AKIBAT HUKUM PERJANJIAN PERKAWINAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015
AKIBAT HUKUM PERJANJIAN PERKAWINAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015
SKRIPSI
Oleh
Xxxxx Xxx Xxxx Xxxxxxxxx 160710063
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SOSIAL DAN HUMANIORA UNIVERSITAS PUTERA BATAM TAHUN 2022
AKIBAT HUKUM PERJANJIAN PERKAWINAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015
SKRIPSI
Untuk memenuhi salah satu syarat Memperoleh gelar Sarjana
Oleh
Xxxxx Xxx Xxxx Xxxxxxxxx 160710063
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SOSIAL DAN HUMANIORA UNIVERSITAS PUTERA BATAM TAHUN 2022
i
ii
iii
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara jelas bagaimana perjanjian perkawinan setelah adanya putusan MA. Perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat sebelum perkawinan dua orang (pasangan bertunangan). Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur tentang Perjanjian Pranikah. Namun, Perjanjian Pranikah tersebut banyak mengalami perubahan yang kini menjadi kepentingan masyarakat dan meresahkan sejak Putusan Nomor 69/PUU- XIII/2015 dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi. Pertanyaan yang direvisi dalam teori ini adalah: apa akibat hukum dari akad nikah berdasarkan Putusan MK No 69/PUU-XIII/2015. Penelitian hukum normatif adalah metodologi yang digunakan di sini. Sumber bahan hukum berupa buku-buku dan bahan hukum dari hukum primer dan hukum sekunder. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dikembangkan secara kualitatif dan deskriptif untuk pengolahan dan analisis data. Berdasarkan temuan penelitian ini, terdapat perbedaan antara Perjanjian Pranikah yang diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dengan Perjanjian Pranikah yang diatur dalam Keputusan Nomor 79/PUU- XIII/2015.
Kata kunci: Akibat Hukum, Harta Bersama, Perjanjian Perkawinan
iv
ABSTRACT
Then an agreement was concluded with shared ownership. The prenuptial contract is a contract that is concluded before the marriage of two individuals (betrothed couple). Article 29 of Law No. 1 of 1974 provided for the Prenuptial Agreement. However, the Prenuptial Agreement has many changes which are now in the interests of society and are inconvenient since Decision No. 69/PUU- XIII/2015 has been issued by the Constitutional Court. The question revised in this theory is: what is the legal effect of a marital prenuptial contract on the basis of Decision No 69/PUU-XIII/2015 of the Constitutional Court. Normative legal research is the methodology that is utilized here. The material source of the law is in the form of books and law material from primary law and secondary law. The data analyzes utilized in this study are qualitatively and descriptively developed for the processing and analysis of data. According to the findings of this research, there are differences between the Prenuptial Agreement provided for in Article 29 of Law No. 1 of 1974 and the Prenuptial Agreement provided for by Decision No. 79/PUU-XIII/2015.
Keyword: Joint Property Agreement, Legal Effect, Postnuptial Agreement
v
KATA PENGANTAR
Pertama marilah penulis mengucapkan segala puji syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan segala limpahan rahmat serta karunia, sehingga saya bisa melaksanakan pengerjaan tugas akhir saya dengan selesai, yang dimana merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan studi S1 saya di Universitas Putera Batam dengan Program Studi Ilmu Hukum. Dalam penyususan tugas akhir ini, disadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan, maka dari itu penulis dengan senang hati dalam menerima nasihat dan saran dari bapak atau ibu sekalian. Ketidaksempurna dalam penyususan tugas akhir ini tentu karena keterbatasan pengetahuan dari penulis, namun tanpa adanya doa, bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak tugas akhir ini tidak akan selesai dengan tepat waktu. Sehingga dalam kesempatan ini, penulis dengan tanpa mengurangi rasa hormat dan kerendahan hati, ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam- dalamnya kepada:
1. Ibu Xx. Xxx Xxxx Xxxxx, S.Kom., X.XX. selaku Rektor Universitas Putera Batam;
2. Bapak Xx. Xxxxxxx Xxxxxxx Xxxxxx, S. T., M.I.Kom, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Putera Batam;
3. Xxxxx Xxxxxxxx Xxxxx, S.H., M.H. selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum Universitas Putera Batam;
4. Xxx Xxxxx Xxxxxxxx, S.H., X.Xx. selaku pembimbing Skripsi pada Program Studi Ilmu Hukum Universitas Putera Batam;
vi
5. Semua dosen yang pernah mengajari saya dalam pertemuan-pertemuan di Kampus baik itu dosen Ilmu Hukum maupun tidak;
6. Teman-teman yang selalu membantu dan mendukung penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini;
7. Terkhusus berterima kasih kepada kedua orang tua saya, yang selalu mendukung saya dalam doa, agar saya dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa dapat membalas semua kebaikan bapak atau ibu kepada saya Xxxx.
Batam, 28 Februari 2022
Xxxxx Xxx Xxxx Xxxxxxxxx
vii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL i
HALAMAN JUDUL ii
SURAT PERNYATAAN iii
HALAMAN PENGESAHAN iv
ABSTRAK v
ABSTRACT vi
KATA PENGANTAR vii
DAFTAR ISI ix
DAFTAR GAMBAR xi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Identifikasi Masalah 10
1.3 Batasan Masalah 10
1.4 Rumusan Masalah 10
1.5 Tujuan Penelitian 11
1.6 Manfaat Penelitian 11
1.6.1 Manfaat Teoritis 11
1.6.2 Manfaat Praktis 12
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Kerangka Teori 13
2.1.1 Perlindungan Hukum 13
2.1.2 Kepastian Hukum 16
2.1.3 Perkawinan 18
2.1.4 Perjanjian 19
2.1.5 Syarat Perjanjian 20
2.1.6 Perjanjian Perkawinan 21
2.2 Kerangka Yuridis 22
2.2.1 Perkawinan 22
2.2.2 Syarat Sah Perkawinan 23
2.2.3 Perjanjian Perkawinan dan Manfaat 24
2.3 Penelitian Terdahulu 26
2.4 Kerangka Pemikiran 33
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Sifat Penelitian 34
3.1.1 Jenis Penelitian 34
3.1.2 Sifat Penelitian 35
3.2 Metode Pengumpulan Data 35
3.2.1 Jenis Data 35
3.2.2 Alat Pengumpulan Data 36
3.3 Metode Analisis Data 37
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
viii
4.1 Bagaimana Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan MK No. 69 Tahun 2015 Setelah Perkawinan 38
4.1.1 Hasil Penelitian 38
4.1.2 Pembahasan 43
4.2 Bagaimana Kedudukan Dari Putusan MK No. 69 Tahun 2015 Mengenai Perjanjian Perkawinan 59
4.2.1 Hasil Penelitian 59
4.2.2 Pembahasan 62
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan 69
5.2 Saran 70
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
Lampiran 1. Daftar Riwayat Hidup Lampiran 2. Surat Keterangan Penelitian
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran 33
Gambar 4.1 Pembahasan 50
Gambar 4.2 Pembahasan 51
Gambar 4.3 Pembahasan 52
Gambar 4.4 Pembahasan 53
Gambar 4.5 Pembahasan 54
Gambar 4.6 Pembahasan 55
Gambar 4.7 Pembahasan 56
Gambar 4.8 Pembahasan 57
Gambar 4.9 Pembahasan 58
Gambar 4.10 Pembahasan 66
Gambar 4.11 Pembahasan 67
Gambar 4.12 Pembahasan 68
x
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan hubungan interaksi dalam kehidupannya. Rumah tangga merupakan salah satu proses dalam menjalankan kehidupan, yang sah dan telah diakui sesuai aturan yang berlaku di Indonesia. Indonesia sendiri merupakan sebuah negara hukum dan mewajibkan semua warga negara Indonesia harus menjunjung tinggi aturan yang berlaku (Khakim, 2017). Mengenai hak warga negara di atur di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) terdapat Pasal 28B ayat (1). Dalam Pasal 28B ayat (1) dijelaskan semua masyarakat Indonesia berhak membentuk rumah tangganya sendiri dalam memperoleh keturunan. Sebuah perkawinan yang dianggap sah dalam Indonesia, telah diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan).
