PENYALAHGUNAAN KEADAAN OLEH PEMBERI PINJAMAN DALAM PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM UANG
PENYALAHGUNAAN KEADAAN OLEH PEMBERI PINJAMAN DALAM PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM UANG
T E S I S
OLEH:
NAMA MHS : XXXXX XXXX XXXXXX XX. POKOK MHS 15912003
BKU : HUKUM BISNIS
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2017
i
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto:
“Berdoalah kepada-Ku niscaya akan Kuperkenankan bagimu” (Q.S 40 : 60)
“Barang siapa yang bersungguh-sungguh dalam satu perkara Maka dia akan mendapatkannya” (Pepatah Arab)
Karya ini kupersembahkan untuk:
Kedua Orang Tuaku Xxxxxxxxxxx Xxxxx dan Xxxxxxxx Xxxxxxx
Istriku Xxxx Xxxxx Xxxxxxx Xxxx Anakku Xxxxxx Xxxxxxxx Xxxxx
iv
ORISINALITAS KARYA TULIS ILMIAH / TUGAS AKHIR MAHASISWA PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:
Nama Mhs. : Xxxxx Xxxx Xxxxxx No. Pokok Mhs. : 15912003
BKU : Hukum Bisnis
Adalah benar-benar mahasiswa Progam Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia yang telah melakukan penulisan Karya Tulis Ilmiah (Tugas Akhir) berupa Tesis dengan judul:
PENYALAHGUNAAN KEADAAN OLEH PEMBERI PINJAMAN DALAM PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM UANG
Karya tulis ilmiah ini akan saya ajukan kepada Xxx Xxxxuji dalam Ujian Pendadaran yang diselenggarakan oleh Progam Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.
Sehubungan dengan hal tersebut, dengan ini saya menyatakan:
1. Bahwa karya tulis ilmiah ini adalah benar-benar hasil karya saya sendiri yang dalam penyusunannya tunduk dan patuh terhadap kaidah, etika, dan norma-norma penulisan sebuah karya tulis ilmiah sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
2. Bahwa saya menjamin hasil karya tulis ilmiah ini adalah benar-benar asli (orisinil), bebas dari unsur-unsur yang dapat dikategorikan sebagai melakukan perbuatan ‘penjiplakan karya ilmiah (plagiat)’;
3. Bahwa meskipun secara prinsip hak milik atas karya tulis ilmiah ini ada pada saya, namun demi kepentingan-kepentingan yang bersifat akademik dan pengembangannya, saya memberikan kewenangan kepada Perpustakaan Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia dan Perpustakaan di lingkungan Universitas Islam Indonesia untuk mempergunakan karya tulis ilmiah saya tersebut.
Selanjtnya berkaitan dengan hal di atas (terutama pernyataan pada butir 1 dan 2), saya sanggup menerima sanksi baik sanksi administratif, akademik, bahkan sanksi pidana, jika saya terbukti secara kuat dan meyakinkan telah melakukan perbuatan yang menyimpang dari pernyataan tersebut. Saya juga akan bersikap kooperatif untuk hadir, menjawab, membuktikan, melakukan pembelaan terhadap hak-hak saya serta menanda-tangani Berita Acara terkait hak dan kewajiban saya, di depan Majelis atau Tim Progam Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia yang ditunjuk oleh pimpinan Fakultas, apabila tanda-tanda plagiat disinyalir ada/terjadi pada karya tulis ilmiah saya ini oleh pihak Progam Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya, dalam kondisi sehat jasmani dan rohani, dengan sadar serta tidak ada tekanan dalam bentuk apapun dan oleh siapapun.
Dibuat di : Sleman Pada tanggal : 30 Mei 2017 Yang Membuat Pernyataan
Xxxxx Xxxx Xxxxxx
v
KATA PENGANTAR
Segala pujian patut dipanjatkan hanya kepada Allah atas segala limpahan rahmat, rahim dan pertolonganNya penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah atau tesis ini. Rasa syukur kepada-Nya tak pernah terhenti atas segala nikmat yang telah diberi.
Shalawat serta salam selalu terkirim kepada Xxxx Xxxxxxxx Xxxxxxxxxx ‘Alaihi wa Sallam sebagai Nabi panutan umat Islam dalam menjalankan kehidupan yang penuh rahmat dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan di bawah Ridho-Nya.
Karya tulis ini akhirnya berhasil kami selesaikan setelah melalui berbagai proses yang tidak terlepas dari bantuan materi maupun moril dari berbagai pihak, untuk itu kami haturkan banyak terima kasih kepada:
1. Xxxxxxx Xxxxxxxx, S.H., M.H., LL.M., Ph.D. selaku Rektor Universitas Islam Indonesia.
2. Xx. Xxxxx Xxxxx Xxxxx, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.
3. Xxx. Xxxx Xxxxxxxx, M.A., M.H., Ph.D. selaku Ketua Program Studi Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Direktur Pasca
4. Xxxx. Xx. Xxxxxx Xxxxxxxxx, S.H., M.H. selaku Pembimbing yang sudah meluangkan waktunya dengan penuh kesabaran memberikan kuliah dan bimbingan dalam pengerjaan tesis ini.
5. Para Dosen, Guru, Ustadz/Kyai yang senantiasa memberikan nasihat keilmuan yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satu persatu.
6. Kedua Orang Tua Xxxxxxxxxxx Xxxxx dan Xxxxxxxx Xxxxxxx, serta Kedua Mertua Xxxxxxxxx Xxxxxx dan Xxxxxxx.
7. Istriku Xxxx Xxxxx Xxxxxxx Xxxx yang senantiasa menemani dalam kondisi apapun, terutama suguhan secangkir kopinya setiap malam sebagai
vi
penyemangat dalam mengerjakan tesis. Serta kepada anakku Xxxxxx Xxxxxxxx Xxxxx yang selalu memberikan motivasi tersendiri.
8. Sanak saudara yang berada di kampung halaman Sulawesi Selatan dan Sumatera Barat.
9. Teman-teman seperjuangan MH angkatan 34 Pascasarjana Fakultas Hukum, terkhusus kepada rekan-rekan BKU Bisnis atas kesediaannya diajak bertukar pikiran dalam membantu penyelesaian tesis ini.
10. Rekan-rekan Pusat Studi Islam Universitas Islam Indonesia (PSI UII) yang selalu meluangkan waktunya untuk berdiskusi dan membantu mengembangkan keilmuan penulis.
Bantuan dari para pihak di atas sangat memberikan arti tersendiri bagi penulis dalam menyelasaikan tesis ini, tidak ada kata yang pantas selain menghaturkan banyak terima kasih dan panjatan doa yang baik untuk mereka semua. Penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya jika terdapat salah kata dan sifat dalam berinteraksi selama ini, juga permohonan maaf jika terdapat kesalahan tulisan dalam tesis ini, semoga memberikan manfaat bagi para pembaca semua.
Sleman, 30 Mei 2017 Penulis,
Xxxxx Xxxx Xxxxxx
vii
DAFTAR ISI
COVER i
HALAMAN PERSETUJUAN ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN iv
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS v
KATA PENGANTAR vi
DAFTAR ISI viii
ABSTRAK x
BAB I 1
PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 2
B. Rumusan Masalah 10
C. Tujuan Penelitian 11
D. Landasan Teori 11
E. Metode Penelitian 18
F. Sistematika Pembahasan 21
BAB II 22
PERJANJIAN PADA UMUMNYA 22
A. Pengertian Perjanjian 22
B. Unsur-Unsur Perjanjian 27
C. Asas Hukum Perjanjian 31
D. Syarat Sahnya Perjanjian 39
E. Cacat Kehendak 56
F. Perjanjian Pinjam Meminjam Uang 80
viii
G. Perjanjian Pinjam Meminjam Uang dengan Bunga oleh Rentenir 89
BAB III 94
PENYALAHGUNAAN KEADAAN DALAMPERJANJIAN PINJAM MEMINJAM UANG 94
A. Tolok Ukur yang digunakan Pengadilan untuk Menentukan Adanya Penyalahgunaan Keadaan dalam Perjanjian Pinjam Meminjam Uang 94
B. Akibat Hukum Penyalahgunaan Keadaan oleh Pemberi Pinjaman dalam Perjanjian Pinjam Meminjam Uang 113
BAB IV 120
PENUTUP 120
A. Kesimpulan 120
B. Saran 121
DAFTAR PUSTAKA 122
LAMPIRAN xi
ix
ABSTRAK
Perjanjian pinjam meminjam uang yang disertai dengan bunga yang cukup tinggi masih sangat digemari oleh beberapa kalangan masyarakat, meskipun mereka tahu akibat dari melakukan pinjaman tersebut, tidak sedikit yang mendapatkan ancaman bahkan perlakuan kasar akibat jika tidak mampu melunasi hutangnya. Penentuan bunga yang tinggi oleh si pemberi pinjaman akibat keunggulan posisi tawarnya, dengan demikian maka terjadi penyalahgunaan keadaan. Sudah banyak kasus penyalahgunaan keadaan dalam perjanjian pinjam meminjam uang yang diputuskan oleh pengadilan, beberapa putusan tersebut menarik untuk dikaji secara mendalam.
Studi ini mengkaji tentang tolok ukur yang digunakan pengadilan dalam menentukan adanya penyalahgunaan keadaan dalam perjanjian pinjam meminjam uang dengan mengambil tiga putusan yang berkaitan dengan perjanjian pinjam meminjam, yaitu putusan Pengadilan Negeri Wonogiri No. 04/Pdt.G/2014/PN Wng, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 425/Pdt.G/2011/PN.JKT.PST, dan Putusan Mahkamah Agung No. 2054 K/Pdt/2014. Studi ini juga lebih lanjut mengkaji akibat hukum dari penyalahgunaan keadaaan oleh pemberi pinjaman dalam perjanjian pinjam meminjam. Penelitian termasuk dalam jenis penelitian pustaka dengan sifat penelitian normatif yang menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu melihat perbuatan penyalahgunaan keadaan dari segi hukum.
Hasil kajian ini menyebutkan bahwa, ada tiga tolok ukur yang digunakan oleh pengadilan dalam menentukan adanya penyalahgunaan keadaan dalam perjanjian pinjam meminjam uang dari beberapa putusan tersebut, yaitu tolok ukur moral yang meliputi keadilan dan kepatutan, tolok ukur itikad tidak baik, dan tolok ukur keuntungan, ketiganya saling berkaitan satu sama lain dalam menentukan penyalahgunaan keadaan dari perjanjian pinjam meminjam uang tersebut. Adapun akibat hukum dari penyalahgunaan keadaaan oleh pemberi pinjaman dalam perjanjian pinjam meminjam adalah dapat dibatalkan jika salah satu pihak yang dirugikan memohon pembatalan di hadapan hakim karena alasan adanya penyalahgunaan keadaan. Alasan ini kemudian digolongkan ke dalam cacat kehendak yang ke empat di luar dari tiga cacat kehendak yang telah diatur dalam KUHPerdata.
Kata Kunci: Penyalahgunaan Keadaan, Perjanjian Pinjam Meminjam Uang, Rentenir.
x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu sarana meningkatkan perekonomian masyarakat adalah dengan memberikan pinjaman uang atau modal dari Bank kepada masyarakat yang membutuhkan. Lembaga perbankan ini sedemikian rupa sudah diatur oleh pemerintah mulai dari berdirinya sampai dengan oprasionalnya, termasuk salah satunya kontrak atau perjanjian yang dilakukan oleh pihak bank dengan nasabah. Namun fenomena peminjaman uang ini tidak hanya pada lembaga formal saja (bank yang telah diatur oleh pemerintah). Masyarakat (khususnya masyarakat tradisional) biasanya lebih sering meminjam uang atau modal pada pihak-pihak tertentu yang belum diatur oleh pemerintah sendiri.
Dalam perekonomian pasar tradisonal, tidak hanya lembaga formal saja yang eksis, tetapi eksistensi lembaga keuangan informal juga mewarnai kegiatan di dalam pasar. Fenomena tersebut digambarkan oleh Xxxxx sebagai dual economy, dimana terdapat sektor kapitalis dan subsisten yang berjalan bersama. Sektor formal seperti perbankan dan koperasi adalah institusi yang berada dibawah regulasi pemerintah,
sedangkan ciri khas dari lembaga keuangan informal memiliki fleksibilitas yang tinggi dan tidak terkontrol oleh pemerintah.1
Salah satu fenomena yang masih hidup dan masih eksis di masyarakat yaitu adanya beberapa kalangan yang sering dijadikan untuk tempat meminjam (pemberi pinjaman) uang atau modal. Namun pemberian pinjaman ini disertai dengan bunga yang berlipat-lipat yang memungkinkan bunga tersebut melebihi utang pokoknya jika cicilannya terlambat.2 Hal demikian sering dikenal dengan istilah rentenir.3
Pemberian pinjaman uang dengan bunga ini masih eksis dikarenakan masyarakat menyadari lebih mudahnya dan lebih efisiennya meminjam uang pada rentenir dari pada meminjam uang dari bank atau lembaga peminjaman lainnya. Sebab apabila masyarakat meminjam uang dari rentenir tidak membutuhkan kelengkapan surat-surat identitas dan keterangan jenis usaha lainnya, selain prosesnya juga cepat masyarakat juga diberi kemudahan untuk mencicil atau mengangsur uang peminjaman tersebut perhari, perminggu, bahkan perbulan. Sesuai dengan
1 Xxxxxx Xxx Xxxxx dan Xxxx Xxxxxxx, “Eksistensi Bank Thithil dalam Kegiatan Pasar Tradisional (Studi Kasus di Pasar Kota Batu)”, Journal of Indonesian Applied Economics, Edisi No. 1 Vol.4, (2010), hlm 58.
2 Ilas Korwadi Sikoro, “Rentenir (Analisis terhadap Fungsi Pinjaman Berbunga dalam Masyarakat Rokan Hilir Kecamatan Bagan Sinembah Desa Bagan Batu)”, Jom Fisip, Edisi No. Vol.2, (2015), hlm 2.
3 Istilah rentenir dalam penelitian ini disebut sebagai pemberi pinjaman karena fokus penelitian ini pada subjek hukumnya (orangnya) bukan pada profesinya
kemampuan dan kesepakatan yang telah disepakati antara peminjam dan pemberi pinjaman.4
Namun demikian keberadaan pemberi pinjaman uang dengan bunga (selanjutnya dibaca: rentenir) di Indonesia sulit terdeteksi oleh pihak luar (outsiders) karena cenderung bersifat tertutup. Kondisi tersebut dikarenakan dalam kehidupan masyarakat luas di Indonesia, pekerjaan sebagai rentenir dipandang sebagai pekerjaan yang negatif. Jika ditarik dari sudut pandang agama dan norma masyarakat, rentenir adalah pekerjaan yang tidak dapat dibenarkan.5
Rentenir biasanya beroperasi di saat panen gagal, ketika para petani sangat membutuhkan uang namun tidak dapat memberi jaminan kepada bank dan juga para pedagang kecil yang membutuhkan modal usaha. Sasaran rentenir lainnya adalah konsumen produk perbankan yang telah dimasukkan ke daftar hitam karena bermasalah dengan bank (kredit macet). Atau pengusaha-pengusaha kecil menengah yang kesulitan akses permodalan dari bank serta rumah tangga-rumah tangga yang memerlukan dana cepat. Pinjaman uang dari rentenir atau tengkulak tidak memerlukan jaminan sertifikat rumah atau barang berharga lainnya (kebanyakan hanya memerlukan kartu tanda penduduk atau identitas lainnya), namun memiliki risiko tinggi.6
4 Ibid.
5 Ibid.
6 Xxxxxx Xxxxxx, “Fenomena Rentenir di Pasar Bintan Center (Studi Pedagang Kecil di Pasar Bintan Center)”, Skripsi, (Tanjungpinang: Universitas Maritim Raja Xxx Xxxx XXXXXXX, 2015), hlm 2.
Praktik pemberian pinjaman uang dengan bunga ini dalam subjek hukumnya melibatkan dua belah pihak, yaitu pihak yang memberikan pinjaman (kreditor) dan pihak yang menerima pinjaman (debitor). Kedua belah pihak ini mengadakan sebuah perjanjian atau kesepakatan pinjam meminjam uang yang disertai dengan bunga yang sudah ditentukan oleh kreditor. Dalam kondisi demikian, terkadang perjanjian yang dilakukan oleh kedua belah pihak menjadikan tidak seimbang dalam posisi tawarnya, sebab si debitor dalam kondisi terdesak dan sangat membutuhkan uang sementara kreditor memiliki uang (keunggulan secara ekonomi) untuk dipinjamkan dengan bunga yang cukup besar.
