014 ada di BAB VIII– Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, yang isinya sebagai berikut:2
2Iese.”Aturan Baru E-commerce.”xxxx://xxxx.xx/xxxxxx-xxxx-x-xxxxxxxx-xxxxxxxxx(xxxxxxx tanggal 27 Juli 2019:16.20)
PERDAGANGAN MELALUI SISTEM ELEKTRONIK
Pasal 65
1) Setiap Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang dan/atau Jasa dengan menggunakan sistem elektronik wajib menyediakan data dan/atau informasi secara lengkap dan benar.
2) Setiap Pelaku Usaha dilarang memperdagangkan Barang dan/atau Jasa dengan menggunakan sistem elektronik yang tidak sesuai dengan data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
3) Penggunaan sistem elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
4) Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a. identitas dan legalitas Pelaku Usaha sebagai produsen atau Pelaku Usaha Distribusi;
b. persyaratan teknis Barang yang ditawarkan;
c. persyaratan teknis atau kualifikasi Jasa yang ditawarkan;
d. harga dan cara pembayaran Barang dan/atau Jasa; dan
e. cara penyerahan Barang.
5) Dalam hal terjadi sengketa terkait dengan transaksi dagang melalui sistem elektronik, orang atau badan usaha yang mengalami sengketa dapat menyelesaikan sengketa tersebut melalui pengadilan atau melalui mekanisme penyelesaian sengketa lainnya.
6) Setiap Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang dan/atau Jasa dengan menggunakan sistem elektronik yang tidak menyediakan data dan/atau informasi secara lengkap dan benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa pencabutan izin.
Pengaturan e-commerce juga dapat kita temukan didalam Undang- undang ITE sebagai berikut:3
TRANSAKSI ELEKTRONIK
Pasal 17
1) Penyelenggaraan Transaksi Elektronik dapat dilakukan dalam lingkup publik ataupun privat.\
2) Para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib beriktikad baik dalam melakukan interaksi dan/atau
3 Dpr.”Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.” xxxx://xxx.xxx.xx.xx/xxxxxxx/xxxxxxxx/xx/XX_0000_00.xxx(xxxxxxx tanggal 27 Juli 2019 : 16.31)
pertukaran Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik selama transaksi berlangsung.
3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 18
1) Transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak Elektronik mengikat para pihak.
2) Para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya.
3) Jika para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam Transaksi Elektronik internasional, hukum yang berlaku didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional.
4) Para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya.
5) Jika para pihak tidak melakukan pilihan forum sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penetapan kewenangan pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi tersebut, didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional.
Pasal 19
Para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik harus menggunakan Sistem Elektronik yang disepakati.
Pasal 20
1) Kecuali ditentukan lain oleh para pihak, Transaksi Elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim Pengirim telah diterima dan disetujui Penerima.
2) Persetujuan atas penawaran Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan dengan pernyataan penerimaan secara elektronik.
Pasal 21
1) Pengirim atau Penerima dapat melakukan Transaksi Elektronik sendiri, melalui pihak yang dikuasakan olehnya, atau melalui Agen Elektronik.
2) Pihak yang bertanggung jawab atas segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:
a. dilakukan sendiri, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik tanggung jawab para pihak yang bertransaksi.
b. Jika dilakukan melalui pemberian kuasa, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab pemberi kuasa; atau
c. Jika dilakukan melalui Agen Elektronik, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab penyelenggara Agen Elektronik.
3) Jika kerugian Transaksi Elektronik disebabkan gagal beroperasinya Agen Elektronik akibat tindakan pihak ketiga secara langsung terhadap Sistem Elektronik, segala akibat hukum menjadi tanggung jawab penyelenggara Agen Elektronik.
4) Jika kerugian Transaksi Elektronik disebabkan gagal beroperasinya Agen Elektronik akibat kelalaian pihak pengguna jasa layanan, segala akibat hukum menjadi tanggung jawab pengguna jasa layanan.
5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna Sistem Elektronik.
Pasal 22
1) Penyelenggara Agen Elektronik tertentu harus menyediakan fitur pada Agen Elektronik yang dioperasikannya yang memungkinkan penggunanya melakukan perubahan informasi yang masih dalam proses transaksi.
2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggara Agen Elektronik tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE). Dalam PP PSTE ini mengatur ketentuan umum mengenai :4
1) Sistem Elektronik
2) Transaksi Elektroni
3) Agen Elektronik
4) Penyelenggara Sistem Elektronik
5) Instansi Pengawas dan Pengatur Sektor Terkait
4Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE) dikutip dari Xxxxxxx Xxxxx S. Kebijakan Hukum Dan Regulasi dalam Transaksi E-Commerce di Indonesia. Fakultas Elektro Universitas Mercubuana Indonesia. 2006. Hlm 12.
6) Perangkat Lunak
7) Sertifikasi Kelaikan Sistem Elektronik
8) Instansi Penyelenggara Negara
Dari PP PSTE diperlukan turunan dari PP berupa Rancangan Peraturan Menteri (RPM) Amanat PP PSTE yang mengatur secara spesifi k mengenai :
1) RPM Lembaga Sertifi kasi Keandalan
2) RPM Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik
3) RPM Sertifi kasi Elektronik untuk Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Pelayanan Publik
4) RPM Penyelenggaraan Sistem Elektronik
5) RPM Penyelenggaraan Sistem Elektronik untuk pelayanan public
6) RPM Spam (pengiriman informasi elektronik promosi)
7) RPM Tata Kelola PSE
8) RPM Pengelolaan Nama Domai
9) RPM Nama Domain xx.xx
Pentingnya permasalahan hukum di bidang e-commerce adalah terutama dalam memberikan perlindungan hukum terhadap para pihak yang melakukan transaksi melalui internet.5 Mengingat akan pentingnya hal tersebut, maka Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan peraturan khusus yang mengatur transaksi melalui internet yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik yang untuk selanjutnya disingkat UU ITE. Dalam pasal 1 butir 2 UU ITE, disebutkan
0Xxxxx X.Xxxxx, Perlindungan Hukum Dalam Transaksi E-commerce, Jakarta, Jurnal Hukum Bisnis, 2000, hlm.1
bahwa transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer atau media elektronik lainnya. Transaksi jual beli secara elektronik merupakan salah satu perwujudan ketentuan tersebut.
Suatu transaksi e-commerce juga merupakan suatu perjanjian jual beli yang sama dengan jual beli konvensional pada umumnya. Didalam suatu transaksi e-commerce juga mengandung suatu asas konsensualisme, yang berarti kesepakatan dari kedua belah pihak. Penawaran dan penerimaan inilah yang merupakan awal terjadinya kesepakatan antara pihak – pihak yang bersangkutan. Setelah melakukan penawaran, pembeli berkewajiban untuk membayar sesuai harga barang yang akan dibeli. Setelah pembeli melakukan pembayaran, penjual wajib mengirimkan barang tersebut untuk dapat diterima oleh pembeli. Proses penawaran dan penerimaan online ini tidaklah beda dengan proses penawaran dan penerimaan pada umumnya. Perbedaannya hanyalah pada media yang dipergunakan, pada transaksi e-commerce media yang digunakan adalah internet.
Permasalahan hukum di bidang E-commerce adalah terutama dalam memberikan perlindungan terhadap para pihak yang melakukan transaksi internet. Oleh karena itu pada tahun 2008 Indonesia mengeluarkan peraturan khusus yang mengatur transaksi internet yaitu UU ITE. Kontrak elektronik juga harus memiliki kekuatan hukum yang sama dengan kontrak konvensional, dimana mengikat para pihak sebagaimana pasal 18 ayat 1 UU ITE yang menyebutkan bahwa “transaksi elektronik yang dituangkan ke dalam
kontrak elektronik mengikat para pihak”. Jika dilihat dari sistem hukum perdata, jual beli melalui internet belum dapat dikatakan sah oleh karena dalam transaksi jual beli tersebut penjual dan pembeli tidak bertemu secara langsung sehingga sulit untuk menentukan kapan terjadinya kesepakatan.
Karena itulah selain jaminan yang diberikan oleh penjual atau merchant sendiri, diperlukan juga jaminan yang berasal dari pemerintah. Pemerintah sudah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 yang kemudian diubah dengan Undang –Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, tetapi pelaksanaannya kurang maksimal, sehingga perlindungan hukum untuk pembeli masih kurang terjamin.
Bertitik tolak dari uraian tersebut,maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan membahas masalah tersebut dalam bentuk tulisan ilmiah berupa skripsi dengan judul Tinjauan Xxxxxxx Xxxxxxxx Perjanjian Jual Beli Online (E-commerce) Ditinjau Dari Undang-Undang Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (ITE).
B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan sistem transaksi online (E-commerce) ditinjau dari Undang-Undang tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (ITE)?
2. Bagaimana syarat sahnya perjanjian jual-beli melalui online (E-commerce) ditinjau dari Undang-Undang tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (ITE)?
C. TUJUAN DAN MANFAAT
1. Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Mengetahui Bagaimana Tinjauan Hukum Mengenai Perjanjian Jual- Beli Online (E-commerce) ditinjau dari Undang-Undang tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (ITE).
b. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui pengaturan sistem transaksi online (E- commerce) ditinjau dari Undang-Undang tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (ITE);
2. Untuk mengetahui syarat sahnya perjanjian jual-beli melalui online (E-commerce) ditinjau dari Undang-Undang tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (ITE).