Perkawinan merupakan suatu bentuk kehidupan yang menyatukan laki-laki bersama perempuan dalam membentuk sebuah rumah tangga hal ini sebagaimana dituangkan dalam UU Perkawinan Pasal 1 mengenai pengertian perkawinan. Berdasarkan penjelasan pasal tersebut dapat diberikan sebuah kesimpulan bahwa perkawinan bukan semata-mata sebuah ikatan jasmani bagi seorang pria dan wanita, namun juga membentuk sebuah ikatan rohani kepada mereka. Perkawinan
1
yang sah menurut Pasal 6 sampai 11 yang merupakan pasal di dalam UU Perkawinan harus memenuhi beberapa syarat dan kategori sebagai berkut:
1. Ketentuan Pasal 6 ayat (1) kedua belah pihak harus setuju atas perkawinan tersebut, ayat (2) khusus calon pasangan yang belum memenuhi syarat umur dibawah 21 tahun, harus mendapatkan persetujuan dari kedua orang tua, ayat (3) jika seorang dari kedua orang tua yang sudah meninggal dunia atau kondisi kesehatan yang tidak mampu lagi memberikan persetujuan perkawinan kepada anaknya yang dibawah umur 21 (dua puluh satu) tahun, maka izin persetujuan cukup meminta kepada orang tua yang masih ada dan mampu memberikan persetujuannya, ayat (4) jika kedua orang tua telah tiada atau kondisi kesehatan yang tidak mampu lagi memberikan persetujuan perkawinan kepada anaknya yang dibawah umur 21 tahun, maka izin dapat diminta kepada wali atau keluarga yang ada hubungan darah serta garis keturunan lurus ke atas yang memelihara calon pasangan tersebut, ayat (5) jika terdapat perbedaan pada ayat (2), (3), dan (4) serta salah seorang baik itu orang tua, wali atau keluarga tidak dapat memberikan pendapat, maka kelangsungan perkawinan dapat dilakukan atas perizinan dari pengadilan daerah setempat, dan ayat (6) ketentuan dalam ayat (1) sampai dengan (5) dapat dilaksanakan apabila tidak ada ketentuan lain dari kepercayaan agama calon pasangan perkawinan.
2. Ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1) syarat minimal usia yang dapat diizinkan kedua orang tua bagi seorang laki-laki adalah 19 (sembilan belas) tahun sedangkan perempuan adalah 16 (enam belas) tahun, dan ayat (2) jika calon
pasangan yang mau melaksanakan perkawinan ini tidak memenuhi syarat minimal usia, maka dapat diajukan persetujuan terlebih dahulu kepada pengadilan atau pejabat lain.
3. Ketentuan dalam Pasal 8, perkawinan dilarang bagi calon pasangan yang mempunyai hubungan khusus, seperti: garis keturunan baik itu kebawah/keatas/menyamping, hubungan semenda, susuan, anak susuan, saudara dan xxxx/paman susuan, berhubungan saudara dengan isteri atau xxxx atau kemenakan dari isteri (dalam hal ini suami yang ingin beristeri lebih dari satu), hubungan yang dilarang oleh agama kepercayaan masing- masing.
4. Ketentuan dalam Pasal 9, seorang pria yang ingin memiliki isteri lebih dari satu harus mendapatkan persetujuan dari pengadilan.
5. Ketentuan dalam Pasal 10, seorang laki-laki atau perempuan yang telah bercerai dua kali, maka di antara dari mereka tidak dapat melangsung perkawinan lagi, kecuali ditentukan lain dari agama kepercayaan masing- masing.
6. Ketentuan dalam Pasal 11, bagi seorang yang telah bercerai harus memasuki waktu tunggu apabila hendak melakukan perkawinan kembali.
Ikatan rohani dalam UU Perkawinan juga memegang peran penting dalam membentuk rumah tangga harmonis dan bahagia serta kekal selamanya. Berbeda dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia (selanjutnya disebut KUHPerdata), dalam KUHPerdata perkawinan hanya merupakan sebuah ikatan keperdataan saja seperti yang dijelaskan dalam Pasal 26. Melalui Pasal 26 KUHPerdata, maka dapat diketahui akibat hukum yang muncul terhadap individu
yang telah dipersatukan tersebut serta akibat hukum kebendaan atau harta kekayaan yang dimiliki oleh kedua individu yang telah dipersatukan, baik itu harta kekayaan yang dimiliki sebelum ikatan tersebut terjadi maupun sesudah ikatan tersebut. Kemudian peraturan yang mengatur mengenai harta kekayaan dalam UU Perkawinan adalah Pasal 35, Pasal 36 dan Pasal 37.
Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37 merupakan bagian Bab 7 dalam UU Perkawinan yang mengatur tentang harta benda dalam suatu perkawinan. Pasal 35 ayat (1) menjelaskan bahwa setiap pasangan yang memperoleh harta kekayaan sepanjang masa perkawinan menjadi harta milik bersama dan ayat (2) menjelaskan harta bawaan dari masing-masing pihak baik itu diperoleh dari hadiah ataupun warisan dijadikan penguasaan bagi masing-masing pihak selagi tidak ditentukan lain. Selanjutnya Pasal 36 ayat (1) menjelaskan harta bersama bagi pasangan suami istri, apabila suami atau istri ingin bertindak dalam harta tersebut harus memperoleh persetujuan dari kedua pihak dan ayat (2) harta bawaan yang dibawa masing-masing pihak ini, tetap di bawah penguasaan masing-masing pihak. Kemudian dalam Pasal 37 ini mengatur setelah sepasang suami istri telah bercerai maka harta kekayaan akan diatur menurut aturan hukum masing- masing.
Untuk menghindari dari penggabungan harta kekayaan kepada sepasang suami istri, sebelum dilaksanakan sebuah ikatan perkawinan yang sah, harus dilakukannya sebuah perjanjian perkawinan terlebih dahulu. Dalam KUHPerdata suatu perjanjian yang sah harus memenuhi beberapa unsur. Hal ini diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata sebagai berikut (Sari, 2017):
1. Kesepakatan
Kesepakatan dalam sebuah perjanjian merupakan hal dasar, dimana kedua belah pihak harus sepakat terlebih dahulu dalam hal-hal pokok yang ingin diperjanjikan. Kesepakatan disini harus dalam kondisi tanpa adanya suatu paksaan, penipuan atau kekhilafan.
2. Kecakapan
Kecapakan para pihak dalam membuat perjanjian merupakan syarat kedua. Kategori seseorang dapat dikatakan cakap telah diatur dalam Pasal 1329. Dalam pasal tersebut dijelaskan seseorang yang belum dewasa atau orang yang masih dalam pengampuan orang lain belum bisa dikatakan telah cakap hukum.
3. Suatu hal tertentu
Syarat ketiga ini dalam membuat perjanjian adalah apa yang akan diperjanjikan atau objek perjanjiannya harus jelas. Objek tersebut harus memiliki suatu nilai yang dapat diperhitungkan. Objek disni juga dapat dalam bentuk benda ataupun jasa.
4. Suatu sebab yang halal
Syarat keempat ini adalah suatu perjanjian yang ingin diperjanjikan tidak boleh dilarang oleh aturan Undang-Undang atau bertentangan dengan hukum yang ada.
Dari keempat syarat ini, syarat pertama dan kedua bersifat subjektif, dan syarat ketiga dan keempat bersifat objektif (Sari, 2017). Jika syarat objektif ini tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum atas alasan hukum, berbeda
dengan syarat subjektif. Apabila syarat-syarat subjektif tidak dipenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan atau, sampai perjanjian tersebut telah atau telah dicabut oleh pengadilan, perjanjian tersebut akan tetap berlaku (Sari, 2017). Perkawinan adalah sesuatu yang dapat dilakukan di Indonesia, yang juga diperbolehkan oleh Undang-Undang sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan, yang menjelaskan bahwa suatu akad nikah tidak dapat dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan, tidak setelah perkawinan, harus disetujui oleh masing-masing pihak dan disahkan oleh pencatatan agar dapat diterapkan kepada pihak ketiga mengenai isi perjanjian yang dicapai oleh kedua belah pihak.
