KAJIAN HUKUM PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN TANPA DIDAFTARKAN PADA KANTOR PENCATATAN PERKAWINAN
KAJIAN HUKUM PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN TANPA DIDAFTARKAN PADA KANTOR PENCATATAN PERKAWINAN
TESIS
Oleh:
XXXXX XXXXXX PUTRI XXXXXXXX
NPM: 1920020024
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
MEDAN
2022
KAJIAN HUKUM PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN TANPA DIDAFTARKAN PADA KANTOR PENCATATAN PERKAWINAN
ABSTRAK
Xxxxx Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxx*
Perjanjian perkawinan hanya dapat dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan akan tetapi pasca keluarnya putusan MK, Pasal 29 UU Perkawinan ayat (1) penambahan frasa “…perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris”. Sebelum adanya putusan ini, pengesahan perjanjian perkawinan hanya dapat dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan. Akan tetapi pasca putusan MK, notaris juga diberikan kewenangan untuk mengesahkan perjanjian perkawinan.Tujuan penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan menganalisis tata cara pembuatan perjanjian perkawinan sebelum dan sesudah berlakunya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, serta menganalisis kepastian hukum perjanjian perkawinan yang tidak didaftarkan terhadap pasangan suami istri pada kantor pencatatan perkawinan, dan menganalisis perlindungan hukum terhadap harta suami dan/atau istri akibat perjanjian perkawinan tidak didaftarkan pada kantor pencatatan perkawinan.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian normatif, dengan menggunakan 2 metode pendekatan yaitu berupa pendekatan perundang-undangan dan metode pendekatan historis. Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, serta hasil penelitian menggunakan analisis kualitatif.
*Mahasiswa Program Pascasarjana Program Magister Kenotariatan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.
Hasil penelitian menunjukan bahwa Prosedur pencatatan perjanjian perkawinan yang dibuat selama perkawinan berlangsung pada akta perkawinan diatur dalam Surat Edaran yang dikeluarkan oleh Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Nomor: 472.2/5876/Dukcapil mengenai “Pencatatan Pelaporan Perjanjian Perkawinan” pada tanggal 19 Mei 2017. Kepastian hukum perjanjian perkawinan: sampai saat ini khusus terkait pencatatan pelaporan perjanjian perkawinan di Catatan Sipil, telah dikeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Departemen Dalam Negeri Nomor 472.2/5876/DUKCAPIL tanggal 19 Mei 2017 yang ditujukan kepada semua kepala dinas kependudukan dan catatan sipil (Dukcapil) Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia, yang mengatur bahwa Dukcapil sebagai instansi pelaksana atau Unit Pelaksana Teknis (UPT) dimana akan dibuat catatan pinggir pada register akta dan kutipan akta perkawinan, sedangkan atas akta perkawinan yang diterbitkan oleh Negara lain namun perjanjian perkawinannya dibuat di Indonesia, pelaporannya dibuat dalam bentuk surat keterangan. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk melindungi pihak-piahk atas perjanjian perkawinan yang dibuat pada masa perkawinan, diantaranya: (a) perjanjian perkawinan seharusnya dibuat dihadapan Notaris; (b) Perjanjian perkawinan harus dibuat dengan itikad baik para pihak; (c) Perjanjian perkawinian wajib dicatatkan oleh petugas pencatat perkawinan.Kata Kunci: Kajian Hukum, Perjanjian Perkawinan,Pencatatan PerkawinanABSTRACT
LEGAL STUDY OF MARRIAGE AGREEMENTS MADE AFTER MARRIAGE WITHOUT REGISTRATION AT THE MARRIAGE REGISTRATION OFFICE
Xxxxx Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxx*
Marriage agreements can only be made at or before the marriage takes place, but after the issuance of the Constitutional Court’s decision, Article 29 of the Marriage Law paragraph (1) adds the phrase “...a written agreement ratified by a marriage registrar or notary”. Prior to this decision, the ratification of the marriage agreement could only be carried out by the marriage registrar. However, after the Constitutional Court’s decision, the notary is also given the authority to ratify the marriage agreement. The purpose of this study was to determine and analyze the procedure for making a marriage agreement before and after the enactment of the Constitutional Court’s decision Number 69/PUU-XIII/2015, as well as analyzing the legal certainty of a marriage agreement that was not registered against a married couple at the marriage registration office, and analyzing protection the law on the assets of the husband and/or wife as a result of the marriage agreement is not registered at the marriage registration office.
This research uses a normative type of research, using 2 approach methods, namely in the form of a statutory approach and a historical approach. This research is descriptive analysis, and the results of the study use qualitative analysis.
The results showed that the procedure for recording marriage agreements made during the marriage took place on the marriage certificate was regulated in a Circular issued by the Ministry of Home Affairs of the Republic of Indonesia Directorate General of Population and Civil Registration Number: 472.2/5876/Dukcapil regarding “Recording of Marriage Agreement Reporting” on 19 May 2017. Legal certainty of marriage agreements: to date specifically regarding the recording of marriage agreement reporting in the Civil Registry, a Circular Letter of the Director General of Population and Civil Registry of the Ministry of Home Affairs Number 472.2/5876/DUKCAPIL dated 19 May 2017 has been issued which is addressed to all heads District/City Population and Civil Registry (Dukcapil) offices throughout Indonesia, which stipulates that Dukcapil as the implementing agency or Technical Implementing Unit (UPT) where marginal notes will be made on the register of marriage certificates and quotations of marriage certificates, while on marriage certificates issued issued by another country but the marriage agreement is made in Indonesia, the report is made in the form of a certificate. There are several ways that can be done to protect the parties from the marriage agreement made during the marriage period, including: (a) the marriage agreement should be made before a notary; (b) The marriage agreement must be made in good faith by the parties; (c) The marriage agreement must be registered by the marriage registrar.
Keywords: Legal Studies, Marriage Agreement, Marriage Registration
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat ALLAH SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya telah memberikan kesehatan, kekuatan kepada penulis sehingga mampu untuk menyelesaikan Tesis ini, judul : “KAJIAN HUKUM PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN TANPA DIDAFTARKAN PADA KANTOR PENCATATAN PERKAWINAN”. Dengan petunjuk-Nya, berbagai pihak berkenan memberikan bantuan, bimbingan, dan kemudahan bagi penulis selama mengikuti studi, demikian juga dalam proses bimbingan dan penyelesaian Tesis ini.
Kesempatan ini ingin penulis gunakan untuk menyatakan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak, khususnya, Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Direktur dan Pembantu Direktur Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Ketua dan Sekretaris bagian Magister Kenotariatan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti studi dan dalam upaya menyelesaikan studi pada Program S2 Magister Kenotariatan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.
Selanjutnya penulis sangat berterimakasih kepada Bapak Dr. T. Xxxxxxxxxxxxx, S.H., M.Hum. (Dosen Pembimbing I) yang telah memberikan bimbingan bimbingan dan meluangkan waktu dalam penyelesaian Tesis ini dan Bapak Dr. H. Xxxxxxxxxx, S.H., Sp., X.Xx. (Dosen Pembimbing II), sejak penyusunan proposal penelitian dan penulisan Tesis ini telah banyak memberikan saran, bimbingan dan nasihat sampai tahap akhir penulisan Tesis ini.
Penulis juga ucapkan terimakasih kepada dosen penguji, Dr. Xxxxx Xxxxx, S.H., X.Xx., Assoc. Prof. Dr. Xxx Xxxxxx, S.H., X.Xxx, Dr. Juli Moertiono. S.H., M.H., X.Xx serta Dr. Xxxxxx, S.H., M.H. yang telah banyak memberikan masukan dan saran dalam Tesis ini agar selesai dengan sempurna.
Demikian juga terimakasih penulis ucapkan berbagai pihak yang tidak terlepas dari bantuan dalam penyusunan tesis ini kepada:
Xxxxxxxx X. Xxxxxxxxxxx Xxxxxxxx dan ibunda Almh. Hj. Xxxxxxx Xxxxxxxx S.pd yang mengasuh, membesarkan, mendidik, memberi semangat, memberi kasih sayang dan cinta yang tiada ternilai serta memberikan do’a dan dukungan yang tiada henti baik moral maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis.
Kakak, Xxxxx dan Adik , Xxxx Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx, X.Xx., Xxxxx Xxxxxx, Xxxx Xxxxxxx Xxxxxxxx, Xxxx Xxxxxxx Xxxxx, Xxxxxx Xxxxxxxx Xxxxxxxx S.P.(Adik Tersayang) yang selalu memberikan semangat, dukungan dan juga do’anya dalam menyelesaikan Tesis.
Esmeralda Klarissa Lu, Kenzo Syahreza Lu, Daffin Sachuel Faeza Lu, Aksa Alfaro Pulungan keponakan yang memberikan semangat dalam menyelesaikan Tesis.
Kakanda dan adinda Program Magister Kenotariatan yang telah banyak membantu selama ini.
Renungan khidmat yang sedalam-dalamnya beserta doa penulis kehadirat Allah SWT kepada Ayahanda semoga senantiasa dalam keridhoan Allah SWT dan kepada Almh. Ibunda semoga ditempatkan disisi-Nya dengan sebaik-baiknya.
Kepada semua pihak yang telah berkenan memberikan jasa baiknya, penulis haturkan terimakasih dan penghargaan, semoga Allah SWT membalas amal kebajikan tersebut.
Medan, Maret 2022
Penulis
XXXXX XXXXXX PUTRI XXXXXXXX
1920020024
DAFTAR ISI
ABSTRAK i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 7
Tujuan Penelitian 7
Manfaat Penelitian 8
Xxxxxxxx Xxxxxxxxxx 9
Kerangka Teoritis dan Konseptual 10
Metode Penelitian 28
BAB II TATA CARA PEMBUATAN PERJANJIAN PERKAWINAN
SEBELUM DAN SESUDAH BERLAKUNYA PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015
Sebelum berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi No.
69/PUU-XIII/2015 34
Setelah berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi No.
69/PUU-XIII/2015 52
BAB III KEPASTIAN HUKUM PERJANJIAN PERKAWINAN YANG
TIDAK DIDAFTARKAN TERHADAP PASANGAN SUAMI ISTRI
PADA KANTOR PENCATATAN PERKAWINAN
Kepastian Hukum Perjanjian Perkawinan yang Tidak
Didaftarkan Terhadap Pasangan Suami Istri 68
Kepastian Hukum Perjanjian Perkawinan yang Tidak
Didaftarkan Terhadap Pihak Ketiga 109
BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HARTA SUAMI
DAN/ATAU ISTRI AKIBAT PERJANJIAN PERKAWINAN
TIDAK DIDAFTARKAN PADA KANTOR PENCATATAN
PERKAWINAN
Perlindungan Hukum Terhadap Harta Suami dan Istri 110
Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Ketiga 117
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan 124
Saran 126
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Manusia dalam hidupnya akan mengalami berbagai peristiwa hukum. Peristiwa hukum yang pasti dialami oleh manusia adalah kelahiran dan kematian, sedangkan peristiwa hukum lain yang pada umumnya juga dilalui manusia salah satunya adalah perkawinan. Perkawinan merupakan sebuah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa.1
1
Perkawinan merupakan ikatan yang suci yang terjalin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang didasarkan atas perasaan suka sama suka dan tidak ada paksaan serta di dasari oleh suatu keyakinan dan kepercayaan yang mereka anut. Perkawinan tidak hanya sebagai sebagai suatu proses administrasi atau hanya hubungan keperdataan saja antara suami atau istri, melainkan juga menekankan pada adanya ikatan lahir bathin yang didasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, dimana pasangan yang akan melangsungkan suatu pernikahan itu harus didasari ikatan satu dengan yang lain, dan tidak hanya karena dorongan alamiah untuk membuat keturunan sebagai penerus keluarga. Pengakuan adanya ikatan lahir bathin antara suami dan istri ini akan menjadi tolok ukur agar perkawinan ini bukan hanya karena paksaan dari orang lain.Suatu perkawinan merupakan perjanjian yang di lakukan oleh dua orang, dalam hal ini sebagai tujuannya merupakan suatu perjanjian, tetapi berbeda dengan perjanjian pada umumnya karena perjanjian pada umumnya dibuat sesuai keinginan para pihak, sepanjang perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang yang berlaku, kesusilaan, dan ketertiban umum. Perkawinan disebut sebagai suatu bentuk perjanjian karena perkawinan sebelum terjadinya di awali dengan adanya persetujuan dari kedua belah pihak, baik dari calon mempelai maupun dari keluarga calon mempelai.
Akibat dari suatu perkawinan menimbulkan hak dan kewajiban pada pasangan suami-istri sesuai yang diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa suami dan istri harus saling mentaati dan menjalankan hak dan kewajibannya masing-masing secara seimbang. Selain itu suatu perkawinan dapat melahirkan persoalan tentang harta kekayaan yaitu mengenai harta benda bersama suami istri maupun harta pribadi dan atau harta bawaan.2 Pengaturan tentang harta perkawinan tidak dimasukkan dalam ruang lingkup hukum harta kekayaan disebabkan karena anggapan bahwa perkawinan bukanlah salah satu cara untuk mendapatkan atau memperoleh harta/kekayaan. Meskipun diakui bahwa perkawinan akan berakibat kepada kedudukan seseorang terhadap kekayaan.
Calon pasangan yang akan melangsungkan pernikahan biasanya tidak mempermasalahkan mengenai harta masing-masing atau percampuran harta harta yang akan terjadi setelah perkawinan karena didasari adanya rasa saling percaya dan memahami satu dengan yang lainnya. Tetapi dengan semakin berkembangnya jaman, situasi dan kondisi yang terjadi di masyarakat, dan karena adanya pengaruh dari budaya asing, mempengaruhi sedikit demi sedikit pola pikir dan pandangan di masyarakat. Harta bawaan atau harta masing-masing pihak sebelum terjadinya perkawinan menjadi salah satu fokus sorotan masalah sebelum pasangan melakukan pernikahan, hal ini dikarenakan semakin banyak pasangan perkawinan yang masing-masing bisa menghasilkan harta sendiri, sehingga kebutuhan untuk membuat perjanjian kawin mengenai pemisahan harta ini menjadi perlu diatur.
Pembuatan perjanjian kawin adalah hak dari calon suami istri yang hendak melangsungkan perkawinan untuk menyimpang dari peraturan undang-undang yang berlaku terutama mengenai persatuan harta kekayaan. Perjanjian kawin adalah perjanjian yang dibuat oleh dua orang (calon suami istri) sebelum dilangsungkan perkawinan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan yang menyangkut harta kekayaan.3
Di Indonesia, peraturan-peraturan yang mengatur mengenai perjanjian perkawinan diatur di dalam: Kitab Undang-undang Hukum Perdata (untuk selanjutnya disebut “KUHPerdata”) yaitu dalam Bab VII (Pasal 139 s/d 179) dan Bab VIII (Pasal 180,182,185); Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (untuk selanjutnya disebut “UU Perkawinan”) yaitu pada Pasal 29; Kompilasi Hukum Islam (untuk selanjutnya disebut “KHI”) yaitu pada Pasal 45 s/d 52.