Salah satu contoh kasus dalam putusan Pengadilan Negeri Kayuagung Nomor 23 / Pdt.G / 2012 / PN.KAG antara Xxxxxx Xxxxx Xxxxx selaku penggugat melawan Halijah dan Xxxxx Xxxxx selaku tergugat dan turut tergugat I. Dalam pokok perkaranya, menurut Pariha (penggugat), Xxxxxxx pernah datang kepadanya dengan maksud untuk meminjam uang, lalu pada tanggal 4 Desember 2009 Pariha meminjamkan uang kepada Halijah sebesar Rp 360.000, dengan perjanjian bahwa uang tersebut akan dilunasi atau jatuh tempo pada tanggal 4 Februari 2010. Namun menurut Xxxxxx, sebelum jatuh tempo, tepatnya tanggal 1 Januari 2010 Xxxxxxx kembali datang dengan membawa surat Akta Hibah tanah dengan bermaksud sebagai jaminan untuk meminjam lagi karena kebutuhan mendesak, maka pada hari tersebut juga Pariha meminjamkan uang sebesar Rp. 1.430.000. Kemudian seperti biasanya untuk yang ketiga kalinya, sebelum jatuh tempo tepatnya 7 Xxxxxxx, Xxxxxxx kembali
meminjam uang sebesar Rp. 2.530.000 dengan alasan nilai jaminan akta hibah tersebut masih lebih tinggi dari hutangnya. Pinjaman tersebut dilakukan terus sampai dengan 6 kali dengan alasan dan kondisi yang sama, berikut rincian pinjaman Xxxxxxx xxxxxxx Pariha: 4 Desember 2009 Rp. 360.000; 7 Desember 2009 Rp. 1.430.000; 7
Januari 2010 Rp. 2.530.000; 7 Februrai 2010 sebesar Rp. 2.783.000; 7 Maret 2010
Rp. 2.783.000; 7 April 2010 Rp. 3.081.300; Jumlah keseluruhan Pinjaman sebesar
Rp. 12.976.300
Hal di atas kemudian dibantah oleh Xxxxxxx dengan menyatakan bahwasanya Xxxxxx adalah seorang rentenir yang telah membungakan uang sangat besar tanpa alasan yang jelas yang kemudian meresahkan Halijah dan masyarakat lainnya seperti Aswa yang juga pernah digugat di pengadilan. Pariha meminta uang materai, dan lainnya dengan boroh/jaminan Akta Hibah yang sangat tidak sesuai dengan besarnya pinjaman.7
Halijah membantah bahwa tidak pernah membayar hutangnya sebab ia selalu melunasi hutang beserta bunganya, begitu juga terhadap aktah hibah tanah yang menurut Halijah tidak diberikan sama sekali, melainkan Pariha bersikeras hendak mengambil Akta Hibah tersebut sebagai jaminan yang nilainya tidak sebanding dengan hutang Halijah, dan juga hal tersebut sebagai keinginan Pariha untuk menguasai sebidang tanah dalam Akta Hibah tersebut. Bahkan sejak 7 Mei 2010
7 Putusan Pengadilan Negeri Kayuagung dalam Pariha binti Kadir v. Xxxxxxx dan Xxxxx Xxxxx, Nomor 23 / Pdt.G / 2012 / PN.KAG., hlm 6
Pariha mendatangi Halijah setiap bulan untuk memaksa membayar hutangnya dan disuruh untuk menandatangani hutang yang semakin bertambah. Adapun kemudian hutang yang diakui oleh Halijah yaitu:8
1. Tanggal 4 Desember 2009 yaitu sebesar Rp 300.000 dipotong Rp 50.000 + materai Rp 7.000 diterima oleh pihak Tergugat sebesar Rp 220.000
2. Tanggal 7 Desember 2009 yaitu sebesar Rp 1.000.000 dipotong Rp 100.000 + materai Rp 7.000 diterima Rp 893.000 bukannya Rp 1.430.000
3. Tergugat tanggal 7 Januari 2010 pinjam Rp 1.000.000 dipotong Rp 100.000 + materai Rp 7.000 diterima sebesar Rp 893.000 bukannya Rp 2.530.000
4. Tanggal 7 Februari Tergugat tidak meminjam uang pada Penggugat sebesar Rp
2.783.000 angsurang Tergugat bayar Rp 300.000 dibayar pada Penggugat Rp
300.000 ditambah uang materai Rp 7.000
5. Pada tanggal 7 Mei 2010 Tergugat tidak meminjam uang kepada Penggugat sebesar Rp 2.783.000,- melainkan Tergugat hanya membayar angsuran sebesar Rp 300.000,- ditambah uang materai Rp 7.000,- = Rp 307.000,- ;
6. Tidak benar tanggal 7 April 2010 Tergugat tidak ada meminjam uang kepada Penggugat sebesar Rp 3.081.300,- melainkan pada saat itu Tergugat membayar uang angsuran hutang sebesar Rp 300.000,- ditambah uang materai Rp 7.000 = Rp 307.000.
Dengan demikian jumlah hutang Halidjah kepada Pariha yang diakui adalah Rp.
8 Ibid, hlm 9
2.300.000.
Pariha memang dikenal sebagai seorang rentenir di tempatnya, seorang saksi yang dihadirkan oleh Halidjah yaitu Xxxxxxxxx xxxxx Xxxxxx dan Xxxxx Xxxxx menyatkan bahwa setiap orang yang meminjam uang kepada Pariha dikenakan bunga 10% setiap bulannya, dan jika terjadi keterlambatan pada pembayaran bunga tersebut akan dikenakan denda setiap harinya.9
Jika dilihat dari segi hukum perjanjian, pada dasarnya kedudukan hukum antara Halijah (debitor) dan Pariha (kreditor) tersebut sama, yakni sama-sama memiliki hak dan kewajiban. Perjanjian yang dilakukan antara Halijah dan Pariha harus memenuhi ketentuan umum yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yaitu adanya kesepakatan, kecakapan, hal tertentu dan kausa halal. Namun dalam kondisi demikian di atas seakan-akan terjadi ketidak seimbangan yang kemudian melahirkan cacat kehendak. Pariha memberikan ketentuan pinjaman kepada Halijah dan orang lain sesuai kehendaknya dikarenakan posisinya yang lebih unggul.
Cacat kehendak atau cacat kesepakatan dapat terjadi karena kekhilafan atau kesesatan, paksaan, penipuan, dan penyalahgunaan keadaan. Tiga cacat kehendak yang pertama diatur dalam BW sedangkan cacat kehendak yang terakhir tidak diatur
9 Ibid, hlm 16.
dalam BW, namun lahir kemudian dari Yurisprudensi.10 Penyalahgunaan keadaan berkaitan dengan kondisi yang ada pada saat kesepakatan terjadi, yang membuat satu di antara dua pihak berada dalam keadaaan tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya.11 Seorang pemberi pinjaman uang seperti contoh kasus di atas dalam posisinya yang memiliki banyak dana (keunggulan ekonomi) memanfaatkan kondisi dirinya untuk memberi pinjaman dengan bunga sesukanya dan dalam jangka waktu sesukanya juga bahkan terkadang hampir tidak masuk akal, dan di posisi yang lemah seorang peminjam dengan kondisinya yang mendesak karena tidak ada pilihan lain.
Mengenai pinjam-meminjam uang yang disertai dengan bunga sebenarnya memang dibenarkan dalam hukum, hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 1765 KUH Perdata, yang merumuskan "bahwa adalah diperbolehkan memperjanjikan bunga atas pinjaman uang atau barang lain yang habis karena pemakaian".12 Namun jika dalam perjanjian ini terdapat cacat kehendak, maka dapat dipertimbangan akibat hukum dari perjanjian tersebut.
Penyalahgunaan keadaan sebagai salah satu doktrin yurisprudensi dalam hukum perdata menjadi menarik untuk selalu diperbincangkan dalam dunia keilmuan maupun praktisi sebab perkembangan zaman yang selalu dinamis. Pengadilan sebagai salah satu lembaga penegak hukum perlu lebih jauh mengaplikasikan doktrin ini
10Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), hlm 17.
11 Xxxxxxxx Xxxxxxxxxx, Hukum Kontrak, Memahami Kontrak dalam Perspektif Filsafat, Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2012), hlm 121.
12 Ibid.
dalam arah pembangunan hukum yang positif. Hukum sudah seyogyanya mengakomodir segala kepentingan masyarakat untuk menciptakan konstruksi atau bangunan sosial yang adil sesuai cita-cita negara.
Menurut Xxxxxxxx Xxxxxxxx, hakim dalam memutuskan perkara perlu menggali nilai-nilai yang ada dalam kehidupan masyarakat, maka akan lebih dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat karena pada prinsipnya hukum adalah untuk manusia bukan sebaliknya manusia untuk hukum. Dengan demikian ketika masyarakat berubah, maka hakim dalam penegakan hukum juga harus mengikuti perkembangan yang terjadi dalam dinamika kehidupan masyarakat. Pengadilan bukanlah institusi hukum yang steril yang hanya berurusan dengan pengkonkretan undang-undang, melainkan memiliki jangkauan yang lebih luas. Pengadilan sudah menjadi institusi sosial yang peka terhadap dinamika perkembangan masyarakat. Pengadilan sarat dengan pikiran keadilan, pembelaan rakyat dan nasib bangsanya. Ternyata pengadilan juga berhati nurani (concience of the court). Xxxxx sebagai penegak hukum di pengadilan harus benar-benar memerhatikan dinamika masyarakat. Xxxxx berhati nurani dalam memutus perkara, sehingga benar-benar bisa memberikan keadilan bagi masyarakat.13
Studi penelitian ini mengkaji tentang penyalahgunaan keadaan yang dilakukan oleh pemberi pinjaman dalam perjanjian pinjam meminjam uang, lebih khusus
13 Xxxx Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx, Sistem Penemuan Hukum dalam Masyarakat Prismatik, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hlm 48.
membahas pada tolok ukur yang digunakan oleh pengadilan dalam menentukan penyalahgunaan keadaan serta akibat hukum dalam perjanjian pinjam meminjam uang tersebut. Terdapat beberapa hal yang mendasari perlunya penelitian ini diadakan. Pertama, bahwa pinjam meminjam uang dengan bunga yang cukup besar masih banyak hidup di masyarakat yang sedikit banyak tentu akan merugikan pihak yang meminjam dalam kondisi-kondisi tertentu. Hukum (khususnya hukum kontrak) yang dicorongkan oleh hakim harus lebih jeli melihat kasus ini untuk diberikan jalan keluar. Kedua, Konsep penyalahgunaan keadaan ini masih belum sempurna dalam tatanan hukum Indonesia meskipun berangkat dari yurisprudensi dan doktrin dari common law, namun perlu kiranya melihat aplikasi konsep penyalahgunaan keadaan terhadap perjanjian pinjam meminjam uang ini.
B. Rumusan Pertanyaan
Berangkat dari pemaparan di atas, maka dirumuskan pertanyaan sebagai berikut:
a. Bagaimana tolok ukur yang digunakan pengadilan untuk menentukan adanya penyalahgunaan keadaan dalam perjanjian pinjam meminjam uang?
b. Apa akibat hukum dari penyalahgunaan keadaan yang dilakukan oleh pemberi pinjaman dalam perjanjian pinjam meminjam uang?
C. Tujuan Penelitian
Rumusan masalah yang telah dicantumkan di atas dalam penelitian tentu memiliki tujuan penelitian, adapun tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk mengkaji tolok ukur yang dipakai pengadilan dalam menentukan adanya penyalahgunaan keadaan dalam perjanjian pinjam meminjam uang.
b. Untuk mengkaji akibat hukum dari penyalahgunaan keadaan yang dilakukan oleh pemberi pinjaman dalam perjanjian pinjam meminjam uang.
D. Landasan Teori
1. Pengertian Perjanjian
Kata „perjanjian‟ secara umum dapat mempunya arti luas dan sempit. Dalam asrti luas suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki (atau dianggap dikehendaki) oleh para pihak, termasuk di dalamnya perkawinan, perjanjian kawin dan lain-lain. Sedangkan perjanjian dalam arti sempit hanya ditujukan kepada hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja, seperti yang dimaksud dalam buku III B.W.14 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) perjanjian adalah persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.15
14 J. Satrio, Hukum Perjanjian, (Bandung: Citra Xxxxxx Xxxxx, 1992), hlm 23.
15 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Ikthisar Indonesi Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2005. hal 458.
Subekti mendefinisikan perjanjian yaitu suatu pristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini menurut subekti, timbul suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.16
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu; 1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2) Cakap untuk membuat suatu perjanjian; 3) Mengenai suatu hal tertentu; 4) Suatu sebab yang halal; Demikian menurut pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.17
2. Perjanjian Pinjam Meminjam
Pinjam-meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan
16 Subekti, Hukum Perjanjian, cet-19 (Jakarta: Intermasa, 2002), hlm 1.
17 Ibid, hlm 17.
mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula (pasal 1754).18
Pasal 1314 KUHPer membagi perjanjian dalam dua macam, yaitu: Pertama, perjanjian Cuma-Cuma, adalah suatu adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lainnya tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. Kedua, Perjanjian atas beban adalah suatu perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan suatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.19 Para sarjana memberikan perumusan lain tentang perjanjian atas beban ini, yaitu persetujuan di mana terhadap prestasi yang satu selalu ada kontra prestasi pihak lain, di mana kontra prestasinya bukan semata-mata merupakan pembatasan atas prestasi yang satu atau hanya sekedar menerima kembali prestasinya sendiri.20
Selanjutnya menurut Xxxxxxx (sebagaimana dikutip oleh Xxxxxx), kontra prestasinya dapat merupakan:21
1. Kontra kewajiban, artinya suatu kewajiban yang masih harus dilaksanakan;
18 Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: Citra Xxxxxx Xxxxx, 1995), hlm 125.
19 Xxxxxxxx Xxxxx, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, (Jakarta: Sinar Harapan, 1993), hlm 34.
20 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Bandung: Citra Xxxxxx Xxxxx, 1995), hlm 39.
21 Ibid, hlm 40.
2. Suatu prestasi yang telah dinikmati, seperti pada hutang-piutang, di mana ada kewajiban untuk mengembalikan uang pokok ditambah bunga, atas dasar kredit yang telah diberikan;
3. Dipenuhinya syarat potestatif seperti misalnya, A akan memberikan hadiah kepada B, kalau dalam waktu seminggu bisa mencairkan rumah kontrakan yang memenuhi syarat-syarat/selera A. B sebenarnya tak mempunyai kewajiban untuk mencairkan rumah kontrakan bagi si A.
Selanjutnya berdasarkan pengertian di atas, perjanjian pinjam meminjam uang oleh rentenir dalam penelitian ini dapat dikategorikan sebagai perjanjian atas beban sesuai yang diatur dalam Pasal 1314 KUHPerdata, sebab perjanjian yang dilakukan memberikan beban kepada debitor berupa bunga yang sudah diperjanjikan. Prihal bunga dalam sebuah perjanjian ini juga telah di atur dalam Pasal 1756 KUHPerdata.
Pasal 1756 menyatakan bahwa adalah diperbolehkan memperjanjikan bunga atas peminjaman uang atau lain barang yang menghabis karena pemakaian. Bunga yang diperjanjiakan atas peminjaman beras atau gandum, lazimnya juga berupa beras atau gandum, meskipun tidak dilarang untuk menetapkan bunganya berupa uang.22
Bunga yang diatur di dalam hal ini adalah bunga yang sudah diperjanjikan sebelumnya, adapun bunga yang tidak diperjanjikan sebelumnya maka tidak ada
22 Ibid, hlm 128.
kewajiban untuk membayarnya, pun ketika bunga yang tidak diperjanjikan sebelumnya sudah terlanjur dibayar itu dapat diminta kembali.
Bunga konvensional adalah bunga yang diperjanjikan oleh para pihak dalam suatu perjanjian. Bunga ini termasuk dalam isi perikatan dan karena pada asasnya KUHPerdata menganut asas kebebasan berkontrak, maka pada asasnya para pihak – sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum– juga bebas untuk menentukan berapa besarnya bunga atas pinjaman uang antara mereka.23
Kalau bunga yang diperjanjikan lebih besar daripada bunga menurut undang- undang, maka hal itu kita tafsirkan, bahwa para pihak memang sengaja menyimpangi ketentuan undang-undang dengan menetapkan bunga sendiri dan yang demikian itu hanya mungkin kalau kita menafsirkan, bahwa ketentuan bunga moratoir merupakan ketentuan undang-undang yang bersifat menambah (aanvullend). Sebaliknya kalau ia lebih rendah – dalam hal debitor wanprestasi – maka untuk bunga moratoir berlaku ketentuan undang-undang (6% setahun). Hal itu didasarkan atas pikiran, bahwa sama sekali bukan maksud para pihak untuk menetapkan bunga yang lebih rendah dari ketentuan undang-undang kalau debitor wanprestasi.24
Pembatasan terhadap bunga yang terlampau tinggi hanya kita kenal dalam bentuk “Woeker-Ordonnantie 1938,” yang dimuat dalam Staatsblad (Lembaran
23 J. Satrio, Hukum Perikatan Pada Umumnya, (Bandung: Penerbit Alumni, 1993), hlm 214.
24 Ibid.
Negara) tahun 1938 No. 524, yang menetapkan bahwa, apabila antara kewajiban- kewajiban bertimbal-balik dari kedua belah pihak, dari semula terdapat suatu ketidak- seimbangan yang luar biasa, sedangankan satu pihak berbuat karena kebodohan dan keadaan terpaksa, yang telah disalah-gunakan oleh pihak lawannya, maka si berutang dapat meminta kepada Xxxxx untuk menurunkan bunga yang telah diperjanjikan ataupun untuk membatalkan perjanjiannya. Melihat bunyinya peraturan tersebut,
„kiranya sangat sukar apabila kedua belah pihak adalah pedagang atau usahawan, untuk menetapkan Woeker-ordonantie tersebut, karena sulit untuk mengatakan bahwa salah satu telah berbuat karena kebodohan dan keadaan terpaksa.25
3. Penyalahgunaan Keadaan
Penyalahgunaan adalah bujukan, tekanan atau pengaruh tanpa kekuatan fisik atau nyata, yang lebih dari nasihat biasa, yang mempengaruhi pendapat atau kemauan pihak lainyang dikuasai sehingga tidak dapat bertindak secara bebas dan arif, tetapi bertindak sesuai dengan kemauan atau maksud pihak yang mempengaruhinya.26 Hal tersebut dapat dilakukan karena salah satu pihak memiliki kedudukan khusus (misalnya kedudukan yang dominan atau memiliki yang bersifat fiduciary dan
25 Subekti, Aneka Perjanjian, op. cit., hlm 130.
26 Xxxxxx Xxxxxxxxx, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, (Jakarta: Program Pascasarjana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hlm 38.
confidence). Xxx Xxxxx menyatakan bahwa penyalahgunaan keadaan tersebut dapat terjadi karena keunggulan ekonomi maupun karena kejiwaan.27
Xxxxxxxx Xxxxxx berpandangan bahwa penyalahgunaan keadaan terjadi jika seseorang sudah tahu atau sepatutnya mengerti bahwa pihak lain disebabkan suatu keadaan khusus (misalnya dalam keadaan darurat, ketergantungan, tidak dapat berpikir panjang, keadaan jiwa yang abnormal, atau tidak berpengalaman) tergerak untuk melakukan suatu perbuatan hukum, sedangkan orang tersebut mengetahui atau seharusnya mengerti bahwa sebenarnya perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak lain tersebut seharusnya dicegah. Pengertian penyalahgunaan keadaan yang diungkapkan oleh Xxxxxxxx Xxxxxx tersebut sudah ada dan ditentukan di dalam Pasal
3.2.10 Nieuw Burgerlijk Wetboek28
Pihak yang memiliki kedudukan khusus itu mengambil keuntungan secara tidak pantas dari pihak yang lainnya yang lebih lemah. Hal tersebut dilakukan tanpa adanya paksaan atau penipuan. Di sini terdapat ketidakseimbangan hubungan proses terjadinya kontrak. Doktrin penyalahgunaan keadaan tidak mencari dasar pembenarannya pada doktrin kausa hukum yang tidak halal, melainkan pada cacat kehendak.29
27 Xxxxxx Xxxxxxxxx, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan (Bagian Pertama), (Yogyakarta: FH UII Press, 2013), hlm 228.