Perjanjian perkawinan ini tidak semata-mata hanya memisahkan harta kekayaan yang dimiliki sepasang suami istri, baik itu diperoleh sebelum perkawinan maupun setelah perkawinan, namun juga memisahkan hutang piutang yang ada, baik itu sebelum perkawinan maupun setelah, yang akan menjadi tanggung jawab masing-masing pihak. Dalam pemikiran orang pada umumnya, perjanjian perkawinan di anggap sebagai tanda sepasang suami istri yang mempunyai rencana perceraian dikemudian hari, sehingga dibuatnya perjanjian perkawinan ini. Terlepas dari pemikiran negatif ini, juga mempunyai nilai-nilai positif dalam membuat perjanjian perkawinan oleh sepasang suami istri yang mau melakukan perencanaan perkawinan yang sah menurut aturan hukum yang ada. Penilaian positif yang terkandung dalam perjanjian tersebut, yaitu dalam memberikan upaya perlindungan kepada sepasang suami istri yang akan melakukan perikatan perkawinan yang sah.
Upaya perlindungan yang dimaksud yaitu perlindungan harta kekayaan yang diperoleh baik sebelum atau sesudah perkawinan, apabila di antara sepasang suami istri ada yang mempunyai suatu pekerjaan atau usaha yang mengandung resiko tinggi yang mampu menyebabkan terjadi kepailitan, dengan adanya perjanjian perkawinan terdapat perlindungan terhadap harta kekayaan dari masing-masing pihak. Selain itu, ketika ada salah satu pihak yang melakukan pengajuan pinjaman kepada pihak bank dengan menjaminkan rumah yang dimilikinya, jika terjadi kredit macet atau ketidaksanggupan membayar lagi, maka utang tersebut tidak dapat dibebankan kepada pasangannya dan pasangannya mendapatkan kebebasan dari kewajiban dan resiko pembayaran utang.
Perjanjian perkawinan ini dapat memberikan banyak kelebihan kepada sepasang suami istri, dapat memberikan jaminan perlindungan harta kekayaan dan kesejahteraan kehidupan bagi keduanya. Peraturan atau persyaratan perjanjian perkawinan ini diatur jelas dalam Pasal 29 UU Perkawinan. Adapun ketentuan dari Pasal 29, yaitu:
1. Kedua pihak dalam suatu perjanjian dapat membuat suatu perjanjian tertulis yang disahkan oleh pencatat nikah, kemudian isi tersebut terdapat pemberlakuan bagi pihak ketiga;
2. Perjanjian belum dapat disahkan apabila masih terdapat pelanggaran pada batasan hukum, agama dan kesusilaan;
3. Kesepakatan itu sudah ada sejak pernikahan berlangsung;
4. Perjanjian dapat dilakukan perubahan apabila telah mendapatkan persetujuan lebih dahulu dari kedua pihak serta tidak terdapat kerugian bagi pihk ketiga.
Pasal 29 UU Perkawinan tersebut di atas merupakan bagian dari penegakan ketentuan bagi pasangan ingin melakanakan perkawinan, karena masalah harta perkawinan telah diatur dalam sistem hukum sebelumnya, yaitu: menurut Undang-Undang yang berlaku. Jadi pada dasarnya Pasal 29 UU Perkawinan mengatur bahwa:
1. Perjanjian perkawinan bisa dilaksanakan saat perkawinan atau sebelum;
2. Perjanjian perkawinan wajib dilakukan dalam bentuk tertulis dan mendapatkan pengesahan dari pencatatan;
3. Dalam membuat perjanjian tidak boleh melanggar aturan hukum, moral serta agama;
4. Pemberlakuan kepada pihak ketiga, ketika perjanjian perkawinan telah dilakukan pengesahan;
5. Perjanjian perkawinan bisa dirubah lagi ketika mendapatkan persetujuan dari kedua pihak dan tidak terdapat kerugian pihak ketiga.
Dalam hal perkawinan dilangsungkan tanpa perjanjian perkawinan, menurut ketentuan UU Perkawinan, harta yang diperoleh setelah perkawinan itu menjadi milik bersama hubungan antara suami dan istri. sebelum akad nikah calon mempelai sepakat untuk menandatangani perjanjian pranikah, maka semua harta benda mereka, baik yang dibawanya sebelum perkawinan maupun yang didapat setelah menikah, tetap menjadi miliknya. Pada tanggal 27 Oktober 2016,
Mahkamah Konstitusi Putusan Nomor 69/PUU-XIII/2015, dimana putusan ini membuat perubahan dan penambahan terhadap pengaturan dalam melakukan perjanjian pernikahan yang dulunya diatur dalam UU Perkawinan Pasal 29 yaitu:
1. Dalam melaksanakan perjanjian pernikahan dapat dilakukan kapan saja, baik itu sebelum atau sesudah perkawinan, asalkan masih dalam masa perikatan pernikahan yang sah dan harus mendapatkan pengesahan dari Notaris atau Pegawai Pencatat Perkawinan;
2. Pemberlakuan perjanjian tersebut, akan efektif sejak perkawinan dilakukan, jika terdapat perjanjian khusus maka akan mengikuti perjanjian tersebut;
3. Dalam dilakukannya pencabutan perjanjian yang telah dibuat, sepanjang tidak merugikan pihak lain dan harus disetujui oleh kedua pihak.
Adanya sejumlah perubahan dan penambahan terhadap pengaturan dalam melakukan perjanjian pernikahan, menimbulkan banyak permasalahan hukum, terutama perjanjian perkawinan yang ditandatangani selama masa perkawinan. Salah satu pertanyaan yang menarik adalah akibat dari harta bersama yang timbul setelah perkawinan ketika suami istri memutuskan untuk melangsungkan perkawinan selama perkawinan. Menurut ketentuan UU Perkawinan. Oleh karena itu, dengan dikeluarkannya Putusan MK tersebut, memberikan kesempatan kembali kepada pasangan yang mempunyai kebutuhan membuat perjanjian tersebut setelah pernikahan dilakukan. Melalui uraian permasalahan latar belakang diatas, penulis tertarik melakukan penelitian karya ilmiah dalam penulisan skripsi dengan judul “AKIBAT HUKUM PERJANJIAN PERKAWINAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015”.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang diatas, penulis dapat mengindenfitikasi pokok permasalahan yang terdapat dalam penelitian tersebut, yaitu:
1. Adanya akibat hukum terhadap status harta bersama.
2. Adanya akibat hukum terhadap pihak ketiga dikarenakan perjanjian kawin yang telah dibuat oleh pasangan kawan kawin tersebut.
3. Pemberlakuan perjanjian perkawinan setelah perkawinan
1.3 Batasan Masalah
Dalam melaksanakan penelitian ini, penulis berfokus pada pokok-pokok permasalahan yang diangkat, dan dianggap penting dalam membuat pembatasan penelitian tersebut, yaitu:
1. Hanya membahas Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan MK No. 69 Tahun 2015.
2. Perjanjian kawin yang dilakukan setelah perkawinan berdasarkan UU Perkawinan.
1.4 Rumusan Masalah
Dalam uraian di atas, penulis dapat membuat atau menyimpulkan pokok- pokok permaslahan yang ada pada penelitian tersebut, sebagai berikut:
1. Bagaimana akibat hukum perjanjian perkawinan pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69 Tahun 2015 setelah perkawinan?
2. Bagaimana kedudukan dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69 Tahun 2015 mengenai perjanjian perkawinan?
1.5 Tujuan Penelitian
Dalam merumuskan permasalahan dalam penelitian ini, terdapat beberapa tujuan, yaitu:
1. Untuk mengetahui akibat hukum perjanjian perkawinan pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69 Tahun 2015 setelah perkawinan.
2. Untuk mengetahui kedudukan dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69 Tahun 2015 mengenai perjanjian perkawinan
1.6 Manfaat Penelitian
Penulis dalam melaksanakan penelitian tersebut, memiliki sebuah pengharapan agar melalui penelitian tersebut dapat memberikan kegunaan manfaat yang baik bagi berbagai pihak. Manfaat yang diharapkan oleh penulis disini, baik itu manfaat yang didapatkan secara teoritis ataupun praktis. Keuntungan teoritis dan praktis dari penelitian ini adalah:
1.6.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis dalam penelitian ini, penulis mempunyai suatu harapan dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya, yaitu:
1. Diharapkan untuk dapat dijadikan sebuah panduan yang baik dan berguna untuk mahasiswa, terpenting untuk mahasiswa Prodi Ilmu Hukum yang
inginkan melaksanakan aktifitas penelitian analisis yuridis perjanjian asuransi jiwa sebagai jaminan pelunasan hutang kepada bank.