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Melalui penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum dalam mengkaji tinjauan yuridis terhadap perjanjian jual beli online (e-commerce) ditinjau dari Undang-Undang tentang Informasi
Dan Transaksi Elektronik (ITE). Selain itu diharapkan juga penelitian ini dapat sebagai acuan bagi penelitian berikutnya.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan bagi penyusunan rencana-rencana pembangunan hukum, khususnya bagi para pengambil kebijakan dalam menyusun rancangan undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang baru, serta dapat menambah khazanah keilmuan dan mengembangkan pola pikir bagi peneliti dan pembaca, khususnya bagi civitas akademika Fakultas Hukum Universitas Gunung Rinjani yang menerapkan penelitian hukum ini
D. RUANG LINGKUP PENELITIAN
Untuk menghindari pemahaman yang bersifat ganda (ambigu), maka dengan ini peneliti membatasi penelitian ini seputar tinjauan yuridis terhadap perjanjian jual beli online (e-commerce) ditinjau dari Undang-Undang tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (ITE).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Perjanjian Jual Beli
1. Pengertian Perjanjian
Perikatan yang lahir dari kontrak atau perjanjian dijadikan judul Bab II Buku III Burgerlijk Wetboek (BW). Digunakannya kata “atau” diantara kata “kontrak” dan “perjanjian” oleh Bab II Buku III tersebut menurut bahasa hukum menunjukkan bahwa antara kontrak dengan perjanjian memiliki arti yang berbeda. Kontrak biasanya disamakan dengan perjanjian dalam bentuk tertulis dalam arti kontrak lebih sempit dari perjanjian karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis6, sedangkan perjanjian biasanya dalam bentuk lisan. Sekalipun demikian, pada sisi tertentu, antara kontrak dengan perjanjian memiliki arti yang sama yaitu keduanya mengandung janji atau kesanggupan pihak tertentu melaksanakan sesuatu, yang dalam hukuk perjanjian disebut prestasi berupa menyerahkan sesuatu, melaksanakan sesuatu, dan tidak melaksanakan sesuatu (Pasal 1234 BW).
Kamus hukum menggunakan dua istilah kaitannya dengan pengertian perjanjian, yaitu perjanjian dan persetujuan, dimana perjanjian atau persetujuan diartikan sebagai suatu perbuatan dimana seorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih.7
6Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Intermasa, 1979), hlm.1
7Yan Xxxxxxxx Xxxxx, Kamus Hukum Bahasa Belanda-Indonesia-Inggris, (Semarang, Aneka, 1977), hlm.248
12
Sementara Pasal 1313 BW menggunakan istilah persetujuan yang diartikan sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
2. Pengertian Jual Beli
Jual-beli (menurut B.W) adalah suatu perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak yang satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak yang lain-nya (si pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.
Dalam pasal 1458 BW yang berbunyi :8 “Jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar”.
3. Syarat sahnya Perjanjian
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat menurut BW, yaitu:9
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (consensus)
Artinya sebagai pihak pemilik barang menawarkan barangnya kepada pihak pembeli karena penjual menghendaki sejumlah uang, dan pihak pihak pembeli menyetujui untuk membelinya. Sebaliknya, pihak pembeli mengehendaki barang sehingga menyetujui membeli barang
8X.Xxxxxxx, Aneka Perjanjian, (Cet-Ke 11, Bandung : PT Citra Xxxxxx Xxxxx, 2014), hlm.1-2
9Marilang, Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian), (Cet ke-1, Makassar: Xxxxxxxx Xxxxxxxxxx Press, 2013) hlm.180
milik penjual, dan pihak penjual menyetujui untuk menjual barangnya kepada pihak pembeli. Jadi hakikat sepakat dalam suatu perjanjian (jual-beli misalnya) adalah perjumpaan atau pertemuan dua kehendak yang berbeda pada satu titik dan melebur menjadi satu kesepakatan.
b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian (capacity)
Syarat cakap melakukan perbuatan hokum adalah setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya. Ketentuan sudah dewasa menurut pasal 330 ayat (1) BW bahwa “belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin”. Artinya, setiap orang yang telah genap usianya 21 tahun, maka orang tersebuttelah dewasa dan sekalipun usianya belum genap 21 tahun tetapi dia telah kawin, maka orag tersebut sudah dewasa. Kemudian ayat (2) menyatakan bahwa jika orang telah pada usia belum genap 21 tahun, maka orang tersebut otomatis menjadi dewasa, namun apabila perkawinannya bubar sebelum usianya 21 tahun, maka dia tetap dianggap dewasa, karena tekanan usia dewasa adalah “telah kawin”. Sekalipun dalam berbagai undang-undang menetapkan batas usia seseorang menjadi dewasa berbeda-beda seperti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan membatasi usia dewasa laki-laki 19 tahun dan perempuan 18 tahun, namun yangdijadikan standar usia dewasa kaitannya dengan membuat perjanjian adalah genap usia 21 tahun sebagaimana ditentukan dalam BW.
c. Suatu hal tertentu (a certain subject matter)
Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian. Syarat ini diperlukan untuk dapat menentukan kewajiban debitur jika terjadi perselisihan. Pasal 1333 ayat(1) BW menyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai sebagai suatu pokok yang paling sedikit ditetapkan jenisnya. Ayat (2) menyatakan tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak ditentukan atau dihitung.
d. Suatu sebab yang sah (legal causa)
Istilah kausa berasal dari bahasa latin yang arti leksikalnya adalah “sebab” yaitu sesuatu yang menyebabkan atau mendorong orang melakukan suatu perbuatan. Namun, kata sebab ini jika dikaitkan dengan kata “halal” sebagaimana dinyatakan dalam pasal 1320 BW , maka kata sebab disini tidak diartikan sebagai sesuatu yang menyebabkan atau mendorong seseorang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu sendiri atau tujuan yang hendak dicapai” oleh pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.
B. Tinjauan Umum Jual Beli Online (E-commerce)
1. Pengertian E-commerce
Dalam artikel berjudul “E-commerce: An Introduction” dari Xxxxxxx Xxxxxx di Harvard Law School didefinisikan sebagai “the conduct of transactions by electronic means” atau segala bentuk transaksi yang terjadi melalui melalui media elektronik. Bila dikaitkan dengan dinamika perkembangan bisnis hari ini, praktik penerapan e-
commercedapat kita temui dalam model bisnis situs perdagangan daring yang value preposition utamanya adalah memfasilitasi konsumen untuk melakukan aktivitas belanja daring. Berbelanja daring sendiri menurut artikel ilmiah yang ditulis Xxxxx dan Xxxx adalah proses membeli barang dan jasa dari penjual melalui jaringan internet.10
2. Sejarah E-commerce
Dengan begitu cepat dan semakin canggih teknologi banyak perubahan-perubahan juga pertumbuhan teknologi dibidang informasi. Salah satu contohnya internet, awalnya dimulai pada tahun 1969 ketika sebuah kelompok penelitian di Departemen Pertahanan Amerika, Defense Advanced Research Projects Agency (DARPA) mengadakan riset tentang bagaimana caranya dalam menghubungkan sejumlah komputer agar dapat saling berkomunikasi satu dengan yang lainnya dan membentuk sebuah jaringan.11
E-commerce pertama kali diperkenalkan pada tahun 1994 pada saat pertama kali banner-elektronik dipakai untuk tujuan promosi dan periklanan di suatu halaman-web (website). Menurut Riset Forrester, perdagangan elektronik menghasilkan penjualan seharga AS$12,2 miliar pada 2003. Menurut laporan yang lain pada bulan oktober 2006 yang lalu, pendapatan ritel online yang bersifat non-travel di Amerika Serikat diramalkan akan mencapai seperempat trilyun dolar US pada tahun 2011.12
10xxxxx://xxxxxxx.xxxxxxxxx.xxx/0000/00/00/xxxxx-xxxxx-x-xxxxxxxx-xx-xxxxxxxxx/,xxxxxxx
tanggal 07 Maret 2019
11 xxxxx://xx.xxxxxxxxx.xxx/xxxx/Xxxxxxx_Xxxxxxxx, Diakses Tanggal 29 Mei 2019
12 xxxxx://xx.xxxxxxxxx.xxx/xxxx/Xxxxxxxxxxx_xxxxxxxxxx
Istilah "perdagangan elektronik" telah berubah sejalan dengan waktu. Awalnya, perdagangan elektronik berarti pemanfaatan transaksi komersial, seperti penggunaan EDI untuk mengirim dokumen komersial seperti pesanan pembelian atau invoice secara elektronik.13
Kemudian dia berkembang menjadi suatu aktivitas yang mempunyai istilah yang lebih tepat "perdagangan web" — pembelian barang dan jasa melalui World Wide Web melalui server aman (HTTPS), protokol server khusus yang menggunakan enkripsi untuk merahasiakan data penting pelanggan.
Pada awalnya ketika web mulai terkenal di masyarakat pada 1994, banyak jurnalis memperkirakan bahwa e-commerce akan menjadi sebuah sektor ekonomi baru. Namun, baru sekitar empat tahun kemudian protokol aman seperti HTTPS memasuki tahap matang dan banyak digunakan. Antara 1998 dan 2000 banyak bisnis di AS dan Eropa mengembangkan situs web perdagangan ini.
Dalam penggunaan sangat luas, digunakan oleh perusahaan untuk melakukan transaksi perdagangan dengan pemasoknya tanpa harus menggunakan hardcopy dari penggunaan faktur pembelian serta invoice. Kemudian pada tahun 1990-an berkembang lagi menjadi perdagangan melalui website yaitu dengan melakukan transaksi perdagangan barang dan jasa melalui World Wide Web, perdagangan ini juga yang dikenal dengan istilah e-commerce.