Selain perkawinan biasa, dalam UU Perkawinan diatur pula mengenai perkawinan campuran sebagaimana tertera dalam Pasal 57 UU Perkawinan yaitu “Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-Undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”. Hubungan hukum perkawinan campuran seperti ini tentunya menimbulkan akibat hukum yang berbeda baik terhadap pribadi suami istri, anak dan keturunannya, serta akibat terhadap harta benda yang dibawa dan diperoleh sepanjang perkawinan.
Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Perjanjian Kawin diatur di dalam Bab V Pasal 29 yang isinya sebagai berikut:
Perjanjian kawin agar berlaku kepada semua pihak maka harus ada pemberitahuan kepada pegawai pencatat pernikahan pada saat pernikahan, di Catatan Sipil untuk pasangan non muslim atau di Kantor Urusan Agama (KUA) bagi pasangan muslim agar berlaku terhadap pihak ke 3 (tiga) baik bagi para kreditur / pihak-pihak lain yang berkepentingan terhadap harta suami atau isteri.
Perjanjian perkawinan menurut X.Xxxxxxx adalah: “Suatu perjanjian mengenai harta benda suami istri selama perkawinannya mereka yang menyimpang dari asas atau pola yang ditetapkan oleh Undang-Undang”.4 Dalam uraian pendapat ini penulis setuju dengan konsep perjanjian perkawinan yang di kemukakan oleh R Subekti, karena poin utama dari suatu perjanjian perkawinan adalah khususnya mengatur tentang perjanjian harta benda selama perkawinan. Perjanjian kawin yang bisa dibuat antara lain mengenai perjanjian perkawinan percampuran laba-rugi dan perjanjian perkawinan percampuran penghasilan.
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 tentang ketentuan baru pembuatan perjanjian perkawinan yang bisa di buat tidak hanya sebelum terjadinya pernikahan tetapi bisa di mungkinkan untuk dibuat pada saat dan setelah terjadinya perkawinan, hal ini bisa menjadikan wacana dan kajian baru untuk mengulasnya. Karena hal ini akan berpengaruh pada semua para pihak yang melakukan perjanjian perkawinan, notaris sebagai pihak yang bertugas membuatkan aktanya.
Sebagaimana diketahui selama ini, perjanjian perkawinan hanya dapat dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan akan tetapi pasca keluarnya putusan MK, Pasal 29 UU Perkawinan ayat (1) penambahan frasa “…selama dalam ikatan perkawinan…”, mengakibatkan pembuatan perjanjian perkawinan tidak lagi harus dilakukan pada saat sebelum atau pada saat hari dilangsungkannya perkawinan, melainkan pasangan suami isteri dapat membuat perjanjian perkawinan selama ikatan perkawinan sedang berlangsung. Kemudian di ayat (1) juga terdapat penambahan frasa “…perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris”. Sebelum adanya putusan ini, pengesahan perjanjian perkawinan hanya dapat dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan. Akan tetapi pasca putusan MK, notaris juga diberikan kewenangan untuk mengesahkan perjanjian perkawinan, yang mana hal ini bertentangan dengan Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN) pada Pasal 16 ayat (1) huruf f UU No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, yang pada intinya menyebutkan bahwa: Dalam menjalankan jabatannya Notaris wajib merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain. Perlu diketahui bahwa perjanjian perkawinan merupakan perjanjian yang bersifat istimewa (berbeda dengan perjanjian pada umumnya).
Masyarakat akan berfikir bahwa perjanjian perkawinan yang di buat tanpa didaftarkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan adalah tidak sah, sehingga untuk menjadi sahnya perjanjian perkawinan tersebut harus didaftarkan terlebih dahulu. Hal ini menimbulkan masalah yaitu tentang keabsahan perjanjian perkawinan tersebut, walaupun perjanjian perkawinan telah di buat berdasarkan ketentuan hukum akan tetapi tidak didaftarkan oleh pegawai pencatat perkawinan akankah perjanjian perkawinan tersebut dapat dikatakan sah. Keabsahan suatu perjanjian perkawinan sangatlah penting karena untuk mengetahui akibat hukum terhadap para pihak, yaitu tentang kekuatan perjanjian perkawinan yang telah di buat apakah memiliki kekauatan hukum bagi para pihak yang terkait. Dari adanya hubungan hukum dan peristiwa hukum sebagaimana telah diuraikan tersebut, maka perlu dilakukan penelitian lebih dalam lagi mengenai “Kajian Hukum Perjanjian Perkawinan Yang Dibuat Setelah Perkawinan Tanpa Didaftarkan Pada Kantor Pencatatan Perkawinan”
Rumusan Masalah
Permasalahan merupakan tolak ukur dari pelaksanaan penelitian. Dengan adanya rumusan masalah maka akan dapat ditelaah secara maksimal ruang lingkup penelitian. Sehingga tidak mengarah pada pembahasan hal yang di luar masalah.
Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
Bagaimana tata cara pembuatan perjanjian perkawinan sebelum dan sesudah berlakunya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015?
Bagaimana kepastian hukum perjanjian perkawinan yang tidak didaftarkan terhadap pasangan suami istri pada kantor pencatatan perkawinan?
Bagaimana perlindungan hukum terhadap harta suami dan/atau istri serta pihak ketiga akibat perjanjian perkawinan tidak didaftarkan pada kantor pencatatan perkawinan?
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui dan menganalisis tata cara pembuatan perjanjian perkawinan sebelum dan sesudah berlakunya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015.
Untuk mengetahui dan menganalisis kepastian hukum perjanjian perkawinan yang tidak didaftarkan terhadap pasangan suami istri pada kantor pencatatan perkawinan.
Untuk mengetahui dan menganalisis perlindungan hukum terhadap harta suami dan/atau istri serta pihak ketiga akibat perjanjian perkawinan tidak didaftarkan pada kantor pencatatan perkawinan.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoroitis maupun praktis, manfaat yang diperoleh dari penelitian adalah sebagai berikut:
Secara Teoritis
Notaris
Dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan khususnya dalam kajian hukum keperdataan tentang Kajian Hukum Perjanjian Perkawinan Yang Dibuat Setelah Perkawinan Tanpa Didaftarkan Pada Kantor Pencatatan Perkawinan.
Pemerintah/ Badan Pengawas Notaris Daerah dan Pusat
Dalam penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi instansi pemerintah dan pihak-pihak terkait lainnya.
Mahasiswa Kenotariatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan yang bermanfaat bagi mahasiswa kenotariatan yang nantinya akan memangku jabatan sebagai seorang Notaris, agar lebih mengetahui mengenai Kajian Hukum Perjanjian Perkawinan Yang Dibuat Setelah Perkawinan Tanpa Didaftarkan Pada Kantor Pencatatan Perkawinan.
Secara praktis
Diharapkan dapat menjadi bahan informasi dan pertimbangan bagi pemerintah atau pihak-pihak terkait dalam menentukan kebijakan yang akan datang.
Xxxxxxxx Xxxxxxxxxx
Berdasarkan informasi pemeriksaan yang ada dan sepanjang penelusuran kepustakaan yang ada dilingkungan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Magister Kenotariatan dan Magister Ilmu Hukum, yang ada di Indonesia baik secara online maupun fisik tidak ditemukan judul Kajian Hukum Perjanjian Perkawinan Yang Dibuat Setelah Perkawinan Tanpa Didaftarkan Pada Kantor Pencatatan Perkawinan, namun ada beberapa penelitian sebelumnya yang membahas Kajian Hukum Perjanjian Perkawinan Yang Dibuat Setelah Perkawinan Tanpa Didaftarkan Pada Kantor Pencatatan Perkawinan, antara lain:
Azifatun. Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (2019), dengan judul penelitian Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Ketiga Akibat Adanya Perjanjian Kawin Pasca Perkawinan Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015. Adapun perumusan masalah dalam penelitian tesis ini, antara lain:
Apakah perbedaan pengaturan tentang perjanjian kawin yang dibuat sebelum masa perkawinan dan pada masa perkawinan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 ?
Apakah perjanjian kawin yang dibuat pada masa perkawinan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 memiliki legalitas bagi pihak ketiga?
Xxxxxxx Xxxxxxx, Jurusan Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana (2012), dengan judul penelitian Perlindungan Hukum Terhadap Kepentingan Pihak Ketiga Dalam Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015. Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah:
Bagaimanakah keabsahan daripada suatu perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsung pasca lahirnya Putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015?
Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap kepentingan pihak ketiga dalam perjanjian perkawinan pasca Putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015?
Kerangka Teori dan Konseptual
Kerangka Teori
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan atau pegangan teoritis dalam penelitian.5 Teori menurut Xxxxxxxxxx adalah sebagai perangkat proposisi yang terintegrasi secara sintaksis yaitu yang mengikuti aturan tertentu yang dapat diamati dan fungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati.6
Setiap penelitian memerlukan adanya landasan teoritis, sebagaimana dikemukakan oleh M. Solly Lubis bahwa landasan teoritis merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, asas maupun konsep yang relevan digunakan untuk mengupas suatu kasus atau permasalahan.7 Dalam penelitian suatu permasalahan hukum, dikatakan relevan apabila pembahasan dikaji menggunakan teori-teori hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum. Teori hukum dapat digunakan untuk menganalisis dan menerangkan pengertian hukum dan konsep yuridis yang relevan untuk menjawab permasalahan yang muncul dalam penelitian hukum.8
Pada ilmu hukum, kelangsungan perkembangan suatu ilmu senantiasa tergantung pada metodologi, aktivitas penelitian, imajinasi sosial dan teori.9 Teori adalah menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.10 Oleh karena itu kerangka teoritis bagi suatu penelitian mempunyai kegunaan sebagai berikut:
Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya.
Teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta mengembangkan defenisi-defenisi.
Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar dari pada hal-hal yang diteliti.
Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa mendatang.11
Pada landasan teoritis ini menggunakan teori, konsep, dan asas hukum. Adapun teori, konsep, dan asas tersebut bertujuan untuk melakukan justifikasi teoritis dan klarifikasi akademis. Teori, konsep, dan asas hukum tersebut meliputi:
Negara Hukum
Kepastian Hukum
Perlindungan Hukum
Negara Hukum
Relevansi konsep negara hukum digunakan dalam penelitian ini adalah untuk membahas pengaturan pembuatan perjanjian perkawinan selama dalam ikatan perkawinan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015. Selain itu konsep negara hukum juga digunakan untuk membahas akibat hukum pembuatan perjanjian perkawinan selama dalam ikatan perkawinan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 terhadap kepemilikan hak milik atas tanah dalam perkawinan campuran.
Menurut M.C. Burkens, suatu negara dapat dikatakan sebagai negara hukum (rechtsstaat), apabila memenuhi syarat-syarat:
Asas Legalitas, setiap tindak pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan (wettelijke grenslag). Dengan landasan ini, undang-undang dalam arti formil dan UUD sendiri merupakan tumpuan dasar tindak pemerintahan. Dalam hubungan ini, pembentukan undang-undang merupakan bagian penting negara hukum.
Pembagian Kekuasaan, syarat ini mengandung makna bahwa kekuasaan negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan.
Hak-Hak Dasar (grondrechten), merupakan sasaran perlindungan dari pemerintah terhadap rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan pembentukan undang-undang.
Pengawasan Pengadilan, bagi rakyat tersedia saluran melalui pengadilan yang bebas untuk menguji keabsahan tindak pemerintahan “rechtmaticgeheid stoetsing”.12
Unsur pertama mensyaratkan setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan atas hukum. Dalam hal ini peraturan perundang-undangan yang berlaku membatasi kekuasaan penguasa dalam menjalankan fungsinya. Unsur kedua yaitu pembagian kekuasaan negara bertujuan membatasi kekuasaan penguasa agar dapat menghindari tindakan yang sewenang-wenang. Melalui pembagian kekuasaan kepada badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, hal tersebut akan menghindari pemupukan kekuasaan yang dapat menimbulkan absolutisme. Unsur ketiga menunjukkan secara jelas pentingnya perlindungan hak-hak asasi manusia. Sesuai dengan prinsip negara hukum, perlindungan hakhak asasi manusia merupakan suatu tuntutan yang harus dipenuhi penguasa.
Perlindungan hak-hak asasi manusia tidak sekedar sebagai suatu pengakuan dalam konstitusi melainkan lebih dari itu, dituntut adanya pelaksanaannya. Unsur keempat yaitu peradilan administrasi dimaksudkan sebagai salah satu upaya untuk melindungi warga negara yang terlibat dalam suatu sengketa dengan pemerintah.
Unsur tersebut mensyaratkan agar seseorang yang merasa dirugikan oleh negara karena hak-haknya dilanggar dapat menuntut hak-hak tersebut melalui lembaga peradilan macam ini. Sejauh mana pelaksanaan kebebasan berpendapat di Indonesia sudah terpenuhi berdasarkan unsur-unsur negara hukum. Hal tersebut dipergunakan sebagai salah satu sarana untuk melakukan penilaian.13
Dalam penelitian ini, unsur-unsur yang relevan sebagai dasar justifikasi teoritis adalah unsur pertama dan ketiga. Unsur pertama, menentukan bahwa setiap tindakan Negara harus berdasarkan atas konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Unsur ketiga, menunjukkan tentang pentingnya hak asasi manusia yang harus dilindungi oleh Negara.
Berdasarkan tradisi common law atau yang lazim disebut Anglo Saxon, konsep negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey yang disebut The Rule of Law. Menurutnya ada tiga ciri atau arti penting the rule of law, yaitu:
Supremasi hukum (supremacy of law) dari regular law untuk menentang pengaruh dari arbitrary power dan meniadakan kesewenang-wenangan, prerogatif atau discretionary authority yang luas dari pemerintah;
Persamaan di hadapan hukum (equality before the law) dari semua golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court. Ini berarti bahwa tidak ada orang yang berada di atas hukum, baik pejabat maupun warga negara biasa berkewajiban menaati hukum yang sama;
Konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land, bahwa hukum konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan, singkatnya prinsip-prinsip hukum privat melalui tindakan peradilan dan parlemen sedemikian diperluas sehingga membatasi posisi crown dan pejabatpejabatnya.14
Dalam menganalisa The Rule of Law yang dipelopori oleh A.V. Dicey tersebut, menurut Xxxx Xxxxxxx & Xxxxx Xxxxx: In analyzing Xxxxx’x version of the rule of law, it can be seen that it venerated formal equality at the expense of substantive equality. In other words, he thought that the law and the State should be blind to the real concrete differences that exist between people, in terms of wealth or power or connection, and should treat them all the same, as possessors of abstract rights and duties.15
Dalam menganalisis The Rule of Law versi Dicey, dapat dilihat bahwa itu memuliakan persamaan formal dengan mengorbankan kesetaraan substantif. Dengan kata lain, dia berpikir bahwa hukum dan Negara harus menutup mata terhadap perbedaan nyata-nyata yang ada antara orang, dalam hal kekayaan atau kekuasaan atau koneksi, dan harus memperlakukan mereka semua sama, sebagai pemilik hak dan kewajiban secara abstrak.