2. Diharapakan dapat menjadi sebuah dasar atau bahan dalam melakukan perbandingan dalam penelitian yang akan datang.
1.6.2 Manfaat Praktis
Secara praktis dalam penelitian ini, penulis mempunyai suatu harapan dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya, yaitu:
1. Pemerintah pusat
Diharapkan dapat memberikan masukan ke pemerintah pusat untuk meninjau kembali dan juga membuat aturan yang lebih khusus mengenai perjanjian kawin setelah Putusan MK keluar, sehingga dapat memberikan kepastian hukum kepada masyarakat.
2. Praktisi
Diharapkan bagi praktisi dapat menjadikan tulisan ini sebagai panduan dalam membela klien di persidangan yang sedang menyelesaikan permasalahan yang sama.
3. Para Masyarakat
Diharapkan dapat memberikan masukan kepada masyarakat untuk mengetahui secara jelas dan mendapatkan kepastian hukum atas pembuatan perjanjian perkawinan yang sah menurut aturan hukum yang berlaku.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kerangka Teori
2.1.1 Perlindungan Hukum
Istilah hukum dapat ditemukan dalam kamus bahasa Inggris, yaitu law atau legal. Pengertian hukum dapat dilihat dari segi pembahasan istilah-istilah yang berkaitan dengan pengertian dari beberapa pendapat dan teori para ahli. Menurut Xxxxxxxxxxxxx, Konsep perlindungan hukum, yaitu pembelaan hukum, berkaitan dengan bagaimana hukum melakukan keadilan, yaitu memberikan atau mengatur hak dan kewajiban subjek hukum, terlebih lagi terkait dengan cara hukum melakukan keadilan terhadap subyek hukum yang dilanggar haknya. untuk melindungi hak-haknya (Xxxxxxxxxxxxx, 2012).
Oleh karena itu, hukum harus dapat ditegakkan agar tidak terjadi benturan kepentingan dan dapat diminimalisir seminimal mungkin dan perlindungan adalah tempat berlindung, baik berupa perbuatan maupun yang lainnya (Xxxxxxxxxxxxx, 2012). Dalam KBBI, perlindungan hukum dipahami sebagai proses, cara, dan tindakan perlindungan. Hukum yaitu produk yang dibuat oleh pemerintah atau peraturan lain yang berlaku bagi seluruh rakyat di Indonesia. Dari penjelasan mengenai perlindungan hukum dapat penulis menarik suatu kesimpulan yaitu perlindungan hukum merupakan upaya untuk melindungi individu dan masyarakat yang tinggal di suatu negara dari kesewenang-wenangan penguasa atas rakyatnya yang sepenuhnya melanggar aturan hukum dengan tujuan untuk memberikan
13
kedamaian dan ketertiban sehingga individu dapat menikmati kehidupan dan memperoleh tempat yang layak. sebagai manusia. Perlindungan hukum menurut Xxxxxxxx X. Xxxxxx bahwa perlindungan hukum harkat dan martabatnya dan pengakuan terhadap hak asasi yang dimiliki oleh manusia berdasarkan hukum dari kewenangannya dan perlindungan hukum memiliki dua bentuk yang pertama yaitu perlindungan hukum preventif yang mempunyai arti masyarakat atau individu lain boleh berpendapat sebelum keputusan pemerintah di putuskan yang mempunyai tujuan agar tidak terjadinya sengketa antara pemerintah dan masyarakat tersebut. Sedangkan perlindungan hukum represif memiliki tujuan hanya untuk menyelesaikan sengketa yang timbul antara pemerintah dan masyarakat di suatu Negara (Xxxxxx, 2012).
Adanya penjelasan di atas, penulis dapat menyimpulkan perlindungan hukum merupakan suatu perlindungan yang diberikan kepada subjek hukum. Subjek hukum yang dimaksud adalah manusia dan badan hukum, dalam bentuk perlindungan hukum prefentif maupun perlindungan hukum represif secara lisan maupun tulisan. Perlindungan hukum memberikan rasa aman dan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang dilanggar oleh orang lain dan masyarakat dilindungi agar dapat menikmati hak-hak yang telah diberikan hukum atau mendapatkan perlindungan hukum sesuai yang telah ditentukan oleh Undang- Undang. Aparat penegak hukum harus memberikan rasa aman, baik secara fisik maupun tentang adanya gangguan dan dari pihak manapun. Asas perlindungan hukum bagi seluruh warga negara Indonesia memiliki satu sumber yaitu Pancasila dan konsep negara hukum, yang keduanya menekankan pengakuan dan
penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia. Perlindungan hukum memiliki dua bentuk, seperti apa yang dikatakan oleh ahli diatas yaitu perlindungan hukum preventif dan represif (Xxxxxx, 2012).
Dilihat dari Pembukaan UUD 1945 Alenia 4, bahwa Negara mempunyai kewajiban memberikan perlindungan hukum terhadap warga Negara Indonesia. Pemerintah memiliki peran penting dalam menjalankan fungsi melindungi Hak Asasi Manusia. Di sisi lain, menurut Xxxxxxxx Xxxxxxx, perlindungan hukum adalah suatu usaha untuk mewujudkan perbedaan kepentingan dalam masyarakat, suatu usaha untuk tidak berbenturan kepentingan dengan tetap dapat memanfaatkan hak asasi manusia yang telah diakui oleh Undang-Undang (Xxxxxxxx, 2013). Perlindungan hukum dapat dicapai dengan membatasi kepentingan tertentu dan dengan memberikan kekuasaan yang terukur dan tetap. Undang-Undang Nomor
40 Tahun 1999 tentang Pers, perlindungan hukum adalah jaminan perlindungan yang diberikan oleh pemerintah kepada warganegara dalam melaksanakan fungsi hak dan kewajibannya sesuai dengan peranan dan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Suatu perlindungan dapat dikatakan sebagai perlindungan hukum apabila sudah mengandung unsur sebagai berikut (Soedjono, 2012):
1. Terdapat pengayoman dari pemerintah terhadap masyarakatnya
2. Kepastian hukum yang terjamin
3. Mendapatkan hak sebagai warga Negara
4. Mendapatkan saksi jika ada manusia atau masyarakat yang melanggarnya.
Bisa dikatakan terbentuknya sebuah perlindungan harus adanya penegakan hukum berupa kepolisian yang mampu memberikan penyelesaikan masalah di
luar persidangan pada pengadilan. Hal ini sesuai dengan pemahaman Soedjono Dirjosisvoro bahwa hukum mempunyai makna ganda dalam masyarakat dan salah satu perannya yang terpenting adalah penegakan hukum (Soedjono, 2012). Perlindungan hukum merupakan bagian yang esensial dan berkaitan dengan aspek keadilan dan tujuan hukum untuk mencapai keadilan. Oleh karena itu, memberikan perlindungan hukum merupakan salah satu cara dalam melaksanakan penegakan keadilan.
2.1.2 Kepastian Hukum
Kepastian hukum memiliki dua arti, di satu sisi adanya aturan-aturan umum yang memungkinkan seseorang dalam melakukan suatu perbuatan, yang bisa atau tidak bisa dilakukan, dan di sisi lain berupa kepastian hukum bagi individu terhadap kewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan umum, individu dapat mengetahui apa yang diwajibkan, dapat dipaksakan atau dilakukan oleh negara kepada individu (Xxxxxxx, 2015). Menurut penulis berdasarkan penjelasan Xxxxxxx dapat ditarik kesimpulan bahwa kepastian hukum mengandung dua poin penting, yaitu adanya suatu aturan umum yang mengatur perbuatan yang boleh atau tidak boleh dilakukan serta apa yang bisa menjadi tanggung jawab kita (masyarakat).