13 Ibid
3. Konsep E-commerce
Teknologi merubah banyak aspek bisnis dan aktivitas pasar. Dalam bisnis perdagangan misalnya, kemajuan teknologi telah melahirkan metode transaksi yang dikenal dengan istilah e-commerce (electronic commerce). Ecommerce merupakan transaksi jual beli produk, jasa dan informasi antar mitra bisnis melalui jaringan komputer yaitu internet. Internet merupakan “a global network of computer network” atau jaringan komputer yang sangat besar yang terbentuk dari jaringan-jaringan kecil yang ada di seluruh dunia yang saling berhubungan satu sama lain. Salah satu fungsi internet adalah sebagai infrastuktur utama e-commerce.14
E-commerce (perniagaan elektronik) merupakan proses yang memungkinkan teknologi-teknologi berbasis situs internet yang memfasilitasi perniagaan/perdagangan. E-commerce memfasilitasi penggunaan dan implementasi proses baru bisnis. Hal ini mencakup pelaksanaan bisnis secaraelektronik melintasi spektrum hubungan- hubungan antar perusahaan-perusahaan.
Secara umum menurut Xxxxx Xxxx, yang dikutip oleh Xxxx X. Purbo dan Xxxx Xxxx Xxxxxxx, “E-commerce is a dynamic set of technologies, aplications, and business process that link enterprises, consumers, and communities trough electronic transactions and electronic exchange of goods, services, and information”. E-commerce merupakan satu set dinamis teknologi aplikasi dan proses bisnis yang menghubungkan
14Xxxxxxxx, dkk, Visi Al-Qur‟an Tentang Etika dan Bisnis, Jakarta: Salemba Diniyah, 2002, hlm. 118
perusahaan, konsumen dan komunitas tertentu melalui transaksi elektronik dan perdagangan barang, jasa dan informasi yang dilakukan secara elektronik.15 Secara garis besar, e-commerce saat ini diterapkan untuk melaksanakan aktivitas ekonomi business-to-business, business-to- consumer dan consumer-to-consumer.16 Berikut penjelasannya:
a. Business-to-business
Merupakan sistem komunikasi bisnis online antar pelaku bisnis atau dengan kata lain transaksi secara elektronik antar perusahaan (dalam hal ini pelaku bisnis) dan dalam kapasitas atau volume produk yang besar.
b. Business-to-consumer
Bentuk bisnis yang menghubungkan perusahaan dengan para pelanggan lewat internet, menyediakan instrumen penjualan produk- produk atau jasa-jasa dan mengatur komunikasi dan hubungan dengan para pelanggan.
c. Consumer-to-consumer
Merupakan transaksi bisnis secara elektronik yang dilakukan antar konsumen untuk memenuhi suatu kebutuhan tertentu dan pada saat tertentu pula. Segmentasi consumer-to-consumer ini sifatnya lebih khusus karena transaksi dilakukan ke konsumen yang memerlukan transaksi.
15Xxxxx Xxxxxxx Xxxxxx, Transaksi Bisnis E-commerce Perspektif Islam, Yogyakarta: Magistra Insania Press bekerjasama dengan MSI MUI, 2004 , hlm. 15.
16Ibid, hlm. 18
Dalam dunia e-commerce, terdapat beberapa model bisnis yang dapat dikategorikan menjadi sembilan model bisnis. Kesembilan model ini adalah:17
a. Virtual Storefront
yang menjual produk fisik atau jasa secara online, sedangkan pengirimannya menggunakan sarana-sarana tradisional.
b. Marketplace Concentrator,
yaitu yang memusatkan informasi mengenai produk dan jasa dari beberapa produsen pada satu titik sentral.
c. Information Broker,
yaitu menyediakan informasi mengenai produk, harga dan ketersediaannya dan kadang menyediakan fasilitas transaksi.
d. Transaction Broker,
yaitu pembeli dapat mengamati berbagai tarif dan syarat pembelian, namun aktivitas bisnis utamanya adalah memfasilitasi transaksi.
e. Electronict Clearinghouses,
yaitu menyediakan suasana seperti tempat lelang produk, dimana harga dan ketersediaan selalu berubah tergantung pada reaksi konsumen.
f. Reverse Auction,
17 Xxxxxxxx, dkk, OpCit, hlm. 121
yaitu konsumen mengajukan tawaran kepada berbagai penjual untuk membeli barang atau jasa dengan harga yang dispesifikasi oleh pembeli.
g. Digital Product Delivery,
yaitu menjual dan mengirim perangkat lunak, multimedia dan produk digital lainnya lewat internet.
h. Content Provider,
yaitu menyediakan layanan dan dukungan bagi para pemakai perangkat lunak dan perangkat keras.
i. Online Service Provider,
yaitu menyediakan layanan dan dukungan bagi para pemakai perangkat lunak dan perangkat keras.
Sebagaimana setiap perubahan yang membawa dampak sosial, perubahan atas perkembangan teknologi juga membawa dampak-dampak sebagai berikut: Pertama, tingkatkompleksitas masyarakat akan semakin tinggi. Kedua, restrukturisasi diberbagai bidang akan berlangsung lebih cepat. Ketiga, pola komunikasi dan pola interaksi semakin berubah. Keempat, nilai-nilai kerja dan profesionalisme akan bergeser. Kelima, saling ketergantungan dan saling mempengaruhi. Keenam, tuntutan otomatisasi untuk mempertinggi efisiensi dan produktivitas yang meningkat. Ketujuh, interaksi manusia akan mengalami restrukturisasi dan pergeseran ke arah demokrsai.18
18Ibid, Hlm. 122
Sebagaimana halnya dunia bisnis tradisional yang tidak lepas dari masalah-masalah, e-commerce juga tidak ketinggalan dihadapkan dengan berbagai persoalan yang tidak begitu jauh bedanya tetapi letak masalahnya berbeda dan bersifat lebih kompleks yaitu berupa ancaman penyalahgunaan dan kegagalan sistem yang terjadi. Hal ini meliputi: kehilangan segi finansial secara langsung karena kecurangan, pencurian informasi rahasia, penggunaan akses ke sumber pihak yang tidak berhak, kehilangan kepercayaan dari para konsumen dan kerugian-kerugian yang tidak terduga misalnya gangguan dari luar yang tidak terduga, ketidakjujuran, praktek bisnis yang tidak benar, kesalahan faktor manusia atau kesalahan sistem elektronik.19
4. Elemen-Elemen E-commerce
Terdapat beberapa elemen-elemen dalame-commerce diantaranya sebagai berikut:20
1. Networking atau jaringan merupakan beberapa komputer yang saling berhubungan dan saling tukar menukar informasi dan terkoneksi melalui sebuah kartu jaringan dan jalur komunikasi, yang terdiri dari jaringan local atau lebih dikenal dengan LAN dan jaringan internet yang banyak digunakan untuk jaringan LAN atau lokal terdapat berbagai jenis jaringan seperti jaringan bus, token, star dan lain-lain yang cocok untuk digunakan,
19Ibid, Hlm. 123
20xxxxx://xxxx.xxxxxx.xx.xx/xxxxx/xxxx0/000/xxxxxxxxxxxx-xxx-xxxxxxxxxx-00000-0-xxxxxx_x-
i.pdf, diakses tanggal 07 Maret 2019
2. Security (keamanan) Security atau keamanan merupakan bagian penting, karena menyangkut masalah keamanan data Member dan juga keamanan server kita, masalah seperti enkripsi data pada saat transaksi memakai kartu kredit, aplikasi yang sudah banyak dipakai yaitu SSL (Secure Socket Layer).
3. Web programming dan web design Kedua masalah ini dalam pelaksanaannya dapat dikerjakan oleh satu orang atau lebih, untuk web programming dikhususkan dalam pembuatan bahasa pemrograman. Untuk web design, khusus untuk mendesain halaman web atau peraturan gambar, warna maupun tata letak suatu web dari segi keindahan dan dinamis. Web programming biasanya menggunakan script server seperti PHP, ASP, CGI dan yang lainnya. Untuk designnya banyak software-software yang mendukung seperti Macromedia, photosop, Frontpage, Office publisher dan masih banyak lagi yang lainnya.
4. Business Online Maksud dari bussines online disini yaitu menyangkut bagaimana cara pengolahan perusahaan mulai dari manajemen, administrasi keuangan dan lainnya, yang semua itu merupakan suatu strategi dalam menarik customer atau pelanggan untuk datang ke toko kita.
5. Online Payment merupakan metode pembayaran secara online.
Pembayaran online yang sering digunakan oleh beberapa sistem e- commerce yaitu menggunakan jasa pembayaran Paypal. Paypal adalah
salah satu alat pembayaran (Payment procesors) yang terbanyak digunakan dan teraman. Pengguna internet dapat membeli barang di ebay, lisensi software original, keanggotaan situs, urusan bisnis, mengirim dan menerima donasi/sumbangan, mengirim uang ke pengguna PayPal lain di seluruh dunia dan banyak fungsi lainnya dengan mudah dan otomatis menggunakan internet atau mobile. PayPal mengatasi kekurangan dalam pengiriman uang tradisional seperti Cek atau Money order yang prosesnya dapat memakan waktu lama.
6. Cyberlaw adalah hukum yang digunakan di dunia cyber (dunia maya) yang umumnya diasosiasikan dengan internet. Cyberlaw merupakan aspek hukum yang ruang lingkupnya meliputi setiap aspek yang berhubungan dengan orang perorangan atau subyek hukum yang menggunakan dan memanfaatkan teknologi internet yang dimulai pada saat mulai online dan memasuki dunia cyber atau maya. Cyberlaw sendiri merupakan istilah yang berasal dari Cyberspace Law. Cyberlaw akan memainkan peranannya dalam dunia masa depan, karena nyaris tidak ada lagi segi kehidupan yang tidak tersentuh oleh keajaiban teknologi dewasa ini dimana kita perlu sebuah perangkat aturan main didalamnya (virtual world).