Persamaan di depan hukum (equality before the law) artinya bahwa setiap orang apa pun pangkat atau kondisinya tunduk pada hukum biasa yang merupakan lingkup dan berada di dalam yurisdiksi mahkamah biasa. Secara sederhana, persamaan di depan hukum (equality before the law) berarti bahwa setiap warga negara sama kedudukannya di hadapan hukum dan apabila ia melanggar hukum, baik selaku pribadi atau individu maupun selaku pejabat negara, ia akan diadili dengan hukum yang sama dan dalam pengadilan yang sama pula.16 Dalam penelitian ini, ciri yang relevan sebagai dasar justifikasi teoritis adalah ciri kedua yaitu persamaan di hadapan hukum (equality before the law), dimana setiap Warga Negara Indonesia berhak mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Negara Hukum Pancasila mengedepankan prinsip persamaan sebagai elemen atau unsur penting dalam penyelenggaraan pemerintah. Persamaan dihadapan hukum misalnya adalah persoalan urgensial yang harus pula mendapat perhatian pihak penyelenggara negara. Bahkan, secara konstitusional UUD NRI 1945 memberikan landasan untuk lebih menghargai dan menghayati prinsip persamaan ini dalam kehidupan Negara Hukum Pancasila, antara lain:
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum;
Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja;
Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Dalam penelitian ini, prinsip yang relevan sebagai dasar justifikasi teoritis adalah prinsip pertama dimana setiap Warga Negara Indonesia berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Kepastian Hukum
Relevansi konsep kepastian hukum digunakan dalam penelitian ini adalah untuk membahas pengaturan pembuatan perjanjian perkawinan selama dalam ikatan perkawinan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015. Selain itu konsep kepastian hukum juga digunakan untuk membahas akibat hukum pembuatan perjanjian perkawinan selama dalam ikatan perkawinan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 terhadap kepemilikan hak milik atas tanah dalam perkawinan campuran.
Pengertian asas kepastian hukum terdapat di dalam Penjelasan Pasal 3 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dalam Penjelasan tersebut menyatakan: “Yang dimaksud dengan “Asas Kepastian Hukum” adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara”.
Mengenai konsep kepastian hukum menurut Xxxxx Xxxxxxxxxx Usfunan dalam disertasinya yang berjudul “Konsep Kepastian Hukum Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan”, mengungkapkan kepastian hukum dalam pandangan positivisme dapat diidentifikasi syarat-syaratnya, antara lain:
Aturan harus diundangkan terlebih dahulu (tidak mempermasalahkan peraturan perundang-undangan itu sarat dengan moral).
Aturan diundangkan oleh lembaga yang berdaulat.
Aturan yang diundangkan harus bersumber dari aturan yang lebih tinggi.
Adanya kejelasan ketentuan dalam aturan.
Adanya kepastian dalam penerapan hukum sesuai dengan apa yang diundangkan (agar membatasi kekuasaan, dan masyarakat tahu akan hak dan kewajibannya).
Kepastian hukum memberi peluang bagi aturan tersebut diubah sesuai dengan perkembangan (mempertimbangkan putusan pengadilan dan fakta sosial lainnya).
Urgensi konsep kepastian hukum digunakan dalam penelitian ini karena secara normatif peraturan perundang-undangan harus dibuat dan diundangkan secara pasti dan jelas, dalam artian tidak menimbulkan multi tafsir dan tidak menimbulkan kekaburan dan kekosongan norma.
Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya wajib berpedoman secara
normatif kepada aturan hukum yang terkait dengan segala tindakan yang akan
diambil untuk kemudian dituangkan dalam sebuah akta. Bertindak berdasarkan aturan hukum yang berlaku akan memberikan kepada pihak, bahwa akta yang dibuat di “hadapan” atau “oleh” Notaris telah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, sehingga jika terjadi permasalahan, akta Notaris dapat dijadikan pedoman oleh para pihak.17 Tugas hukum adalah untuk mencapai kepastian hukum demi adanya ketertiban dan keadilan di dalam masyarakat. Menurut Xxxxxxxx Xxxxxxxx:18 kepastian hukum mengharuskan diciptakannya peraturan-peraturan umum atau kaedah-kaedah yang berlaku umum, supaya tercipta suasana yang aman dan tentram dalam masyarakat.
Kepastian hukum dapat dicapai apabila situasi tertentu:
Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas (jernih), konsisten dan mudah diperoleh (accessible).
Instansi-instansi penguasa (pemerintah) menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat tersebut.
Warga secara prinsipil menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan- aturan tersebut.
Hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu-waktu mereka menyelesaikan sengketa.
Keputusan peradilan secara kongkrit dilaksanakan.19
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna, akta Notaris wajib dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh undang-undang, hal ini merupakan salah satu karakter dari akta Notaris. Bila akta Notaris telah memenuhi ketentuan yang ada maka akta Notaris tersebut memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada para pihak mengenai perjanjian yang dibuatnya. Dengan ketaatannya Notaris menjalankan sebagian kekuasaan Negara dalam bidang hukum perdata untuk melayani kepentingan masyarakat yang memerlukan alat bukti berupa akta otentik yang mempunyai kepastian hukum yang sempurna apabila terjadi permasalahan.
Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologis, kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian menjadi suatu sisten norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma.
Adanya teori kepastian hukum dalam penelitian ini digunakan untuk menganalisis keotentikan akta yang dibuat Notaris dimana Notaris mengeluarkan salinan akta pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi terlebih dahulu sebelum para pihak menandatangani minuta akta. Atas dasar saling percaya antara para pihak, maka Xxxxxxx mengeluarkan salinan akta pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi sedangkan minuta akta belum ditandatangani oleh para pihak. Dengan adanya hubungan hukum dan peristiwa hukum tersebut, maka peranan teori kepastian hukum sangat digunakan sebagai pisau analisis untuk menganlisis kepastian hukum akta.
Perlindungan Hukum
Menurut Xxxxxxxxxx sebagaimana dikutip Satjipto Raharjo awal mula dari munculnya teori perlindungan hukum ini bersumber dari teori hukum alam atau aliran hukum alam. Aliran ini dipelopori oleh Xxxxx, Xxxxxxxxxxx (murid Xxxxx), dan Xxxx (pendiri aliran Stoic). Menurut aliran hukum alam menyebutkan bahwa hukum itu bersumber dari Tuhan yang bersifat universal dan abadi, serta antara hukum dan moral tidak boleh dipisahkan. Para penganut aliran ini memandang bahwa hukum dan moral adalah cerminan dan aturan secara internal dan eksternal dari kehidupan manusia yang diwujudkan melalui hukum dan moral.20
Xxxxxxxxxx menjelaskan teori pelindungan hukum Xxxxxxx bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak. Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi. Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat.21
Hadirnya hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berguna untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan yang biasa bertentangan antara satu sama lain. Maka dari itu, hukum harus bisa mengintegrasikannya sehinggabenturan-benturan kepentingan itu dapat ditekan seminimal mungkin. Pengertian terminologi hukum dalam Bahasa Indonesia menurut KBBI adalah peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa ataupun pemerintah, undang-undang, peraturan, dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat, patokan atau kaidah tentang peristiwa alam tertentu, keputusan atau pertimbangan yang ditetapkan oleh hakim dalam pengadilan, atau vonis.22
Pendapat mengenai pengertian untuk memahami arti hukum yang dinyatakan oleh Dr. O. Notohamidjojo, SH, Hukum ialah keseluruhan peraturan yang tertulis dan tidak tertulis yang biasanya beersifat memaksa untuk kelakuan manusia dalam masyarakat negara serta antara negara yang berorientasi pada dua asas, yaitu keadilan dan daya guna, demi tata dan damai dalam masyrakat.23
Menurut Prof. Mahadi, SH pengertian hukum seperangkat norma yang mengatur laku manusia dalam masyarakat. Menurut Xxxxxxxx Dirdjosisworo bahwa pengertian hukum dapat dilihat dari delapan arti, yaitu hukum dalam arti penguasa, hukum dalam arti para petugas, hukum dalam arti sikap tindakan, hukum dalam arti sistem kaidah, hukum dalam arti jalinan nilai, hukum dalam arti tata hukum, hukum dalam arti ilmu hukum, hukum dalam arti disiplin hukum. Berbagai definisi yang telah di kemukakan dan di tulis oleh para ahli hukum, yang pada dasarnya memberikan suatu batasan yang hampir bersamaan, yaitu bahwa hukum itu memuat peraturan tingkah laku manusia.24
Kamus besar Bahasa Indonesia Perlindungan berasal dari kata lindung yang memiliki arti mengayomi, mencegah, mempertahankan, dan membentengi. Sedangkan Perlindungan berarti konservasi, pemeliharaan, penjagaan, asilun, dan bunker. Secara umum, perlindungan berarti mengayomi sesuatu dari hal-hal yang berbahaya, sesuatu itu bisa saja berupa kepentingan maupun benda atau barang. Selain itu perlindungan juga mengandung makna pengayoman yang diberikan oleh seseorang terhadap orang yang lebih lemah. Dengan demikian, perlindungan hukum dapat diartikan Perlidungan oleh hukum atau perlindungan dengan menggunakan pranata dan sarana hukum. Namun dalam hukum Pengertian perlindungan hukum adalah Segala daya upaya yang di lakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah, swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan kesehjahteraan hidup sesuai dengan hak-hak asasi yang ada sebagaimana di atur dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian. Adapun pendapat yang dikutip dari beberapa ahli mengenai perlindungan hukum sebagai berikut:
Menurut Xxxxxxxx Xxxxxxxx perlindungan hukum adalah adanya upaya melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu Hak Asasi Manusia kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut.25
Menurut Setiono perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk Melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmat martabatnya sebagai manusia.26
Menurut Xxxxxxx perlindungan hukum adalah kegiatan untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antara sesama manusia.27
Menurut Xxxxxxxx X. Hadjon Selalu berkaitan dengan kekuasaan. Ada dua kekuasaan pemerintah dan kekuasaan ekonomi. Dalam hubungan dengan kekuasaan pemerintah, permasalahan perlindungan hukum bagi rakyat (yang diperintah), terhadap pemerintah (yang memerintah). Dalam hubungan dengan kekuasaan ekonomi, permasalahan perlindungan hukum adalah perlindungan bagi si lemah (ekonomi) hadap si kuat (ekonomi), misalnya perlindungan bagi pekerja terhadap pengusaha.28
Perlindungan hukum tidak membedakan terhadap kaum pria maupun wanita. Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan pancasila haruslah memberikan perlindungan hukum terhadap warga masyarakatnya karena itu perlindungan hukum tersebut akan melahirkan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam wujudnya sebagai makhluk individu dan makhluk sosial dalam wadah negara kesatuan yang menjunjung tinggi semangat kekeluargaan demi mencapai kesejahteraan bersama.
Kerangka Konseptual
Kerangka konsepsional ini penting dirumuskan agar tidak sesat kepemahaman lain, diluar maksud yang diinginkan. Konsepsional ini merupakan alat yang dipakai oleh hukum disamping unsur lainnya seperti asas dan standar. Oleh karena itu, kebutuhan untuk membentuk konsepsional merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan penting dalam hukum. Konsepsional adalah suatu konstruksi mental yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analisis.29
Dalam bahasa latin, kata conceptus (dalam bahasa Belanda, begrip) atau pengertian merupakan hal yang dimengerti. Pengertian bukanlah merupakan defenisi yang dalam bahasa lain adalah defenitio. Defenisi tersebut berarti perumusan (dalam bahasa Belanda omschrijving) yang pada hakekatnya merupakan suatu bentuk ungkapan pengertian disamping aneka bentuk lain yang dikenal didalam epistimologi atau teori ilmu pengetahuan.30 Dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsional atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.31
Pada bagian ini terlihat dengan jelas bahwa suatu konsepsional atau suatu kerangka konsepsional pada hakikatnya merupakan suatu pengarah atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoritis (tinjauan pustaka) yang sering kali masih bersifat abstrak. Namun, suatu kerangka konsepsional terkadang dirasakan masih juga abstrak sehingga diperlukan defenisi operasional yang akan menjadi pegangan konkrit didalam proses penelitian.32
Pada bagian ini terlihat dengan jelas bahwa suatu konsepsional atau suatu kerangka konsepsional pada hakikatnya merupakan suatu pengarah atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoritis (tinjauan pustaka) yang sering kali masih bersifat abstrak. Namun, suatu kerangka konsepsional terkadang dirasakan masih juga abstrak sehingga diperlukan defenisi operasional yang akan menjadi pegangan konkrit didalam proses penelitian.33 Maka konsepsional merupakan defenisi dari apa yang perlu diamati, konsepsional terdiri dari variabel-variabel yang ingin menentukan adanya hubungan empiris.34 Konsep berasal dari bahasa Latin, conceptus yang memiliki arti sebagai suatu kegiatan atau proses berfikir, daya berfikir khususnya penalaran dan pertimbangan.35 Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menggabungkan teori observasi, antar abstrak dengan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal khusus yang disebut definisi operasional.36 Penggunaan konsep terhadap istilah yang digunakan terutama dalam judul penelitian, bukanlah untuk keperluan mengkomunikasikannya semata-mata dengan pihak lain yang menimbulkan salah tafsir, tetapi demi menuntun peneliti sendiri di dalam menangani proses penelitian dimaksud.37
Suatu konsep atau kerangka konsepsional pada hakekatnya merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit daripada kerangka teoritis yang sering kali masih bersifat absrak, sehingga diperlukan definisi-definisi operasional yang akan dapat pegangan konkrit didalam proses penelitian. Agar tidak terjadi perbedaan pengertian tentang konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini, maka perlu diuraikan pengertian-pengertian konsep yang dipakai, yaitu antara lain:
Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan: “ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Perjanjian perkawinan yaitu, persetujuan yang dibuat oleh kedua calon mempelai pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, dan masing- masing berjanji akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu, yang disahkan oleh pegawai pencatat nikah.38 Pengaturan mengenai perjanjian perkawinan dapat dilihat pada ketentuan Pasal 29 UUP Nomor 1 Tahun 1974, yang mana perjanjian perkawinan, pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas perjanjian bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, serta berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. Selanjutnya, ketentuan mengenai perjanjian perkawinan menurut Pasal 147 KUHPerdata, menyatakan bahwa atas ancaman kebatalan, setiap perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan berlangsung, dan mulai berlaku semenjak saat perkawinan dilangsungkan.
Pencatatan perkawinan adalah pendataan administrasi perkawinan yang ditangani oleh petugas pencatat perkawinan (PPN) dengan tujuan untuk menciptakan ketertiban hukum.
Metode Penelitian
Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan dengan cara yuridis normatif. Penelitian hukum yuridis normatif juga disebut dengan istilah penelitian hukum doktrinial, dimana hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertuliskan peraturan perundang-undangan (law is books), dan penelitian terhadap sistematika hukum dapat dilakukan pada peraturan perundangundangan tertentu atau hukum tertulis.