Menurut Ahli Kelsen, hukum adalah sistem norma. Norma adalah aspek
harus atau biasa disebut dengan das sollen, dengan tentang apa peraturan yang harus dilaksanakan (Xxxxxxx, 2015). Undang-Undang yang berisikan aturan menjadi pedoman para individu untuk berperilaku di dalam kehidupan
bermasyarakat, baik hubungannya sesama individu maupun dengan lingkungan sekitar dimana individu tersebut bertempat tinggal. Aturan tersebut menjadi pembatas antara masyarakat dan individu dalam melakukan kegiatan sehari hari dalam bertingkah laku. Adanya aturan tersebut dan implementasinya akan meningkatkan kepastian hukum. Kepastian mempunyai arti, yaitu suatu keadaan yang sangat pasti, baik syarat maupun syarat yang menurut hukum harus pasti dan dapat dipertanggungjawabkan. Sebagai pemandu perilaku yang adil, ia harus menjaga ketertiban yang wajar. Hukum dapat diterapkan karena adil dan berlaku dengan andal. Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya dapat dijawab secara normatif tetapi tidak dapat diselesaikan secara sosiologis (Xxxxxxx, 2015).
Menurut para ahli Utrecht, kepastian hukum memiliki dua implikasi. Yang pertama adalah adanya aturan-aturan umum yang mengatur subyek hukum, dan yang kedua adalah adanya kepastian hukum dari semua instansi pemerintah yang di dalamnya terdapat peraturan-peraturan yang bersifat hukum. Apakah masyarakat umum, dan dalam diri seorang individu, seseorang dapat mempelajari apa yang dapat disalahkan atau dilakukan suatu negara terhadap individu. Yang dimaksud dengan subjek hukum orang perseorangan, atau yang disebut natuurlijkepersoon, adalah orang yang dianggap cakap secara hukum, dan seseorang berhak sejak lahir sampai mati, yang dianggap sebagai subjek hukum. Selain itu, badan hukum atau badan hukum adalah kumpulan orang perseorangan dan kadang-kadang disebut juga dengan kelompok badan hukum (Syahrani, 2013). Kepastian dan keadilan harus selalu diperhatikan, demi keamanan dan ketertiban suatu Negara harus menjaga kepastian hukum tersebut. Setiap individu
atau masyarakat wajib mematuhi apa yang disebutkan oleh hukum positif berdasarkan pada teori kepastian hukum dan nilai yang ingin dicapai yaitu keadilan dan kebahagiaan individu dan masyarakat di suatu Negara tertentu (Xxxxxxx, 2013).
2.1.3. Perkawinan
Perkawinan adalah suatu bentuk hidup berdampingan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat di bawah aturan khusus yang dilindungi oleh agama, agama negara dan adat istiadat. Ini bertujuan untuk memberitahukan kepada orang lain tentang status baru tersebut agar pasangan tersebut dapat diterima dan diakui sebagai pasangan yang sah secara hukum, agama, negara dan adat. Sebelum adanya hukum perkawinan di Indonesia, hukum perkawinan yang berbeda diterapkan pada kelompok masyarakat yang berbeda dan daerah yang berbeda (Xxxxxxxxxx, 2015). UU Perkawinan telah menetapkan asas-asas atau asas-asas perkawinan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan perkawinan, yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Asas-Asas Perkawinan (Xxxxxxx, 2016):
1. Asas Perkawinan Kekal
2. Asas Perkawinan Menurut Hukum Agama atau Kepercayaan Agamanya
3. Asas Perkawinan Terdaftar
4. Asas Persetujuan Kedua Belah Pihak
5. Asas Perkawinan Monogami
6. Perkawinan Didasarkan Pada Kesukarelaan atau Kebebasan Berkehendak
7. Keseimbangan Hak dan Kedudukan Suami Istri
8. Asas Mempersukar Perceraian
2.1.4. Perjanjian
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau yang selanjutnya disebut dengan KUHPerdata Pasal 1313 menjelaskan bahwa perjanjian adalah perbuatan dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap individu lain. Arti dari persetujuan atau kesepakatan tersebut ialah overeekomst dalam Bahasa belanda, yang bisa diartikan juga dengan perjanjian. Perjanjian ialah suatu perbuatan yang sah dimata hukum berdasarkan hanya dengan kata sepakat untuk memunculkan akibat hukum. Sebagaimana dikemukakan Sudikno, perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih, tergantung pada arti kata perjanjian, dan dapat menimbulkan akibat hukum (Sudikno, 2012).
Kontrak juga memiliki prinsip kebebasan berkontrak artinya para pihak memiliki hak dan kebebasan untuk membuat suatu perjanjian, baik yang telah disepakati maupun yang belum. Asas kebebasan berkontrak adalah asas yang terkandung dalam hukum kontrak yang mengatur tentang kebebasan berkontrak, yang memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk menyepakati semua persoalan tersebut. Suatu perjanjian menyangkut kedua belah pihak saling memberikan kesepakatan, maka ada interaksi antara kedua individu tersebut (Harianto, 2016). Selain orang perseorangan, pihak yang mengadakan kontrak juga dapat berupa badan hukum. Salah satunya adalah perseroan terbatas (PT). Keduanya adalah subjek hukum artinya yang dapat melakukan perbuatan
hukum dan menimbulkan akibat hukum serta bertambahnya hak dan kewajiban (Harianto, 2016). Hubungan hukum antara suatu pihak merupakan fakta hukum yang dapat menghilangkan kesalahpahaman antara para pihak dalam pelaksanaan hubungan hukum tersebut.
2.1.5. Syarat Perjanjian
Suatu perjanjian disepakati oleh para pihak berarti para pihak yang membuat perjanjian tersebut dengan kehendak bebas. Jika ada pembatasan atau tekanan atas kehendak bebas yang mengancam adanya cacat dalam pembuatan kontrak, para pihak tidak akan memberikan tekanan apapun terhadap realisasi kehendak mereka dalam perjanjian (Harianto, 2016). Syarat untuk dapat melakukan perbuatan hukum adalah mengadakan perjanjian. Pengertian dari subjek data adalah orang yang dapat membuat kontrak, kecuali mereka yang dilarang oleh Undang-Undang untuk membuat kontrak. Tindakan seperti itu juga bisa disebut orang yang tidak cakap hukum, seperti orang yang dari segi usia belum memenuhi syarat, orang yang kurang waras, dan lain sebagainya (Harianto, 2016).
Dalam buku ketiga, Burgulijke Wetboek mencakup sistem terbuka. Dengan kata lain, kita memiliki kebebasan untuk membuat kontrak dan kontrak dengan siapa pun, baik individu atau korporasi. Kebebasan berkontrak namun tidak boleh melanggar aturan yang telah ditentukan syaratnya sesuai Burgulijke Wetboek. Perjanjian atau kontrak adalah kontrak yang dibuat oleh satu orang atau lebih yang bersifat mengikat kepada prara pihak dalam kontrak tersebut (Agus, 2014).
Suatu kontrak dikatakan sah jika syarat-syarat sahnya kontrak tersebut terpenuhi sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata, sebagai berikut:
1. Adanya kata sepakat
2. Kecakapan
3. Sebab hal tertentu
4. dan suatu sebab hal yang halal.
Ketentuan ini menentukan bahwa suatu perjanjian yang sah mempunyai kekuatan hukum. Akibat hukum adalah adanya asas yang memberikan kedudukan yang sama kepada siapa saja yang menandatangani perjanjian. Selain asas keseimbangan, sejumlah asas lain menjadi dasar hukum perjanjian. Asas keseimbangan adalah dasar yang diciptakan selaras dengan tujuan tercapainya keseimbangan antara kepentingan para pihak. Keseimbangan berarti para pihak mencapai kepentingan dan kepentingannya masing-masing secara seimbang dengan hak dan kewajiban dalam kontrak.
2.1.6. Perjanjian Perkawinan
Menurut ahli Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxxxxxxxx, perjanjian perkawinan adalah kesepakatan antara suami dan istri sebelum atau pada saat perkawinan untuk menyelesaikan akibat dari perkawinan tersebut. Pertunangan bukanlah suatu perjanjian yang dibuat dalam rangka perceraian, meskipun banyak orang beranggapan bahwa jika perkawinan telah dilangsungkan dan pasangan mengadakan akad nikah maka mereka sedang mempersiapkan diri untuk bercerai. Dengan asumsi tersebut, ternyata akad nikah berpengaruh baik dalam memberikan
perlindungan hukum bagi suami istri yang terikat dalam perkawinan. Perlindungan hukum dimaksudkan untuk melindungi harta benda perkawinan yang akan diikat oleh hubungan suami-istri dan mempunyai tujuan tertentu, salah satunya untuk melindungi harta milik suami atau istri yang ikut dalam hubungan perkawinan, harta milik suami. lebih, atau harta istri lebih banyak. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa akad nikah adalah perjanjian antara dua orang, yaitu calon istri dan calon suami, sebelum menikah untuk menghadapi segala akibat yang timbul dari perkawinan yang berkaitan dengan masalah keuangan. masalah yang berkaitan dengan pernikahan, beberapa masalah lain untuk mengurangi kebisingan dalam rumah tangga (Soedjono, 2012).