5. Mekanisme Pembayaran E-commerce
Prinsip pembayaran e-commerce sebenarnya tidak jauh berbeda dengan dunia nyata, hanya saja internet berfungsi sebagai POS (Point Of
Sale) yang dapat dengan mudah diakses melalui sebuah komputer dan semuanya serba digital serta didesain serba elektronik.21 Cara yang paling umum dalam melakukan pembayaran terhadap produk atau jasa yang dibelinya adalah membayar langsung dengan alat pembayaran yang sah (uang) secara tunai.
Akan tetapi dalam pembayaran secara elektronik ada beberapa cara, yaitu:22
a. Kartu cerdas (smart card)
Kartu cerdas menyerupai kartu kredit, perbedaannya terletak pada micro-chip yang ditanamkan dalam kartu tersebut yang memungkinkan smart-card untuk menyimpan informasi dan terkadang melakukan hitunganhitungan yang mudah.
b. Cek elektronik (E-cheques)
Sistem ini bermaksud untuk menandingi sistem pengelolaan cek kertas konvensional. Dengan cara ini, pelayan rekening pihak ketiga berperan sebagai jasa pencatatan keuangan untuk para pengguna. Dalam penggunaannya, e-cheques membutuhkan tanda tangan digital dan jasa pembuktian keaslian untuk proses informasi digital antara pembayar, yang dibayar dan bank.
c. Kartu kredit
21Xxxxxx, Xxxxx Xxxxxxx, Transaksi Bisnis E-commerce Perspektif Islam, Magistra Insania Press bekerjasama dengan MSI MUI, Yogyakarta, 2004, Hlm. 35
22Xxxxxx, Xxxx Xx’xxx, Islamic E-commerce Terapan, Sweet & Xxxxxxx Asia, Malaysia, 2010, Hlm. 66-67
Kartu kredit merupakan sistem pembayaran dimana bank atau institusi keuangan mengeluarkan kartunya untuk meminjamkan uang kepada pemakai.
6. Dasar Hukum E-commerce
Melihat besarnya potensi perkembangan e-commerce di tanah air, menjadi penting untuk mengulas tentang dasar hukum bagi pelaku usahanya. Kepastian hukum sangat berpengaruh bagi kondusifitas iklim bisnis dan investasi di sebuah negara bahkan pada gilirannya dapat terkait erat dengan proses ekstensifikasi sumber penerimaan keuangan negara dari sektor pajak.
Aktivitas perdagangan di tanah air diatur dengan Undang-Undang (UU) nomer 7/2014 tentang perdagangan. Telah disebutkan secara jelas pada pasal 4 ayat 1 UU 7/2014 bahwa ruang lingkup perdagangan salah satunya meliputi “Perdagangan melalui Sistem Elektronik”. Aktivitas perdagangan yang dijalankan oleh situs perdagangan daring di Indonesia jelas memenuhi definisi ini karena secara operasional mereka menggunakan jaringan internet dalam menjalankan aktivitas perdagangannya. Jaringan internet mereka fungsikan baik sebagai marketplace tempat bertemunya konsumen dan pedagang sekaligus channel bagi terjadinya proses transaksi. Artinya, situs perdagangan daring
yang beroperasi di Indonesia terikat dengan berbagai ketentuan yang termuat dalam UU Nomor 7 Tahun 2014.23
Dalam pasal 65 UU Nomor 7 Tahun 2014 yang mengatur tentang Perdagangan melalui Sistem Elektronik disebutkan pada ayat 4 bahwa pelaku usaha Perdagangan melalui Sistem Elektronik wajib untuk menyediakan data tentang:
1. Identitas dan legalitas Pelaku Usaha sebagai produsen atau Pelaku Usaha Distribusi
2. Persyaratan teknis Barang yang ditawarkan
3. Persyaratan teknis atau kualifikasi Jasa yang ditawarkan
4. Harga dan cara pembayaran Barang dan/atau Jasa
5. Cara penyerahan Barang
Poin kedua hingga keempat pada umumnya dapat kita temui telah tersedia pada situs-situs perdagangan daring yang beroperasi di Indonesia. Adalah poin pertama yang sebagian besar datanya belum tersedia bagi publik.
Dari perspektif regulator, identitas dan legalitas pelaku usaha adalah informasi yang sangat krusial dalam proses formulasi kebijakan perdagangan. Pelaku usaha yang memiliki identitas sebagai badan hukum perseroan terbatas misalnya, dalam aktivitasnya akan terikat dengan berbagai ketentuan pada UU Perseroan Terbatas (PT) Nomor 40 Tahun 2007. Di sisi lain, UU ini tidak berlaku bagi pelaku usaha yang berbadan
23xxxxx://xxxxxxx.xxxxxxxxx.xxx/0000/00/00/xxxxx-xxxxx-x-xxxxxxxx-xx-xxxxxxxxx/, diakses tanggal 07 Maret 2019
hukum selain PT. Bahkan di antara sesama PT, PT dengan besaran nett revenue yang berbeda juga akan dikenai besaran pajak yang berbeda. Satu lagi pekerjaan rumah bagi para pengambil kebijakan kita.
Hukum e-commerce di Indonesia secara signifikan, tidak mencover aspek transaksi yang dilakukan secara online (internet). Akan tetapi ada beberapa hukum yang bisa menjadi pegangan untuk melakukan transaksi secara online atau kegiatan E-commerce. Yaitu :24
1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan (UU Dokumen Perusahaan) telah menjangkau ke arah pembuktian data elektronik. Dalam Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 2 tentang dokumen perusahaan yg isinya:
Dokumen perusahaan adalah data, catatan, dan atau keterangan yang dibuat dan atau diterima oleh perusahaan dalam rangka pelaksanaan kegiatannya, baik tertulis di atas kertas atau sarana lain maupun terekam dalam bentuk corak apapun yang dapat dilihat, dibaca, atau didengar.
Dan pada BAB III tentangPengalihan Bentuk Dokumen dan Legalisasi Pasal 12 ayat 1 dan Pasal 15 ayat 1 dan 2 yang isinya berturut-turut sebagai berikut :
Dokumen perusahaan dapat dialihkan ke dalam mikrofilm atau media lainnya.
Dokumen perusahaan yang telah dimuat dalam mikrofilm atau media lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah.
Apabila dianggap perlu dalam hal tertentu dan untuk keperluan tertentu dapat dilakukan legalisasi terhadap hasil cetak dokumen perusahaan yang telah dimuat dalam mikrofilm atau media lainnya.
24Ibid
Undang-undang di atas berisi tentang pernyataan bahwa Dokumen perusahaan (data/bukti transaksi jual beli) adalah sah dengan syarat dapat dilihat, dibaca atau didengar dengan baik. Dan data dalam bentuk media elektronik (dsebutkan mikrofilm atau media lain) seperti video, dokumen elektronik, email dan lain sebgainya yang dapat dikatakan sebagai Dokumen merupakan alat bukti yang sah.
2. Pasal 1233 KUHP, yang isinya sebagai berikut
Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang- undang.Berarti dengan pasal ini perjanjian dalam bentuk apapun dperbolehkan dalam hukum perdata Indonesia. Dapat sering kita jumpai ketika kita menggunakan fasilitas gratisan seperti email ada Term of Use-nya terus ada Privacy Policy-nya dan lain sebagainya.
3. Pasal 1338 KUHP, yang isinya mengarah kepada hukum di Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak. Asas ini memberikan kebebasan kepada para pihak yang sepakat untuk membentuk suatu perjanjuan untuk menentukan sendiri bentuk serta isi suatu perjanjian. jadi pelaku kegiatan e-commerce dapat menentukan sendiri hubungan hukum di antara mereka.
BAB III METODOLOGI PEXXXXXXXX
A. JENIS PENELITIAN
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif atau penelitian kepustakaan. Penelitian hukum normatif atau penelitian perpustakaan ini merupakan penelitian yang mengkaji studi dokumen, yakni menggunakan berbagai data sekunder seperti peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori hukum, dan dapat berupa pendapat para sarjana. Penelitian jenis normatif ini menggunakan analisis kualitatif yakni dengan menjelaskan data-data yang ada dengan kata-kata atau pernyataan bukan dengan angka-angka.25
B. PENDEKATAN PENELITIAN
Dalam penelitian ini digunakan beberapa pendekatan diantaranya :
1. Pendekatan perundang-undangan (Statute Approach)
yaitu pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Pendekatan perundang-undangan dalam penelitian hukum normatif memiliki kegunaan baik secara praktis maupun akademis.26 Dan pendekatan konsep (conceptual approach).
25xxxxx://xxxxxxx.xxx/xxxxxxxxxx-xxxxxxxxxx-xxxxx-xxxxxxxx-xxxxxx/
26Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx, 2011, Penelitian Hukum, cetakan ke-11, Jakarta : Kencana.
Hlm.93
30
2. Pendekatan konseptual
Beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. dengan mempelajari pandang- pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum relevan dengan isu yang dihadapi. Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi.27
C. SUMBER DAN JENIS BAHAN HUKUM
Dalam penelitian hukum tidak dikenal adanya data, sebab dalam penelitian hukum khususnya yuridis normatif sumber penelitian hukum diperoleh dari kepustakaan bukan dari lapangan, untuk itu istilah yang dikenal adalah bahan hukum. Dalam penelitian hukum normatif bahan pustaka merupakan bahan dasar yang dalam ilmu penelitian umumnya disebut bahan hukum sekunder. Dalam bahan hukum sekunder terbagi bahan hukum primer dan sekunder.
1. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Adapun bahan hukum primer terdiri dari:
a. Undang-undang dasar 1945
b. Undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
27Ibid, Hlm. 95
c. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (Undang-Undang ITE)
d. Undang-Undang No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan (UU Dokumen Perusahaan)
e. KUHPerdata
f. Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2014 tentang perdagangan
g. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE)
h. Peraturan Bank Indonesia No.20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik (Electronic Money)
2. Bahan Hukum Sekunder
Merupakan bahan hukum yang bersifat membantu atau menunjang bahan hukum primer dalam penelitian yang akan memperkuat penjelasan di dalamnya.