Pendekatan penelitian
Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan oleh karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan kontruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.39
Metode penelitian merupakan salah satu faktor suatu permasalahan yang akan dibahas, dimana metode penelitian merupakan cara utama yang bertujuan untuk mencapai tingkatan penelitian ilmiah.
Xxxxxxxxx Xxxxxxx mendefinisikan bahwa: “Metode penelitian adalah cara atau jalan atau proses pemeriksaan atau penyelidikan yang menggunakan cara penalaran dan teori-teori yang logis analitis (logika), berdasarkan dalil-dalil, rumus-rumus, dan teori-teori suatu ilmu (atau beberapa cabang ilmu) tertentu, untuk menguji kebenaran (atau mengadakan verifikasi) suatu hipotesis atau teori tentang gejala-gejala atau peristiwa alamiah, peristiwa sosial atau peristiwaa hukum tertentu.40
Adapun dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabnya. Adapun macam pendekatan dalam penelitian hukum adalah sebagai berikut:
Pendekatan perundang-undangan (statue approach);
Pendekatan kasus (case approach);
Pendekatan historis (historical approach);
Pendekatan perbandingan (comparative approach); dan
Pendekatan konseptual (conceptual approach).
Penulis dalam penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan historis (historical approach). Hal ini dikarenakan penulis menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai dasar awal melakukan analisis. Peraturan perundang-undangan merupakan titik fokus dari penelitian tersebut dan karena sifat hukum yang mempunyai sifat hukum yang mempunyai ciri comprehensive, all inclusive dan systematic.41
Penelitian ini termasuk ruang lingkup penelitian yang menggambarkan, menelaah dan menjelaskan serta menganalisa teori hukum yang bersifat umum dan peraturan perundang-undangan mengenai Kajian Hukum Perjanjian Perkawinan Yang Dibuat Setelah Perkawinan Tanpa Didaftarkan Pada Kantor Pencatatan Perkawinan.
Sifat penelitian
Penelitian hukum bertujuan untuk mengetahui dan menggambarkan keadaaan sesuatu mengenai apa dan bagaimana keberadaan norma hukum dan bekerjannya norma hukum pada masyarakat. Berdasarkan tujuan penelitian hukum tersebut, maka sifat penelitian ini menekankan penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang hanya semata-mata melukiskan keadaan objek atau peristiwanya tanpa suatu maksud untuk mengambil kesimpulan- kesimpulan yang berlaku secara umum.42
Sumber data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan (library research), yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan, yaitu.43
Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian diantaranya adalah Undang- Undang Dasar 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan Putusan MK 69/PUU-XIII/2015.
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yaitu berupa literatur–literatur, dalam penelitian ini meliputi buku-buku, jurnal hasil penelitian, artikel-artikel dalam media cetak serta media massa lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
Bahan hukum tersier yaitu berupa bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, internet, dan sebagainya yang ada hubungan dengan permasalahan yang sesuai dengan judul ini. Bahan hukum tertier, yakni bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, berupa kamus hukum, ensiklopedia dan sebagainya.44
Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang diperlukan, pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan (library research), studi kepustakaan ini dilakukan untuk mendapatkan atau mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, asas-asas dan hasil-hasil pemikiran lainnya yang berkaitan dengan permasalahan penelitian ini.
Analisis Data
Analisis data sangat diperlukan dalam suatu penelitian, hal ini berguna untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian dengan menggunakan metode kualitatif bertolak dari asumsi tentang realitas atau fenomena sosial yang bersifat unik dan kompleks. Padanya terdapat regularitas atau pola tertentu, namun penuh dengan variasi (keragaman).45Selanjutnya dianalisis untuk memperoleh kejelasan penyelesaian masalah, kemudian ditarik kesimpulan secara deduktif, yaitu dari hal yang bersifat umum menuju hal yang bersifat khusus.46
Penelitian kualitatif berusaha mengungkap realitas atau kebenaran dibalik gejala yang terekam secara inderawi dalam paradigma interpretatif. Kadang-kadang penelitian ini disebut sebagai penelitian kualitatif. Ada beberapa tradisi dalam paradigma ini antara lain etnografi, fenomenologi, grounded theory, dan studi kasus.
Dalam penelitian kualitatif peneliti adalah sebagai instrumen kunci di samping instrumen pendukung lainnya seperti pedoman wawancara, panduan observasi, atau alat-alat rekam audio dan video. Penelitian kualitatif pada umumnya bersifat deskriptif dan menggunakan analisis dengan pendekatan induktif untuk menemukan konsep, teori, atau bahkan filosofi yang berbasis pada data (grounded on data). Melalui proses reduksi, data bisa menjadi konsep, dan selanjutnya melalui tahap teoretisasi konsep-konsep tersebut dikelompokkan, diintegrasikan, dan dikomparasikan sehingga menjadi teori. Selanjutnya apabila peneliti ingin menemukan prinsip-prinsip perlu ada upaya abstraksi lebih lanjut sehingga menghasilkan prinsip-prinsip/azas atau filosofi. Laporan penelitian kualitatif secara umum, disusun dalam bentuk narasi yang bersifat kreatif dan mendalam serta menunjukkan ciri-ciri ilmiah.
BAB II
TATA CARA PEMBUATAN PERJANJIAN PERKAWINAN SEBELUM DAN SESUDAH BERLAKUNYA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015
Sebelum berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015
Perjanjian perkawinan walaupun belum begitu biasa di masyarakat namun apabila diteliti dan dikaji sebenarnya terdapat manfaat yang baik dalam pembuatan perjanjian perkawinan. Seperti yang kita ketahui dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata menganut asas percampuran bulat (Algehele Gemeenschap Van Goederen) yang berarti bahwa kekayaan yang dibawa ke dalam perkawinan itu dicampur menjadi satu.
34
Semua harta yang dimiliki oleh suami sebelum dia kawin dan semua harta yang dimiliki oleh istri sebelum dia kawin otomatis akan menjadi harta bersama ketika mereka telah melakukan perkawinan. Namun dengan membuat perjanjian perkawinan suami dan istri bersepakat untuk mengadakan penyimpangan terhadap ketentuan-ketentuan mengenai harta dalam perkawinan atau harta kekayaan bersama suami-istri sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Maka dengan membuat perjanjian perkawinan, para pihak dalam hal ini suami-istri yang melangsungkan perkawinan, bebas menentukan bentuk hukum yang dikehendaki atas harta kekayaan yang menjadi objeknya. Mereka (suami-istri) dapat saja menentukan, bahwa di dalam perkawinan mereka sama sekali tidak akan terdapat kebersamaan harta kekayaan atau kebersamaan harta kekayaan yang terbatas.47 Berbeda dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dalam undang-undang perkawinan yaitu Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, tidak menganut asas percampuran bulat, karena menurut Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berbunyi:Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama;
Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain
Keterangan pasal di atas terlihat bahwa dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dicampurkan secara bulat adalah harta yang diperoleh selama perkawinan, sedangkan untuk harta bawaan tetap di bawah kekuasaan masing-masing kecuali disepakati bersama oleh suami dan/atau istri untuk disatukan dalam harta bersama. Dengan demikian pertimbangan diadakannya perjanjian perkawinan adalah:
Dalam perkawinan dengan persatuan harta bulat, agar istri terlindung dari kemungkinan tindakan suami yang tidak baik, yang meliputi tindakan atas harta tak bergerak dan harta bergerak tertentu lainnya, yang dibawa istri ke dalam perkawinan. Tanpa adanya pembatasan yang diperjanjikan oleh istri dalam perjanjian perkawinan, suami mempunyai wewenang penuh bahkan tanpa harus melakukan atau memberikan pertanggungjawaban atas tindakan-tindakannya atas harta persatuan, dalam persatuan mana temasuk semua harta, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dibawa pihak istri ke dalam persatuan tersebut. Untuk menghindari adanya tindakan atas barang-barang tak bergerak dan surat-surat berharga tertentu milik istri, yang dianggap oleh istri dapat merugikan dirinya dapatlah istri memperjanjikan dalam perjanjian perkawinan, bahwa tanpa persetujuan dari istri suami tidak diperkenankan memindahtangankan atau membebani barang-barang tak bergerak si istri serta surat-surat pendaftaran dalam buku besar tentang piutang umum, surat berharga lainnya dan piutang atas nama istri. Jadi disini yang diperjanjian adalah pembatasan atas wewenang suami.
Dalam perkawinan dengan harta terpisah
Agar barang-barang tertentu atau semua barang yang dibawa suami-istri dalam perkawinan, tidak masuk dalam persatuan harta bersama atau harta perkawinan, dengan demikian tetap menjadi harta pribadi dari masing-masing suami atau istri. Adanya perjanjian perkawinan merupakan perlindungan bagi istri, terhadap kemungkinan dipertanggungjawab kannya harta tersebut, terhadap utang yang dibuat oleh suami dan sebaliknya.
Agar harta pribadi tersebut terlepas dari suami, dan istri dapat mengurus sendiri harta tersebut. Untuk itu dalam perjanjian perkawinan harus disebut secara tegas. Jadi yang diperjanjikan disini adalah adanya harta pribadi.48
Berdasarkan manfaat yang diberikan terlihat bahwa perjanjian perkawinan bukanlah menghalangi dalam perkawinan akan tetapi justru dapat membantu dalam perkawinan. Agar bermanfaat maka dalam pembautan perjanjian harus sesuai dengan kaidah atau aturan hukum yang berlaku. Sebagaimana telah diuraikan sebelumya mengenai syarat sahnya perjanjian, suatu perjanjian harus dibuat oleh atas dasar kata sepakat dari para pihak yang membuatnya. Pada perjanjian umum yang diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian dapat dibuat oleh sekurang-kurangnya dua orang, namun bisa juga terjadi suatu perjanjian dibuat lebih dari dua orang, namun pada perjanjian perkawinan, yang menjadi para pihak tidak dapat dibuat oleh lebih dari dua orang tersebut.
Perjanjian yang diatur dalam Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, diterangkan para pihak yang membuat suatu perjanjian mempunyai kebebasan untuk menentukan saat berlakunya perjanjian tersebut apakah mulai berlaku sejak saat dibuatnya perjanjian atau pada suatu waktu tertentu yang diperjanjikan dalam perjanjian tersebut. Akan tetapi kebebasan untuk menentukan saat berlakunya perjanjian tidak terdapat dalam perjanjian perkawinan, bahkan calon suami istri dilarang untuk menentukan sendiri saat berlakunya perjanjian perkawinan yang mereka buat.
Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, saat berlakunya perjanjian perkawinan disebutkan adalah sejak perkawinan dilangsungkan, hal itu sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi : perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
Pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) saat berlakunya perjanjian perkawinan diatur dalam Pasal 50 yang berbunyi: perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga, terhitung mulai tanggal dilangsungkannya perkawinan di hadapan pegawai pencatat nikah.49
Menurut ketentuan Pasal 147 ayat (1) dan ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian perkawinan dibuat oleh calon suami istri sebelum perkawinan dilangsungkan namun perjanjian perkawinan mulai berlaku setelah perkawinan berlangsung. Perjanjian perkawinan yang telah dibuat tidak akan berlaku apabila tidak diikuti dengan perkawinan. Hal ini dapat dipahami karena perjanjian perkawinan merupakan perjanjian yang mengatur mengenai harta kekayaan perkawinan. Harta perkawinan terbentuk sejak suatu perkawinan dilangsungkan, dan apabila perkawinan tidak dilangsungkan, maka tidak ada harta kekayaan perkawinan yang terbentuk sehingga tidak ada yang diatur oleh perjanjian perkawinan yang telah dibuat.
Umumnya perjanjian hanya berlaku antara para pihak yang membuat perjanjian tersebut tanpa dapat menimbulkan kerugian maupun manfaat bagi pihak ketiga (Pasal 1340 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Ternyata perjanjian perkawinan dapat juga berlaku bagi pihak ketiga. Berlakunya perjanjian perkawinan bagi pihak ketiga diatur dalam Pasal 152 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi: “ketentuan yang tercantum dalam perjanjian perkawinan, yang mengandung penyimpangan dari persatuan menurut Undang-undang selalu akan berlaku terhadap pihak ketiga, sebelum hari ketentuan-ketentuan itu dibukukan dalam suatu register umum, yang harus diselenggarakan untuk itu di Kepaniteraan pada Pengadilan Negeri, yang mana dalam daerah hukumnya perkawinan itu telah dilangsungkan, atau, jika perkawinan berlangsung di luar negeri, di Kepaniteraan dimana akta perkawinan dibukukannya.”
Suatu perjanjian perkawinan dapat juga berlaku bagi pihak ketiga, setelah perjanjian perkawinan tersebut didaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri. Berdasarkan ketentuan Pasal 147 ayat (2) juncto Pasal 152 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dapat disimpulkan bahwa sejak perkawinan dilangsungkan perjanjian perkawinan hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya yaitu pasangan suami istri, sedangkan perjanjian perkawinan baru berlaku terhadap pihak ketiga sejak didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri.
Sebelum berbicara lebih jauh tentang pendaftaran perjanjian perkawinan maka terlebih dahulu akan kemukakan tentang proses pembuatan perjanjian perkawinan yang berlangsung di masyarakat. Berikut proses pembuatan perjanjian perkawinan yang umunya dilakukan di masyarakat:
Xxxxx suami-istri bersepakat untuk membuat Perjanjian Perkawinan
Sebagaimana yang di ketahui, perjanjian perkawinan merupakan perjanjian yang akan mengatur tentang harta berama dalam perkawinan, ruhnya atau untuk sebagian, tidak sehingga untuk membuat perjanjian perkawinan harus didasarkan atas keinginan dari calon suami-istri yang akan melangsungkan perkawinan apakah mereka akan membuat perjanjian perkawinan atau tidak. Apabila mereka (calon suami-istri) telah bersepakat untuk membuat perjanjian perkawinan maka selanjutnya adalah mereka membuat kesepakatan tersebut dalam bentuk tertulis. Untuk lebih mempunyai kekuatan hukum yang mengikat biasanya kesepakatan terhadap perjanjian perkawinan tersebut dibuatkan di hadapan Notaris.
Menghadap ke depan Notaris
Para pihak yang akan membuat perjanjian perkawinan menghadap kepada Notaris, biasanya Notaris yang berada di wilayah mana mereka akan melangsungkan perkawinan, dengan mengutarakan maksud mereka untuk membuat akta perjanjian perkawinan.
Selanjutnya Notaris akan menanyakan harta apa saja yang akan mereka atur dalam perjanjian perkawinan mereka atau tentang isi dari perjanjian perkawinan yang akan dibuatkan aktanya tersebut. Karena jika kita melihat ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya ada persatuan atau permisahan dari harta perkawinan, sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, pada Pasal 35 diterangkan bahwa harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Jadi dalam menentukan isi perjanjian perkawinan tersebut calon suami istri dapat memilih bagaimana kesepakatan yang mereka kehendaki terhadap harta bawaan masing-masing dan harta bersama dalam perkawinan mereka.