28 Xxxxxx Xxxx, Xxxxxxxx Xxxx, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm 120.
29 Xxxxxx Xxxxxxxxx, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan (Bagian Pertama), op.cit., hlm 228.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penilitian
Penelitian ini termasuk ke dalam penelitian hukum normatif atau doktrinal dengan model penelitian pustaka, yaitu dengan menggunakan beberapa peraturan untuk melihat model atau bentuk perjanjian pinjam meminjam uang yang dilakukan oleh rentenir dengan nasabahnya. Studi putusan pengadilan dalam penelitian ini juga dilakukan untuk mengetahui tolok ukur hakim memutuskan perkara penyalahgunaan keadaan dalam perjanjian pinjam meminjam uang.
2. Bahan Hukum
Bahan hukum yang akan digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier:
a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang telah memiliki kekuatan tetap (yang berkaitan dengan topik penelitian yang dibahas) berupa Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, lebih khusus pada perjanjian pinjam- meminjam uang (KUH Perdata Bab XIII), perjanjian pinjam-meminjam di dalam Undang-undang melepas uang (Geldschietersardonantie S. 1938 No. 552), perjanjian pinjam uang di dalam Undang-undang Riba (Woeker Ordonantie S. 1938 No. 524), dan peraturan perundang-undangan lainnya. Lebih khusus penelitian ini mengkaji beberapa putusan, yaitu putusan Pengadilan Negeri Wonogiri 04 / Pdt G / 2014 / PN Wng, putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat No. 425 / Pdt.G / 2011 / PN.JKT.PST dan Putusan Mahkamah Agung No. 2054 K/Pdt/2014
b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti misalnya, rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya kalangan hukum, dan lainnya,30 yang membahas tentang penyalahgunaan keadaan oleh pemberi pinjaman dalam perjanjian pinjam meminjam uang.
c. Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan skunder seperti kamus, ensiklopedi dan lainnya.31
3. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada lazimnya dikenal paling sedikit tiga jenis metode pengumpulan data, yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi, dan wawancara atau interview. Ketiga jenis metode pengumpulan data tersebut dapat dipergunakan masing-masing, maupun secara bergabung untuk mendapatkan hasil yang semaksimal mungkin.32 Adapun metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan studi pustaka dan studi putusan. Studi pustaka dalam penelitian ini adalah mencari dan mengumpulkan tulisan tentang bahasan dalam penelitian ini yaitu penyalahgunaan keadaan dalam perjanjian
30 Xxxxxxxx Xxxxxxxx, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm 52.
31 Ibid.
32 Ibid, hlm 66.
rentenir, mengutip atau mencatat hal-hal yang sesuai dengan tema tersebut. Studi putusan dalam penelitian ini yaitu memilih tiga putusan yang didalamnya terdapat kasus penyalahgunaan keadaan.
4. Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan dari studi kepustakaan akan dianalisis dengan menggunakan teknik kualitatif, dengan menggunakan dua tahap analisis, yaitu:
Analisis Domain, yaitu analisis atau potret yang bersifat umum tentang Hukum Perjanjian meliputi syarat-syarat sah dan asas-asas umum serta potret tentang perjanjian yang dilakukan oleh rentenir dengan nasabahnya.
Analisis Taksonomi, yaitu analisis yang lebih fokus pada tolok ukur yang dipakai pengadilan dalam menetukan penyalahgunaan keadaan yang terjadi pada perjanjian pinjam meminjam uang serta akibat hukum dari perjanjian yang terdapat unsur penyalahgunaan keadaan tersebut.
Analisis di atas diharapkan akan menemukan jawaban dari permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.
F. Sistematika Penulisan
Penelitian ini akan disusun secara sistematis dalam bentuk karya tulis yaitu tesis yang terdiri dari beberapa bab
BAB I, terdiri dari latar belakang penelitian beserta rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II, berisi pembahasan teoritis tentang perjanjian secara umum, cacat kehendak dalam perjanjian, penyalahgunaan keadaan dalam perjanjian, bentuk kegiatan rentenir atau pinjam meminjam uang.
BAB III, menjawab rumusan masalah yaitu tolok ukur yang digunakan pengadilan untuk menentukan adanya penyalahgunaan keadaan yang dilakukan oleh pemberi pinjaman dalam perjanjian pinjam meminjam uang serta akibat hukum dari adanya penyalahgunaan keadaan dalam perjanjian tersebut.
BAB IV, berisi kesimpulan dan saran dari penelitian ini dan menjadi bab terakhir.
BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA
A. Pengertian Perjanjian
Perjanjian menjadi salah satu aktivitas sosial dalam menjalin hubungan pemenuhan hak dan kewajiban dalam berbagai bidang, baik di bidang ekonomi, hukum, bahkan pada ikatan sosial yang sakral, yaitu pernikahan. Perjanjian sudah menjadi bagian dari kehidupan umat manusia, dengan pentingnya perjanjian tersebut, maka perlu dirumuskan definisi perjanjian itu sendiri khususnya dalam disiplin ilmu hukum.
Istilah perjanjian merupakan terjemahan dari kata overeenkomst (Belanda) atau contract (Inggris atau juga Belanda). Ada dua macam teori yang membahas tentang pengertian perjanjian: teori lama dan teori baru. Menurut doktrin (teori lama), yang disebut perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Xxx Xxxxx, perjanjian diartikan sebagai suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Teori baru tersebut tidak hanya melihat perjanjian semata-mata, tetapi juga harus dilihat perbuatan-perbuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya.1
1 Xxxxx XX, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm
161.
Para sarjana kebanyakan merujuk kepada Pasal 1313 KUHPerdata untuk mendapatkan definisi tentang perjanjian, yaitu:
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”
Meskipun terdapat pengertian perjanjian dalam KUHPerdata di atas, namun pasal tersebut masih memiliki celah kekurangan di mata beberapa sarjana. Menurut Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx,2 ketentuan pasal di atas (1313 KUHPerdata) yang menerangkan tentang perjanjian kurang begitu memuaskan, karena ada beberapa kelemahan: Pertama: hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lainnya”. Kata kerja “mengikatkan” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusan itu “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara pihak-pihak.
Kedua: kata perbuatan mencakup juga tanpa konsesus. Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwaarneming), tindakan meelawan hukum (onrechtmatige daad) yang tidak mengandung suatu konsensus. Seharusnya dipakai kata persetujuan.
Ketiga: pengertian perjanjian terlalu luas, karena mencakup juga pelangsungan perkawinan, xxxxx xxxxx, yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitor dan kreditor dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki oleh buku ketiga KUHPerdata
2 Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx, Hukum Perikatan, (Bandung: Alumni, 1982), hlm 78.
sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan perjanjian yang bersifat personal.
Keempat, tanpa menyebut tujuan. Dalam perumusan pasal tersebut tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.
Berdasarkan beberapa kekurangan tersebut, Xxxxxxxxxx merumuskan perjanjian yaitu suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.3
Subekti mendefinisikan perjanjian adalah sebagai suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melakukan sesuatu hal; dari peristiwa ini timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut, yang dinamakan perikatan.4
Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx mendefinisikan perjanjian yaitu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum, dua pihak itu sepakat untuk menetukan peraturan atau kaidah hak dan kewajiban mengikat mereka, untuk ditaati dan dijalankan. Kesepakatan itu dapat menimbulkan akibat hukum hak dan kewajiban dan kalau keseakatan itu dilanggar maka ada akibat hukumnya si pelanggar dapat dikenakan akibat hukum atau sanksi.5
3 Ibid.
4 H.P. Xxxxxxxxxx, Penyalahgunaan Keadaan sebagai Alasan (Baru) untuk Pembatalan Perjanjian, (Yogyakarta: Liberty, 2010), hlm 11.
5 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx, Mengenal Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1985), hlm 6.
Xxxxxxx Xxxxxxx juga memberikan pengertian perjanjian yaitu perbuatan hukum yang menimbulkan, berubahnya, hapusnya hak, atau menimbulkan suatu hubungan hukum dan dengan cara demikian, perjanjian menimbulkan akibat hukum yang merupakan tujuan para pihak. Jika suatu perbuatan hukum adalah perjanjian, orang-orang yang melakukan tindakan hukum disebut pihak-pihak.6
Di dalam sistem common law terdapat perbedaan antara contract dan agreement. Semua kontrak adalah agreement, tetapi tidak semua agreements adalah kontrak. American Restatement of Contract (second) mendefinisikan kontrak sebagai ‘a promise or set of promises for the breach of which the law give a remedy or the performance of which the law in some way recognized a duty’.7
Substansi definisi kontrak di atas adalah adanya mutual agreement atau persetujuan (assent) para pihak yang menciptakan kewajiban yang dilaksanakan atau kewajiban yang memiliki kekuatan hukum. Agreement atau persetujuan dapat dipahami sebagai suatu perjumpaan nalar, yang lebih merupakan perjumpaan pendapat atau ketetapan maksud. Persetujuan adalah perjumpaan daru dua atau lebih nalar tentang suatu hal yang telah dilakukan atau akan dilakukan. Secara lebih luas
6 Xxxxxxx Xxxxxxx, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, (Bandung: Citra Xxxxxx Xxxxx, 2014), hlm 3.
7 Xxxxxx X. Xxxxxxxx, Business Law (Cincinnati, Ohio: South-Western Publishing Co, 1987), hlm 186. Dikutip dalam Xxxxxx Xxxxxxxxx,Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan (Bagian Pertama), (Yogyakarta: FH UII Press, 2014), hlm 62.
persetujuan dapat ditafsirkan sebagai suatu kesepakatan timbal balik untuk melaksanakan sesuatu.8
Dengan demikian, agreement merupakan esensi kontrak. Agreement mensyaratkan adanya offer dan acceptance oleh para pihak. Offer sendiri menurut Section 24 American Restatement Contract (Second), adalah manifestasi kehendak untuk mengadakan transaksi yang dilakukan agar orang lain tahu bahwa persetujuan pada transaksi itu diharapkan dan hal itu akan menutup transaksi tersebut.9 Adapun acceptance adalah manifestasi dari persetujuan pihak offeree (orang yang menawarkan) terhadap penawaran yang bersangkutan. Singkatnya offer dan acceptance sepadan dengan istilah ijab dan kabul. Prinsip semacam ini di Indonesia dikenal sebagai prinsip persesuaian kehendak.10
J. Satrio membagi pengertian perjanjian dalam arti luas dan dalam arti sempit.
Dalam arti luas suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki (atau dianggap dikehendaki) oleh para pihak, termasuk di dalamnya perkawinan, perjanjian kawin dan lain-lain. Sedangkan perjanjian dalam arti sempit hanya ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum
8 Xxxxxx Xxxxxxxxx,Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan (Bagian Pertama), (Yogyakarta: FH UII Press, 2014), hlm 62.
9 Xxxxx X. Cheeseman, Contemporary Business & E-Commerce Law (Singapore: Times Books International, 1993), hlm 20. Dikutip dalam Xxxxxx Xxxxxxxxx,Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan (Bagian Pertama), (Yogyakarta: FH UII Press, 2014), hlm 62.
10 Xxxxxx Xxxxxxxxx,Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan (Bagian Pertama), op. cit., hlm 62.
dalam lapangan hukum kekayaan saja, seperti yang dimaksud oleh Buku III KUHPerdata11
Berkaitan dengan pengertian perjanjian, Xxxxxxxxxxx memberikan pengembangan pengertian itu melalui ketentuan Nieuw Burgerlijk Wetboek (NBW), sebagai berikut: Bahwa suatu perjanjian (obligatoire overeenkomst) adalah suatu perbuatan hukum (rechtshandeling) yang terbentuk dari dua unsur, kehendak dan pernyataan (will en verkaling) (Pasal 3:33 NBW).12
Ada tiga tahap dalam membuat perjanjian menurut teori baru, yaitu:13
1. Tahap pracontractual;
2. Tahap contractual;
3. Tahap post contractual.
Berdasarkan dari beberapa pengertian perjanjian diatas, dapat disimpulkan pengertian perjanjian, yaitu perjanjian merupakan hubungan hukum antara dua belah pihak atau lebih dengan mempertemukan kehendak mencapai suatu kesepakatan untuk mencapai tujuan tertentu.
B. Unsur-Unsur Perjanjian
Sistem hukum kontrak yang berlaku di Indonesia memiliki beberapa unsur perjanjian yang dapat diklasifikasikan dalam tiga klasifikasi, yiatu unsur essensialia,
11 J. Satrio, Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya), (Bandung: Citra Xxxxxx Xxxxx, 1992), hlm 23.
12 H.P. Xxxxxxxxxx, Penyalahgunaan Keadaan sebagai Alasan (Baru) untuk Pembatalan Perjanjian , op. cit., hlm 12.
13 Xxxxx XX, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), op. cip., hlm 161.
unsur naturilia, dan unsur accidentialia.14 Namun beberapa sarjana membagi dua klasifikasi secara umum yaitu, yaitu unsur essensialia dan bukan essesnsialia. Unsur yang bukan essensialia termasuk di dalamnya unsur naturalia dan unsur accidentalia.
1. Unsur Essentialia
Unsur essentialia adalah unsur yang harus ada di dalam suatu perjanjian. Unsur ini merupakan sifat yang harus ada dalam perjanjian. Sifat ini yang menentukan atau mengakibatkan suatu perjanjian tercipta (constructieve oordeel). Tanpa adanya unsur ini, maka tidak ada perjanjian. Misalnya di dalam perjanjian jual beli, unsur adanya barang dan harga barang adalah yang mutlak ada di dalam perjanjian sewa-menyewa adalah kenikmatan atas suatu barang dan harga sewa.15 Contoh lain tentang „sebab yang halal‟, merupakan essentialia akan adanya perjanjian. Dalam perjanjian riil, syarat penyerahan objek perjanjian merupakan unsur essensialia.16
Unsur essentialia ini pada umumnya dipergunakan dalam memberikan rumusan, definisi atau pengertian dari suatu perjanjian. Unsur essentialia ini juga seharusnya menjadi pembeda antara suatu perjanjian dengan perjanjian lainnya. Semua perjanjian yang disebut dengan perjanjian bernama yang diatur dalam KUHPerdata mempunyai unsur essentialia yang berbeda satu dengan yang lainnya,
14 Xxxxxx Xxxxxxxxx,Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan (Bagian Pertama), op. cit., hlm 66.
15 Ibid
16 I Xxxxx Xxx Xxxxxxxx, Hukum Perikatan (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hlm 44.
dan karenanya memiliki karakteristik tersendiri, yang berbeda satu dengan yang lainnya.17
2. Unsur Naturalia
Unsur naturilia adalah unsur perjanjian yang oleh hukum diatur tetapi dapat dikesampingkan oleh para pihak. Bagian ini merupakan sifat alami (natuur) perjanjian secara diam-diam melekat pada perjanjian, seperti penjual wajib menanggung biaya penyerahan. Ketentuan ini berdasar kesepakatan dapat dikesampingkan para pihak.18
Misalnya, kewajiban penjual menanggung biaya penyerahan atau kewajiban pembeli menanggung biaya pengambilan. Hal ini diatur dalam Pasal 1476 KUHPerdata:19
“Biaya penyerahan dipikul oleh si penjual, sedangkan biaya pengambilan dipikul oleh si pembeli”
Anak kalimat dari pasal tersebut menunjukkan bahwa undang-undang (hukum) mengatur berupa kebolehan bagi pihak (penjual dan pembeli) menentukan kewajiban mereka berbeda dengan yang disebutkan dalam undang-undang itu. Begitu juga kewajiban si penjual menjamin (vrijwaren) aman hukum dan cacat tersembunyi
17 Xxxxxxx Xxxxxxx, Xxxxxxx Xxxxxxx, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta: Rajawali Press, 2014), hlm 86.