Diantara bahan-bahan hukum sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku, thesis, jurnal dan dokumen-dokumen yang mengulas tentang Hukum Jual Beli Online (E-commerce)yang nantinya akan dijadikan sebagai analisis dalam penelitian ini.
3. Bahan Hukum Tersier
Merupakan bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain
D. TEKNIK PENGUMPULAN BAHAN HUKUM
Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian library research adalah teknik dokumenter, yaitu dikumpulkan dari telaah arsip atau studi pustaka seperti, buku-buku, makalah, artikel, majalah, jurnal, koran atau karya para pakar. Selain itu, wawancara juga merupakan salah satu dari teknik pengumpulan bahan hukum yang menunjang teknik dokumenter dalam penelitian ini serta berfungsi untuk memperoleh bahan hukum yang mendukung penelitian jika diperlukan.
E. ANALISA DATA
Dalam penelitian ini, setelah bahan hukum terkumpul maka bahan hukum tersebut dianalisis untuk mendapatkan konklusi, bentuk dalam teknik analisis bahan hukum adalah Content Analysis.28 Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa dalam penelitian normatif tidak diperlukan data lapangan untuk kemudian dilakukan analisis terhadap sesuatu yang ada di balik data tersebut. Dalam analisis bahan hukum jenis ini dokumen atau arsip yang dianalisisb disebut dengan istilah “teks” . Content analysis menunjukkan pada metode analisis yang integratif dan secara konseptual cenderung diarahkan untuk menemukan, mengidentifikasi, mengolah, dan menganalisis bahan hukum untuk memahami makna, sgnifikansi, dan relevansinya.29
F. SISTEMATIKA PENULISAN
BAB I merupakan bab pendahuluan yang berisikan tentang Latar Belakang dilakukannya penelitian, perumusan masalah, Tujuan
28 Xxxxxxxx Xxxxxxxx, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hlm 10
29 Ibid, Hlm 11
Dan Manfaat dilakukannya Penelitian, dan Ruang Lingkup Penelitian
BAB II merupakan bab tentang tinjauan pustaka yaitu bab yang membahas tentang penjelasan dasar dari materi yang akan dimuat dalam penelitian ini diantaranya Tinjauan Umum Perjanjian Jual Beli yang terdiri dari Pengertian Perjanjian, Pengertian Xxxx Xxxx, dan Syarat sahnya Perjanjian. Juga membahas tentang Tinjauan Umum Jual Beli Online (E- commerce) yang terdiri dari Pengertian E-commerce, Sejarah E- commerce, Konsep E-commerce, Elemen-Elemen E-commerce, Mekanisme Pembayaran E-commerce dan Dasar Hukum E- commerce.
BAB III merupakan bab METODOLOGI PENELITIAN yang membahas tentang Jenis Penelitian, Pendekatan Penelitian, Jenis Dan Sumber Bahan Hukum, Pengumpulan Bahan Hukum, Analisa Bahan Hukum, dan Sistematika Penulisan.
BAB IV merupakan bab HASIL PENELITIAN yang berisikan tentang jawaban-jawaban masalah-masalah yang telah dirumuskan dalam penelitian ini.
BAB V merupakan bab PENUTUP yang berisi tentang kesimpulan yang didapatkan dalam penelitian dan juga berisi saran-saran yang penulis berikan kepada para pembaca atau peneliti selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA merupakan bagian yang berisi literatur-literatur yang digunakan sebagai bahan dalam penelitian diantaranya buku- buku, peraturan perundang-undangan serta sumber lain yang relevan seperti internet atau sumber lainnya.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pengaturan Sistem Transaksi Online (E-commerce) di Indonesia
1. Eksistensi Dan Pengakuan Sarana Elektronik/ Dokumen Elektronik Di Indonesia
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 yang telah dirubah dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) merupakan cyber law yang pertama dimiliki Indonesia. Perdagangan Elektronik juga didukung dengan Undang- undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Pengaturan e- commerce dalam undang-undang ini ditujukan agar dapat memberikan kepastian dan kesepahaman mengenai apa yang dimaksud dengan e- commerce dan memberikan perlindungan, kepastian kepada pelaku usaha elektronik, penyelenggara e-commerce, dan konsumen dalam melakukan kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik.
Keabsahan hubungan kontraktual dalamkegiatan e-commerce tetap mengacu pada persyaratan material untuk tidak memuat klausul yang menyebabkan kerugian bagi para pihak. Meskipun secara teknis transaksi dilakukan melalui jaringan internet dimana kontrak terjadi akibat bertemunya syarat dan kondisi dalam suatu penawaran secara elektronik dengan kondisi /persetujuan secara elektronik.
37
37
Berdasarkan ketentuan pasal 65 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan diatur bahwa setiap pelaku usaha yang memperdagangkan Barang dan atau Jasa dengan menggunakan sistem elektronik wajib menyediakan data dan atau informasi secara lengkap dan benar.
Disisi lain , keberadaan obyek dalam transaksi elektronik tidak mungkin dapat diresepsi secara sempurna secara elektronik, sehingga konsumen harus diberikan kesempatan untuk dapat membatalkan perjanjian jika obyek tidak sesuai yang diharapkan dan/atau diperjanjikan. Calon pembeli/pengguna harus diberikan kesempatan untuk melakukan pembatalan tersebut dengan konsekuensi pengembalian biaya administratif.
Berkaitan dengan akuntabilitas dan tingkat keterpercayaan dalam menentukan bobot pembuktian atas suatu kontrak elektronik, maka diperlukan perhatian terhadap reliabilitas keamanan sistem elektronik tersebut, baik dalam konteks sistem informasi maupun sistem komunikasi yang digunakan.30 Ketentuan Pasal 5 UU ITE menyatakan bahwa Informasi Elektronik dapat menjadi suatu alat bukti yang sah, namun sejauh mana informasi tersebut memiliki sifat kekuatan yang mengikat dalam pembuktian ditentukan oleh aspek reliabilitasnya. Konsekuensinya adalah kehadiran suatu informasi elektronik sebagai alat bukti tidak dapat dikarenakan berwujud dalam sistem elektronik, namun hal yang harus
30 Xxxxxxx, E. (2014). Kerangka Kebijakan dan Reformasi Hukum untuk Kelancaran E- Commerce. Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol.44 (No.3 JuliSeptember 2014)
diperhatikan ialah kesetaraan fungsionalnya (functional equivalent approach) seperti kelayakan bukti tulisan di atas kertas. Hal itu dapat melihat kepada sistem keamanan atau keautentikannya (e-authentication) yang salah satunya adalah penggunaan teknologi Tanda Tangan Elektronik.sehingga dapat dinyatakan bahwa , sistem keautentikan secara elektronik adalah ekuivalen dengan penggunaan tanda tangan elektronik.31
2. E-commerce di Indonesia Sudah Diatur dalam UU Perdagangan
Total nilai pasar e-commerce Indonesia pertengahan tahun 2013- Januari 2014 diprediksi oleh Vela Asia dan Google akan mencapai USD 8 miliar dan diprediksi akan terus meningkat hingga mencapai angka USD 24 miliar. Visa memperkirakan online shopping di Indonesia akan tumbuh 40% tahun ini dan 53% tahun depan, dari 23% tahun lalu. Mengingat pertumbuhan e-commerce yang pesat tersebut, aturan terkait e-commerce telah banyak diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. “Pengaturan e-commerce merupakan amanah UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan,” kata Direktur Bina Usaha Kementerian Perdagangan, Xx. Xxxxxxxxx, MM.32
Pengaturan e-commerce itu memberikan kepastian dan kesepahaman mengenai apa yang dimaksud dengan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (selanjutnya disingkat PMSE) dan memberikan
31 Xxxxxxxx Xxxx Xxxxxx dan Xxxx Xxxxxxx, Urgensi Rekonstruksi Hukum E-Commerce di Indonesia, Jurnal LawReform, Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Volume 14 Nomor 1 Tahun 2018, Hlm. 93-94
32 dalam Seminar Perpajakan “Pemenuhan Kewajiban Perpajakan Bagi Pelaku e- commerce Di Indonesia” yang diadakan oleh Direkorat Jenderal (Ditjen) Pajak di Jakarta, 27 Agustus 2014.
perlindungan dan kepastian kepada pedagang, penyelenggara PMSE, dan konsumen dalam melakukan kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik.
Dalam UU Perdagangan diatur bahwa setiap pelaku usaha yang memperdagangkan Barang dan atau Jasa dengan menggunakan sistem elektronik wajib menyediakan data dan atau informasi secara lengkap dan benar. Setiap pelaku usaha dilarang memperdagangkan Barang dan atau Jasa dengan menggunakan sistem elektronik yang tidak sesuai dengan data dan atau informasi dan penggunaan sistem elektronik tersebut wajib memenuhi ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Data dan atau informasi PMSE paling sedikit harus memuat identitas dan legalitas Pelaku Usaha sebagai produsen atau Pelaku Usaha Distribusi, persyaratan teknis Barang yang ditawarkan, persyaratan teknis atau kualifikasi Jasa yang ditawarkan, harga dan cara pembayaran Barang dan atau Jasa, dan cara penyerahan Barang.