Menurut pendapat Xxxxx Xxxxxxx dalam bukunya, isi perjanjian perkawinan dapat beragam, berupa :50
Pemisahan harta kekayaan murni
Kedua belah pihak bersepakat untuk memisahkan segala macam harta, utang, dan penghasilan yang mereka peroleh baik sebelum perkawinan maupun sesudahnya. Walaupun terjadi pemisahan harta kekayaan secara murni atau total akan tetapi seorang suami tetap berkewajiban untuk menfkahi istrinya dan anak-anaknya.
Pemisahan harta bawaan
Bebeda dengan pemisahan harta kekayaan murni, dalam isi perjanjian perkawinan ini kedua belah pihak yaitu suami dan istri hanya saling memperjanjikan macam harta bawaan saja, yaitu harta, utang yang mereka peroleh sebelum perkawinan. Dengan adanya perjanjian ini maka harta bawaan dari masing-masing suami atau istri tetap berada dibawah penguasaan masing-masing.
Persatuan Harta Kekayaan
Adapun dalam perjanjian perkawinan ini pasangan calon suami dan istri dapat memperjanjikan percampuran terhadap harta kekayaan mereka, baik harta kakyaan yang berasal dari harta bawaan, harta yang diperoleh selam masa perkawinan dan sebagainya.
Mengenai isi perjanjian perkawinan tersebut pada dasarnya calon suami-istri yang akan membuat perjanjian perkawinan bebas untuk menetapkan apa saja yang akan mereka perjanjikan dalam perjanjian perkawinan tersebut. Akan tetapi mengingat adanya hubungan atau pertalian dengan berbagai prinsip lainnya, Undang-Undang membatasi pula kebebasan tersebut. oleh karena itu dalam melakukan penyusunan akta perjanjian perkawinan perlu diperhatikan hal-hal yang tidak dapat dimuat dalam perjanjian perkawinan seperti berikut :51
Tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum (public policy) dan kesusilaan (Moral). Misalnya: tidak boleh diperjanjikan bahwa istri tidak boleh menuntut perceraian. Seperti yang diatur dalam Pasal 139 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi: dengan mnegadakan perjanjian kawin, kedua calon suami istri adalah berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan Undang-Undang sekitar peraturan harta kekayaan, asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum dan asal di indahkan pula segala ketentuan dibawah ini.
Pembatasan yang menyangkut ketertiban umum sebgaiman diterangkan dalam pasal 139 Kitab Undang-undang Hukum Perdata di atas dalam hal ini bersifat memaksa jika dibandingkan dengan perjanjian biasa mengenai harta kekayaan, hal ini karena hukum harta perkawinan merupakan hukum yang tidak hanya menyangkut masalah keluarga akan tetapi juga menyangkut masalah umum.
Hal-hal sebagaimana diatur dalam Pasal 140 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu:
Tidak boleh melanggar hak marital dari suami yaitu hak suami di dalam statusnya sebagai suami, misalnya suami yang harus menetapkan dimana suami istri harus bertempat tinggal.
Tidak boleh melanggar hak kekuasaan orang tua
Tidak boleh melanggar hak yang diberikan oleh Undang-Undang kepada suami atau istri yang hidup paling lama
Hal ini berhubungan dengan hak waris dari suami atau istri sebagaimana diatur dalam Pasal 852a Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi: Dalam hal mengenai warisan seorang suami atau istri yang meninggal terlebih dahulu, si istri atau si suami yang hidup terlama, dalam melakukan ketentuan-ketentuan dalam bab ini, dipersamakan dengan seorang anak yang sah dari si meninggal dengan pengertian, bahwa jika perkawinan suami istri itu adalah untuk kedua kali atau selanjutnya dan dari perkawinan yang dulu ada anak-anak atau keturunan anak-anak itu, si istri atau suami yang baru tak akan mendapat bagian warisan yang lebih besar dari pada bagian warisan terkecil yang akan diterima oleh seorang anak tadi atau dalam hal bilamana anak itu telah meninggal lebih dahulu, oleh sekalian keturunan penggantinya, sedangkan dalam hal bagaimanapun juga, tak bolehlah bagian si istri atau suami itu lebih dari seperempat harta peninggalan si meniggal.
Tidak boleh melanggar hak suami di dalam statusnya sebagai kepala persatuan suami istri Xxxxxxxx: tidak boleh diperjanjikan bahwa istri dapat bertindak sendiri jika mengenai harta persatuan. Dalam hal ini ada pengecualian yaitu istri dapat mengadakan syarat bahwa ia berhak mengurus harta kekayaan dan menikmati penghasilannya sendiri.
Tidak boleh melepaskan haknya atas legitime portie (Hak Mutlak) atas warisan dari keturunannya dan mengatur pembagian warisan dari keturunannya.
Pasal 141 Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengatur: dengan mengadakan perjanjian kawin kedua para calon suami istri tidak diperbolehkan melepaskan hak-hak yang diberikan Undang-Undang kapada mereka atas harta peninggalan keluarga sedarah mereka dalam garis kebawah, pun tidak boleh mengatur harta peninggalan tersebut.
Tidak boleh diperjanjikan bahwa bagian hutang yang jatuh kepada salah satu pihak ditentukan lebih besar dari bagian keuntungannya
Hal ini sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Pasal 142 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi: tak bolehlah mereka memperjanjikan, bahwa sesuatu pihak harus membayar sebagian utang yang lebih besar daripada bagiannya dalam laba persatuan. Apabila suami-sirti membuat perjanjian perkawinan yang bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 142 Kitab Undang-undang Hukum Perdata maka perjanjian perkawinan tersebut menjadi batal (nietig), sehingga untung dan rugi harus dibagi secara rata anata suami dan istri.
Tidak boleh diperjanjikan dengan kata-kata umum bahwa ikatan perkawinan harus tunduk pada ketentuan-ketentuan di luar negeri, adat kebiasaan atau peraturan daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 143 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Calon suami istri tidak boleh mencantumkan dalam perjanjian perkawinan syarat kawin bahwa suami diperkenankan melakukan sesuatu atas pekerjaan mengenai kesusastraan, ilmu pengetahuan atau karya seni (ciptaan dari istri tanpa persetujuan dari istri) sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Auteurswet (Stbld.1912 nomor 600).52
Setelah ditentukan isinya maka Notaris akan membuatkan akta terhadap perjanjian perkawinan tersebut. Akta tersebut ketika ditandatangani sudah mempunyai kekuatan mengikat bagi yang membuatknya yaitu calon suami istri yang membuat perjanjian perkawinan tersebut. Setelah akta dibuatkan oleh Notaris maka selanjutnya adalah calon suami istri tersebut melakukan pendaftaran terhadap perjanjian perkawinan yang mereka buat agar mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga.
Pengesahan dari Pengadilan Negeri terhadap perjanjian perkawinan yang didaftarkan hanya berupa semacam legalisasi atau pemberian tanda mengetahui dari pengadilan berupa cap/stempel Pengadilan Negeri dan tandatangan pengesahan yang biasanya dari Penitera Hukum Perdata serta mencatatkannya dalam Buku Register Perjanjian Perkawinan, walaupun dalam pelaksanaannya diberikan nomor pendaftaran dan tanda terdaftar dari Panitera Pengadilan Negeri. Untuk mendaftarkan akta perjanjian perkawinan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri, Dokumen-dokumen yang disyaratkan adalah fotocopy Kartu Tanda Penduduk calon suami istri, salinan akta perjanjian perkawinan yang bermaterai dan fotocopy akta. Setelah memeriksa kelengkapan dokumen-dokumen tersebut, petugas Kepaniteraan Pengadilan Negeri akan mencatat pada Buku Register Perjanjian Perkawinan. Yang dicatat adalah nama para pihak yang membuat perjanjian perkawinan, tanggal pendaftaran, tanggal dan nomor akta, judul akta dan nama notaris, dihadapan siapa para pihak membuat akta tersebut.
Pada bagian pinggir kiri halaman pertama salinan akta perjanjian perkawinan akan dibubuhi tanda yang menyatakan bahwa perjanjian perkawinan tersebut telah terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri, tanggal dan nomor pendaftaran serta biaya pendaftaran, kemudian pada salinan akta tersebut juga dibubuhi cap Pengadilan Negeri dan tanda tangan Panitera. Salinan akta perjanjian perkawinan yang telah di daftar tersebut dikembalikan untuk disimpan oleh para pihak yang membuatnya, sedangkan fotocopy Kartu Tanda Penduduk dan fotocopy akta perjanjian perkawinan disimpan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri sebagai berkas.
Pendaftaran perjanjian perkawinan umumnya dilakukan oleh Kantor Notaris sebagai bentuk bantuan kepada klien. Ketika calon suami istri datang ke Kantor Notaris dan mengutarakan maksudnya untuk membuat akta perjanjian perkawinan, maka pegawai Kantor Notaris akan memberitahu mengenai dokumen-dokumen yang diperlukan dan menawarkan bantuan untuk mendaftarkan akta perjanjian perkawinan ke Pengadilan Negeri. Karena kesibukan dan keterbatasan waktu dalam mempersiapkan perkawinan, umumnya para klien akan minta bantuan Kantor Notaris untuk sekalian mendaftarkan Akta Perjanjian Perkawinan yang dibuat di kantor Notaris tersebut. Yang perlu dicermati dari praktik pendaftaran perjanjian perkawinan adalah mengenai kompetensi relative Pengadilan Negeri dan waktu pendaftaran perjanjian perkawinan. ketentuan Pasal 152 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan “.. di kepaniteraan Pengadilan Negeri, yang mana dalam daerah hukumnya perkawinan itu telah dilangsungkan atau, jika perkawinan berlangsung di luar negeri, dikepaniteraan dimana akta perkawinan dibukukannya.” Dari ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa pendaftaran perjanjian perkawinan seharusnya dilakukan setelah perkawinan dilangsungkan dan di Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan dilangsungkan.
Waktu pendaftaran perjanjian perkawinan yang dilakukan sebelum perkawinan dilangsungkan, ada manfaat dari perjanjian perkawinan yang didaftarkan sebelum perkawinan dilangsungkan yaitu sejak saat perkawinan dilangsungkan perjanjian perkawinan tersebut langsung berlaku terhadap pihak ketiga. Selain itu para klien menghendaki perjanjian perkawinan sudah didaftarkan ketika mereka mengambil salinan akta.
Perjanjian pendaftaran perjanjian perkawinan dilakukan setelah perkawinan dilangsungkan dibolehkan, namun biasanya Notaris mengetahui kapan perkawinan dilangsungkan dan dikhawatirkan pasangan suami istri yang baru menikah disibukkan oleh kehidupan rumah tangga yang baru mereka jalani sehingga lupa memberitahu Xxxxxxx untuk mendaftarkan akta perjanjian perkawinan yang telah dibuat. Pendaftaran Perjanjian Perkawinan harus sudah dilakukan pada saat pihak ketiga mengadakan hubungan dengan suami istri. Pihak ketiga yang mengadakan hubungan dengan suami istri setelah perjanjian perkawinan didaftar terikat dengan ketentuan yang terdapat dalam perjanjian perkawinan tersebut.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan juga sudah diatur tentang perjanjian perkawinan termasuk syarat berlakunya terhadap pihak ketiga. Hal itu sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-undang nomor 1 tahun 1974 menyatakan perjanjian perkawinan berlaku juga terhadap pihak ketiga yang tersangkut setelah perjanjian perkawinan tersebut disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.
Penjelasan mengenai Pegawai Pencatat Perkawinan dapat dilihat pada Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Pada pasal 1 huruf (d) menyatakan Pegawai Pencatat Perkawinan adalah Pegawai Pencatat Perkawinan dan Perceraian. Keterangan lebih lanjut mengenai Pegawai Pencatat Perkawinan terdapat pada pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) yang berbunyi:
Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang nomor 32 tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.
Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai Perundang-undang mengenai Pencatatan Perkawinan.
Ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 mengatur mengenai Pencatatan Perkawinan yang dilakukan menurut agama Islam. Pencatatan Perkawinan dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang nomor 32 tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk belum dinyatakan dengan jelas siapakah yang dimaksud dengan pegawai pencatat nikah.
Kejelasan mengenai Pegawai Pencatat Nikah yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 yang menyatakan Pegawai Pencatat Nikah adalah Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama. Jadi yang dimaksud dengan Pegawai Pencatat Perkawinan pada Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975, adalah Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama.
Ketentuan Pasal 29 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 juncto Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 juncto Pasal 1 angka (4) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 dapat disimpulkan bahwa Perjanjian Perkawinan yang dibuat oleh calon suami istri yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, baru berlaku terhadap pihak ketiga setelah perjanjian perkawinan tersebut disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama. Keharusan Perjanjian Perkawinan untuk disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah juga terdapat pada Pasal 47 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi : “Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.”
Syarat berlakunya perjanjian perkawinan bagi pihak ketiga diatur dalam Pasal 50 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi: “Perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga terhitung mulai tanggal dilangsungkan perkawinan di hadapan Pegawai Pencacat Nikah.” Sedangkan bagi orang-orang yang melangsungkan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya selain agama Islam, berlaku ketentuan Pasal 2 ayat (2) peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975 yang mensyaratkan pencatatan perkawinan dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil. Dalam proses pencatatan perkawinan tersebut pegawai pencatat perkawinan mensahkan perjanjian perkawinan.
Keterangan yang penulis kemukakan di atas, menurut pendapat penulis sebenarnya telah terjadi sebuah atau sedikit kekeliruan yang dilakukan oleh masyarakat dalam melakukan pendaftaran perjanjian perkawinan agar mempunyai kekuatan hukum yang mengikat terhadap pihak ketiga, karena sesuai dengan peraturan perundang-undang yang berlaku sekarang ini, pendaftaran perjanjian perkawinan baru mempunyai kekuatan mengikat jika pendaftarannya dilakukan sesuai aturan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Kenyataannya dalam pelaksana dimasyarakat masih banyak pihak yang melakukan pendaftaran perjanjian perkawinan ke pengadilan. Pendaftaran perjanjian perkawinan ke Pengadilan Negeri di wilayah mana perkawinan tersebut dilangsungkan atau pengadilan negeri dimana akta perkawinan itu dibukukan, yaitu untuk mereka yang melangsungkan perkawinan di luar negeri, sebenarnya tidak perlu dilakukan karena tidak mempunyai akibat hukum apapun terhadap perjanjian perkawinan.
Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang juga telah mengatur tentang perjanjian perkawinan yaitu pada Pasal 29 ayat (1) Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan perjanjian perkawinan berlaku juga terhadap pihak ketiga yang tersangkut setelah perjanjian perkawinan tersebut disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, dan ditambah lagi dengan adanya ketentuan Pasal 66 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berbunyi : untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-Undang ini, maka dengan berlakunya Undang-Undang ini ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordonnantie Christen Indonesiers, Staatblad 1993 Nomor 74), peraturan perkawinan campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijk, Staatblad 1898 Nomor 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang ini, dinyatakan tidak berlaku. Jadi dengan telah berlakunya Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, maka pendaftaran perjanjian perkawinan tidak perlu lagi dilakukan ke pengadilan negeri.