18 Xxxxxx Xxxxxxxxx, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan (Bagian Pertama), op. cit., hlm 66.
19 I Xxxxx Xxx Xxxxxxxx, Hukum Perikatan, op. cit., hlm 44.
kepada si pembeli atas barang yang dijualnya itu. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 1491 KUHPerdata.20
3. Unsur Accindentalia
Unsur Accindentalia adalah unsur yang merupakan sifat pada perjanjian yang secara tegas diperjanjikan oleh para pihak dan undang-undang sendiri tidak mengaturnya. Misalnya, di dalam suatu perjanjian jual-beli tanah, ditentukan bahwa jual-beli ini tidak meliputi pohon atau tanaman yang berada di atasnya.21
Lebih lanjut dijelaskan oleh Xxxxxx Xxxxxxxxx bahwa adanya kesepakatan akan melahirkan kontrak. Kesepakatan tersebut mengandung dua unsur utama, yaitu penawaran dan penerimaan. Penawaran adalah suatu pernyataan kehendak dari pihak yang satu mengenai kehendaknya untuk melakukan suatu kewajiban dengan syarat- syarat tertentu. Pernyataan kehendak itu dibuat dengan maksud agar ada penerimaan (acceptance) dari syarat-syarat itu oleh pihak lainnya (offeree), dan offeror akan terikat untuk melaksanakan kewajibannya.22
Penawaran merupakan janji atau komitmen untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan pada masa yang akan datang. Penawaran ini adalah manifestasi keinginan untuk mengadakan suatu tawar menawar (bargain) kepada
20 Ibid
21 Xxxxxx Xxxxxxxxx, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan (Bagian Pertama), op. cit., hlm 67.
22 Ibid, hlm 68
pihak lainnya. Dan suatu penawaran aka valid apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:23
1. Penawaran harus serius, ada maksud yang secara objektif untuk terikat terhadap penawaran;
2. Isi penawaran harus tertentu dan rasional; dan
3. Penawaran harus disampaikan kepada pihak yang akan menerima penawaran.
Unsur yang kedua yaitu penerimaan (acceptance). Tanpa adanya penerimaan, tidak ada kontrak. Penerimaan dapat didefinisikan sebagai kesepakatan akhir dari offeree terhadap persyaratan penawaran. Penerimaan dapat dilakukan dengan cara tertentu. Penerimaan dapat dilakukan secara tegas (eksplisit) atau dilakukan secara tidak langsung yang dapat ditafsirkan dari perbuatan atau perilaku (implisit) offeree.24
C. Asas Hukum Perjanjian
Asas hukum mempunyai arti penting dalam hukum. Setiap hubungan hukum dalam masyarakat didasarkan pada asas-asas hukum. Asas hukum merupakan pengejahwantahan dari nilai-nilai yang ada dalam suatu masyarakat.25 Dalam perjalanan pembentukan asas hukum perjanjian, pengaruh paham individualisme dapat ditemukan sebagai karakteristik hukum perjanjian, baik di BW (lama) dari tahun 1838 maupun BW tahun 1992, yakni dalam tematika kebebasan, persamaan,
23 Ibid.
24 Ibid.
25 Xxxx Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx, Sistem Penemuan Hukum dalam Masyarakat Prismatik, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hlm 90.
dan keterikatan kontraktual (vrijheid, gelijkheid, en contractuele gebondenheid). Pada gilirannya tematika tersebut melandasi asas-asas hukum lainnya. Dari sekian banyak asas hukum yang ada, fokus perhatian dalam pembahasan ini terletak pada asas hukum perjanjian.26
Asas-asas perjanjian sangatlah perlu dikaji untuk lebih mudah memahami berbagai ketentuan undang-undang mengenai sahnya suatu perjanjian. Suatu perkembangan yang terjadi terhadap suatu ketentuan undang-undang akan lebih mudah dipahami setelah mengetahui asas-asas yang berkaitan dengan persoalan tersebut.27
Xxxxxxxxxxx menjelaskan hubungan fungsional antara asas-asas hukum dengan peraturan-peraturan hukum (rechtsregel), sebagai berikut:28
1. Asas-asas hukum berfunsi sebagai pembangun-pembangun sistem. Karena asas- asas itu bukan hanya mempengaruhi hukum positif tetapi juga di dalam banyak keadaan menciptakan suatu sistem. Suatu sistem tidak akan ada, tanpa adanya asas-asas itu.
2. Asas-asas hukum itu membentuk satu sama lain suatu sistem check and balans, asas-asas sering menunjuk ke arah yang berlawanan, apa yang kiranya merupakan rintangan bagi peraturan-peraturan hukum, di sini adalah merupakan berkat. Oleh
26 Xxxxxxx Xxxxxxx, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia, op. cit., hlm 94.
27 H.P. Xxxxxxxxxx, Penyalahgunaan Keadaan sebagai Alasan (Baru) untuk Pembatalan Perjanjian , op. cit., hlm 9.
28 Ibid.
karena menunjuk ke arah yang berlawanan asas-asas itu saling kekang mengekang dan dengan demikian seimbang.
Demikikan dalam hukum perjanjian juga mengenal beberapa asas penting, yang merupakan dasar kehendak pihak-pihak dalam mencapai tujuan. Beberapa asas tersebut adalah sebagai berikut:
1. Asas Konsensualisme
Asas ini berkaitan dengan terjadinya atau lahirnya perxxxxxxx. Terjadinya perjanjian itu karena adanya konsensus.29 dapat disimpulkan dalam pasal 1320 ayat
(1) KUHPerdata yang berbunyi: “salah satu syarat sahnya perjanjian adalah kesepakatan kedua belah pihak.” Ini mengandung makna, bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kedua belah pihak.30
Dengan demikian, maka jelaslah bahwa suatu kesepakatan lisan saja, yang telah tercapai antara para pihak yang membuat atau mengadakan perjanjian telah membuat perjanjian tersebut sah dan mengikat bagi para pihak.31
Terjadinya perjanjian berbeda dengan sahnya perjanjian. Terjadinya perjanjian apabila telah ada kesepakatan antara para pihak, sedangkan sahnya perjanjian apabila telah memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana disebutkan
hlm 97
29 Xxxx Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx, Sistem Penemuan Hukum dalam Masyarakat Prismatik, op. cit,
30 Xxxxx XX, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), op. cit., hlm 157.
31 Xxxxxxx Xxxxxxx, Xxxxxxx Xxxxxxx, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, op.cit., hlm 36.
dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu: (1) kesepakatan; (2) kecakapan pihak-pihak pembuat perjanjian; (3) objek tertentu; dan (4) sebab/kausa yang halal.32
Xxxx konsensualitas adalah ketentuan umum yang melahirkan perxxxxxxx xxxxxxxxxx. Sebagai pengecualian dikenallah perjanjian formil dan riil, oleh karena dalam kedua jenis perjanjian yang disebut terakhir ini, kesepakatan saja belum mengikat pada pihak yang berjanji. Dalam perjanjian formil, formalitas diperlukan karena dua hal pokok yaitu, peralihan kebendahan (penyerahan hak milik kebendaan) harus dalam bentuk akta otentik atau akta bawah tangan (Pasal 613 dan Pasal 616 KUHPerdata) dan sifat dari perjanjian itu sendiri yang harus diketahui oleh umum, melalui mekanisme pengumuman kepada khalaak umum atau masyarakat, misal perjanjian yang bertujuan mendirikan suatu badan hukum.33
Begitu juga dengan perjanjian riil, maka suatu tindakan atau perbuatan diisyaratkan karena sifat dari perjanjian itu sendiri yang masih memerlukan tindak lanjut dari salah satu pihak dalam perjanjian, agar syarat kesepakatan bagi lahirnya perjanjian perjanjian tersebut menjadi ada demi hukum, misal perjanjian hibah.34
2. Asas Kebebasan Berkontrak.
Setiap orang bebas mengadakan perjanjian apa saja, baik yang sudah diatur atau belum diatur dalam undang-undang. Namun kemudian kebebasan tersebut dibatasi oleh tiga hal yaitu tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan
hlm 97.
32 Xxxx Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx, Sistem Penemuan Hukum dalam Masyarakat Prismatik, op. cit,
33 Xxxxxxx Xxxxxxx, Xxxxxxx Xxxxxxx, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, op.cit., hlm 38.
34 Ibid, hlm 43.
dengan ketertiban umum, tidak bertentangan dengan kesusilaan. Asas kebebasan berkontrak ini dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi:
“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”
Adanya kebebasan untuk sepakat tentang apa saja dan dengan siapa saja merupakan hal yang sangat penting. Sebab itu pula, asas kebebasan berkontrak dicakupkan sebagai bagian dari hak-hak kebebasan manusia. Kebebasan berkontrak sebegitu pentingnya, baik bagi individu dalam konteks kemungkinan pengembang diri dalam kehidupan pribadi maupun dalam lalu lintas kehidupan kemasyarakatan, serta untuk menguasai atau memiliki harta kekayaannya.35
Untuk mencapai tujuan asas kebebasan berkontrak, para pihak yang mengadakan perjanjian harus memiliki posisi tawar yang seimbang. Kebebasan berkontrak sebenarnya akan eksis jika para pihak di dalam kontrak memiliki keseimbangan secara ekonomi dan sosial. Namun dalam kenyataannya, tidak selalu para pihak memiliki posisi tawar yang seimbang, sehingga dapat merugikan pihak yang memiliki posisi tawar yang lemah. Doktrin hukum kontrak klasik memang memiliki perhatian yang sangat sedikit terhadap adanya ketidakseimbangan posisi tawar para pihak dalam kontrak. Bagi doktrin ini, kebebasan berkontrak berarti orang dapat memilih apa yang dia inginkan melalui adanya kesepakatan bersama (mutual
35 Xxxxxxx Xxxxxxx, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, op. cit., hlm 32.
agreement). Lahirnya pandangan tersebut dikarenakan dianut asumsi bahwa posisi tawar para pihak dalam kontrak adalah sejajar.36
3. Asas pacta sunt servanda (kekuatan mengikatnya perjanjian)
Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Hal ini dapat disimpulkan dalam pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi: “Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang.”37 Para pihak harus melaksanakan apa yang disepakati sehingga perjanjian itu berlaku sebagai undang-undang. Ini berarti bahwa kedua belah pihak wajib menaati dan melaksankan perjanjian.38
Merupakan konsekuensi logis dari ketentuan Pasal 1233 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa setiap perikatan dapat lahir dari undang-undang maupun karena perjanjian. Jadi perjanjian adalah sumber dari perikatan. Sebagai perikatan yang dibuat dengan sengaja, atas kehendak para pihak secara sukarela, maka segala sesuatu yang telah disepakati, disetujui oleh para pihak harus dilaksanakan oleh para pihak sebagaimana telah dikehendaki oleh mereka. Dalam hal salah satu pihak tidak melaksanakannya, maka pihak lain dalam perjanjian berhak untuk memaksakan pelaksanaannya melalui mekanisme dan jalur hukum yang berlaku.39
Jika asas kebebasan berkontrak dan asas pacta sunt servanda dipegang teguh maka dapat berpotensi melahirkan ketidakadilan dalam kontrak. Dari sinilah
36 Xxxxxx Xxxxxxxxx, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hlm 32
37 Xxxxx XX, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), op. cit., hlm 158.
38 Xxxx Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx, Sistem Penemuan Hukum dalam Masyarakat Prismatik, op. cit,
hlm 105.
39 Xxxxxxx Xxxxxxx, Xxxxxxx Xxxxxxx, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, op.cit., hlm 59
kemudian lahir adanya pembatasan kebebasan berkontrak dan pembatasan kekuatan mengikatnya perjanjian baik melalui peraturan perundang-undangan maupun melalui pengadilan. Salah satu instrumen hukum yang membatasi kedua asas tersebut, yaitu itikad baik.40
4. Asas Itikad Baik
Xxxxxx Xxxxxxxxx menambahakan satu asas yang dianggap penting dan saling berkaitan antar satu sama lain dari ketiga asas perjanjian yang dijelaskan sebelumnya, asas tersebut adalah asas itikad baik. Asas itikad baik menjadi salah satu instrumen hukum membatasi kebebasan berkontrak dan kekuatan mengikatnya perjanjian. Dalam hukum kontrak, itikad baik memiliki tiga fungsi, pertama semua kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan itikad baik. Kedua, fungsi menambah (aanvullende werking van de goede trouw). Dengan fungsi ini, hakim dapat menambah isi perjanjian dan menambah kata-kata peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perjanjian itu. Fungsi ketiga adalah fungsi membatasi dan meniadakan (beperkende en derogerende werking van de goede trouw). Dengan fungsi ini hakim dapat mengesampingkan isi perjanjian atau peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan perjanjian jika terjadi perubahan keadaan.41
Asas itikad baik ini termuat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menyatakan, bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Dengan
40 Xxxxxx Xxxxxxxxx, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, op. cit., hlm 33.
41 Ibid.
demikian yang perlu diperhatikan bahwa Pasal ini berbicara tentang itikad baik pada pelaksanaan suatu perjanjian, jadi setelah perjanjian itu ada.42
Akan tetapi, menurut Xxxxxx Xxxxxxxxx, itikad baik juga ada pada tahap pra kontrak, itikad baik pra kontrak tersebut dalam bentuk kewajiban untuk memberitahukan atau menjelaskan dan meneliti fakta material bagi para pihak yang berkaitan dengan pokok yang dinegosiasikan itu.43
Xxxxxxx Xxxxxxx juga menambahkan satu asas dalam hukum perjanjian, yaitu asas keseimbangan. Asas keseimbangan adalah suatu asas yang dimaksudkan untuk menyelaraskan pranata-pranata hukum dan asas-asas pokok hukum perjanjian yang dikenal dalam KUHPerdata yang mendasarkan pemikiran dan latar belakang individualisme pada satu pihak dan cara pikir bangsa Indonesia pada lain pihak.44
Berbeda dengan uraian di atas, Xxxxxxxxxxx mengajukan 3 jenis asas-asas perjanjian, sebagai berikut:45
1. asas otonomi, yaitu adanya kewenangan mengadakan hubungan hukum, yang mereka pilih di antara mereka (asas kemauan yang bebas);
2. asas kepercayaan, yaitu adanya kepercayaan yang ditimbulkan dalam perjanjian itu, yang perlu dilindungi (asas melindungi pihak beritikad baik)
42 J. Satrio, Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya), op. cit., hlm 365.
43 Xxxxxx Xxxxxxxxx, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hlm 252.
44 Xxxxxxx Xxxxxxx, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, op. cit., hlm 33.
45 H.P. Xxxxxxxxxx, Penyalahgunaan Keadaan sebagai Alasan (Baru) untuk Pembatalan Perjanjian , op. cit., hlm 10.
3. asas kausa, yaitu adanya saling ketergantungan di dalam suatu cara dan tujuan sehubungan dengan adanya perikatan yang timbul karena perjanjian (asas keterikatan (ketergantungan) bagi suatu perikatan untuk tunduk pada rechtsregel (peraturan hukum) yang telah ada, mekipun ada kebebasan berkontrak.
Di asas-asas tersebut di atas, di dalam Lokakarya Hukum Perikatan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dari tanggal 17 sampai dengan tanggal 19 Desember 1985 telah berhasil dirumuskan delapan asas hukum perikatan nasional. Kedelapan asas itu: asas kepercayaan, asas persamaan hukum, asas keseimbangan, asas kepastian hukum, asas moral, asas kepatutan, asas kebiasaan, dan asas perlindungan.46
D. Syarat Sahnya Perjanjian
Keabsahan suatu perjanjian merupakan hal terpenting dalam mencapai kepastian dan perlindungan hukum bagi para pihak, oleh karena itu perjanjian yang dilakukan oleh dua belah pihak atau lebih harus tersebut memenuhi beberapa syarat yang sudah diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. Suatu hal tertentu;
d. Suatu sebab yang halal.
46 Xxxxx XX, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), op. cit., hlm 158.
Pasal 1320 ini, merupakan pasal yang sangat populer karena menerangkan tentang syarat yang harus dipenuhi untuk lahirnya suatu perjanjian. Syarat tersebut baik mengenai pihak yang membuat perjanjian atau biasa disebut syarat subjektif maupun syarat mengenai perjanjian itu sendiri (isi perjanjian) atau yang biasa disebut syarat objektif.47
Unsur subjektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian. Sedangkan unsur objektif meliputi keberadaan dari dari pokok persoaln objek yang diperjanjikan, dan causa dari objek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut hukum. Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap unsur subjektif), maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya unsur objektif), dengan pengertian bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya.48
a. Sepakat Para Pihak
Sebagai wujud terjadinya suatu perjanjian maka perlu adanya kesepakatan dari kedua belah pihak yang akan melakukan perjanjian. Kesepakatan tersebut
47 Xxxxxx Xxxx, Xxxxx Xxxx, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, (Jakarta: Rajawali Press, 2011) hlm 3.
48 Xxxxxxx Xxxxxxx, Xxxxxxx Xxxxxxx, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, op.cit., hlm 94.
berangkat dari kehendak masing-masing para pihak. Oleh karenanya, pernyataan kehendak dari para pihak diperlukan untuk mencapai kesepakatan.
Pernyataan kehendak tersebut harus merupakan pernyataan, bahwa ia mengehndaki timbulnya hubungan hukum. Dengan demikian adanya kesesuaian kehendak saja antara dua orang, belum melahirkan suatu perjanjian, karena kehendak itu harus diutarakan, harus nyata bagi yang lain, dan harus dapat dimengerti oleh pihak lain.49
Baru kemudian jika kehendak yang satu diaktakan/ditujukan kepada pihak lain dan olee pihak lain menyatakan menerima/menyetujuinya, baru timbul suatu sepakat. Bahkan yang penting bukan kehendak batin seseorang, tetapi kehendak yang dinyatakan kepada pihak lain –menurut keadaan dan kebiasaan– sebagai pernyataan kehendak lawan janjinya. Pernyataan kehendak tersebut –sepakat– harus merupakan perwujudan kehendak yang bebas tanpa paksaan (ketakutan), kesesatan atau penipuan.50
Kehendak itu dinyatakan atau dengan perkataan lain harus ada pernyataan kehendak. Pernyataan kehendak tersebut harus ditujukan kepada pihak yang lain (lawan janjinya). Namun dalam beberapa kondisi, pernyataan kehendak tesebut tidak sempurna, dalam arti, bahwa yang dinyatakan hanyalah hal-hal pokok saja; karenanya undang-undang memberikan ketentuan-ketentuan yang bersifat menambah (aanvullend), yang gunanya untuk mengisi kekurangan-kekurangan/kekosongan-
49 J. Satrio, Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya), op. cit., hlm 129.
50 Ibid. hlm 130
kekosongan dalam perjanjian para pihak. Dengan demikian ada hal-hal yang walaupun tidak secara tegas-tegas dinyatakan –misalnya kewajiban untuk menjamin (vrijwaren)– oleh undang-undang dianggap sebagai seakan-akan telah dinyatakan (disepakati) oleh para pihak (atau salah satu pihak).51
Jadi, walaupun para pihak tidak menyatakan apa-apa tentang hal tersebut – bahkan tidak tahu tentang hal-hal tersebut dan karenanya juga tidak mempunyai kehendak apa-apa tentang hal tersebut– tetap saja para pihak dianggap sebagai menyatakannya. Dengan demikian juga ada pernyataan yang isinya ditentukan oleh undang-undang.52
Salah satu pihak dalam perjanjian dapat menyampaikan terlebih dahulu suatu bentuk pernyataan mengenai apa yang dikehendaki oleh pihak tersebut dengan segala macam persyaratan yang mungkin dan diperkenankan oleh hukum untuk disepakati oleh para pihak. Pernyataan yang disampaikan tersebut dikenal dengan nama “penwaran”. Jadi penawaran itu berisikan kehendak dari salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian, yang disampaikan kepada lawan pihaknya, untuk memperoleh persetujuan dari lawan pihaknya tersebut. Dalam hal pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran menerima penawaran yang diberikan, maka tercapailah kesepakatan tersebut. Sedangkan jika pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran tidak menyetujui penawaran yang disampaikan tersebut, maka ia dapat mengajukan penawaran balik, yang memuat ketentuan-ketentuan yang dianggap
51 Ibid, hlm 131.
52 Ibid.
dapat dipenuhi atau yang sesuai dengan kehendaknya yang dapat dilaksanakan dan diterima olehnya. Dalam hal yang demikian maka kesepakatan belum tercapai. Keadaan tawar menawar ini akan terus berlanjut hingga pada akhirnya kedua belah pihak mencapai kesepakatan mengenai hal-hal yang harus dipenuhi dan dilaksankan oleh para pihak dalam perjanjian tersebut. Saat penerimaan yang paling akhir dari serangkaian penawaran atau bahkan tawar menawar yang disampaikan dan dimajukan oleh para pihak, adalah saat tercapainya kesepakatan.53
Suatu penawaran dan penerimaan adalah tindakan hukum sepihak. Dapat dibayangkan bahwa untuk terjadinya perjumpaan atau persesuaian kehendak, maka satu pihak mengajukan yang oleh pihak lainnya diterima. Beranjak dari penggambaran ini, suatu perjanjian terbentuk karena terjadinya dua tindakan hukum sepihak berturut-turut; penawaran yang dilakukan oleh satu pihak dan disusul dengan penerimaan oleh pihak lainnya. Kendati demikian, KUHPerdata tidak mendefinisikan apa yang dimaksudkan dengan penawaran dan penerimaan. Penawaran tidak lain adalah usulan yang disampaikan kepada pihak lainnya untuk membuat perjanjian. Usulan tersebut bentuknya sedemikian rupa sehingga ketika usulan tersebut diterima akan timbul perjanjian.54
Pada prinsipnya apa dan bagaimana penawaran disampaikan tidak terikat pada syarat atau bentuk tertentu. Hanya saja yang perlu diperhatikan adalah kehendak atau niat yang belum diwujudnyatakan tidak dapat menimbulkan akibat hukum apapun.