2.2 Xxxxx Xxxxxxx
2.2.1 Perkawinan
Aturan yang mengatur tentang perkawinan di Indonesia terbagi menjadi 3 (tiga) aturan, antara lain berdasarkan ketentuan KUHPerdata, UU Perkawinan, dan didalam Kompilasi Hukum Islam. Suatu perkawinan berlangsung menimbulkan akibat hukum yang sangat luas. Menurut UU perkawinan, kesepakatan dalam perkawinan ialah perjanjian yang di tuliskan yang disetujui bersama yang dibikin saat atau sebelum pernikahan dilaksanakan dan dilegalkan oleh pihak yang berwenang, kesepakatan tersebut juga berlaku terhadap pihak lain apabila ada didalam perjanjian perkawinan tersebut. Selama masih ada ikatan perkawinan, perjanjian tersebut tidak dapat dirubah jika salah satu tidak
menyetujui bahwa ada perubahan atas perjanjian pernikahan tersebut dan tidak boleh merugikan pihak siapapun yang ada didalam perjanjian tersebut.
2.2.2 Syarat Sah Perkawinan
Persyaratan sah dalam sebuah perkawinan menurut UU Perkawinan dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) yang menyebutkan bahwa ayat (1) perkawinan sah apabila dilakukan menurut masing-masing agama dan kepercayaan, sedangkan yang tertulis dalam ayat (2) bahwa setiap perkawinan dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengaturan persyaratan sah sebuah perkawinan diatur dalam UU Perkawinan Pasal 6, 7, 8, 9, 10, 11, dan 12, sebagai berikut:
1. Tidak adanya paksaan dari pihak manapun dan berdasarkan atas persetujuan dan kemauan antara calon suami dan istri;
2. Tidak adanya istri untuk kedua kalinya bagi suami, dan tidak adanya suami kedua bagi istri, kecuali ada dispensasi dari Pengadilan Agama dengan putusan boleh mempunyai lebih dari satu istri dan lebih dari satu suami dan memenuhi syarat-syarat yang diberikan oleh Pengadilan Agama, adanya kepastian dari pihak suami bahwa mamu menjamin keperluan kehidupan istri, berperilaku adil terhadap istri dan anak-anaknya;
3. Pria yang bisa melangsungkan pernikahannya mempunyai batas usia minimum yaitu 19 tahun, sedangkan untuk wanita batas minimumnya adalah 16 tahun;
4. Jika calon pengantin umurnya lebih dari 21 tahun harus mendapatkan persetujuan dari orang tua dari dari mereka masing-masing, sedangkan calon pengantin umurnya kurang dari 19 dan 16 tahun harus mendapatkan dispensasi dari Pengadilan Agama untuk melangsungkan pernikahan;
5. Tidak termasuk larangan- larangan perkawinan;
6. Seseorang yang masih mempunyai ikatan perkawinan kecuali mendapatkan izin dan dispensasi dari pengadilan;
7. Seorang yang telah bercerai untuk kedua kalinya, diantaranya tidak boleh melangsungkan perkwinan lagi sepanjang hukum masing masing agama dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain;
8. Wanita mempunyai tenggang waktu untuk melangsungkan pernikahan selanjutnya;
9. Perkawinan wajib dilakukan menurut tata cara perkwianan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1974 jo. Peraturan Menteri Agama No 3 Tahun 1975 tenang pencatataan nikah, talak dan rujuk.
2.2.3 Perjanjian Perkawinan dan Manfaatnya
Kontrak pra-nikah berlaku sejak ditandatangani. KUHPerdata Pasal 148 menyatakan bahwa akad nikah adalah sah, selama masih dalam akad nikah karena alasan apapun perkawinan yang telah dibuat tidak dapat diubah. Sedangkan menurut Pasal 147 KUHPerdata untuk menghindari batalnya perjanjian perkawinan, maka sebelum perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan terlebih dahulu dibuat di hadapan notaris, sahnya nikah itu juga untuk
menghindari perbuatan yang tergesa-gesa karena akan membawa kepada selama- lamanya seumur hidup, keamanan hukum, keaslian alat bukti, dan tidak terjadi salah tafsir terhadap ketentuan Pasal 149 KUHPerdata. Manfaat dari perjanjian pernikahan adalah supaya bisa mengatur penyelesaian dari masalah yang akan timbul selama perkawinan, antaranya:
1. Xxxxxxxx pemisahan harta kekayaan, jadi tidak masalah lagi dengan harta gono gini dengan syarat harus dibuat sebelum pernikahan jika setelah menikah dibuat perjanjian tersebut maka akan batal demi hukum dan harus dicatatkan di tempat pencatatan sipil;
2. Di dalam proses cerai dan ingin memisahkan harta bisa saja membuat perjanjian harta. Dalam perjanjian pranikah bisa dicapainya kesepakatan tidak adanya percampuran harta mendapatkan maupun aset-aset baik selama pernikahan itu berlangsung maupun apabila terjadi perpisahan;
3. Di dalam perjanjian pernikahan pemisahan hutang merupakan sangat penting ada di perjanjian perkawinan yaitu tetap menjadi tanggungan bagi siapa yang berhutang. Hutang yang dimaksud adalah hutang yang sudah dibawa sebelum terjadinya pernikahan, selama masa pernikahan, setelah adanya perceraian da bahkan adanya kematian;
4. Mengenai masalah finansial anak, yang menjadi kebutuhan anak terutama mengenai biaya sekolah anak, biaya hidup anak, dan bagaimana orangtua untuk mengkontribusi keuangan agar anak mendapatkan tujuannya yaitu mendapatkan kesejahteraan anak yang terjamin.
2.3 Penelitian Terdahulu
Penulis juga melakukan penelitian kepustakaan ketika menulis disertasi dengan memahami disertasi ilmiah yang ditulis oleh pihak lain, dan penulis menjaring data disertasi ilmiah baik dalam bentuk penelitian teks maupun dalam bentuk aplikasi penelitian lapangan. Artikel ilmiah sebelumnya oleh penulis, diyakini memiliki judul yang sama dengan artikel yang dibahas oleh penulis, meliputi studi sebagai berikut:
1. Jurnal Unida, (Vol. 01 No. 02, Desember 2016, E-ISSN: 2548-5679), penulis Xxxxxxxxxxxx Xxxxxx melakukan penelitian dengan judul “Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 Ditinjau Dari Pemenuhan Hak-Hak Asasi Manusia dan Asas-Asas Pembentukan Perjanjian”. Hasil penelitian penulis menyarankan bahwa pernikahan merupakan ikatan internal dan eksternal antara dua pria dan wanita untuk mencapai keluarga bahagia. Pernikahan di Indonesia itu sakral. Salah satu implikasinya adalah percampuran harta dari kedua pasangan. Dalam zonasi Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 3 serta Pasal 36 ayat (1) UU Agraria, harta benda itu berdasarkan asas kewarganegaraan (nationality). Jika ketentuan saat ini berlaku, maka pelaku perkawinan campuran dalam pengertian Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan tidak memiliki hak atas tanah. Meski dikesampingkan oleh Undang-Undang Administrasi Hukum dan Hak Asasi Manusia surat nomor HAM2HA.01.0210, Pasal 21 UU Perkawinan justru menjadi kendala. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 69/PUUXIII/2015 untuk mengembalikan jaminan perlindungan hak-hak
pelaku dalam perkawinan campuran (Maslul, 2016). Terdapat perbedaan pada penelitian diatas dengan penelitian penulis yang membahas tentang akibat hukum dan kedudukan hukum perjanjian perkawinan pasca putusan MK No. 69 Tahun 2015.