Sebenarnya tidak ada keharusan untuk melakukan pendaftaran perjanjian perkawinan Kepada Pengadilan Negeri, karena itu semua aturan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), sekarang ini hanya sejarah jika aturan tersebut sudah diatur dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagaimana diterangkan pada Pasal 66 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Karena tentang perjanjian perkawinan sendiri sudah diatur secara tegas pada Pasal 29 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan semua fakta dan keterangan yang telah penulis kemukakan di atas, maka syarat untuk berlakunya sebuah perjanjian perkawinan terhadap pihak ketiga adalah apabila telah disahkan oleh pegawai pencatatan perkawinan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Setelah berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015
Menganalisa putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, pada amar putusannya mengabulkan permohonan pemohon sebagian tentang perjanjian kawin yang dibuat selama masa perkawinan (pada masa perkawinan berlangsung). Pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, yang mana pemohon (Ike Farida) merupakan salah satu warga negara Indonesia yang merasa dirugikan oleh Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok Agraria (yang disebut Undang-Undang Pokok Agraria) dan Undang-Undang Perkawinan, karena pemohon yang memutuskan untuk kawin dengan warga negara asing (Jepang) yang telah dicatatkan kantor Catatan Sipil DKI Jakarta pada tahun 1999 tanpa adanya perjanjian kawin, karena keterbatasan pengetahuan terhadap akibat yang ditimbulkan dari perkawinan campur tersebut, sehingga pada tahun 2012 pemohon hendak membeli suatu obyek Rumah Susun (disebut Apartement) yang telah dibayar lunas pada pihak developer tidak dapat diproses karena adanya perkawinan campur, yang mana apartement tersebut menjadi harta bersama dalam perkawinan, sedangkan pada pasal 21 ayat (1) dan pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pokok Agraria hanya warga negara Indonesia yang dapat memiliki hak atas tanah hak milik dan hak guna bangunan. Oleh sebab permohonan dari pemohon pada putusannya Mahkamah Konstitusi dikabulkan sebagai berikut ;
Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan “Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga bersangkutan.”
Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang Perkawinan “Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”
Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang Perkawinan “Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga”.
Adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 perjanjian kawin dapat dibuat pada masa perkawinan. Dalam proses pembentukan dan pelaksanaannya perjanjian kawin yang dibuat pada masa perkawinan pada praktiknya berbeda dengan perjanjian kawin yang dibuat sebelum masa perkawinan.
Perjanjian kawin yang dibuat pada masa perkawinan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 cukup menjadi dilema dalam pelaksanaannya, yang mana dalam pembuatan perjanjian haruslah mendasar pada asas-asas perjanjian agar tidak ada pihak lain yang merasa dirugikan dengan adanya perjanjian tersebut. Pengaturan mengenai pembuatan perjanjian kawin yang dibuat pada masa perkawinan sebenarnya tidak diatur dalam berbagai ketentuan yang mengatur tentang perkawinan.
Oleh karena itu untuk menjamin para pihak yang terikat oleh perjanjian kawin, tidak hanya suami istri yang terikat perkawinan namun juga pihak ketiga agar tidak dirugikan, sehingga pengaturan untuk membuat perjanjian kawin yang dibuat pada masa perkawinan sebagai berikut:
Waktu Pembuatan dan Waktu Berlakunya Perjanjian Kawin Pada Masa Perkawinan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 pada putusannya, yaitu Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan “Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga bersangkutan.” Dengan adanya putusan tersebut perjanjian kawin dapat dibuat pada waktu, sebelum atau pada masa perkawinan telah berlangsung, yang mana dapat ditentukan oleh para pihak dalam perjanjian kawin yang dibuat pasangan yang bersangkutan. Dan dalam hal ini pejabat yang berwenang mengesahkan yaitu, pegawai pencatat perkawinan atau notaris. Sehingga ketika perjanjian kawin tersebut dicatatkan, maka perjanjian kawin tersebut juga mengikat bagi pihak ketiga yang bersangkutan.
Waktu berlakunya perjanjian kawin yang dibuat pada masa perkawinan menjadi problematika pada praktiknya. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, bahwa Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang Perkawinan “Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”. Dalam asumsi waktu berlakunya perjanjian tidak menentu, dapat berlaku sejak tanggal perjanjian kawin tersebut di sahkannya, atau dapat berlaku sebelum maupun sesudah perjanjian tersebut disahkan sesuai isi dalam perjanjian kawin yang dibuat, sehingga dalam hal ini tidak memberikan kepastian hukum dalam waktu berlakunya perjanjian kawin tersebut.
Psal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, “bahwa pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Oleh karena itu dalam pasal tersebut menjadi dasar bahwa yang mampu memberikan kepastian hukum tentang waktu berlakunya perjanjian kawin yang dibuat pada masa perkawinan yaitu pengadilan.
Bentuk dan Tahapan Pengesahan Perjanjian Kawin Yang Dibuat Pada Masa Perkawinan
Perjanjian kawin dibuat oleh suami istri untuk mempertahankan dan melindungi kedudukan hak terhadap harta perkawinan dari para pihak maupun terhadap perikatan yang terjadi selama perkawinan yang melibatkan pihak ketiga. Pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan “Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau Notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga bersangkutan”. Perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau Notaris dalam praktiknya “perjanjian kawin yang dibuat pada masa perkawinan haruslah didahului dengan mengajukan permohonon ke Pengadilan Negeri yang berwenang untuk mendapatkan penetapan dari pengadilan, barulah ketika memperoleh penetapan suami istri menghadap pada Notaris untuk membuat akta perjanjian kawin.”53
Pembuatan akta perjanjian kawin yang mendasar pada penetapan pengadilan menjadi kewenangan Notaris sebagaimana pada Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, bahwa; Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh undang-undang dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberi grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat yang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Kemudian daripada itu akta perjanjian yang dibuat di hadapan notaris tersebut didaftarkan pada instansi yang diberi wewenang oleh peraturan perundang-undangan untuk mencatat.54
Perubahan Isi Perjanjian Kawin
Perubahan isi dari perjanjian kawin berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, bersifat ambigu dalam pembatasan melakukan perubahan isi perjanjian kawin tersebut, sebagaimana dalam Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang Perkawinan pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 yaitu, “Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga.” Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang Perkawinan dapat membuka celah bagi para pihak yang melangsungkan perjanjian kawin untuk melakukan itikad tidak baik, sehingga dapat merugikan pihak ketiga yang telah terlibat dalam ikatan perkawinan dikemudian hari. Oleh sebab itu Xxxxxxx, menyatakan bahwa, “Tingkah sejoli yang diberi peluang oleh Mahkamah untuk mempermainkan kepastian kedudukan hukum harta perkawinan, kian tak terkendali bahkan nyaris ada potensi pembiaran supaya liar. Kondisi dan situasi yang memberikan arena berkiprahnya keliaran tak senonoh seperti itu, dapat dipastikan bakal menumbuhkan chaos.”55, oleh sebab itu itikad baik dari para pihak sangat diperlukan dalam pembuatan perjanjian kawin, selain itikad baik dari para pihak, kesepakatan para pihak menjadi salah satu syarat sahnya perjanjian yang harus terpenuhi.
Sehingga dalam melakukan perubahan terhadap perjanjian kawin yang dapat dilakukan oleh para pihak berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 yaitu, dengan kesepakatan dari para pihak yang “bebas serta tidak terdapat paksaan dari pihak manapun, juga tidak ada penipuan dan juga kekhilafan”.56
Terkait pencatatan pelaporan perjanjian perkawinan di Catatan Sipil, telah dikeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Departemen Dalam Negeri Nomor 472.2/5876/DUKCAPIL tanggal 19 Mei 2017 yang ditujukan kepada semua kepala dinas kependudukan dan catatan sipil (Dukcapil) Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia, yang mengatur bahwa Dukcapil sebagai instansi pelaksana atau Unit Pelaksana Teknis (UPT) dimana akan dibuat catatan pinggir pada register akta dan kutipan akta perkawinan, sedangkan atas akta perkawinan yang diterbitkan oleh Negara lain namun perjanjian perkawinannya dibuat di Indonesia, pelaporannya dibuat dalam bentuk surat keterangan.
BAB III
KEPASTIAN HUKUM PERJANJIAN PERKAWINAN YANG TIDAK DIDAFTARKAN TERHADAP PASANGAN SUAMI ISTRI PADA KANTOR PENCATATAN PERKAWINAN
Suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut masing-masing hukum dan kepercayaannya dan di catat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana yang di syaratkan dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Terhadap suatu perkawinan yang sah memiliki akibat hukum terhadap suami, isteri dan anak berkaitan dengan kedudukan suami, isteri dan harta serta kedudukan anak, orang tua dan perwalian.
Selanjutnya penulis akan menguraikan akibat hukum atas perkawinan yang sah terhadap suami, isteri dan anak berkaitan dengan kedudukan suami, isteri dan harta serta kedudukan anak, orang tua dan perwalian.
Kedudukan Suami Isteri dan Harta.
Hak dan Kewajiban suami isteri
60
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, hak dan kewajiban suami isteri telah di atur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) yang dahulu hanya berlaku bagi golongan Eropah dan Timur Asing. Tentang hak-hak dan kewajiban suami dan isteri di atur dalam Bab V Pasal 103-118. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam Pasal 103 memulai dengan kaidah bahwa suami dan isteri harus setia satu sama lain, tolong menolong dan bantu membantu.57 Dengan terikatnya suami isteri dalam perkawinan berarti mereka terikat dalam suatu perjanjian secara timbal balik untuk memelihara dan mendidik anak (Pasal 104), kedudukan suami adalah sebagai kepala dalam persatuan suami isteri (Pasal 105). Suami wajib menerima isterinya dalam rumah kediamannya (Pasal 107) sedangkan kedudukan isteri harus tunduk pada suami (Pasal 106).
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bertitik tolak dari hubungan isteri semata, lain halnya dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Pengaturan hak dan kewajiban suami isteri dalam Undang-Undang Perkawinan di atur dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 34. Di dalam Pasal 30 Undang-Undang Perkawinan Nasional dikatakan bahwa suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat; Pasal 31 ayat (1, 2, 3), Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.58
Tujuan dari Pasal 31 ayat (1) Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan adalah agar tidak ada dominasi dalam rumah tangga diantara suami-istri, baik dalam membina rumah tangga ataupun dalam membina dan membentuk keturunan. Apabila kita bandingkan ketentuan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, maka nampak adanya pengaruh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang masuk dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, antara lain misalnya Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mendekati Pasal 105b Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Namun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sudah menempatkan keseimbangan kedudukan suami isteri dalam rumah tangga dalam kehidupan masyarakat sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata kedudukan isteri tidak seimbang dengan suami misalnya dikatakan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata setiap isteri harus tunduk patuh kepada suaminya (Pasal 106) setiap suami harus mengemudikan urusan harta kekayaan milik pribadi isterinya. (Pasal 105).
Selanjutnya dapat di uraikan secara umum menurut Pasal 33 dan Pasal 34 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, suami-istri wajib saling setia dan mencintai, hormat menghormati, dan saling memberi bantuan secara lahir dan batin. Suami wajib melindungi dan memenuhi keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Begitu pula sang istri, istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Berbicara mengenai hak dan kewajiban istri-suami maka hak dan kewajiban tersebut dapat dipisahkan menjadi dua kelompok, Pertama hak dan kewajiban yang berupa kebendaan, yaitu mahar dan nafkah. Kedua hak dan kewajiban yang bukan kebendaan. Yang merupakan hak dan kewajiban yang berupa kebendaan antara lain adalah:
Pertama, suami wajib memberikan nafkah pada istrinya. Maksudnya adalah suami memenuhi kebutuhan istri meliputi makanan, pakaian, tempat tinggal dan kebutuhan rumah tangga pada umumnya.
Kedua, suami sebagai kepala rumah tangga. Dalam hubungan suami-istri maka suami sebagai kepala rumah tangga dan istri berkewajiban untuk mengurus rumah tangga sehari-hari dan pendidikan anak. Akan tetapi, ini tidak berarti sang suami boleh bertindak semaunya tanpa memperdulikan hak-hak istri. Apabila hal ini terjadi maka istri berhak untuk mengabaikannaya.
Ketiga, istri wajib mengatur rumah tangga sebaik mungkin. Adapun hak dan kewajiban suami-istri yang bukan kebendaan adalah: Pertama, suami wajib memperlakukan istri dengan baik. Maksudnya suami harus menghormati istri, memperlakukannya dengan semestinya dan xxxxxxx bersamanya secara baik. Kedua, suami wajib menjaga istri dengan baik. Maksudnya suami wajib menjaga istri termasuk menjaga harga diri istri, menjunjung kemuliaan istri dan menjauhkannya dari fitnah.
Ketiga, suami wajib memberikan nafkah batin kepada istri. Keempat, suami wajib bersikap sabar dan selalu membina akhlak istri. Maksudnya suami wajib untuk bersikap lemah lembut terhadap istrinya dan harus bersikap tegas ketika melihat istrinya melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan agama. Sikap tegas di sini dimaksudkan untuk mendidik dan membina akhlak istri.
Keempat, istri wajib melayani suami dengan baik. Xxxxxxxxx seorang istri wajib mentaati keinginan suaminya selama keinginan tersebut tidak bertentangan dengan syariat agama.
Xxxxxx, istri wajib memelihara diri dan harta suami. Maksudnya istri harus benar-benar menjaga diri jangan sampai menjadi perhatian orang yang mengakibatkan fitnah. Seorang istri juga wajib menjaga harta milik suami, dengan tidak membelanjakannya untuk hal-hal yang tidak penting.
Xxxxxx, istri wajib untuk tidak` menolak ajakan suami ke tempat tidur.59
Harta Perkawinan
Kedudukan harta perkawinan di dalam keluarga tidak terlepas dari perjanjian perkawinan antara suami isteri pada saat melangsungkan perkawinan. Dalam arti formal perjanjian perkawinan adalah tiap perjanjian yang dilangsungkan sesuai dengan ketentuan undang-undang antara calon suami isteri mengenai perkawinan mereka tidak dipersoalkan apa isinya.60
Menurut Xxxxxx Xxxxxxxxxxxx, kata perjanjian diartikan sebagai “suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.61 Kata perjanjian sebagai perhubungan hukum apabila berhubungan dengan kata perkawinan akan mencakup pembahasan mengenai janji kawin, sebagai perjanjian luhur antara mempelai laki-laki dengan mempelai perempuan, pengertian ta’lik talak sebagai perjanjian atau janji setia dari seorang suami kepada isteri dan pengertian perjanjian perkawinan persatuan dan atau pemisahan harta kekayaan pribadi calon suami dan isteri yang menjadi obyek perjanjian.