53 Xxxxxxx Xxxxxxx, Xxxxxxx Xxxxxxx, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, op. cit., hlm 96.
54 Xxxxxxx Xxxxxxx, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, op. cit., hlm 93.
Baru jika kehendak atau niatan tersebut telah dinyatakan atau dengan satu dan cara lain diwujudnyatakan, suatu akibat hukum dapat ditimbulkan darinya.55
Berkaitan dengan pernyataan kehendak ini, pada dasarnya KUHPerdata tidak menyebutkan atau mengatur bentuk pernyataan kehendak, kecuali untuk perjanjian atau kontrak formal yang mensyaratkan kontrak harus dituangkan dalam bentuk tertentu (tertulis) seperti perjanjian perdamaian (dading).56
Persesuaian pernyataan kehendak melalui adanya penawaran dan penerimaan secara prinsip sudah menimbulkan kesepakatan, namun hal itu dapat dikatakan demikian dalam kondisi umum yaitu ketika para pihak bertatap muka langsung pada suatu tempat. Namun sehubungan dengan aktivitas perekonomian yang semakin maju, pernyataan kehendak juga berkembang, tawar menawar dilakukan dalam jarak jauh dengan berbagai macam perantara komunikasi misalnya pernyataan kehendak dari masing-masing pihak melalui alat elektronik. Hal ini kemudian menjadi pertanyaan tentang kapan terjadinya perxxxxxxx, sebab perihal lahirnya perjanjian sangat penting untuk diketahui.
Pentingnya penentuan terjadinya kesepakatan atau lahirnya perjanjian ini berkaitan dengan ajaran risiko dan kemungkinan diberlakukannya undang-undang
55 Ibid, hlm 94.
56 Xxxxxx Xxxxxxxxx, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan (Bagian Pertama), op. cit., hlm 170
baru.57 J Satrio58 memberikan arti pentingnya momen lahirnya perjanjian ini dengan beberapa alasan, yaitu:
1) Faktor risiko,
2) Kesempatan penarikan kembali penawaran,
3) Saat mulai dihitungnya jangka waktu kadaluwarsa,
4) Menentukan tempat terjadinya perjanjian.
Untuk mengatasi pentingnya penentuan moment lahirnya kesepakatan ini, para pakar hukum Perdata menggunakan beberapa teori berusaha menjawab persoalan ini, teori-teori tersebut adalah:59
1) Teori pernyataan (uitingstheorie): teori pernyataan ini mengajarkan bahwa suatu penerimaan terjadi, apabila penerimaan dinyatakan tertulis dalam suatu surat. Maka pada saat itu pernyataan kehendak penawaran bertemu dengan penerimaan.
Kelemahan yang melekat pada teori ini adalah orang tidak dapat mengetahui secara pasti kapan perxxxxxan telah lahir karena sulit diketahui dan sulit dibuktikan kapan surat jawaban tersebut ditulis.
2) Teori pengiriman (verzentheorie): teori ini menyatakan bahwa perxxxxxan lahir pada saat pengiriman jawaban penerimaan dikirimkan, misal melalui
57 Xxxxxxx Xxxxxxx, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, op. cit., hlm 96.
58 J. Satrio, Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya), op. cit., hlm 180
59 Xxxxxx Xxxxxxxxx, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan (Bagian Pertama), op. cit., hlm 173-175.
cap pos, atau melalui e-mail. Teori pernyataan dan teori pengiriman ini dapat diterima atas dasar kepatutan.
3) Teori pengetahuan (vernemingstheorie): teori ini menyatakan bahwa perxxxxxan telah lahir jika surat jawaban mengenai penerimaan tersebut isinya telah diketahui isinya oleh orang yang melakukan penawaran. Kelemahan teori ini jika penerima surat jawaban tidak membukanya (misal dalam bentuk email) dan juga adanya kesulitan menentukan waktu yang pasti kapan pihak penerima itu menerima dan membaca surat jawabannya.
4) Xxxxx Xxxxx: menyatakan bahwa perxxxxxxxxxxxx lahir pada saat orang yang mengirimkan jawaban secara patut boleh mempersangkakan (menganggap) bahwa pihak penerima jawaban mengerti jawaban itu. Xxxxxxxan teori ini adalah tidak memperhitungkan secara faktual si penerima mengetahui isi jawaban, hanya berangkat dari persangkaan saja.
5) Teori Penerimaan (ontvangstheorie): teori ini menyatakan terjadinya perjanjian pada saat diterimanya jawaban atas penawaran dengan tidak memperhatikan apakah dalam kenyataannya surat tersebut dibuka atau tidak dibuka, artinya yang penting surat sudah sampai ke alamat yang bersangkutan. Xxxxxxxan dari teori ini ketika surat itu tercecer dan tidak pernah sampai kepada si penerima.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diringkas bahwa untuk memenuhi salah satu syarat sah perjanjian yaitu kesepakatan, berangkat dari kehendak para pihak melalui
tawar menawar. Pernyataan kehendak dengan tawar menawar ketika muncul persesuaian maka ada penerimaan dari pihak yang lain. Dengan kehendak penawaran dan kehendak penerimaan bertemu maka lahirlah sebuah kesepakatan jika hal ini dalam satu majelis, namun jika terdapat tawar menawar yang melahirkan penerimaan dalam jarak jauh antar para pihak (beda tempat atau waktu) maka hal ini dapat dijawab melalui teori-teori yang sudah dijelaskan di atas.
Pernyataan kehendak oleh para pihak harus dalam keadaan bebas, jika tidak demikian maka akan melahirkan cacat kehendak yang akan dibahas pada sub bab khusus tentang cacat kehendak.
b. Cakap
Kecakapan seorang merupakan standar yang diatur dalam melakukan sebuah perjanjian, hal ini dinilai penting karena dengan cakapnya seseorang maka juga telah dianggap matang (baik dalam berpikir maupun bertindak) dan diberi „kebebasan‟ dalam menentukan atau menjalin sebuah hubungan hukum.
Kecakapan dalam melakukan perjanjian sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1320 tersebut dijelaskan kemudian dalam Pasal 1329 KUHPerdata yang berbunyi:
“setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap”
Orang-orang yang tak cakap dimaksud di atas disebutkan dalam Pasal selanjutnya yaitu Pasal 1330 KUHPerdata yang berbunyi:
“tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah:
1) Orang-orang yang belum dewasa;
2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
3) Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang- undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.”
Dari kata “membuat” perikatan dan perjanjian, dapat disimpulkan bahwa disana ada unsur “niat” (sengaja) dan yang demikian itu memang cocok untuk “perjanjian”, yang merupakan tindakan hukum. Apalagi karena unsur tersebut dicantumkan sebagai unsur sahnya perjanjian, maka tak mungkin tertuju kepada perikatan yang timbul karena undang-undang. Karena perikatan-perikatan dalam suatu perjanjian tak mungkin dikatakan, bahwa orang tersebut mengikatkan diri pada suatu perikatan, sehingga lebih tepat kalau di sana dimaksudkan, “mengikatkan diri pada suatu perjanjian”, atau dengan kata lain, mengikatkan diri pada perjanjian yang melahirkan sekelompok perikatan-perikatan, yang membentuk perjanjian yang bersangkutan.60
Kecakapan merupakan ketentuan umum, sedangkan ketidakcakapan merupakan pengecualian darinya. Terminologi yang digunakan undang-undang, kecakapan (bekwaamheid) dan ketidakcakapan (onbekwaamheid) harus dimaknai secara berbeda dari arti umum yang diberikan padanya dalam pergaulan sehari-hari dan juga tidak merujuk pada sifat alamiah seseorang.61
60 J. Satrio, Hukum Perjanjian (Perjanjian pada Umumnya), op. cit., hlm 274.
61 Xxxxxxx Xxxxxxx, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, op. cit., hlm 103.
Tidak cakap menurut hukum adalah mereka yang oleh undang-undang dilarang melakukan tindakan hukum, terlepas dari apakah secara faktual ia mampu memahami konsekuensi tindakan-tindakannya. Mereka yang dianggap tidak cakap adalah orang belum dewasa atau anak-anak di bawah umur (minderjarig) dan mereka yang ditempatkan di bawah pengampuan (curatele). Mereka ini semua, tanpa seizin wakil, yakni orang tua atau wali mereka menurut perundang-undangan , dinyatakan tidak dapat melakukan tindakan hukum terkecuali melalui lembaga perwakilan.62
Kriteria tentang orang-orang yang belum dewasa ditentukan dalam Pasal 330 KUHPerdata menyatakan, bahwa mereka yang belum genap berumur 21 tahun dan tidak telah menikah adalah belum dewasa. Secara contrario dapat disimpulkan bahwa dewasa adalah mereka:63
1) Telah berumur 21 tahun;
2) Telah menikah, termasuk mereka yang belum berusia 21 tahun, tetapi telah menikah.64
3) Dan orang-orang dewasa adalah orang-orang yang pada asasnya cakap untuk bertindak.
Berdasarkan Buku I Pasal 330 KUHPerdata, seseorang dianggap dewasa jika diat telah berusia 21 tahun atau telah menikah. Dengan demikian juga, dapat
62 Ibid.
63 J. Satrio, Hukum Perjanjian (Perjanjian pada Umumnya), op. cit., hlm 277.
64 Penentuan dewasa bagi yang telah menikah juga memberikan konsekuensi hukum bahwa seorang anak yang sudah menikah tetapi kemudian perkawinannya dibubarkan sebelum ia genap 21 tahun tetap dianggap telah dewasa. Xxxxx Xxxxxxx Xxxxxxx, Xxxxxxx Xxxxxxx, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta: Rajawali Press, 2014), hlm 130. Lihat juga J. Satrio, Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya), (Bandung: Citra Xxxxxx Xxxxx, 1992), hlm 278.
disimpulkan bahwa hukum perjanjian Indonesia tidak menentukan batasan umur untuk menentukan kedewasaan. Batasan umur sebagai tolok ukur kedewasaan tersebut diatur dalam hukum perorangan atau hukum keluarga.65
Kemudian belakangan, pengaturan mengenai batas kedewasaan juga ditemukan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. sekalipun undang- undang tersebut diberi judul Undang-Undang Perkawinan, tetapi di dalamnya sebenarnya diatur hukum keluarga. Sekalipun tidak secara tegas mengatur “umur dewasa” berdasar Undang-Undang Perkawinan.66 Dalam rumusan Pasal 50 Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa:
(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.
(2) Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.
Meskipun tidak secara tegas diatur tentang umur dewasa di dalam Pasal 50 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di atas, namun dapat ditarik kesimpulan bahwa ukuran dewasa seorang anak ketika sudah mencapai umur 18 tahun atau telah melangsungkan perkawinan.
Maka dengan adanya ketentuan umur dewasa 18 tahun atau telah menikah tersebut, menggantikan berlakunya ketentuan serupa dalam KUHPerdata yang menetukan usia 21 tahun untuk menentukan saat kedewasaan seseorang. Dengan
65 Xxxxxx Xxxxxxxx, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan (Bagian Pertama), op. cit., hlm 177.
66 Ibid.
demikian, setelah berlakunya Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, kecakapan bertindak orang pribadi dan kewenangannya untuk melakukan tindakan hukum ditentukan ketika seseorang:67
1. Telah berumur 18 tahun; atau
2. Telah menikah;
3. Sudah menikah tetapi kemudian perkawinannya dibubarkan sebelum ia genap berusia 21 tahun.
Selain dari batasan usia di atas, ketidakcakapan juga bisa terjadi karena undang-undang menetapkan larangan membuat perjanjian tertentu, seperti disebutkan dalam Pasal 1467 KUHPerdata, yang menyatakan larangan jual beli dengan suami istri, Pasal 1601i KUHPerdata menetapkan larangan membuat perjanjian perburuhan antara suami istri, dan Xxxxx 1678 KUHPerdata mengenai larangan penghibahan antara suami istri. Mengenai ketidakcakapan subjek hukum dalam melakukan perjanjian seperti yang telah diuraikan di atas dapat dibedakan menjadi:68
1) Ketidakcakapan untuk bertindak (handeling onbekwaamheid), yaitu orang-orang yang sama sekali tidak dapat membuat suatu perbuatan hukum yang sah. Orang- orang ini yang disebutkan Pasal 1330 KUHPerdata (beserta uraiannya di atas).
2) Ketidakberwenangan untuk bertindak (handeling onbevoegheid), yaitu orang yang tidak dapat membuat suatu perbuatan hukum tertentu dengan sah. Orang-
67 Xxxxxxx Xxxxxxx, Xxxxxxx Xxxxxxx, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, op. cit., hlm
131.
68 I Xxxxx Xxx Xxxxxxxx, Hukum Perikatan, op. cit., hlm 66.
orang ini seperti yang disebutkan dalam Pasal 1467, 1601i, dan 1678 KUHPerdata.
c. Suatu hal tertentu
Syarat ketiga dari suatu perjanjian haruslah memenuhi “hal tertentu”, maksudnya adalah suatu perjanjian haruslah memiliki objek (bepaald onderwerp) tertentu yang sekurang-kurangnya dapat ditentukan.69 Ketentuan diatur dalam Pasal 1333 KUHPerdata yang berbunyi:
“suatu persetujuan harus mempunyai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu tekemudian dapat ditentukan atau dihitung”
Jika undang-undang berbicara tentang “objek perjanjian” (het onderwrep der overeenkomst), kadang yang dimaksudkan ialah “pokok perikatan” (het voorwerp der verbintenis) atau prestasi dan kadang juga diartikan sebagai “pokok prestasi” (het voorwerp der prestatie).70
Sebagaimana disebutkan di dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yang dimaksud dengan “suatu hal tertentu” tidak lain adalah apa yang menjadi kewajiban dari debitor dan apa yang menjadi hak dari kreditor. Assar-Rutten menyatakan bahwa “suatu hal tertentu” sebagai objek perjanjian dapat diartikan sebagai keseluruhan hak
69 Ibid, hlm 67.
70 Xxxxxxx Xxxxxxx, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, op. cit., hlm 107.
dan kewajiban yang timbul dari perjanjian.71 Atau sederhananya yang dimaksud “suatu hal tertentu” ini adalah prestasi dari suatu perjanjian.
Menurut tradisi, untuk sahnya suatu perjanjian, maka objek perjanjian haruslah:72
1. Dapat ditentukan;
2. Dapat diperdagangkan (diperbolehkan);
3. Mungkin dilakukan; dan
4. Dapat dinilai dengan uang.
Berangkat dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan “suatu hal tertentu” dalam suatu perjanjian, suatu pokok untuk mana diadakan suatu perjanjian. Ditinjau dari kreditor dan debitor, “hal tertentu” tidak lain merupakan isi daripada perikatan utama, yaitu prestasi pokok dari perikatan utama, yang muncul dari perjanjian tersebut.73
Apapun jenis perikatannya, baik itu perikatan untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu, KUHPerdata hendak menjelaskan, bahwa semua jenis periaktan tersebut pasti melibatkan keberadaan atau eksistensi dari suatu kebendaan yang tertentu.74
Pada perikatan untuk untuk memberikan sesuatu, kebendaan yang akan diserahkan berdasarkan suatu perikatan tertentu tersebut haruslah sesuatu yang telah
71 Ibid.
72 Ibid.
73 J. Satrio, Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya), op. cit., hlm 296.
74 Xxxxxxx Xxxxxxx, Xxxxxxx Xxxxxxx, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, op. cit., hlm.
155.
ditentukan secara pasti. Dalam jual beli misalnya, setiap kesepakatan antara penjual dan pembeli mengenai kebendaan yang dijual atau dibeli harus telah ditentukan terlebih dahulu kebendaanya.75
Pada perikatan untuk melakukan sesuatu, dalam pandangan KUHPerdata, hal yang wajib dilakukan oleh salah satu pihak dalam perikatan tersebut (debitor) pastilah berhubungan dengan suatu kebendaan tertentu, baik itu berupa kebendaan berwujud maupun dalam kebendaan tidak berwujud.76 Misalnya di dalam kontrak kerja jasa konstruksi, pihak penyedia jasa memiliki prestasi untuk membangun bangunan dimaksud dalam Rencana Kerja dan Syarat-Syarat (RKS). Prestasinya tertentu, misalnya berupa luas bangunan yang harus ia bangun, misal 20.000 meter persegi dengan spesifikasi yang dimaksud dalam RKS.77
d. Suatu sebab yang halal
Syarat keempat mengenai suatu sebab yang halal, ini juga merupakan syarat tentang isi perjanjian. Kata halal di sini bukan dengan maksud untuk memperlawankan dengan kata haram dalam hukum Islam, tetapi dimaksudkan di sini adalah bahwa isi perjanjian tersebut tidak dapat bertentangan dengan undang-undang kesusilaan dan ketertiban umum.78
75 Ibid, hlm 156.
76 Ibid, hlm 156.
77 Xxxxxx Xxxxxxxx, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan (Bagian Pertama), op. cit., hlm 187
78 J. Satrio, Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya), op. cit., hlm 296.
Sebab yang halal diatur dalam Pasal 1335 hingga Pasal 1337 KUHPerdata.
Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan bahwa:
“Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah memunyai kekuatan”
KUHPerdata tidak memberikan pengertian atau definisi dari “sebab” yang dimaksud dalam Pasal 1320 KUHPerdata.79 Padahal ketentuan mengenai apa yang disebut sebagai kausa sangat penting, karena ia merupakan syarat untuk absahnya perjanjian dan sehubungan dengan itu, dapat dipakai sebagai pegangan untuk mengontrol perjanjian-perjanjian, termasuk pula untuk menentukan kapan perjanjian tidak mengandung kausa, kapan ada kausa yang palsu, kausa yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.80
Sekalipun dari kata-kata undang-undang saja kita belum mengetahui apa yang dimaksud dengan kausa, tetapi para sarjana sepakat, bahwa kausa disini bukan merupakan “sebab” dalam arti sebagai lawan dari “akibat”. Kausa dalam arti yuridis tidak ada sangkut pautnya dengan ajaran kausa dalam ilmu alam. Hal tersebut sudah nyata dari ketidakmngkinan adanya pembedaan antara kausa yang halal dan kausa yang terlarang dalam ilmu alam, apalagi dikenal ada perjanjian tanpa kausa.81
79 Xxxxxxx Xxxxxxx, Xxxxxxx Xxxxxxx, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, op. cit., hlm.
161.
80 J Satrio, Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya), op. cit., hlm 306
81 Ibid
Sementara itu, Xxxxxxx Xxxxxxx dan Xxxxxxx Xxxxxxx menjelaskan apa yang disebut dengan sebab yang halal dijelaskan dalam dalam Pasal 1335 KUHPerdata,yaitu:82
1) Bukan tanpa sebab;
2) Bukan sebab yang palsu;
3) Bukan sebab yang terlarang.
Kausa yang palsu dapat terjadi jika suatu kausa yang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya atau kausa yang disimulasikan. Kemungkinan juga telah terjadi kekeliruan terhadap kausanya. Dengan demikian, yang penting adalah bukan apa yang dinyatakan sebagai kausa, melainkan apa yang menjadi kausa yang sebenarnya.83
Jadi di samping, bahwa isi perjanjian harus tertentu atau setidak-tidaknya dapat ditentukan, isinya juga harus halal (tidak terlarang), sebab isi perjanjian itu lah yang akan dilaksanakan. Mereka mengadakan perjanjian dengan maksud untuk melaksankan isi perjanjian tersebut dan berdasarkan Pasal 1320 jo. Pasal 1337 isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.84
82 Xxxxxxx Xxxxxxx, Xxxxxxx Xxxxxxx, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, op. cit., hlm.
161.
83 Xxxxxxx Xxxxxxx, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Kenotariatan, op. cit., hlm 112
84 J. Satrio, Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya), op. cit, hlm 306
E. Cacat Kehendak
Cacat kehendak (wilsgebreken atau defect if consent) adalah kecacatan dalam pembentukan kata sepakat dalam suatu kontrak atau perjanjian. Cacat kehendak dapat diartikan secara sederhana yaitu tidak sempurnanya kata sepakat. Apabila kesepakatan mengandung cacat kehendak, maka nampak terjadi kesepakatan namun kesepakatan tersebut tidak dibentuk berdasar kehendak bebas. Cacat kehendak ini terjadi pada periode atau fase prakontrak.85
Kesepakatan di dalam pembentukan suatu perjanjian seharusnya merupakan kesepakatan yang bulat dan merupakan kesepakatan yang saling menguntungkan. Dalam praktiknya, seringkali kesepakatan itu merupakan hasil dari paksaan, penipuan, kekeliruan, atau penyalahgunaan keadaan. kesepakatan yang terjadi karena adanya salah satu unsur tersebut disebut dengan kesepakatan yang mengandung cacat kehendak.86
Menurut doktrin dan yurisprudensi ternyata perjanjian-perjanjian yang mengandung cacat seperti itu tetap mengikat para pihak, hanya saja, atas tuntutan dari pihak yang merasa telah memberikan pernyataan yang mengandung cacat tersebut, perjanjian itu dapat dibatalkan.87
85 Xxxxxx Xxxxxxxx, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan (Bagian Pertama), op. cit., hlm 217.
86 Ibid, hlm 217.
87 J. Satrio, Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya), op. cit., hlm 188.
Cacat kehendak dalam (wilsgebreke) dalam kesepakatan terjadi jika terdapat keadaan yang tidak normal, dalam arti terdapat unsur-unsur kekeliruan/kesesatan (dwaling), kekerasan/paksaan (berdreiging, dwang), dan penipuan (bedrog) dalam proses terjadinya kesepakatan yang dilakukan oleh satu atau lebih pihak yang membuat kontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1322 sampai dengan Pasal 1328 KUHPerdata. Selain itu, juga terdapat unsur penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) yang belum diatur secara normatif dalam KUHPerdata, tetapi berkembang dalam doktrin hukum dan yurisprudensi.88 Beberapa bentuk cacat kehendak tersebut akan dijabarkan di bawah ini:
1. Kekeliruan/Kesesatan (Dwaling)
Masalah kehilafan (baca: kekeliruan) diatur dalam Pasal 1322 KUHPerdata yang bunyinya sebagai berikut:
“kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian, kecuali jika kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok perjanjian.
Kekhilafan tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai dirinya orang dengan seseorang bermaksud untuk membuat perjanjian, kecuali jika perjanjian itu dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut”
88 Xxxxxxxx Xxxxxxxxxx, Hukum Kontrak Memahami Kontrak dalam Perspektif Filsafat, Teori, Dogmatik dan Praktik Hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan), (Bandung: CV Mandar Maju, 2012), hlm 117.
Ada dua hal pokok dan prinsipil dari rumusan Pasal 1322 KUHPerdata yang dapat dikemukakan:
1. Kekhilafan bukanlah alasan untuk membatalkan perjanian;
2. Ada dua hal yang dapat menyebabkan alasan pembatalan perjanjian karena kekhilafan mengenai:
a. Hakikat kebendaan yang menjadi pokok perjanjian tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya;
b. Orang terhadap siapa suatu perjanjian hanya akan dibuat.
Membuat kekeliruan adalah manusiawi. Namun, tidak setiap kekeliruan akan relevan bagi hukum. Di dalam praktik jual beli dapat terjadi kekeliruan prihal harga, jumlah, mutu, atau jenis dari benda-benda tertentu yang diperjual belikan. Sebagai aturan pokok, hukum menetapkan bahwa akibat kekeliruan yang terjadi harus ditanggung oleh dan menjadi risiko pihak yang membuatnya. Undang-undang hanya memberikan peluang sempit bagi hukum untuk mengoreksi kesesatan/kekeliruan yang telah terjadi.89
Kekeliruan yang sebenarnya (elgenlijke dwaling) merujuk pada situasi kehendak dan pernyataan satu sama lain berkesesuaian, tetapi kehendak salah satu pihak atau dari keduanya terbentuk secara cacat. Jadi, sekalipun perjanjian telah terbentuk, perjanjian tersebut tetap dapat dibatalkan. Ihwalnya ialah karena dalam hal perjanjian terbentuk di bawah pengaruh kekeliruan/kesesatan, sedangkan bilamana
89 Xxxxxxx Xxxxxxx, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, op. cit., hlm 99.
kekeliruan tersebut diketahui sebelumnya, tidak akan terbentuk perjanjian, maka sepatutnya perjanjian demikian dapat dibatalkan. Di luar hal tersebut, undang-undang tidak akan menerima alasan adanya kekeliruan tentang situasi atau fakta sebelum dibentuknya perjanjian.90
Menurut X Xxxxxx, ada beberapa macam kesesatan:91
a. Kesesatan dalam motif
Kemungkinan terjadi bahwa kesesatan timbul, karena kehendaknya muncul atas dasar motif yang keliru, sedang yang dimaksud dengan motif di sini adalah faktor yang pertama-tama –atau sebab yang paling jauh– yang menimbulkan adanya kehendak.
Hukum pada asasnya tidak memperhatikan motif seseorang. Apakah orang melakukan tindakan hukum tertentu dengan motif komersial atau atas dasar cinta kasih, tidak relevan bagi hukum. Demikian pula, kalau barang yang ia beli, atas dasar perkiraan bahwa akan sangat bermanfaat baginya, kemudian ternyata tidak.
b. Kesesatan Semu (Oneigelijke Dwaling)
Ciri yang paling utama dalam kesesatan semu adalah, bahwa pada kesesatan semu kehendak dan pernyataan kehendaknya tidak sama.
90 Ibid.
91 J. Satrio, Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya), op. cit., hlm 189.
Umpama saja orang yang dipaksa secara pisik untuk menandatangani suatu perjanjian, atau pernyataan dari orang gila, yang dalam hukum dianggap tidak mempunyai kehendak. Anak-anak dianggap belum sadar akan apa yang dikemukakan dan orang-orang tertentu dianggap memberikan pernyataan yang tak disadarkan atas kehendaknya, yaitu mereka yang sedang mabuk atau mereka yang mmberikan pernyataan secara guyon saja dan keseleo lidah.92
Dalam kasus-kasus seperti itu tidak lahir perjanjian, karena pada orang yang dipaksa (secara fisik) untuk menandatangani perjanjian tidak dapat dikatakan mempunyai kehendak, pada orang gila dianggap tidak mempunyai kehendak, pada orang yang mabuk atau di bawah pengaruh hipnotis dianggap tidak mempunyai kehendak yang normal dan tak tahu akibat dari perbuatannya, pokoknya salah satu sayarat untuk adanya perjanjian yaitu pertemuan kehendak yang dinyatakan tidak dipenuhi.93
c. Kesesatan yang sebenarnya (eigelijke dwaling)
Pada kesesatan yang sebenarnya, kehendak dan pernyataan sama/sesuai, karena di sini memang ada kehendak yang terbentuk oleh gambaran yang keliru dan pernyataannya justru sama dengan kehendaknya, karena kehendaknya
92 Ibid, hlm 190.
93 Ibid.
terpengaruh oleh kedaan yang tidak betul. Di sini memang ada sepakat, di sini memang lahir suatu perxxxxxxx dan perxxxxxan lahir justru karena ada yang sesat.94
2. Paksaan (Dwang)
Paksaaan sebagai alasan pembtalan perjanjian diatur dalam 5 Pasal, yaitu dari Pasal 1323 hingga Pasal 1327 KUHPerdata. Pasal 1232 KUPerdata membuka paksaan sebagai alasan pembatalan perjanjian, dengan menyatakan bahwa:
“Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang mengadakan suatu perjanjian mengakibatkan batalnya perjanjian yang bersangkutan, juga bila paksaan itu dilakukan oleh pihak ketiga, untuk kepentingan siapa perjanjian tersebut tidak telah dibuat”
Ketentuan Pasal 1232 KUHPerdata tersebut menunjukkan pada subjek yang melakukan pemaksaan, yang dalam hal ini dapat dilakukan oleh orang yang merupakan pihak dalam perjanjian, orang yang bukan pihak dalam perjanjian tetapi mempunyai kepentingan terhadap perjanjian tersebut, dan orang yang bukan pihak dalam perjanjian dan tidak memiliki kepentingan terhadap perjanjian yang dibuat tersebut. Hal yang terakhir ini sangat penting artinya bagi hukum, mengingat bahwa kenyataan menunjukkan banyak terjadinya pemaksaan yang dilakukan oleh “orang bayaran” atau “orang suruhan”, yang nota bene memang tidak memiliki kepentingan terhadap perjanjian yang dibuat dibawah paksaan atau ancaman tersebut.95
Selanjutnya ketentuan Pasal 1325 KUHPerdata menyatakan bahwa:
94 Ibid. hlm 192.
95 Xxxxxxx Xxxxxxx, Xxxxxxx Xxxxxxx, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, op. cit., hlm.
121.
“Paksaan menjadikan suatu perjanjian batal, bukan hanya bila dilakukan terhadap salah satu pihak yang membuat perjanjian, melainkan juga bila dilakukan terhadap suami atau isteri atau keluarganya dalam garis ke atas maupun ke bawah”
Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa subjek terhadap siapa paksaan dilakukanpun ternyata tidak hanya meliputi orang yang merupakan pihak dalam perjanjian, melainkan juga termasuk di dalamnya suami atau isteri dan keluarga mereka dalam garis keturunan ke atas maupun ke bawah. Dalam pandangan ini KHUPerdata melihat bahwa dalam keluarga kecil, termasuk garis keturunan ke atas dan ke bawah, masih memiliki ikatan psikologis yang sangat kuat. Dengan batasan yang demikian, maka meskipun paksaan atau ancaman dilakukan terhadap orang lain yang mungkin juga memiliki keterkaitan hubungan psikologis yang kuat, namun jika tidak termasuk dalam rumusan Pasal 1325 KUHPerdata, maka paksaan atau ancaman tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai alasan untuk membatalkan perjanjian yang telah dibuat di bawah paksaan atau ancaman tersebut.96
Ancaman harus berupa ancaman yang bertentangan dengan undang-undang, misalnya diancam dibunuh, diculik, dan lain-lain. Ancaman yang tidak bertentangan dengan undang-undang tidak dapat dianggap sebagai kekerasan/paksaan, misalnya akan digugat secara perdata ke pengadilan negeri. Ancaman berupa gugatan perdata
96 Ibid.
ke pengadilan negeri tidak dianggap sebagai ancaman yang mengakibatkan adanya unsur paksaan.97
Jika ketentuan Pasal 1323 dan Pasal 1325 KUHPerdata berbicara soal subjek yang dipaksa atau diancam, maka Pasal 1324 dan Pasal 1326 berbicara mengenai akibat paksaan atau ancaman yang dilakukan, yang dapat dijadikan sebagai alasan pembatalan perjanjian yang telah dibuat (di bawah paksaan atau ancaman tersebut). Kedua Pasal tersebut secara lengkap berbunyi sebagai berikut:98
Pasal 1324: Paksaan telah terjadi, bila perbuatan itu sedemikian rupa sehingga dapat menakutkan seseorang yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata.
Pasal 1326: ketakutan saja karena hormat kepada ayah, ibu atau sanak keluarga lain dalam garis ke atas, tanpa disertai kekerasan, tidak cukup untuk membatalkan perjanjian.
Jika dibaca rumusan Pasal 1324 dan Pasal 1326 KUHPerdata, dapat diketahui bahwa paksaan yang dimaksud dapat terwujud dalam dua bentuk kegiatan atau perbuatan. Perbuatan tersebut berupa:99
1. Paksaan fisik, dalam pengertian kekerasan;
97 Xxxxxxxx Xxxxxxxxxx, Hukum Kontrak Memahami Kontrak dalam Perspektif Filsafat, Teori, Dogmatik dan Praktik Hukum, op. cit., hlm 119.
98 Ibid, hlm 122
99 Ibid, hlm 123.
2. Paksaan psikis, yang dilakukan dalam bentuk ancaman psikologis atau kejiwaan.
Selain itu paksaan tersebut juga dapat mengenai dua hal, yaitu:
1. Jiwa dari subjek hukum seagaimana disebut dalam Pasal 1325 KUHPerdata;
2. Harta kekayaan dari pihak-pihak yang disebut dalam Psal 1325 KUHPerdata.
Sebagai Pasal terakhir yang mengatur mengenai paksaan sebagai alasan untuk membatalkan perjanjian, Pasal 1327 menyatakan bahwa:
“Pembatalan suatu perjanjian berdasarkan paksaan tidak dapat dituntut lagi, bila setelah paksaan berhenti, perjanjian itu dikuatkan, baik secara dinyatakan dengan tegas maupun secara diam-diam, atau jika seseorang melampaukan waktu yang ditentukan undang-undang untuk dapat dipulihkan seluruhnya ke keadaan sebelumnya”.
Ketentuan di atas pada dasarnya merupakan suatu bentuk konsekuensi logis dari rumusan Pasal 1321 KUHPerdata, yang meletakkan beban pembuktian pada pihak yang mengalami paksaan.
Dalam hal pihak yang mengalami paksaan, setelah paksaan berhenti kemudian menyetujuai untuk melakukan tindakan tersebut, baik secara langsung maupun dengan mengukuhkannya secara diam-diam dianggap telah melepaskan haknya untuk
meminta pembatalan tersebut. Satu hal yang menarik di sini adalah: “keadaan diam” setelah paksaan berhenti.100
Hal ini adalah berbeda dari persetujuan diam-diam (silent approval) yang dibahas sebelumnya adalah kurang tepat. Keadaan diam di sini menunjukkan pada suatu keadaan untuk tetap mengakui kesepakatan yang dianggap telah terjadi. Pasal 1321 KUHPerdata jo. Pasal 1865 KUHPerdata, mewajibkan pihak yang menyangkal terjadinya suatu hak, untuk membuktikannya. Dalam hal ini adalah ada tidaknya peristiwa paksaan tersebut, yang menyebabkan dia tidak dapat menyatakan kesepakatannya dengan bebas. Hal ini berbeda dari kontruksi persetujuan diam-diam, dimana sebenarnya belum ada kesepakatan sama sekali. Dalam banyak hal diam sama sekali tidak menunjukkan bahwa seseorang menyetujui suatu penawaran, kecuali jika ia selanjutnya melakukan tindakan yang mengisyaratkan bahwa ia menyetujui penawaran yang diajukan.101
3. Penipuan (Bedrog)
Jika seseorang sengaja dengan kehendak dan pengetahuan (willens en wetens) menimbulkan kesesatan pada orang lain, di sini dikatakan terjadi penipuan. Di samping itu, berdasarkan fakta yang sama, juga dapat dikatakan telah terjadi penyalahgunaan keadaan. penipuan dikatakan terjadi tidak saja jika suatu fakta tertentu dengan sengaja tidak diungkapkan atau disembunyikan, tetapi juga bilamana
100 Ibid, hlm 124.
101 Ibid.
suatu informasi secra keliru dengan sengaja diberikan ataupun terjadi dengan tipu daya lainnya. Dalam hal-hal tertentu, jika kesengajaan (opzet) tidak bersumber dari perbuatannya sendiri, pihak yang tertipu harus membuktikan adanya kesengajaan tersebut.102
Penipuan ini diatur dalam Pasal 1328 KUHPerdata yang berbunyi:
“penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan perjanjian, apabila tipu- muslihat, yang dipakai oleh salah satu pihak, adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu-muslihat tersebut.