“Dalam hal terjadi sengketa terkait dengan transaksi dagang melalui sistem elektronik, orang atau badan usaha yang mengalami sengketa dapat menyelesaikan sengketa tersebut melalui pengadilan atau melalui mekanisme penyelesaian sengketa lainnya. Setiap pelaku usaha yang memperdagangkan Barang dan atau Jasa dengan menggunakan sistem elektronik yang tidak menyediakan data dan atau informasi secara lengkap dan benar akan dikenai sanksi administratif berupa pencabutan izin“ terang Xxxxxxxxx.33
33 Ibid
UU Perdagangan sendiri mendefinisikan PMSE sebagai perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik. Jenis pelaku usaha PMSE meliputi pedagang (merchant) dan Penyelenggara Perdagangan Secara Elektronik ("PPSE"), terdiri atas Penyelenggara Komunikasi Elektronik, Iklan Elektronik, penawaran elektronik, Penyelenggara sistem aplikasi Transaksi Elektronik, Penyelengara jasa dan sistem aplikasi pembayaran dan Penyelenggara jasa dan sistem aplikasi pengiriman barang. Bentuk Perusahaan PMSE dapat berbentuk orang perseorangan atau berbadan hukum. Penyelenggara Sarana Perdagangan Secara Elektronik dapat berbentuk perorangan atau berbadan hukum.
Pelaku Usaha wajib melakukan pendaftaran dan memenuhi ketentuan teknis dari instansi yang terkait. Setiap pelaku usaha harus memiliki dan mendeklarasikan etika bisnis (business conduct atau code of practices). Pelaku usaha dilarang mewajibkan konsumen untuk membayar produk yang dikirim tanpa adanya kesepakatan terlebih dahulu (inertia selling). Informasi atau dokumen elektronik dapat digunakan sebagai suatu alat bukti.
Perihal kontrak elektronik, kontrak perdagangan elektronik sah ketika terdapat kesepakatan para pihak. Kontrak Perdagangan Elektronik paling sedikit harus memuat identitas para pihak, spesifikasi barang dan atau Jasa yang disepakati, legalitas barang dan atau jasa, nilai transaksi perdagangan, persyaratan dan jangka waktu
pembayaran, prosedur operasional pengiriman barang dan atau jasa, dan prosedur pengembalian barang dan atau jika terjadi ketidaksesuaian.
3. Kebijakan dan Regulasi Yang Mendukung E-commerce
Pemerintah sebagai regulator dalam pengembangan iklim e- commerce menyiapkan kebijakan dan regulasi yang mendukung pelaksanaan transaksi elektronik pada e-commerce, diantaranya dengan :
1. Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Sembilan Pasal di dalam UU No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mengamanatkan pembentukan Peraturan Pemerintah tentang :
1) Lembaga Sertifikasi Keandalan (Pasal 10 Ayat 2);
2) Tanda Tangan Elektronik (Pasal 11 Ayat 2) ;
3) Penyelenggara Sertifikasi Elektronik (Pasal 13 Ayat 6);
4) Penyelenggara Sistem Elektronik (Pasal 16 Ayat 2);
5) Penyelenggaraan Transaksi Elektronik (Pasal 17 Ayat 3);
6) Penyelenggara Agen Elektronik (Pasal 22 Ayat 2);
7) Pengelolaan Nama Domain (Pasal 24);
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE).
Dalam PP PSTE ini mengatur ketentuan umum mengenai :34
1) Sistem Elektronik
2) Transaksi Elektroni
3) Agen Elektronik
4) Penyelenggara Sistem Elektronik
5) Instansi Pengawas dan Pengatur Sektor Terkait
6) Perangkat Lunak
7) Sertifikasi Kelaikan Sistem Elektronik
8) Instansi Penyelenggara Negara
Dari PP PSTE diperlukan turunan dari PP berupa Rancangan Peraturan Menteri (RPM) Amanat PP PSTE yang mengatur secara spesifik mengenai :
1) RPM Lembaga Sertifi kasi Keandalan
2) RPM Penyelenggaraan Sertifi kasi Elektronik
3) RPM Sertifikasi Elektronik untuk Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Pelayanan Publik
4) RPM Penyelenggaraan Sistem Elektronik
5) RPM Penyelenggaraan Sistem Elektronik untuk pelayanan public
6) RPM Spam (pengiriman informasi elektronik promosi
7) RPM Tata Kelola PSE
8) RPM Pengelolaan Nama Domai
9) RPM Nama Domain xx.xx
34 Xxx Xxxxxx, “Kebijakan Hukum dan Regulasi Mendukung Perkembangan E-Commerce di Indonesia”, Jurnal, Universitas Mercubuana, Jakarta, 2016, Hlm 13
3. Peraturan Bank Indonesia No.11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money)
Berikut ini poin penyesuaian penting PBI tentang Penyelenggaraan Uang Elektronik:35
1) Prinsip penyelenggaraan uang elektronik yang tidak menimbulkan risiko sistemik, operasional dengan kondisi keuangan yang sehat, penguatan perlindungan konsumen, dan usaha yang bermanfaat bagi perekonomian Indonesia. Selain itu, penyelenggaraan uang elektronik juga didasarkan pada prinsip pencegahan pencucian uang dan pendanaan terorisme.
2) Ruang lingkup pengaturan uang elektronik mencakup uang elektronik open loop (dapat digunakan sebagai instrumen pembayaran kepada penyedia barang dan jasa di luar penerbit uang elektronik), dan uang elektronik closed loop (hanya dapat digunakan sebagai instrumen pembayaran kepada penyedia barang dan jasa penerbit UE tersebut).
Dalam pengaturan ini, setiap pihak yang bertindak sebagai penyelenggara uang elektronik wajib memperoleh izin dari BI, kecuali penerbit uang elektronik closed loop dengan dana float di bawah Rp 1 miliar.
35 xxxxx://xxx.xx.xx.xx/xx/xxxxxxxxx/xxxxxx-xxxxxxxxxx/Xxxxx/xxx_000000.xxxx (diakses tanggal 14 Agustus 2019, 19.29)
3) Setiap penerbit uang elektronik hanya dapat memperoleh izin satu jenis kelompok saja, yaitu kelompok penyelenggara front end (penerbit, acquirer, penyelenggara payment gateway, penyelenggara dompet elektronik, dan penyelenggara transfer dana) dan back end (prinsipal, penyelenggara switching, penyelenggara penyelesaian akhir, penyelenggara kliring).
4) Pihak yang melakukan izin sebagai penyelenggara harus berupa bank atau lembaga selain bank dengan bentuk perseroan terbatas. Setiap penyelenggara juga wajib memenuhi persyaratan aspek kelayakan yang meliputi aspek kelembagaan dan hukum, kelayakan bisnis dan operasional, serta aspek tata kelola, risiko, dan pengelolaan.
5) Untuk penerbit lembaga selain bank wajib memiliki minimum modal disetor sebesar Rp 3 miliar dan wajib untuk meningkatkan minimum modal disetor seiring dengan peningkatan jumlah rata-rata dana float.
6) Komposisi kepemilikan saham bagi penerbit lembaga selain bank adalah 51% domestik dan 49% asing. (Baca juga: BI Batasi 49% Kepemilikan Asing di Perusahaan Uang Elektronik)
7) Bank atau lembaga selain bank yang mengajukan permohonan izin sebagai penyelenggara wajib menyampaikan pernyataan dan jaminan disertai dengan pernyataan dari konsultan hukum yang independen.
8) Bank Indonesia dapat melakukan peniaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap pemegang saham pengendali, anggota direksi, dan anggota dewan komisaris lembaga selain bank yang mengajukan izin menjadi penyelenggara uang elektronik.
9) Setiap pihak dilarang untuk menjadi pemegang saham pengendali pada lebih dari satu Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP).
Perkembangan e-commerce dengan basis internet memanfaatkan banyaknya pengakses pada situs e-commerce, sehingga mendorong penyedia e-commerce untuk menyediakan global platform payment sehingga memudahkan pengakses untuk bertransaksi melalui e- payment yang beragam.
B. Keabsahan Perjanjian Jual Beli Online (E-commerce)
Transaksi komersial elektronik (e-commerce) merupakan salah satu bentuk bisnis modern yang bersifat non-face dan non-sign (tanpa bertatap muka dan tanpa ditandatangani). Transaksi komersial elektronik (e- commerce) memiliki beberapa ciri khusus, diantaranya bahwa transaksi ini bersifat paperless (tanpa dokumen tertulis), borderless (tanpa batas geografis) dan para pihak yang melakukan transaksi tidak perlu bertatap muka. Transaksi komersial elektronik (ecommerce) mengacu kepada semua bentuk transaksi komersial yang didasarkan pada proses elektronis dan transmisi data melalui media elektronik. Transaksi elektronik antara e-merchant (pihak yang
menawarkan barang atau jasa melalui internet) dengan e-customer (pihak yang membeli barang atau jasa melalui internet) yang terjadi di dunia maya atau di internet pada umumnya berlangsung secara paperless transaction, sedangkan dokumen yang digunakan dalam transaksi tersebut bukanlah paper document, melainkan dokumen elektronik (digital document).
Perkembangan yang sangat pesat dari E. Commerce itu sendiri disebabkan oleh banyak faktor, antara lain :36
1. E-Commerce memiliki kemampuan untuk menjangkau lebih banyak pelanggan dan setiap saat pelanggan dapat mengakses seluruh informasi yang terus menerus;
2. E- Commerce dapat mendorong kreatifitas dari pihak penjual secara cepat dan tepat dan pendistribusian informasi yang disampaikan berlangsung secara periodik;
3. E-Commerce dapat menciptakan efisiensi yang tinggi, murah serta informatif;
4. E-Commerce dapat meningkatkan kepuasaan pelanggan, dengan pelayanan yang cepat, mudah, aman dan akurat.
Transaksi perdagangan melalui internet sangat menguntungkan banyak pihak, sehingga transaksi perdagangan ini sangat diminati, tidak saja bagi produsen tetapi juga konsumen. Secara umum, bagi konsumen electronic cemmerce telah mengubah cara konsumen dalam memperoleh produk yang
36 Xxxxxx Xxxxxxxxxxx, 2001 , Framework E-Xxxxxxxx, Xxxx, Yogyakarta, h lm. 138
diinginkan, sedangkan bagi produsen, electronic commerce telah mempermudah proses pemasaran suatu produk.