Selanjutnya Xxxxxxx juga berpendapat bahwa perkawinan merupakan suatu perjanjian jika: “…seorang perempuan dan seorang lakik-laki berkata sepakat untuk melakukan perkawinan satu sama lain, ini mereka saling berjanji akan taat pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku mengenai hak-hak dan kewajiban masing-masing pihak selama dan sesudah hidup bersama itu berlangsung dan mengenai kedudukan dalam masyarakat dari anak-anak keturunannya.62
Baik perjanjian perkawinan maupun harta bersama telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pelaksana Undang-undang Perkawinan yaitu dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Perjanjian perkawinan ini di atur dalam Pasal 29 ayat (1) yang menyebutkan: (1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut.
Sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ketentuan berkaitan dengan harta pengaturan harta kekayaan dalam hukum perkawinan dapat kita lihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam Pasal 139 sampai dengan Pasal 154; hukum adat yang berlaku bagi semua golongan masyarakat dan hukum agama. Di dalam Pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata harta persatuan pribadi suami isteri berlaku persatuan bulat. Hal demikian merupakan cermin pandangan yang bersifat individual/liberal. Persatuan bulat sangat ideal bagi sepasang calon suami isteri yang berjanji sehidup semati hendak melangsungkan perkawinan secara perdata. Tetapi jika di tilik lebih mendalam persatuan bulat tersebut jelas tidak sesuai dengan asas harta kekayaan pribadi suami isteri menurut system budaya dan karakter Bangsa Indonesia, sebagian pantulan pandangan hidup orang timur yang bersifat kekeluargaan/familier.63
Hukum harta bersama sering mendapat perhatian dari para ahli hukum terutama para praktisi padahal harta bersama merupakan masalah yang sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan suami isteri apabila terjadi perceraian. Masalah harta bersama akan muncul apabila sudah terjadi perceraian atau pada saat proses perceraian sedang berlangsung sehingga dapat menimbulkan berbagai masalah hukum.
Pada kondisi seperti ini dengan adanya perjanjian perkawinan akan dapat mengatasi perbedaan dan penyelesaian harta bersama yang di dapat selama berumah tangga. Jika tidak ada atau tidak dibuat perjanjian perkawinan terhadap harta bersama yang disengketakan maka penyelesaiannya mengacu pada ketentuan umum yang berlaku sesuai dengan Pasal 35 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 yang menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama yang kadang-kadang penyelesaiannya menyimpang dari ketentuan yang berlaku.64
Tidak dibuatnya atau tidak adanya perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum perkawinan dilaksanakan dapat memicu sengketa harta bersama antara suami dan isteri. Dengan tidak di buat atau tidak adanya perjanjian perkawinan maka terjadi pembauran semua harta suami dan isteri. Kemudian semua harta suami dan isteri dianggap sebagai harta bersama. Hal ini akan menimbulkan masalah jika porsi pendapatan masing-masing harta suami isteri tidak seimbang. Perjanjian perkawinan yang dibuat harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Perjanjian perkawinan dapat menjadi sebuah solusi jika terjadi sengketa terhadap harta bersama. Perjanjian sebagaimana tersebut di atas harus dilaksanakan pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan dan dibuat dalam bentuk akta autentik. Harta perkawinan dalam Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 hanya diuraikan dalam tiga Pasal saja. Di dalam Pasal 35 ayat 1 dan 2 menyebutkan: ”harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Sedangkan harta bawaan dari suami isteri masing-masing baik sebagai hadiah atau warisan benda di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Selanjutnya di dalam Pasal 35 ayat 1 dan 2 menyebutkan: “mengenai harta bersama suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak sedangkan harta bawaan masingmasing suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Kepastian Hukum Perjanjian Perkawinan yang Tidak Didaftarkan Terhadap Pasangan Suami Istri
Perjanjian kawin merupakan suatu perjanjian yang dibuat oleh calon pasangan suami istri yang mana melakukan suatu pengaturan terlebih dahulu terhadap harta kekayaan yang timbul akibat perkawinan, sebagaimana diatur dalam;65 Pasal 147 dan 152 KUHPerdata sebagai mana perjanjian kawin harus dibuat dengan akta notaris dan harus dibuat sebelum dilangsungkannya perkawinan. Perjanjian kawin mulai berlaku pada saat perkawinan dilangsungkan. Oleh sebab itu akta Notaris merupakan syarat mutlak. Dalam hal ini perjanjian tersebut baru dapat berlaku bagi pihak ketiga apabila perjanjian kawin tersebut apabila telah di daftarkan di Pengadilan Negeri.
Perjanjian kawin dalam hal ini dapat dilihat dari sifat formil maupun materiil, yang mana sifat formil dari perjanjian terdapat pada “pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, yaitu Perjanjian dibuat pada waktu sebelum dilangsungkannya perkawinan oleh suami istri atas dasar persetujuan bersama dan disahkan oleh pegawai catatan perkawinan.”66 Dan sifat materiilnya dari perjanjian kawin tersebut “pasal 199 KUHPerdata, yaitu kedudukan harta benda.”67
Pada pembuatan perjanjian kawin terdapat hal-hal yang tidak dapat dimuat dalam pembuatan akta perjanjian kawin sebagaimana diatur dalam KUHPerdata, yakni:
Pasal 139 KUHPerdata klausal tidak boleh bertentangan dengan dengan tata tertib umum dan kesusilaan.
Pasal 140 KUHPerdata klausal tidak boleh melanggar hak marital dari suami yaitu suami di dalam statusnya sebagai suami, sebagaimana suami harus menetapkan dimana suami istri harus bertempat tinggal.
Tidak boleh melanggar hak kekuasaan orang tua, sebagai mana diatur dalam pasal 300 KUHPerdata
Tidak boleh melanggar hak yang diberikan undang-undang kepada suami istri yang hidup paling lama, yakni mengenai hak waris dari suami atau istri sebagaimana di atur dalam pasal 852 KUHPerdata
Tidak boleh melanggar hak suami di dalam status sebagai kepala persatu suami istri, sebagaimana tidak boleh diperjanjikan bahwa sang istri dapat bertindak sendiri jika mengenai harta persatu, pengecualian, yaitu ; istri dapat mengadakan syarat bahwa dia berhak mengurus harta kekayaan dan menikmati penghasilan sendiri.
Pasal 141 KUHPerdata tidak boleh melepaskan haknya atas legitieme portie atas warisan keturunannya. Dalam pasal ini mengatur tentang pembagian warisan dari keturunannya.
Pasal 142 KUHPerdata tidak boleh diperjanjikan bahwa bagian hutang yang jatuh kepada salah satu pihak, ditentukan lebih besar dari bagian keuntungannya.
Pasal 143 KUHPerdata tidak boleh diperjanjikan dengan katakata umum bahwa ikatan perkawinan harus tunduk pada ketentuan-ketentuan di luar negeri, adat kebiasaan atau pengaturan daerah.
Berbicara tentang akibat hukum, maka kita berbicara tentang dampak yang akan kita terima. Seperti yang kita ketahui bahwa perjanjian pada umumnya menimbulkan akibat hukum bagi pihak yang membuatnya, maupun terhadap pihak ketiga yang berkepentingan. Hal yang sama juga berlaku terhadap perjanjian perkawinan.
Sebagaimana telah diterangkan dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi : pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas perjanjian bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
Kata-kata yang terdapat dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi : .......kedua belah pihak atas perjanjian bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan,...... Dari Pasal tersebut terlihat bahwa perjanjian perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan harus berbentuk tertulis. Adanya ketentuan yang mnegharuskan perjanjian perkawinan dalam bentuk tertulis maka perjanjian perkawinan yang dibuat mempunyai alat bukti yang kuat, karena dibuat secara tertulis.
Adapun untuk asas berlakunya, sesuai dengan Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) yang berbunyi: semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Berdasarkan keterangan kedua pasal di atas maka untuk perjanjian perkawinan apabila tidak didaftarkan maka tetap berlaku bagi kedua belah pihak yang membuat pejanjian perkawinan tersebut yaitu suami dan/atau istri, karena dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tidak ada satu pasalpun yang menyatakan bahwa perjanjian perkawinan baru berlaku jika telah didaftarkan atau disahkan.
Sesuai dengan asas lahirnya perjanjian yaitu asas konsensualisme68 yang mengatakan bahwa perjanjian lahir sejak saat tercapainya kata sepakat antara para pihak, maka dengan sendirinya perjanjian perkawinan mengikat pihak yang membuatnya saat keduanya sepakat tentang perjanjian perkawinan yang dibuat, baik di daftarkan maupun tidak. Jadi baik didaftarkan maupun tidak, perjanjian perkawinan tetap yang telah dibuat mempunyai akibat hukum yang tetap mengikat bagi suami-istri yang bersepakat membuatnya. Dengan akat lain kedua tetap terikat dengan kesepakatan yang terdapat dalam Perjanjian Perkawinan tersebut.
Kepastian Hukum Perjanjian Perkawinan yang Tidak Didaftarkan Terhadap Pihak Ketiga
Berbeda dengan kepastian hukum bagi suami istri yang membuat Perjanjian Perkawinan jika tidak didaftarkan, pada pihak ketiga apabila Perjanjian Perkawinan tidak di sahkan atau didaftarkan kepada pegawai pencatat perkawinan maka dengan sendirinya Perjanjian Perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga.
Hal ini sesuai dengan yang telah penulis terangkan pada sub bab sebelumnya tentang persyaratan Sebuah Perjanjian Perkawinan Dapat Mengikat Terhadap Pihak Ketiga, dan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi : pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas perjanjian bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
Hal yang sama juga ditegaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada Pasal 50 disebutkan perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga, terhitung mulai tanggal dilangsungkannya perkawinan di hadapan pegawai pencatat nikah.69 Maka dengan keadaan tersebut akibat hukumnya terhadap pihak ketiga adalah pihak ketiga selama perjanjian perkawinan belum didaftarkan dapat saja menganggap bahwa perkawinan berlangsung dengan persatuan harta perkawinan secara bersama. Sehingga apabila terjadi persangkutan utang dengan suami dan/atau istri, penyelesaiannya dilakukan dengan melibatkan harta bersama antara harta suami dan/atau harta istri, karena dengan tidak adanya perjanjian perkawinan dengan sendirinya yang ada hanya harta bersama.
Tetapi anggapan tidak tahunya pihak ketiga tentang adanya perjanjian perkawinan hanya dapat diberikan kepada pihak ketiga yang tidak mengetahui bahwa suami istri telah membuat perjanjian perkawinan namun belum mendaftarkannya. Sedangkan pihak ketiga yang mengetahui bahwa suami istri telah membuat perjanjian perkawinan namun perjanjian perkawinan tersebut belum di daftarkan, maka ia tidak boleh menganggap bahwa perjanjian perkawinan itu tidak ada dan suami istri xxxxx dengan persatuan harta perkawinan. Demikianlah pendapat Hoge Raad dalam Arrest-nya tanggal 18 April 1947 dan 29 April 1949.70 Jadi apabila perjanjian perkawinan tidak di daftarkan maka untuk suami-istri tetap mengikat bagi kedua belah pihak. Lain halnya jika menyangkut terhadap pihak ketiga, apabila perjanjian perkawinan tidak didaftarkan maka akibat hukumnya perjanjian perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga.
Perjanjian kawin antara calon suami istri sebagaimana yang diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 Tahun 2015 dapat dilaksanakan terutama yang mengatur tentang harta kekayaan, yaitu harta kekayaan yang perolehannya didapat sebelum perkawinan berlangsung (harta bawaan) dan harta yang perolehannya didapat selama perkawinan berlangsung (harta bersama), demikian sebagaimana diatur dalam Bab VII Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang Perkawinan yang merupakan bentuk pengecualian atas ketentuan tentang percampuran harta sebagaimana diatur dalam KUH Perdata.”
Dasar hukum perjanjian kawin, isi Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan dimaksud masih bersifat umum (abstrak), hanya memuat pemahaman setara sepintas mengenai segala sesuatu yang boleh diperjanjikan, kecuali ta’lik talak. KUH Perdata sebagai dasar hukum perjanjian kawin yang mendahului Undang-Undang Perkawinan telah mengatur perjanjian itu secara konkrit. Ketentuan dalam KUH Perdata tidak secara tegas dihapus seluruhnya oleh Undang-Undang Perkawinan kecuali mengenai beberapa hal yang diatur secara tegas dan perjanjian kawin yang dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yaitu perjanjian yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.71
Ketentuan tentang perjanjian kawin sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Perkawinan hanya diatur dalam satu pasal saja, sehingga para praktisi hukum dalam praktiknya menganggap ketentuan tersebut kurang, oleh karena itu ketentuan-ketentuan yang termuat pada KUH Perdata yang mengatur mengenai perjanjian kawin mulai dari Pasal 139 sampai dengan Pasal 185, hingga saat ini masih dinyatakan berlaku.
Permasalahan pertama penelitian tesis ini, menurut Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 Tahun 2015 terkait pengesahan perjanjian kawin yang berbunyi: “Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan atau selama perkawinan dilangsungkan kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan atau Notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.”
Dari uraian tersebut di atas, terdapat dua poin penting dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yaitu:
Pertama, “perjanjian kawin harus didaftarkan, demikian guna memenuhi asas publisitas dari perjanjian kawin. Hal ini bertujuan agar pihak ketiga (di luar pasangan suami atau isteri tersebut) mengetahui dan tunduk pada aturan dalam perjanjian kawin yang telah dibuat oleh pasangan tersebut. Apabila perjanjian kawin tersebut tidak didaftarkan, maka perjanjian kawin tersebut tidak mengikat pihak ketiga akan tetapi hanya mengikat atau berlaku bagi para pihak yang membuatnya, yakni suami dan isteri yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1313, 1314 dan 1340 KUH Perdata, yang menyatakan perjanjian hanya mengikat bagi para pihak yang membuatnya.”
Kedua, terhitung sejak diundangkannya Undang-Undang Perkawinan, maka pendaftaran atau pencatatan perjanjian kawin tidak lagi dilakukan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri akan tetapi pada Pegawai Pencatat Perkawinan. Bagi pasangan yang beragama Islam pencatatan perjanjian kawin dilakukan oleh Kantor Urusan Agama, sedangkan untuk pasangan non Islam, pencatatan dilakukan oleh Kantor Catatan Sipil setempat.72
Selanjutnya bagaimana kepastian hukum pendaftaran perjanjian kawin menurut KUH Perdata dan Undang-Undang Perkawinan, dimana terdapat perbedaan terkait dengan prosedur pendaftaran dan pengesahannya. Perlu diingat bahwa, perjanjian kawin pada prinsipnya sama dengan perjanjian pada umunya, selama perjanjian itu memenuhi syarat yang ada dalam Pasal 1320 KUH Perdata, maka perjanjian kawin tersebut adalah sah dan mengikat kedua belah pihak (suami isteri) yang membuatnya dan sesuai dengan asas perjanjian terutama asas pacta sunt servanda, dimana perjanjian adalah kontrak dan mengikat bagi yang membuatnya.Namun karena prosedural pengesahan tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Perkawinan maka perjanjian yang dibuat lemah kedudukan hukumnya, dan mudah diingkari oleh pihak yang mempunyai itikad tidak baik.