“penipuan tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan”
Undang-undang sendiri tidak memberikan perumusan tentang apa yang dinamakan penipuan. Dalam hal ini, untuk mengetahui tentang penipuan itu maka perlu digambarkan tentang apa yang terjadi dalam hal orang menutup perjanjian di bawah pengaruh tipuan.103
Pihak yang menipu dengan daya akalnya, menanamkan suatu gambaran yang tidak benar tentang ciri objek perjanjian, sehingga pihak yang lain tergerak (atau mempunyai kehendak) untuk menutup perjanjian, yang merupakan pernyataan kehendaknya.104
102 Xxxxxxx Xxxxxxx, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, op. cit., hlm 99.
103 J. Satrio, Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya), op. cit., hlm 256.
104 Ibid.
Dalam hal ada penipuan, pihak yang ditipu, memang memberikan pernyataan yang sesuai dengan kehendaknya, tetapi kehendaknya itu, karena adanya daya tipu, sengaja diarahkan ke suatu yang bertentangan dengan kehendak yang sebenarnya, yang seandainya tak ada penipuan merupakan kehendaknya yang benar, jadi kehendaknya di sini kesasar, karena disasarkan. Dengan demikian di sini, seperti ada kesesatan, kehendak dan pernyataan kehendaknya sama, hanya dalam hal ada kesesatan, gambaran yang keliru sengaja ditanamkan oleh pihak yang satu melalui tipu muslihatnya kepada pihak yang lain.105
Penipuan yang muncul dalam pembentukan kata sepakat dapat lebih dipahami melalui Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi:
“barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, atau rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang tertentu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Dari ketentuan Pasal 378 KUHP di atas, R. Xxxxxxx menyampaikan bahwa ada beberapa unsur yang terdapat di dalam penipuan:106
1. Kejahatan ini dinamakan penipuan. Penipu itu melakukan tindakan:
105 Ibid.
106 R. Xxxxxxx, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1986), hlm 261. Dikutip dalam Xxxxxx Xxxxxxxx, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan (Bagian Pertama), (Yogyakarta: FH UII Pres, 2014), hlm 224.
a. Membujuk orang supaya memberikan barang, membuat utang atau menghapuskan piutang;
b. Maksud membujuk itu adalah hendak menggantungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak;
c. Membujuk itu dengan memakai:
1) Nama palsu;
2) Akal cerdik (tipu muslihat); atau
3) Karangan perkataan bohong.
2. “Membujuk” sama dengan kelicikan terhadap orang, sehingga oran itu menuruti berbuat sesuatu yang apabila mengetahui hal yang sebenarnya, dia tidak akan berbuat demikian.
“Nama palsu” berarti bukan namanya sendiri.
“Keadaan palsu” berarti misalnya mengaku dan bertindak sebagai agen polisi, pegawai negeri dan sebagainya, padahal sebenarnya dia bukan pejabat disebut tersebut.
“Akal cerdik” atau tipu muslihat berarti tipu yang demikian liciknya, sehingga seseorang yang berpikiran normal dapat tertipu.
Berdasarkan penjelasan di atas seseorang dapat dikualifikasikan melakukan penipuan apabila seseorang dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dengan melakukan salah satu upaya penipuan dengan menggerakkan orang lain untuk memberikan barang, membuat utang atau menghapuskan piutang.107
Oleh karena penipuan berhubungan dengan kesengajaan untuk mengelabui, maka beban pembuktian ada tidaknya kesengajaan menjadi sangat penting bagi pihak dalam perjanjian yang merasa telah ditipu.108 Dalam pembuktiannnya ini, J Satrio109 memberikan argumentasi untuk digunakan di depan hakim agar tuntutannya berhasil dengan sukses, yaitu:
a) Seandainya tidak ada penipuan, maka tidak mungkin menutup perjanjian tersebut, atau
b) Seandainya tidak ada penipuan, maka ia tidak menutup perjanjian tersebut dengan syarat-syarat seperti yang ada dalam perjanjian tersebut.
Perbedaan antara keduanya adalah, bahwa dalam kasus pertama, perjanjian tidak mungkin timbul, sedang dalam kasus yang kedua perjanjian tersebut mungkin
107 Xxxxxx Xxxxxxxx, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan (Bagian Pertama), op. cit., hlm 224.
108 Xxxxxxx Xxxxxxx, Xxxxxxx Xxxxxxx, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, op. cit., hlm.
126.
109 J. Satrio, Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya), op. cit., hlm 264.
saja timbul, tetapi tidak atas dasar syarat-syarat seperti yang ada di dalam perjanjian yang telah ditutupinya.110
4. Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik Van Omstandigheden)
Kebebasan berkontrak yang merupakan “ruh” dan “napas” sebuah kontrak atau perjanjian, secara implisit memberikan panduan bahwa dalam berkontrak pihak- pihak diasumsikan mempunyai kedudukan yang simbang.
Dengan demikian, diharapkan akan muncul kontrak yang adil dan seimbang bagi para pihak. Namun begitu, dalam praktik masih banyak ditemukan beberapa model standar kontrak serta kontrak-kontrak yang berpotensimengandung cacat kehendak, yakni penyalahgunaan keadaan, yang cenderung dianggap berat sebelah, tidak seimbang, dan tidak adil.111
Kontrak yang demikian sering kali diibaratkan sebagai pertarungan antara “Xxxxx melawan Goliath”,112 di mana dua kekuatan yang tidak seimbang saling berhadapan, antara pihak yang mempunyai bergaining position kuat (baik karena penguasaan modal/dana, tekologi, maupun skill-yang diposisikan sebagai Goliath)
110 Ibid.
111 Xxxxx Xxxxxxx, Kedudukan Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik Van Omstandigheden) dalam Hukum Perjanjian Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2016), hlm 51.
112 Kisah Xxxxx and Goliath adalah cerita yang menggambarkan sebuah kisah pertarungan palin terkenal sepanjang sejarah di mana terjadi pertarungan tidak seimbang antara raksasa bernama Xxxxxxx dan bocah gembala bernama Xxxxx (Xxxxx Xxxxxxx Xxxxxx, Xxxxx and Xxxxxxx Keitka Si Lemah Menang Melawan Raksasa, alih bahasa Xxx Xxxxxx, (Jakarta: Garamedia Pustaka Utama, 2014), hlm 3-7.)
dan pihak yang mempunyai bergaining position lemah (yang diposisikan sebagai Xxxxx).113
Dengan demikian, pihak yang lemah bergaining position-nya, yakni hanya sekedar menerima segala isi kontrak dengan terpaksa (taken for granted) sebab apabila ia mencoba menawar dengan alternatif lain kemungkinan besar akan menerima konsekuensi kehilangan apa yang dibutuhkan.114
Jadi, pada sisi kontrak yang tidak berimbang tersebut hanya ada dua alternatif pilihan bagi pihak yang lemah bergaining position-nya, yakni menerima atau menolak sehingga oleh hukum diragukan benar-benar ada elemen “kata sepakat” yang merupakan syarat sahnya kontrak dalam situasi-situasi tersebut.115
Di negara-negara common law, doktrin penyalahagunaan keadaan telah lama diterima. Doktrin ini dikenal dalam doktrin equity. Dalam Lloyds Bank Ltd v Bundy (1975) QB, xxxxx Xxxx Xxxxxxx MR mencoba menunjukkan bahwa penyalahgunaan keadaan bukan doktrin yang benar-benar berdiri sendiri. Doktrin ini sebenarnya merupakan perluasan dari power of equity bagi pengadilan untuk mengintervensi suatu perjanjian yang di dalamnya terdapat suatu penyalahgunaan posisi yang tidak seimbang diantara para pihak. Menurut Xxxxxx Xxxx, doktrin penyalahgunaan ini merupakan perluasan doktrin equity yang disebut equitable fraud.116
113 Xxxxx Xxxxxxx, Kedudukan Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik Van Omstandigheden) dalam Hukum Perjanjian Indonesia, op. cit., hlm 51.
114 Ibid.
115 Ibid.
116 Xxxxxx Xxxxxxxx, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan (Bagian Pertama), op. cit., hlm 227.
Penyalahgunaan keadaan dalam sistem common law merupakan doktrin yang menentukan pembatalan perjanjian yang dibuat berdasarkan tekanan yang tidak patut, tetapi tidak termasuk dalam kategori paksaan (durress).117
Terbentuknya ajaran penyalahgunaan keadaan disebabkan belum adanya (waktu itu) ketentuan Burgerlijk Wetboek (Belanda) yang mengatur hal itu. Di dalam hal seorang Hakim menemukan adanya keadaan yang bertentangan dengan kebiasaan maka sering ditemukan putusan Hakim yang membatalkan perjanjian itu untuk seluruhnya atau sebagian.118 Ada kemungkinan terjadi, bahwa suatu perjanjian tertentu pada waktu pembentukkannya mengandung cacat dalam kehendak, tetapi tidak dapat digolongkan dalam cacat kehendak yang sudah diatur sebelumnya (seperti dalam hal ada kesesatan, paksaan dan penipuan).119
KUHPerdata Indonesia sampai saat ini tidak mengatur mengenai penyalahgunaan keadaan. Penyalahgunaan keadaan sebagai salah satu syarat cacat kehendak berkembang, oleh karena perkembangan beberapa peristiwa hukum dalam hukum perjanjian. Istilah penyalahgunaan keadaan dalam hukum Indonesia merupakan padanan dari istilah van omstandigheden dan undue influence. Dalam sistem common law, selain undue influence dikenal pula unconscionability, yang keduanya berbeda, meskipun memiliki kesamaan yakni keduanya didasarkan pada adanya ketidakseimbangan posisi tawar para pihak. Bila perjanjian terbentuk atas
117 Ibid.
118 H.P. Xxxxxxxxxx, Penyalahgunaan Keadaan sebagai Alasan (Baru) untuk Pembatalan Perjanjian, op cit., hlm 49.
119 J. Satrio, Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya), op. cit., hlm 230.
dasar ketidakpatutan atau ketidakadilan yang terjadi pada suatu hubungan para pihak yang tidak seimbang, maka hal itu dinamakan undue influence (hubungan yang berat sebelah), namun bila ketidakadilan terjadi pada suatu keadaan, maka hal ini dinamakan unconscionability (keadaan yang tidak adil).120
Doktrin undue influence dipandang dari akibat ketidakseimbangan itu terhadap pemberian kesepakatan dari pihak yang dipengaruhi, sedang unconscio- nability dipandang dari kelakuan pihak yang kuat dalam usahanya memaksakanatau memanfaatkan transaksinya terhadap orang yang lemah, apakah sesuai dengan kepatutan.121
Dalam kasus undue influence harus ada suatu bentuk eksploitasi oleh salah satu pihak atas pihak yang lebih lemah. Penyalahgunaan kedaan terjadi apabila orang mengetahui atau seharusnya mengerti bahwa pihak lain karena suatu keadaan khusus seperti keadaan darurat, ketergantungan, tidak dapat berpikir panjang, kedaan psikologis atau tidak berpengalaman tergerak untuk melakukan suatu perbuatan hukum meskipun ia tahu atau seharusnya mengerti sebenarnya ia harus mencegahnya.122
Gejala “penyalahgunaan keadaan” dalam suatu perjanjian bukanlah merupakan gejala atau hal baru. Adanya unsur seperti ini dalam perjanjian sudah
120 Xxxxx Xxxxx, “Penyalahgunaan Keadaan dalam Transaksi Terapeutik di Rumah Sakit” Tesis, (Lampung: PPs Magister Hukum Universitas Lampung, 2015), hlm 40.
121 Ibid.
122 Ibid.
dikenal sejak lama; yang baru adalah bahwa ia diakui sebagai alasan tersendiri (untuk menuntut pembatalan perjanjian yang mengandung unsur penyalahgunaan keadaan tersebut).123
Xxx Xxxxx membedakan penyalahgunaan keadaan karena keunggulan ekonomis dan keunggulan kejiwaan, dengan uraian sebagai berikut:
a) Persayaratan-persyaratan untuk penyalahgunaan keunggulan ekonomis:
1. Satu pihak harus mempunyai keunggulan ekonomis terhadap yang lain.
2. Pihak lain terpaksa mengadakan perjanjian.
b) Persyaratan untuk adanya penyalahgunaan keunggulan kejiwaan:
1. Salah satu pihak menyalahgunakan ketergantungan relatif, seperti hubungan kepercayaan istimewa antara orang tua dan anak, suami istri, dokter pasien, endeta jemaat.
2. salah satu pihak menyalahgunakan keadaan jiwa yang istimewa dari pihak lawan, seperti adanya gangguan jiwa, tidak berpengalaman, gegabah, kurang pengetahuan, kondisi badan yang tidak baik, dan sebagainya.124
Berangkat dari dua jenis penyalahagunaan keadaan tersebut di atas, maka ada beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai ciri:125
123 Ibid.
124 H.P. Xxxxxxxxxx, Penyalahgunaan Keadaan sebagai Alasan (Baru) untuk Pembatalan Perjanjian, op. cit., hlm 52.
125 J. Satrio, Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya), op. cit., hlm 232.
1. pada waktu menutup perjanjian, salah satu pihak ada dalam keadaan yang terjepit,
2. karena keadaan ekonomis; kesulitan keuangan yang mendesak,
3. karena hubungan atasan-bawahan; keunggulan ekonomis pada salah satu pihak; hubungan majikan-buruh; orang tua/wali-anak belum dewasa,
4. karena keadaan, seperti pasien yang membutuhkan pertolongan dokter ahli,
5. perjanjian tersebut mengandung hubungan yang timpang dalam kewajiban timbal-balik antara para pihak (prestasi yang tak seimbang); pembebasan majikan dari resiko dan menggesernya menjadi tanggungan si buruh,
6. kerugian yang sangat besar bagi salah satu.
a. Tolok Ukur Penyalahgunaan Keadaan
Meskipun penyalahgunaan keadaan tergolong baru karena tidak diatur secara khusus dalam KUH Perdata, namun perlu adanya sebuah standar atau tolok ukur penyalahgunaan keadaan yang terjadi dalam sebuah perjanjian. Tolok ukur ini dapat disimpulkan dari yuisprudensi atau putusan-putusan hakim terdahulu tantang penyalahgunaan keadaan, namun tidak satu-satunya di yurisprudensi saja, doktrin dari hukum Belanda khususnya di NBW yang sudah mengadopsi penyalahgunaan keadaan juga sedikit banyak mempengaruhi para sarjana di Indonesia dalam merumuskan penyalahgunaan keadaan.
Mengenai bagaimana pengadilan Indonesia seharusnya mengukur ada atau tidak adanya bargaining power yang seimbang di antara para pihak dalam suatu
perjanjian, adalah antara lain Z. Xxxxxx Xxxxxxx Xxxxxxx yang telah menyarankan acuan dalam catatan yang diberikan olehnya mengenai putusan Mahkamah Agung tanggal 14 Maret 1987 No. 3431 K/Pdt/1985. Z. Xxxxxx Xxxxxxx Xxxxxxx lebih lanjut mengemukakan tentang tolok ukur penyalahgunaan keadaan atau penyalahgunaan kekuasaan ekonomi adalah untuk mencakup keadaan yang tidak dapat dimasukkan dalam itikad baik, patut, dan adil atau bertentangan dengan ketertiban umum sebagai pengertian klasik.126
Menurut Xxxxx Xxxx, ada tiga tolok ukur dalam Pasal 1337 yang dapat diambil dalam melihat adanya penyalahgunaan keadaan dalam sebuah perjanjian, pertama undang-undang (wet); kedua moral (goede zeden); ketiga ketertiban umum (openbare orde). Sedangkan menurut Pasal 1339 tolok ukurnya adalah kepatutan (bilijkheid). Kebiasaan (gebruik), dan undang-undang (wet). Jika digabungkan tolok ukur dari kedua pasal tersebut adalah, undang-undang, moral, ketertiban umum, kepatutan, dan kebiasaan.127 Bahkan lebih lanjut, Xxxxx Xxxx menambahkan tolok ukur lain dari KUH Perdata yang juga harus diperhatikan, yaitu itikad baik. Pasal 1338 ayat (3) menentukan bahwa perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Menurut Subekti, ketentuan ini mengandung pengertian bahwa hakim
126 Xxxxx Xxxx Xxxxxxxxx, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakara: Institut Bankir Indonesia, 1993), hlm 207.
127 Ibid, hlm 133.
diberikan kekuaaan untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian, jangan sampai pelaksanaan itu melanggar kepatutan atau keadilan.128
Adanya penyalahgunaan kekuasaan ekonomi dalam sebuah perjanjian biasanya akan terlihat dan tertuang dalam isi serta kalusul-kalausul perjanjian para pihak. Menurut Xxxxxxxx, indikator penyalahgunaan tersebut ialah:129
1) Adanya syarat-syarat yang diperjanjikan, yang sebenarnya tidak masuk akal atau tidak patut yang bertentangan dengan perikemanusiaan (onredelijke contractvoorwaarden).
2) Tampak atau ternyata pihak debitur berada dalam keadaan tertentu
3) Terdapat keadaan bagi debitur yang di mana tidak ada pilihan-pilihan lain, kecuali mengadakan kontrak dengan syarat-syarat memberatkan.
4) Xxxxx dari hasil kontrak tersebut sangat tidak seimbang, jika dibandingankan dengan prestasi timbal balik dari para pihak.