Sekalipun penggunaan internet dalam transaksi bisnis menjanjikan berbagai kemudahan, tentunya hal ini tidak berarti E. Commerce adalah suatu sistem yang bebas dari permasalahan, karena bagaimanapun majunya teknologi tetap akan menyisakan berbagai permasalahan, khususnya bagi negara yang belum sepenuhnya mampu menguasai teknologi tersebut, seperti halnya Indonesia.
Dalam transaksi e-commerce diberlakukan suatu kontrak yang dibuat secara elektronik yang disetujui oleh kedua belah pihak baik pelaku usaha maupun konsumen. Kontrak tersebut dinamakan “Kontrak Elektronik (Digital Contract)” yang memuat hak dan kewajiban para pihak serta syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan dalam transaksi yang dilakukan melalui akses internet.
Hingga saat ini belum ada pengertian khusus mengenai Kontrak Elektronik. Namun UUITE No. 11 tahun 2008 memberikan sedikit penjelasan mengenai definisi dari kontrak elektronik. Adapun pengertian dari kontrak elektronik yang dimaksud dalam UUITE pada Pasal 1 ayat (17) adalah “perjanjian para pihak yang dibuat melalui sistem elektronik”. Selain itu, UUITE juga menyatakan dalam pasal 18 ayat (1) bahwasannya “transaksi elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak Elektronik mengikat para pihak.”
Sedangkan dalam definisi yang dipergunakan di dalam peraturan
UNCITRAL Model Law On Electronic Commerce pasal 2 adalah:
a. "Data messages" adalah suatu informasi yang dihasilkan (generated), diterima, disimpan secara elektronis, optic atau cara-cara sejenis, termasuk tetapi tidak terbatas pada EDI (electronic data intercharge), e-mail, telegram, telex, telecopy,
b. "EDI " adalah suatu transfer informasi secara elektronis dari suatu komputer ke komputer lainnya dengan menggunakan suatu standar yang sebelumnya telah ditetapkan dalam penyusunan atau pertukaran informasi tersebut;
c. "Originator" dari suatu data messages adalah seseorang yang olehnya, atau atas namanya, suatu data message telah dikirimkan atau diciptakan dengan sengaja sebelum penyimpanan, jika ada, tetapi tidak termasuk pihak lain yang bertindak sebagai perantara dalam hubungannya dengan data messages dimaksud;
d. "Addresse" dari suatu data message adalah seseorang yang sengaja dituju oleh originator untuk menerima suatu data messages, bukan termasuk seseorang yang bertindak selaku perantara berkenaan dengan data messages dimaksud;
e. “Perantara”, dalam kaitannya dengan data message tertentu adalah pihak yang atas nama pihak lain mengirimkan, menerima, atau menyimpan data message dimaksud atau yang melayani jasa lainnya yang berkaitan dengan data message dimaksud;
f. "Sistem Informasi" adalah suatu sistem yang digunakan untuk membuat, mengirim, menyimpan ataupun memproses suatu data messages;
Ini berarti secara umum antara kontrak yang dibuat secara konvensional dengan kontrak yang dibuat dengan sistem elektronik tidaklah berbeda jauh, di mana antara kontrak elektronik dan kontrak konvensional sama-sama mengikat para pihak yang membuatnya. Kontrak elektronik dalam e-commerce sering dipergunakan apa yang disebut dengan kontrak standar (standart contract) yang disebut juga kontrak baku.
Secara sederhana, kontrak standar dalam e-commerce memiliki ciri-ciri sebagai berikut:37
a. Perjanjian dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha;
b. Konsumen sama sekali tidak dilibatkan dalam menentukan isi perjanjian;
c. Dibuat dalam bentuk tertulis dengan menggunakan sistem elektronik;
d. Konsumen terpaksa menyetujui dan menerima isi perjanjian karena didorong oleh kebutuhan.
Kontrak elektronik dalam e-commerce yang cenderung dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha (merchant) biasanya lebih mendominankan dirinya dibanding konsumen di mana jelas terlihat akan lebih menguntungkan pelaku usaha, sedangkan konsumen posisinya dalam hal ini sangat lemah.38 Kontrak elektronik dikatakan sebagai kontrak yang baku selain dibuat secara sepihak juga tidak memberi kesempatan kepada konsumen untuk melakukan tawar menawar atau negosiasi (bargaining).
Sistem penerapan kontrak dalam e-commerce adalah take it or leave it, maksudnya jika konsumen menyetujui klausul yang ditentukan maka
37 Wa Ode Zamrud, E-Commerce dalam Aspek Hukum Perjanjian Perdagangan , http:/ / xxx.xxxxxx.xxx/xxx , diakses pada tanggal 18 Maret 2013.
38 Ibid
konsumen tinggal menyetujuinya dengan menekan satu tombol saja, sedangkan jika konsumen tidak menyetujuinya maka konsumen dapat meninggalkan web tanpa memberikan persetujuan apapun terhadap kontrak yang ditawarkan.39 Dari uraian di atas maka dapat dikemukakan unsur-unsur daripada kontrak elektronik yang umumnya dipergunakan dalam transaksi e- commerce, yaitu:40
a. Klausul kontrak sebagian besar diatur oleh pelaku usaha (merchant),
b. Kontrak berbentuk electronic form (formulir elektronik),
c. Kontrak lebih banyak memuat pengecualian.
Kegiatan melalui media sistem elektronik, yang disebut juga ruang siber (cyber space), meskipun bersifat virtual dapat dikategorikan sebagai tindakan atau perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis kegiatan pada ruang siber tidak dapat didekati dengan ukuran dan kualifikasi hukum konvensional saja sebab jika cara ini yang ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan hal yang lolos dari pemberlakuan hukum. Kegiatana dalam ruang siber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik. Dengan demikian, subjek pelakunya harus dikualifikasikan pula sebagai orang yang telah melakukan perbuatan hukum secara nyata. Dalam kegiatan e-commerce antara lain dikenal adanya dokumen elektronik yang kedudukannya disetarakan dengan dokumen yang dibuat diatas kertas.
39 Man Xxxxxxxx Xxxxxxxxxxxxx, 2002, Perjanjian Baku dalam Aktifitas Dunia Maya Cyberlaw: Sebuah Pengantar, Ellips, Seri Das ar Hukum Ekonomi, Bandung, hal 24.
40 Ibid
Berkaitan dengan hal itu, perlu diperhatikan sisi keamanan dan kepastian hukum dalam pemanfaatan teknologi informasi, media, dan komunikasi agar dapat berkembang secara optimal. Oleh karena itu, terdapat tiga pendekatan untuk menjaga keamanan di ruang siber, yaitu pendekatan aspek hukum, aspek teknologi, aspek sosial budaya dan etika. Untuk mengatasi gangguan keamanan dalam penyelenggaraan sistem secara elektronik, pendekatan hukum bersifat mutlak karena tanpa kepastian hukum, persoalan pemanfaatan teknologi informasi menjadi tidak optimal.
Secara sederhana pemesanan melalui media online dapat dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
1. Masuk kepada situs penjualan
2. Mulai memilih pesanan
3. Melakukan proses pembayaran
4. Penjual mengirimkan pesanan
5. Pembeli menerima pesanan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dalam Pasal 5 s/d. Pasal 12 dinyatakan bahwa Informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah, yang merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. UU ITE memberikan pengakuan Kontrak Elektronik ini pada Pasal 1 angka 17 dengan “Perjanjian para pihak yang dibuat melalui sistem elektronik‟. Selanjutnya mengenai sistem elektronik disebutkan dalam Pasal 1
angka 5 dengan serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik.
Pasal 5 dan 6 UU ITE menyebutkan bahwa informasi, dokumen dan tanda tangan elektronik dapat sebagai bukti yang sah dalam bertransaksi ecommerce diianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.
Seperti diketahui, e-commerce itu mencakup Bussiness to Customers (B2C) dan Bussiness to Bussiness (B2B) dan dapat dilakukan melalui IRC, e- mail dan web. Dimensi e-commerce juga mencakup transaksi antar pihak domestik (nasional) maupun antar pihak domestik dan non domestik (internasional).41
Pemahaman yang berkembang selama ini, syarat perjanjian yang tertera dalam pasal 1320 KUH Perdata hanya bisa berlaku untuk transaksi konvensional. Padahal tidak demikian halnya, perkembangan teknologi adalah satu dari sebuah realitas teknologi. Realitas teknologi hanya berperan untuk membuat hubungan hukum konvensional bisa berlangsung efektif dan efisien.
Dalam transaksi jual beli tetap saja dikenal proses pembayaran dan penyerahan barang. Dari situ disimpulkan bahwa, dengan adanya internet atau e-commerce hanyalah membuat jual beli atau hubungan hukum yang terjadi
41 xxxxx://xxx.xxxxxxxxxxx.xxx/xxxxxx/xxxxxx/xxxxxx/xx000/xxxxxx-xxx-xxxxxxxxxx-xxxxx- ecommerce/. (Diakses tanggal 14 Agustus 2019, 21.05)
menjadi lebih singkat, mudah, dan sederhana. Secara hukum, tidak ada perubahan konsepsi dalam suatu transaksi yang berlangsung.
Suatu perjanjian dalam transaksi e-commerce tersebut berlangsung tentunya sangat berkaitan erat dengan siapa saja suatu transaksi tersebut dilakukan. Dalam transaksi biasa, perjanjian berakhir ketika masing-masing pihak melakukan kewajibannya masing-masing.