2. Jurnal Wajah Hukum, (Vol. 04 No. 01, Tahun 2019, E-ISSN: 2598-604X), penulis Xxxxx Xxxxxx dan Xxxxx Xxxxx Xxxxxxx melakukan penelitian dengan judul “Tinjauan Yuridis Akibat Hukum Perjanjian Harta Bersama Yang Dibuat Oleh Suami Istri Setelah Perkawinan Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015”. Menurut penelitian penulis, perkawinan adalah suatu perjanjian antara dua orang, dalam hal ini laki-laki dan perempuan dengan tujuan penting untuk menciptakan keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan satu ketuhanan, sebagai prinsip pertama. Dalam Pancasila. Ketika mereka menikah, salah satunya memiliki dampak ekonomi pada pernikahan. Karena laki-laki dan perempuan memiliki aset mereka sendiri dan ada banyak alasan lain untuk membuat perjanjian pranikah, banyak calon pasangan yang pada akhirnya akan menjadi pranikah ketika situasi sosial berkembang. Hasilnya, kesepakatan kepemilikan bersama tercapai. Perjanjian pranikah adalah perjanjian yang dibuat oleh dua orang (pasangan masa depan) sebelum mereka menikah. Perjanjian pranikah diatur dalam Pasal 29 UU Perkawinan, namun dengan ditetapkannya Putusan MK No. 69 Tahun 2015, terdapat beberapa perubahan terhadap perjanjian pranikah, dan masih terdapat pro dan kontra dari masyarakat. Masalah yang dibahas dalam
penelitian ini adalah: Bagaimana pengaturan perjanjian perkawinan di Indonesia dan implikasi hukum perjanjian perkawinan yang ditandatangani setelah nikah berdasarkan Putusan MK 69 Tahun 2015. Penyelidikan hukum normatif berfungsi sebagai pendekatan. Sumber bahan hukum yang digunakan adalah sumber bahan hukum primer berupa buku-buku dan Undang-Undang dan sumber bahan hukum sekunder. Cara pengumpulan bahan hukum adalah dengan memeriksa dokumen, yaitu dengan membaca dan menyelidiki peraturan perundang-undangan. Analisis bahan hukum dalam penelitian ini disusun, dianalisis, dan dijelaskan secara kualitatif. Dari hasil penyelidikan, pengaturan akad nikah di Indonesia pertama kali masuk dalam beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain KUHPerdata, UU Perkawinan, KHI dan Putusan MK. Terakhir, dalam pemeriksaan kedua, terdapat perbedaan antara akad nikah berdasarkan Pasal 29 UU Perkawinan dengan akad nikah berdasarkan Putusan MK (Haris, 2017). Terdapat perbedaan pada penelitian diatas dengan penelitian penulis yang membahas tentang akibat hukum dan kedudukan hukum perjanjian perkawinan pasca putusan MK No. 69 Tahun 2015.
3. Jurnal Rechtsvinding, (Vol. 6 No. 1, April 2017, E-ISSN: 2580-2364), penulis Oly Viaba Agustine melakukan penelitian dengan judul “Politik Hukum Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 Dalam Menciptakan Keharmonisan Perkawinan”. Hasil pemeriksaan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUUX III/2015 merupakan kebijakan hukum baru di bawah akad nikah (akad
nikah) yang hanya dibuat oleh calon suami dan calon istri sebelum menikah. Saat ini dibuat oleh satu pria dan satu istri untuk dilakukan setelah pernikahan dilangsungkan. Mahkamah Konstitusi memberikan interpretasi konstitusional yang dapat menyesuaikan kesimpulan dari kontrak pernikahan dengan kebutuhan hukum masing-masing pasangan. Sebelum adanya putusan MK, warga negara Indonesia yang menikah dengan orang asing tidak diperbolehkan memiliki rumah dengan hak milik atau hak bangunan karena melanggar aturan akad nikah dan harta bersama. Standar saat ini memungkinkan semua warga negara Indonesia yang menikah dengan orang asing untuk tidak memiliki rumah dengan status HM atau HGB kecuali ada kesepakatan pemisahan harta. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah preskriptif dan legal dalam arti bahwa putusan-putusan Mahkamah Konstitusi dikumpulkan dan dianalisis secara teoritis untuk menjawab pertanyaan, yaitu kapan suatu akad nikah dapat dilangsungkan. Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah dengan memperpanjang jangka waktu akad nikah, sengketa perkawinan dapat diminimalisir dan hak milik warga negara Indonesia yang menikah dengan orang asing dapat ditegakkan. Hal ini dimaksudkan agar warga negara Indonesia yang menikah dengan orang asing dan tidak memiliki perjanjian pranikah dapat menikah setelah menikah (Xxxxxxxx, 2017). Terdapat perbedaan pada penelitian diatas dengan penelitian penulis yang membahas tentang akibat hukum dan kedudukan hukum perjanjian perkawinan pasca putusan MK No. 69 Tahun 2015.
4. Jurnal Wawasan Yuridika, (Vol. 02 No. 01, Maret 2018, E-ISSN: 2549- 0753), penulis Xxx Xxxxxx melakukan penelitian dengan judul “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU/XIII/2015 Terhadap Pasal
29 UU Perkawinan”. Hasil rapat musyawarah Hakim Konstitusi membuat interpretasi konstitusional sehingga putusan MK akan mempengaruhi akad nikah yang diatur dengan segala akibat hukumnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pertimbangan hakim di Mahkamah Konstitusi khususnya dalam mengambil keputusan mengenai akad nikah, dan dampak putusannya terhadap ketentuan Pasal 29 UU Perkawinan. Dari hasil pemeriksaan, ditemukan bahwa hakim MK menginterpretasikan Pasal 29 UU Perkawinan ke dalam UUD dan memungkinkan diadakannya akad nikah. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa, untuk beberapa alasan, beberapa suami dan istri hanya merasa perlu untuk menandatangani perjanjian pranikah ketika mereka menikah. Dampak Putusan MK terhadap perjanjian pranikah yang mengubah ketentuan perjanjian pranikah, menunjukkan adanya ketidakpastian hukum yang berdampak pada kurangnya perlindungan hukum (Ahyani, 2018). Terdapat perbedaan pada penelitian diatas dengan penelitian penulis yang membahas tentang akibat hukum dan kedudukan hukum perjanjian perkawinan pasca putusan MK No. 69 Tahun 2015.
5. Hang Tuah Law Journal, (Vol. 11 No. 02, Juli 2019, E-ISSN: 1979-4940), penulis Xxxxxxxx Xxxxxxx dan Xxxxxx Xxxxxxx Putra melakukan penelitian dengan judul “Kedudukan Hukum Perjanjian Perkawinan Yang
Dibuat Setelah Perkawinan Dilangsungkan”. Menurut penelitian penulis, akad nikah dengan penyimpangan harta benda biasanya dilakukan sebelum atau saat melangsungkan perkawinan, Xxxxan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui status hukum akad nikah antara pasangan suami istri setelah menikah. Penyelidikan telah mengungkapkan bahwa status hukum perjanjian pranikah terikat oleh ketentuan Pasal 29 Perjanjian Pranikah, yang tidak sah dan tidak mengikat kecuali diperintahkan oleh pengadilan (Xxxxxxx, 2019). Terdapat perbedaan pada penelitian diatas dengan penelitian penulis yang membahas tentang akibat hukum dan kedudukan hukum perjanjian perkawinan pasca putusan MK No. 69 Tahun 2015.
6. Jurnal Al-Ahwal, (Vol. 11 No. 01, Tahun 2018, E-ISSN: 2528-6617), penulis Iswantoro melakukan penelitian dengan judul “Penyelesaian Sengketa Harta Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015”. Hasil pemeriksaan terhadap pelaksanaan perjanjian pranikah diatur dalam Pasal 147 KUHPerdata dan Pasal 29 UU Perkawinan yang mengatur bahwa perjanjian pranikah dibuat sebelum perkawinan. Aturan ini bertentangan dengan Pasal 28 ayat (2) UUD 1945 karena membatasi kebebasan berkontrak di antara keduanya. Pada tahun 2015, MK mengeluarkan putusan berdasarkan ketentuan tersebut. Dari kontrak pernikahan. Artikel ini menjelaskan tentang penyelesaian sengketa harta benda perkawinan pasca putusan MK dari perspektif hukum normatif. Investigasi ini berfokus pada landasan hukum, sistem hukum, sinkronisasi hukum, dan sejarah hukum. Dari sini menjadi sebagai berikut. (1)
Berdasarkan putusan pengadilan, selama perkawinan dilakukan atas kesepakatan bersama di hadapan notaris, akad perkawinan dapat diputuskan tanpa didahului putusan pengadilan. (2) Putusan pengadilan yang dibuat di hadapan notaris akan mempengaruhi harta bersama dan pihak ketiga sejak perkawinan (Iswantoro, 2018). Terdapat perbedaan pada penelitian diatas dengan penelitian penulis yang membahas tentang akibat hukum dan kedudukan hukum perjanjian perkawinan pasca putusan MK No. 69 Tahun 2015.