Ada tiga aspek dalam melihat indikator adanya penyalahgunaan dalam sebuah perjanjian menurut Xxxxx Xxxxxxx:130
1. Aspek Posisi Para Pihak pada Fase Kontraktual
Sumber kewajiban kontraktual, yaitu bertemunya kehendak (convergence of the wills) yang merupakan perwujudan kebebasan berkehendak (free will) para pihak yang membuat kontrak. Sebagai konsekuensi adanya penekanan
128 Ibid, hlm 134.
129 Xxxxx Xxxxxxx, Kedudukan Penyalahgunaan (Misbruik Van Omstandihheden) Keadaan dalam Hukum Perjanjian Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2016), hlm 64.
130 Ibid.
kebebasan berkontrak, kemudian dianut pula dogma bahwa kewajiban dalam kontrak hanya dapat diciptakan oleh maksud dan kehendak para pihak. Hal inilah yang menjadi dasar hukum kontrak yang kemudian mengikat dan harus segera dilaksanakan ketika tercapai kata sepakat. Dengan demikian, kebebasan berkontrak dalam teori kontrak klasik memegang dua gagasan utama, yakni kontrak didasarkan pada persetujuan dan kontrak sebagai produk kehendak (memilih) bebas.
Oleh karenanya posisi para pihak dalam mempertemukan kehendakanya harus seimbang. faktor yang menentukan tegaknya asas keseimbangan tidak hanya kesetaraan prestasi yang diperjanjikan oleh para pihak yang membuat kontrak, tetapi juga kesetaraan para pihak yang membuat kontrak tersebut, yang merefleksikan kehendak untuk mewujudkan keadilan pertukaran kepentingan ekonomi atas barang dan jasa yang diperjanjikan dalam kontrak.
2. Aspek Formulasi Perjanjian
Selain mempertimbangkan posisi dan keadaan para pihak sebelum melakukan perjanjian, hakim juga perlu meneliti dan memeriksa isi dan kalusul-klausul yang diperjanjikan oleh kedua belah pihak. Hal tersebut dikarenakan pengaruh ketidak seimbangan posisi salah satu pihak ketika akan menutup sebuah perjanjian tentu berkaitan dengan sikapnya dalam menyikapi keseluruhan isi kalusul perjanjian yang pada akhirnya disepakati.
Klausul kontrak atau kontrak yang berat sebelah (tidak seimbang) sering ditemui dalam perjanjian-perjanjian standar. Namun tidak harus ditafsirkan
bahwa setiap perjanjian yang merugikan pihak ekonomi lemah terjadi penyalahgunaan keadaan di dalamnya. Setiap kasus harus dilihat sendiri-sendiri atau secara parsial, apakah terdapat kedudukan terpaksa, tidak ada alternatif lain, atau perjanjian tersebut mempunyai sisi lain dan lain sebagainya. Oleh karena itu, tolok ukur dalam melihat penyalahgunaan keadaan tidak semata- mata hanya dengan membaca kontrak secara gramatikal, tetapi fokus perhatian juga harus ditujukan pada kesetaraan yang terkait dengan cara terbentuknya kontrakdan tidak pada hasil akhir dari prestasi yang dimaksud.
3. Aspek Moralitas
Aspek moralitas ini erat kaitannya dengan kepantasan dan kepatutan. Dalam hukum kontrak modern, moralitas menjelma menjadi kewajiban umum yang dikenal sebagai itikad baik.
Dalam menilai isi kontrak, hakim harus memperhatikan aspek moralitas yang di dalamnya terdapat nilai-nilai kepatutan. Setiap kontrak harus didasarkan pada pretium iustum yang mengacu pada reason dan equity yang mensyaratkan adanya keseimbangan antara kerugian dan keuntungan bagi kedua belah pihak dalam kontrak (just price). Hal tersebut sejalan dengan tujuan hukum itu sendiri, yakni merealisasikan keadilan.
F. Perjanjian Pinjam Meminjam Uang (Xxxxx Xxxxxxx)
Definisi perjanjian pinjam meminjam disebutkan dalam Pasal 1754 KUHPerdata, yaitu:
“Pinjam-meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula (Pasal 1754)
Salah satu kriteria dalam membedakan antara pinjam pakai dan pinjam meminjam adalah apakah barang yang dipinjamkan itu menghabis karena pemakaian atau tidak. Kalau barang yang dipinjamkan itu menghabis karena pemakaian, itu adalah pinjam meminjam. Dalam istilah “verbruik-lening” yaitu nama dalam bahasa Belanda untuk perjanjian pinjam meminjam ini, perkataan “verbruik” berasal dari “verbruiken” yang berarti menghabiskan. Dapat juga terjadi bahwa barang yang menghabis karena pemakaian, diberikan dalam pinjam-pakai, yaitu jika dikandung maksud bahwa ia hanya akan dipakai sebagai pajangan atau dipamerkan.131
Agar semakin jelas perbedaan antara perjanjian pinjam pakai dengan perjanjian pinjam meminjam, maka dibawah ini diuraikan beberapa kriteria perbedaan di antara pinjam pakai dengan pinjam meminjam:132
1. Pada persetujuan pinjam-meminjam, objek persetujuan boleh berupa barang yang habis dalam pemakaian yang dapat diganti dengan barang yang sejenis. Sedang pada perjanjian pinjam pakai objek persetujuan tidak boleh berupa barang yang habis terpakai. Maka konsekuensinya pada persetujuan pinjam-
131 Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: Citra Xxxxxx Xxxxx, 1995), hlm 125.
132 xxxx://xxx.xxxxxxxxxxxxx.xxx/0000/00/xxxxxxxxxx-xxxxxx-xxxxxxxx-xxxx.xxxx, diakses tanggal 10 Mei 2017.
meminjam, pengembalian barang boleh dilakukan dengan barang yang sejenis, keadaan dan jumlahnya, sedang pada pinjam pakai pengembalian barang kepada pihak yang meminjamkan harus dalam keadaan innatura.
2. Pada perjanjian pinjam-meminjam, resiko kerugian dan musnahnya barang yang dipinjam, sepenuhnya menjadi beban pihak peminjam. Sedang pada pinjam pakai, resiko musnahnya barang sepenuhnya berada pada pihak yang meminjamkan.
3. Pada pinjam-meminjam, si peminjam diwajibkan untuk membayar kontra prestasi atas pemakaian barang/uang yang dipinjam. Sedang pada pinjam pakai, pemakaian atas barang adalah secara cuma-cuma tanpa kontra prestasi.
4. Pada pinjam-meminjam, barang yang dipinjam langsung menjadi milik si peminjam, terhitung sejak saat penyerahan. Sedang pada pinjam pakai, barang yang dipinjam hanya untuk dipakai saja, sedang hak milik tetap dipegang oleh pihak yang meminjam.
Selanjutnya Pasal 1755 KUHPerdata menyatakan:
“Berdasarkan perjanjian pinjam meminjam itu, pihak yang menerima pinjaman menjadi pemilik dari barang yang dipinjam; dan jika barang itu musnah, dengan cara bagaimanapun, maka kemusnahan itu adalah atas tanggungannya”
Karena si peminjam diberikan kuasa untuk menghabiskan (memusnahkan) barang pinjaman tersebut, maka sudah setepatnya ia dijadikan pemilik barang itu.
Sebagai pemilik ini ia juga memikul segala resiko atas barang tersebut; dalam halnya pinjam uang, kemerosotan nilai uang itu.133
Dari uraian di atas dapat ditentukan objek perjanjian pinjam-meminjam dalam Pasal 1754 KUH Perdata tersebut berupa barang-barang yang habis karena pemakaian. Buah-buahan, minyak tanah, pupuk, cat, kapur merupakan barang-barang yang habis karena pemakaian. Uang dapat merupakan objek perjanjian utang piutang, karena termasuk barang yang habis karena pemakaian. Uang yang fungsinya sebagai alat tukar, akan habis karena dipakai berbelanja.134
Dengan demikian, perjanjian pinjam meminjam uang atau utang piutang termasuk perjanjian pinjam-meminjam. Lebih jelas lagi secara yuridis Pasal 1756 KUH Perdata mengatur tentang utang yang terjadi karena peminjaman uang, diatur dalam Bab Ketiga KUH Perdata, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari peraturan perjanjian pinjam-meminjam.135
Pihak yang meminjamkan akan mengembalikan barang yang dipinjam dalam jumlah yang sama dan keadaan yang sama pula. Jika uang yang dipinjam, maka peminjam harus mengembalikan uang dengan nilai yang sama dan uangnya dapat dibelanjakan.136
133 Subekti, Aneka Perjanjian, op. cit., hlm 126.
134 Gatot Supranomo, Perjanjian Xxxxx Xxxxxxx, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014), hlm 10.
135 Ibid, hlm 10.
136 Ibid.
1. Kewajiban Para Pihak
Dalam perjanjian yang bertimbal balik seperti perjanjian pinjam meminjam uang ini, hak dan kewajiban kreditor bertimbal balik dengan hak dan kewajiban debitor. Hak debitor di satu pihak merupakan kewajiban debitor di lain pihak. Begitu pula sebaliknya, kewajiban kreditor merupakan hak debitor.137
a. Kewajiban Kreditor
Perjanjian pinjam meminjam uang sebagaimana diatur dalam KUHPerdata, kewajiban-kewajiban kreditor tidak banyak diatur, pada pokoknya kreditor wajib menyerahkan uang yang dipinjamkan kepada debitor setelah terjadinya perjanjian. Selanjutnya, Pasal 1759 hingga Pasal 1761 KUHPerdata menentukan sebagai berikut:138
1) Uang yang telah diserahkan kepada debitor sebagai pinjaman. Sebelum lewat waktu yang ditentukan dalam perjanjian tidak dapat diminta kembali oleh kreditor.
2) Apabila dalam perjanjian pinjam meminjam uang tidak ditentukan jangka waktu, dan kreditor menuntut pengembalian utang, caranya dengan mengajukan gugatan perdata ke pengadilan, dan berdasarkan Pasal 1760 KUHPerdata hakim diberi kewenangan untuk menetapkan jangka waktu pengembalian uatang, dengan mempertimbangkan keadaan debitor serta memberi kelonggaran kepadanya untuk membayar utang.
137 Gatot Supranomo, Perjanjian Utang Piutang, op. cit, hlm 29.
138 Ibid.
3) Jika dalam perjanjian tersebut, ditentukan pihak debitor akan mengembalikan utang setelah ia mampu membayarnya, kreditor juga harus menuntut pengembalian utang melalui pengadilan, hakim telah mempertimbangkan keadaan debitor, akan menetukan waktu pengembalian tersebut (Pasal 1761 KUHPerdata)
b. Kewajiban Debitor
Kewajiban debitor dalam perjanjian pinjam meminjam uang sebenarnya tidak banyak, pada pokoknya mengembalikan utang dalam jumlah yang sama, disertai dengan pembayaran bunga yang telah diperjanjkan, dalam jangka waktu yang telah ditentukan (Pasal 1763 KUHPerdata)
Pembayaran utang tergantung perjanjiannya, ada yang diperjanjikan pembayarannya cukup sekali langsung lunas, biasanya jika utangnya tidak begitu besar nilainya. Adapun jika utangnya dalam jumlah besar seperti kredit bank, pada umumnya pembayaran utang dilakukan debitor secara mengangsur tiap bulan selama waktu yang telah diperjanjikan disertai dengan bunganya.139
Berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata, maka dalam perjanjian pinjam- meminjam ada 3 (tiga) poin yang sangat penting, yaitu:140
a. Berlakunya sebagai undang-undang
139 Ibid.
140 xxxx://xxx.xxxxxxxxxxxxx.xxx/0000/00/xxxxxxxxxx-xxxxxx-xxxxxxxx-xxxx.xxxx, diakses tanggal 10 Mei 2017.
Perjanjian pinjam-meminjam berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak, artinya mereka harus mematuhi perjanjian itu sama dengan mematuhi undang- undang. Oleh karena itu barang siapa melanggar perjanjian maka ia akan mendapat hukuman seperti yang ditetapkan dalam undang-undang.
Menurut undang-undang, pihak yang melanggar perjanjian harus membayar ganti kerugian (Pasal 1234 KUH Perdata), perjanjiannya dapat diputuskan/ontbinding (Pasal 1266 KUH Perdata), membayar biaya perkara itu jika sampai diperkarakan di muka hakim (Pasal 181 HIR).
Sebagai konsekuensi dari perjanjian pinjam-meminjam yang berlaku sebagai undang-undang tadi, maka para pihak harus memikul kewajibannya masing-masing.
b. Tidak dapat ditarik kembali secara sepihak
Oleh karena perjanjian pinjam-meminjam yang dibuat secara sah adalah mengikat atau berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak, maka akibatnya lahirlah ketentuan bahwa perjanjian tersebut tidak dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak saja. Jika ingin menarik kembali, atau membatalkan perjanjian itu harus memperoleh persetujuan dari pihak lainnya.
Dengan asas kepercayaan maka seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain menumbuhkan kepercayaan di antara kedua belah pihak itu bahwa satu sama lain akan memegang janjinya. Tanpa ada kepercayaan maka perjanjian itu tidak akan meungkin dilaksanakan oleh para pihak.
Dengan kepercayaan ini, kedua belah pihak mengikatkan dirinya dan untuk keduanya perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.
Sesuai perjanjian seperti halnya perjanjian pinjam-meminjam dapat ditarik kembali atau dibatalkan, asalkan sepakat kedua belah pihak dalam hal itu.
c. Pelaksanaan dengan itikad bak
Itikad baik di sini adalah bahwa perjanjian itu harus dilaksanakan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.
Menurut Xxxxx 1339 KUH Perdata, perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.
Pada dasarnya, pinjaman uang adalah persetujuan yang berbentuk bebas. Tapi, walaupun dia berbentuk bebas, terdapat juga pengecualian khusus mengenai besarnya bunga yang diperjanjikan.141
Jika dilihat dalam persoalan bunga ini, maka sudah banyak bentuk dan macamnya dari waktu ke waktu. Dalam sejarah romawi misalnya dikenal “centesima usura” atau 1% perbulan. Kemudian dirubah lagi menjadi “demida centima” atau 1.5 (satu setengah) % perbulan. Bahkan ada suatu lembaga masyarakat yang melarang bunga; seperti yang terdapat dalam ajaran Islam. Namun nyatanya, perkembangan masyarakat kapitalis telah meluaskan kaidah hukum tentang bunga; yaitu sah atau bolehnya menetapkan bunga berapapun besarnya, asalkan hal itu berdasarkan
141 Xxxxx Xxxxxxx, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986), hlm 302.
perjanjian. Barangkali kaidah inilah yang diikuti oleh hampir sebahagian yurisprudensi di Indonesia.142
Alasan masyarakat kapitalis merumuskan kaidah di atas didasarkan pada asas, “suatu yang telah diperjanjikan adalah merupakan kehendak yang diberikan dengan sukarela, setelah yang bersangkutan memperhitungkan segala untung ruginya, dan apa-apa yang telah disetujui dalam suatu perjanjian adalah merupakan undang- undang yang mengikat bagi mereka (pasal 1338).143
Pasal 1765 menyatakan bahwa adalah dierbolehkan memerjanjiakan bunga atas peminjaman uang atau lain barang yang menghabis karena pemakaian. Bunga yang diperjanjikan atas peminjaman beras atau gandum, lazimnya juga berupa beras atau gandum, meskipun tidak dilarang untuk menetapkan bunganya berupa uang.
Pembayaran bunga yang tidak telah diperjanjikan tidak mewajibkan si berutang untuk membayarnya seterusnya; tetapi bunga yang telah diperjanjikan harus dibayar sampai saat pengembalian atau penitipan uang-pokoknya, biarpun pengembalian atau penitipan ini dilakukan setelah lewatnya waktu utangnya dapat ditagih (Pasal 1766). Menurut Pasal ini, bunga yang terlanjur dibayar meskipun tidak ada perjanjian tentang bunga, dapat diminta kembali sekedar melebihi “bunga menurut undang-undang.144
Pada pokoknya, ada dua macam bunga yang diatur di dalam Pasal 1767 KUH Perdata, yaitu bungan menurut undang-undang yang dikenal dengan bunga moratoir,
142 Ibid, hlm 303.
143 Ibid.
144 Subekti, Aneka Perjanjian, op. cit., hlm 129.
dan bunga yang ditetapkan dalam perjanjian. Bunga moratoir besarnya ditetapkan dalam undang-undang, dan menurut Lembaran Negara Tahun 1948 No. 22 ditentukan besarnya tersebut 6% per tahun. Apabila dalam perjanjian pinjam meminjam uang pihak kreditor memperjanjikan bunga tetapi tidak ditentukan berapa besarnya, maka debitor diwajibkan oleh Pasal 1768 KUH Perdata untuk membayar bunga moratoir.145 Adapun bunga yang ditetapkan dalam perjanjian, pada prinsipnya Pasal 1767
ayat (2) KUH Perdata menentukan, boleh melampaui bunga menurut undang-undang dalam segala hal yang tidak dilarang oleh undang-undang. Pasal ini memberi kebebasan kepada para pihak untuk menentukan besarnya bunga, meskipun demikian bunga yang ditetapkan dalam perjanjian perlu diperhatikan dengan kemampuan debitor untuk membayar bunga maupun rasa keadilan.146
G. Perjanjian Pinjam Meminjam Uang dengan Bunga oleh Rentenir
Pinjam meminjam uang sudah banyak dilakukan di tengah masyarakat baik antar pelaku bisnis, bank dengan nasabah, maupun antara masayarakat yang satu dengan yang lainnya, tidak lain tujuannya untuk saling memenuhi kebutuhan. Dalam beberapa aktivitas perjanjian tersebut, muncul berbagai model atau bentuk pinjam meminjam uang dalam memperoleh keuntungan, bahkan keuntungan yang sangat besar. Kegiatan ini dikenal dengan istilah rentenir, yaitu model pinjaman yang diberikan kepada seorang (debitor) namun dengan bunga yang cukup tinggi.
145 Gatot Supranomo, Perjanjian Utang Piutang, op. cit, hlm 26.
146 Ibid, hlm 27.