Sebenarnya tidak berbeda dengan transaksi yang berlangsung secara on line. Namun memang tidak sesederhana jika dibandingkan dengan transaksi konvensional. Dalam transaksi on line, tanggung jawab (kewajiban) atau perjanjian tadi dibagi kepada beberapa pihak yang terlibat dalam jual beli tersebut. Paling tidak ada tiga pihak yang terlibat dalam transaksi on line baik B2B (business to business) dan B2C (business to cumsomer), antara lain perusahaan penyedia barang (seller), kemudian perusahaan penyediaan jasa pengriman (packaging), dan jasa pembayaran (bank).
Setiap bagian pekerjaan (penawaran, pembayaran, pengiriman) masing-masing pihak membagi tanggung jawab sesuai dengan kompetensi masing-masing. Pada proses penawaran dan proses persetujuan jenis barang yang dibeli maka transaksi antara penjual (seller) dengan pembeli (buyer) selesai. Penjual menerima persetujuan jenis barang yang dipilih dan pembeli menerima konfirmasi bahwa pesanan atau pilihan barang telah diketahui oleh penjual.
Bisa dikatakan bahwa transaksi antara penjual dengan pembeli dalam tahapan persetujuan barang telah selesai sebagian sambil menunggu barang
tiba atau diantar ke alamat pembeli. Karena biasanya Bank baru akan mengabulkan permohonan dari pembeli setelah penjual menerima konfirmasi dari Bank yang ditunjuk oleh penjual dalam transaksi e-commerce tersebut. Setelah penjual menerima konfirmasi bahwa pembeli telah membayar harga barang yang dipesan, selanjutnya penjual akan melanjutkan atau mengirimkan konfirmasi kepada perusahaan jasa pengiriman untuk mengirimkan barang yang dipesan ke alamat pembeli. Setelah semua proses terlewati, dimana ada proses penawaran, pembayaran, dan penyerahan barang maka perjanjian tersebut dikatakan selesai seluruhnya atau perjanjian tersebut telah berakhir. Pihak yang terkait langsung dalam transaksi paling tidak ada empat pihak yang terlibat, diatas telah disebutkan antara lain; penjual, pembeli, penyedia jasa pembayaran, penyedia jasa pengiriman.42
Menurut Xxxxx (sebagaimana dikutip dari Andi, 2017) dalam perjanjian terdiri dari bagian inti (essensialia) dan bagian bukan inti (naturalia) dan (accidentalia) sebagai unsur-unsur perjanjian, yaitu sebagai berikut:43
1. Unsur Essensialia
Merupakan unsur yang mutlak harus ada perjanjian. Unsur ini berkaitan erat dengan syarat sahnya perjanjian pada pasal 1320 KUHPerdata dan untuk mengetahui ada atau tidaknya perjanjian serta untuk mengetahui jenis perjanjiannya, contohnya kesepakatan.
2. Unsur Naturalia
42 Ibid
43 Xxxx Xxxxxx Xxxxx P, Tinjauan Hukum Perjanjian Jual Beli Melalui E-Commerce, Skripsi, Universitas Xxxxxxx, Makasar, 2017, Hlm. 88-89
Merupakan unsur yang lazimnya ada atau merupakan sifat bawaan perjanjian, sehingga secara diam-diam melekat pada perjanjian, misalnya menjamin terhadap cacad tersembunyi terhadap barang yang diperjual belikan.
3. Unsur Accidentalia
Merupakan unsur yang harus tegas diperjanjikan, misalnya alamat pengiriman barang dan alat pembayaran apa yang dipergunakan.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Dari uraian yang telah dikemukakan diatas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. suatu perjanjian telah dinyatakan lahir pada saat tercapainya suatu kesepakatan atau persetujuan diantara dua belah pihak mengenai suatu hal pokok yang menjadi objek perjanjian. Sepakat disini diartikan suatu persesuaian paham (pendapat) dan keinginan diantara dua belah pihak. Dalam konteks itu terjadi pertemuan kehendak diantara dua belah pihak untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perjanjian. Demikian juga kaitannya dengan kontrak (perjanjian) yang dibuat secara elektronik. Dalam masyarakat konvensional, suatu perjanjian cukup disandarkan pada adanya persesuaian kehendak tadi. Pertemuan kehendak cukup dengan kehadiran dari kedua belah pihak untuk menyepakati apa yang diperjanjikan. Persesuaian kehendak tersebut dapat dilakukan secara lisan maupun tulisan. Kemudian dalam masyarakat modern yang telah memanfaatkan teknologi dalam kegiatan usahanya persesuaian kehendak tersebut tidak harus mensyaratkan adanya pertemuan langsung atau persesuaian tersebut tidak harus dibuat secara tertulis. Berarti ada pergeseran norma dalam masyarakat dalam mengartikan persesuaian kehendak. Dalam masyarakat konvensional tentunya mensyaratkan kata sepakat (persesuaian kehendak) harus dilakukan dengan pertemuan
57
57
langsung dalam menyatakan suatu kehendak. Tidak demikian halnya dalam masyarakat yang telah memanfaatkan teknologi. Penekanan dalam mencari persesuaian kehendak diantara kedua belah pihak di dasarkan pada apa yang dinyatakan (pernyataan) salah satu pihak, kemudian pernyataan tersebut disetujui oleh pihak lainnya. Pernyataan dari kedua belah pihak tadi kemudian dijadikan dasar bahwa telah ada persesuaian antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya. Jadi jika dikemudian hari terdapat perselisihan antara apa yang dikehendaki dengan apa yang dinyatakan oleh salah satu pihak maka pernyataan itulah yang dijadikan sandaran bagi pihak lainnya untuk menuntut prestasi (pelaksanaan perxxxxxxx). Kata sepakat yang diperlukan untuk melahirkan suatu perjanjian yang diamanatkan di dalam Pasal 1320 Burgelijk Wet Boek (KUHPerdata) dianggap telah tercapai apabila pernyataan salah satu pihak diterima oleh pihak lainnya. Ringkasnya, suatu perjanjian dianggap telah terjadi pada saat salah satu pihak menyatakan sepakat (menyepakati) pokok perjanjian yang dinyatakan oleh pihak lainnya. Pernyataan tersebutlah yang dijadikan dasar kesepakatan (pernyataan kehendak) dari kedua belah pihak.
2. Keabsahan perjanjian jual beli online oleh pihak yang berbeda sistem hukumnya, tetap sah. Hal ini dapat dilihat walaupun berbeda sistem hukum perjanjian terjadi karena adanya suatu kesepakatan terlebih dahulu antar para pihak, dimana pada saat hendak melakukan kontrak e-commerce para pihak dapat menentukan pilihan hokum dan pilihan forum mana yang
menjadi dasar pelaksanaan e-commerce serta menjadi kesepakatan kedua belah pihak apabila terjadi sengketa dikemudian hari. Apabila tidak dilakukan pilihan hukum, maka untuk menentukan hukum yang berlaku harus digunakan asas/teori dalam Hukum Perdata Internasional.
B. SARAN
1. Ketentuan yang dan tegas mengenai tidak jelas dan tegas mengenai perjanjian e-commerce di Indonesia menimbulkan ketidakpastian hukum dan resiko yang tinggi bagi para pelaku usaha. Bentuk kontrak dalam aktivitas electronic commerce pada hakekatnya disebut dengan online contract sangat berbeda dengan kontrak konvensional. Oleh karena itu diharapkan kedepannya adanya pembaharuan hukum kontrak dalam aktivitas electronic commerce menjadi suatu yang sangat penting. Karena KUHPerdata dan Undang-Undang ITE dirasa belum bisa menjamin sepenuhnya kontrak yang dilakukan melalui media internet atau e- commerce.
2. Perkembangan e-commerce tidak dapat dilepaskan dengan adanya factor pendorong dan penghambat, dengan adanya factor pendorong yang ada dalam e-commerce lebih banyak karena kemudahan-kemudahan yang diberikan dalam e-commerce dari pada proses perdagangan biasa. Meskipun terdapat kemudahan-kemudahan yang diberikan e-commerce ternyata juga terdapat suatu faktor yang menghambat atas pelaksanaan e- commerce yang ternyata memberikan permasalahaan terhadap pelaksanaan e-commerce itu sendiri. Salah satunya adalah tanggung
jawab penjual jika melakukan wanprestasi dalam jual beli melalui e- commerce. Pelaksanaan kontrak dalam e-commerce pada umumnya terjadi antara para pihak yang berkedudukan berlainan negara atau kota, agar pelaksanaan kontrak e-commerce tidak mengalami hambatan, tentunya permasalahaan mengenai yuridiksi kewenangan pengadilan dalam menangani sengketa tersebut haruslah ditemukan pemecahannya dan adanya aturan hukum yang pasti dalam pengaturannya.
3. Meskipun UU ITE ini sudah memberikan pengaturan mengenai permasalahan yang mungkin terjadi dalam perdagangan melalui sistem online ini, namun pada kenyataannya permasalahan ini tidak dapat diselesaikan hanya melalui pengaturan UU ITE ini saja. Saat ini, belum ada mekanisme pengaduan yang mudah bagi pihak yang menderita kerugian. Mekanisme yang ada saat ini hanyalah sistem pengaduan sesuai dengan KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Mekanisme ini dinilai kurang cocok jika diterapkan pada sistem pengaduan dalam perdagangan online. Nilai transaksi yang tidak terlalu besar menjadi salah satu pertimbangan bagi pihak yang menderita kerugian untuk tidak melaporkan kerugian itu kepada aparat penegak hukum. Terlebih lagi, terdapat paradigma bahwa biaya untuk pelaporan tersebut lebih besar daripada kerugiannya itu sendiri. Untuk itu, dibutuhkan suatu sistem pengaduan yang cepat, mudah dan terutama harus secara online juga. Ada baiknya aparat penegak hukum juga
mengeluarkan daftar hitam/blacklist bagi pengguna perdagangan secara online ini yang telah terbukti merugikan pihak lain.