7. Jurnal Bina Mulia Hukum, (Vol. 03 No. 02, 02 Maret 2019, E-ISSN 2540- 9034), penulis Respati Xxxxx Xxxxx, Xxxxx Xxxx Xxxxxxxx dan Xxxxx Xxxxx Xxxxx melakukan penelitian dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Kreditor dan Upaya Notaris Membuat Perjanjian Perkawinan Setelah Perkawinan”. Hasil kajian penulis menunjukkan bahwa salah satu akibat hukum dari perkawinan adalah terbentuknya harta bersama. Namun, percampuran harta pasangan dapat dihindari dengan akad nikah. Setelah Mahkamah Konstitusi No. 69/PUUXII/2015, kita dapat mengadakan akad pisah selama dan dalam masa perkawinan. Permasalahan yang menjadi fokus tulisan ini adalah perlindungan hukum yang diberikan kepada pihak ketiga yang mungkin dirugikan dengan adanya akad pisah nikah. Penelitian ini menggunakan pendekatan hukum normatif. Hasil pokok dari penelitian ini adalah bahwa kesimpulan dari akad pisah nikah adalah harta nikah notaris terkait dengan notaris (Putri, 2019). Terdapat perbedaan pada penelitian diatas dengan penelitian penulis yang membahas tentang akibat
hukum dan kedudukan hukum perjanjian perkawinan pasca putusan MK No. 69 Tahun 2015.
2.4 Kerangka Pemikiran
Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/ 2015
Rumusan Batasan
Akibat Hukum
Kedudukan
Batasan masalah hanya berhubungan dengan “Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/ 2015”
Metode Penelitian
Teori
Perlindungan hukum menurut Xxxxxxxx
M. Xxxxxx bahwa perlindungan hukum memiliki dua bentuk yang pertama yaitu perlindungan hukum preventif
dan hukum represif.
Kepastian hBukAumBmIeInurut Xxxxxxx mengandung dua pengertian, yaitu
pertama, adanya aturan yang bersifat umum danBk eAduBa, IbIerIupa keamanan hukum.
- Penelitian Hukum Normatif
- Sifat Penelitian Deskriptif
- Metode Pengumpulan Data
a. Jenis Data menggunakan data sekunder yang terbagi dari Primer, Sekunder, & Tersier.
b. Alat Pengumpulan Data (Studi Kepustakaan)
- Metode Analisis Data
Gambar 2.1
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Sifat Penelitian
3.1.1 Jenis Penelitian
Penelitian hukum merupakan suatu upaya yang dilakukan dari aktifitas seseorang dalam upaya melakukan penelitian hukum untuk mencari pemecahan masalah secara akademik dan juga praktisi, harus disesuaikan dengan azas-azas, norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat dan sesuai dengan kenyataan yang ada. (Ali, 2015). Penelitian yang dilakukan oleh penelulis adalah penelitian Normatif. Penelitian ini secara langsung membahas aspek hukum dari hubungan sosial dalam masyarakat, dan bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengetahui secara tepat bahan-bahan di luar hukum untuk tujuan penelitian. (Ali, 2015). Dalam jenis penelitian normatif hukum dijadikan sistem norma, yang mana sistem normatif tersebut merupakan norma, asas-asas, kaidah, putusan pengadilan, doktrin, peraturan perundang-undangan, serta perjanjian.
Kajian normatif adalah kajian yang didasarkan pada norma-norma hukum yang berlaku pada peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan, dan berlaku pada semua lapisan masyarakat, serta hubungan antara aturan dengan aturan lain dalam hierarki, dapat juga dilihat dari. Penelitian empiris memiliki pengertian dengan melihat secara langsung segala aspek realitas hukum yang berlaku saat ini di masyarakat (Ali, 2015). Dalam melakukan penelitian ini, penulis mengadopsi jenis studi hukum normatif dimana hukum digunakan sebagai
34
sistem norma yang konstruktif. Sistem standar berarti asas, standar, Undang- Undang dan peraturan, aturan administrasi, keputusan pengadilan, perjanjian, dan doktrin. (Dewata, Mukti Xxxxx Xxx & Xxxxxx, 2017).
3.1.2 Sifat Penelitian
Sifat penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif analitis yang mempunyai suatu tujuan untuk mendekripsi secara sistemaris dan akurat dengan objek maupun subjek yang tertentu. Yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah mengungkapkan aturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori- teori hukum. Demikian juga hukum dalam pelaksanaannya di dalam masyarakat yang berkenaan objek penelitian. Subjek maupun objek tersebut lalu di jelaskan di bab pembahasan dan hasil dari penelitian yang terdapat di penulisan di penelitian tersebut yang diperoleh dari tempat dimana penelitian ini di lakukan (Dewata, Mukti Xxxxx Xxx & Xxxxxx, 2017). Karya ilmiah tersebut menggunakan analisa deskripsi yang berguna untuk menganalisa dan mendeskripsikan apa yang terdapat di hasil dari penelitian yang dilakukan yang dikaitkan dengan kajian tentang akibat hukum perjanjian perkawinan pasca putusan MK No. 69 Tahun 2015
3.2 Metode Pengumpulan Data
3.2.1 Jenis Data
Dalam melaksanakan kajian penelitian, penulis menggunakan data sekunder sebagai berikut:
1. Bahan Hukum Primer
Merupakan bahan yang mempunyai kekuatan mengikat secara hukum dan akan digunakan sebagai dasar pada penelitian yang akan penulis lakukan, sebagai berikut:
a. UUD 1945 dalam Pasal 28B ayat (1).
b. UU Perkawinan.
c. KUHPerdata
d. Putusan MK No. 69 Tahun 2015.
2. Bahan Hukum Sekunder
Materi ini digunakan untuk menyempurnakan deskripsi materi hukum primer. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini merupakan bagian dari buku-buku, jurnal, putusan-putusan pengadilan serta dokumen lainnya yang berkaitan dengan penelitian tersebut (Xxxxxxxxx dan Xxxxxx, 2010).
3. Bahan Hukum Tersier
Merupakan bahan yang memberi petunjuk maupun deskripsi terhadap bahan hukum premier dan sekunder. Contohnya adalah kamus, ensiklopedia, data sensus, buku politik, dll.
3.2.2 Alat Pengumpulan Data
Bahan atau data yang dikumpulkan dalam survei ini dilakukan melalui identifikasi prosedur dan peraturan inventarisasi, serta klasifikasi dan sistematisasi bahan hukum sesuai dengan masalah utama survei yang dilakukan oleh penulis.
Oleh karena itu, penulis menggunakan tinjauan pustaka saat melakukan teknik pengumpulan data ini. Penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara membaca, mereview, mencatat, dan mereview bahan pustaka yang berkaitan dengan asuransi jiwa kredit. Dalam melaksanakan kajian penelitian hukum normative, bahan hukum yang digunakan dalam melakukan penelitian dan analisis ini menggunakan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Penelitian dokumenter digunakan untuk mengumpulkan dua sumber hukum ini dalam studi penelitian. Penelitian dokumenter adalah penelitiaan yang mengkaji berbagai dokumen, baik yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan maupun dokuemn yang ada (HS,
H. Xxxxx Xxx Xxxxxxx, 2014). Sehingga dalam penelitian yang penulis lakukan ini
menggunakan pengumpulan data melalui studi perpustakaan.
3.3 Metode Analisis Data
Melakukan analisis data agar data yang diperoleh dapat disusun menjadi dasar klasifikasi atau deskripsi studi pustaka. Dalam proses ini, data yang diperoleh diharapkan dapat banyak digunakan dalam penelitian ini sehingga dapat menjawab permasalahan utama yang penulis kemukakan pada bab sebelumnya dalam merumuskan masalah. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode analisis normatif. Data yang digunakan dalam analisis data adalah dokumen hukum primer, sekunder dan tersier.