Ketentuan mengenai isi perjanjian kawin yang hanya didaftarkan di Pengadilan Negeri sejak diundangkannya Undang-Undang Perkawinan hanya berlaku secara intern antara suami dan isteri. Perjanjian kawin yang telah dicatatkan pada Pegawai Pencatat Perkawinan berpengaruh terhadap daya ikat atas perjanjiankawin tersebut kepada pihak ketiga.
Isi perjanjian kawin selain mengikat para pihak yang membuatnya juga mengikat pihak ketiga yang tersangkut dengan para pihak. Pada umumnya yang dimaksud pihak ketiga adalah mereka yang tidak untuk diri sendiri atau berdasarkan suatu perwakilan, baik perwakilan karena undang-undang maupun perwakilan karena perjanjian, melakukan suatu perjanjian. Mereka yang digolongkan dalam kategori pihak ketiga ini sangat luas dan bergantung pada hubungannya dengan para pihak dari suatu perjanjian.73
Adapun keterkaitan perjanjian kawin dengan pihak ketiga (ekstern) dalam penelitian tesis ini adalah pihak lain selain suami isteri. Dalam perjanjian kredit misalnya, apabila tanpa perjanjian kawin maka bank dalam hal ini bertindak sebagai kreditur menganggap harta yang dimiliki oleh suami isteri tersebut adalah harta bersama (harta gono gini), maka hutang yang terjadi selama perkawinan merupakan hutang bersama yang menjadi tanggungan bersama suami isteri tersebut. Namun bagi suami isteri yang telah membuat suatu perjanjian kawin, hutang yang terjadi selama perkawinan berlangsung hanya menjadi tanggung jawab salah satu pihak yang hendak mengajukan saja, sedangkan salah satu pihak tidak terikat daripadanya dan tidak memiliki kewajiban untuk ikut membayar hutang pasangan.
Pengertian hutang dalam hal ini adalah hutang yang terjadi sebelum perkawinan, selama masa perkawinan, setelah berakhirnya perkawinan (baik karena perceraian atau kematian).Kemudian apabila salah satu pihak suami maupun isteri dinyatakan pailit maka akibat kepailitan tersebut hanya berlaku bagi harta kekayaan suami atau isteri saja bukan harta kekayaan suami dan isteri dan apabila terjadi penyitaan maka harta yang disita hanya milik salah satu pihak bukan harta bersama milik keduanya.
Selama perjanjian kawin tersebut belum dicatatkan di Pegawai Pencatat Perkawinan, maka pihak ketiga dapat menganggap perkawinan tersebut berlangsung tanpa pemisahan harta, akan tetapi apabila pihak ketiga tidak mengetahui bahwa perjanjian kawin tersebut tidak didaftarkan pada Pegawai Pencatat Perkawinan, maka pihak ketiga dapat menganggap bahwa suami isteri tersebut kawin tanpa pemisahan harta kekayaan. Sedangkan apabila pihak ketiga mengetahui bahwa perjanjian kawin yang dimiliki oleh pasangan suami isteri yang terkait dengannya tidak didaftarkan di Penitera Pengadilan Negeri dan/atau di Pegawai Pencatat Perkawinan, maka ia tidak boleh menganggap bahwa tidak ada perjanjian kawin diantara suami isteri tersebut. Sehingga apabila terjadi hutang antara suami dan/atau isteri dengan pihak ketiga, maka penyelesaian atas hutang tersebut dilakukan dengan melibatkan harta bersama yang dimiliki oleh suami isteri tersebut.
Seperti yang dikemukakan oleh X. Soetojo Prawirohamidjojo dan Xxxxxxxxxx Xxxxx yaitu sebagai berikut: “Apabila suami dan istri tidak menghendaki bahwa perjanjian kawin akan berlaku terhadap pihak ketiga, maka seluruh perjanjian kawin tidak harus didaftarkan dalam register umum tersebut. Akan tetapi jika mereka menghendaki agar hanya beberapa ketentuan yang berlaku terhadap pihak ketiga, maka hanya ketentuan-ketentuan itu saja yang harus dibukukan dalam register-register tersebut. Hal ini terserah kepada suami istri terhadap hal yang hendak mereka daftarkan. Mereka tidak wajib melakukan pendaftaran tersebut, asal mereka bersedia menanggung akibatnya”.74
Terkait penjelasan diatas R. Subekti berpendapat bahwa “dengan adanya Undang-Undang Perkawinan yang telah diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Januari 1974 maka sejak tanggal 2 Januari 1974 hukum perkawinan menurut BW (asas percampuran seluruh harta kekayaan) dihapus”.
Berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan, perjanjian kawin yang diadakan antara suami isteri adalah perjanjian tertulis kecuali ta’lik talak yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah, apapun yang diperjanjikan asalkan tidak melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan, serta jika terjadi perjanjian kawin itu disahkan bukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan maka perjanjian itu tidak dapat dikatakan perjanjian kawin melainkan perjanjian biasa yang berlaku secara umum.75
Perjanjian kawin yang tidak dicatatkan pada pegawai pencatat perkawinan mempunyai kepastian hukum pada beberapa aspek antara lain:76
Kepastian hukum pada akta perjanjian kawin
Perjanjian kawin sama halnya dengan perjanjian pada umunya memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi. Salah satu syarat perjanjian kawin yang turut diatur dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan adalah mengenai pencatatannya. Perjanjian kawin harus dicatatkan agar sah dan mempunyai akibat hukum. Perjanjian kawin yang tidak dicatatkan dianggap tidak pernah ada secara ekstern karena tidak memiliki unsur publisitas dan pengingkaran akan isi perjanjian kawin lebih mudah dilakukan oleh kedua belah pihak karena konsekuensi yuridis tidak begitu kuat.
Kepastian hukum pada harta perkawinan
Perjanjian kawin yang tidak dicatatkan dianggap tidak pernah ada sehingga tidak berpengaruh akan adanya harta terpisah, oleh karena itu didalam perkawinan akan terjadi percampuran harta sesuai ketentuan dalam KUH Perdata bagi yang melangsungkan perkawinan sebelum Undang-Undang Perkawinan diberlakukan dan terdapat harta bersama bagi mereka yang melangsungkan perkawinan setelah Undang-Undang Perkawinan diberlakukan.
Kepastian hukum pada pihak ketiga
Pihak ketiga yaitu diluar kedua belah pihak (suami-isteri) yang memiliki kepentingan dengan harta benda dalam perkawinan, jika perkawinan tidak dicatatkan membawa kepastian hukum perjanjian kawin tersebut dianggap tidak pernah ada dan tidak mengikat pihak ketiga.
Peneliti setuju bahwa perjanjian kawin yang dibuat setelah diundangkannya Undang-Undang Perkawinan dan hanya didaftarkan di Pengadilan Negeri tanpa dicatatkan pada Pegawai Pencatat Perkawinan hanya mengikat para pihak yang membuatnya (suami isteri) dan tidak mengikat pihak ketiga karena hal ini tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan yang menentukan bahwa perjanjian kawin tersebut harus dicatatkan pada Pegawai Pencatat Perkawinan. Asas hukum atau dasar yang dijadikan tumpuan berpikir, berpendapat, dan bertindak dalam peraturan perundang-undangan untuk menganalisa kedudukan Undang-Undang Perkawinan setelah diundangkan yakni asas lex posteriori derogate legi priori.
Asas ini menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang baru mengalahkan atau melumpuhkan peraturan perundang-undangan yang lama, apabila kedua peraturan perundang-undangan tersebut memuat ketentuan yang saling bertentangan. Asas ini digunakan apabila kedua peraturan perundang-undangan yang saling bertentangan tersebut status atau kedudukannya sama, yang dalam penelitian ini adalah KUH Hukum Perdata dengan Undang-Undang Perkawinan.
Dalam konteks penelitian tesis ini, Undang-Undang Perkawinan merupakan peraturan yang mengatur segala hal yang berkaitan dengan perkawinan, sehingga materi-materi yang ada dalam KUH Perdata tidak berlaku lagi jika Undang-Undang Perkawinan telah mengaturnya, sebaliknya, ketentuan-ketentuan lain tetap berlaku sepanjang Undang-Undang Perkawinan tidak mengaturnya.
Menurut ketentuan dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan bahwa perjanjian kawin yang dibuat sebelum tanggal 2 Januari 1974 yaitu pada tanggal diundangkannya Undang-Undang Perkawinan, didaftarkan di register umum yang diselenggarakan oleh Kepaniteraan Pengadilan Negeri, sesudah tanggal 2 Januari 1974 perjanjian kawin wajib disahkan pada Pegawai Pencatat Perkawinan baik di Kantor Catatan Sipil maupun di Kantor Urusan Agama (KUA) supaya isinya berlaku juga (mengikat) pihak ketiga. Namun bagaimana bila perjanjian kawin tersebut lupa dicatatkan baik karena kealpaan para pihak atau kealpaan notaris dalam memberitahukan pencatatan yang benar? Xxxxxx bagi pasangan suami isteri yang menikah setelah berlakunya Undang-Undang Perkawinan dan terlambat mencatatkan perjanjian kawinnya di Pegawai Pencatat Perkawinan adalah dengan mengajukan pencatatan perjanjian kawin melalui permohonan ke Pengadilan Negeri dalam bentuk penetapan.
Para pihak harus mengajukan permohonan penetapan kepada Pengadilan Negeri yang isinya memerintahkan agar perjanjian kawin tersebut dicatatkan dibuku register pencatatan nikah baik di Kantor Pencatatan Sipil maupun di Kantor Urusan Agama (KUA), dan sebagai buktinya maka pada akta perkawinan dihalaman belakang akan diketik sesuai dengan penetapan pengadilan bahwa telah dibuat perjanjian kawin diantara suami isteri tersebut.Perjanjian kawin yang hanya didaftarkan di Pengadilan Negeri (setelah Undang-Undang Perkawinan diundangkan) hanya mengikat para pihak yang membuatnya yaitu suami isteri, sedangkan terhadap pihak ketiga perjanjian kawin tersebut dianggap tidak berlaku atau dianggap tidak pernah ada sehingga pihak ketiga menganggap bahwa pasangan suami isteri tersebut xxxxx dengan pencampuran harta.
Mempertimbangkan hak-hak warga negara, hukum memberikan peluang dengan mengajukan permohonan ke Hakim Pengadilan Negeri untuk mengeluarkan penetapan yang menginstruksikan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan agar melakukan pencatatan perjanjian kawin tersebut, sehingga perjanjian itu dianggap ada dan mempunyai daya ikat terhadap pihak ketiga dan hal tersebut berlaku mundur. Untuk menguraikan upaya hukum apa yang dapat dilakukan oleh para pihak dalam perjanjian kawin yang tidak didaftarkan sesuai dengan ketentuan dalam KUH Perdata dan Undang-Undang Perkawinan agar perjanjian kawin tersebut tetap berlaku bagi pihak ketiga, peneliti menggunakan teori penemuan hukum.
Adanya kekosongan hukum mengenai perlindungan hukum bagi warga negara terkait perjanjian kawin yang terlambat dicatatkan sebelum perkawinan dilangsungkan memaksa hakim berdasarkan kewenangannya untuk menggali atau melakukan penemuan hukum supaya perjanjian tersebut bisa memberikan kepastian hukum bagi yang membuatnya dan digunakan sebagaimana mestinya terutama dalam tindakan hukum yang menyangkut pihak ketiga.
Permohonan penetapan ke pengadilan didasari oleh kewenangan hakim dalam rangka penemuan hukum sebagai akibat tidak ada undang-undang yang mengatur (kekosongan hukum). Seperti kita ketahui bahwa kagiatan yang dilakukan oleh masyarakat sangat luas dalam berbagai aspek kehidupan, sehingga tidak mungkin ketentuan atas semua kegiatan tersebut termuat oleh satu peraturan perundang-undangan saja. Oleh karena tidak ada satu peraturan perundang-undangan pun yang dapat mencakup seluruh aspek kehidupan manusia dengan lengkap dan jelas. Karena hukumnya tidak lengkap dan tidak jelas, maka harus dicari dan diketemukan.
Apabila pengertian hukum dalam arti sempit diartikan sebagai suatu keputusan penguasa yang dalam hal ini adalah keputusan hakim (pengadilan), selanjutnya yang menjadi pertanyaan adalah apakah kewajiban hakim dalam menemukan apa yang menjadi hukum adalah salah satu faktor dalam pembentukan hukum? Ketidaklengkapan dan ketidakjelasan peraturan perundang-undangan, mengharuskan hakim mencari atau menemukan hukumnya (rechtsvinding). Dalam menjalankan tugasnya seorang hakim pasti dihadapkan pada perkara hukum yang harus diselesaikan dengan adil dan bijak, karena itulah hakim harus mencari atau menemukan hukum yang sesuai dengan perkara hukum tersebut.
Terhadap perkara atau perselisihan hukum yang dihadapkan kepada hakim, hakim harus dapat memberikan penyelesaian atas perselisihan tersebut dalam bentuk putusan yang disebut dengan putusan hakim. Putusan hakim itulah bentuk penerapan hukum yang diterapkan dalam peristiwa konkret yang terjadi di masyarakat. Dalam penemuan hukum unsur yang penting adalah bagaimana hakim mencari atau menemukan hukumnya pada peristiwa konkret (in-concreto) yang terjadi di masyarakat.
Hakim harus dapat memilih aturan hukum apa saja yang akan diterapkan pada peristiwa konkret, kemudian menafsirkan aturan hukum tersebut sehingga dapat menentukan/menemukan peristiwa hukum yang tercantum dalam aturan hukum itu dan menemukan pula makna hukumnya agar dapat menerapkan aturan hukum tersebut, serta menafsirkan fakta hukum yang ditemukan untuk dapat menentukan apakah fakta tersebut termasuk kedalam makna penerapan aturan hukum tersebut. Dengan demikian, melalui penyelesaian perkara konkret dalam proses peradilan dapat terjadi juga penemuan hukum.
Hakim dalam melakukan penemuan hukum yang diterapkan dalam penetapan/putusannya harus memperhatikan dan mengusahakan semaksimal mungkin agar penetapan/putusan tersebut menimbulkan perkara baru (sedapat mungkin para pihak dalam perkara merasa puas dengan penetapan/putusan tersebut sehingga tidak mengajukan banding atau upaya hukum lainnya). Berdasarkan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaaan Kehakiman, seorang hakim dalam perkara perdata pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
Apabila ketentuan Pasal 5 tersebut dapat terealisasi di lingkungan peradilan, maka hal ini akan dapat menumbuhkan kepercayaan di masyarakat kepada pengadilan, sehingga kewibawaan lembaga peradilan akan semakin meningkat. Hakim dalam menjalankan tugas dan wewenangnya untuk memeriksa, mengadili, dan menjatuhkan putusan harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku serta berdasarkan keyakinannya, tidak hanya berdasarkan logika hukum semata.
Purwoto S. Gandasubrata mengemukakan bahwa ada 3 (tiga) hal yang menjadi pedoman bagi hakim dalam mengahadapi suatu perkara, yaitu sebagai berikut:77
Dalam suatu perkara yang hukum atau undang-undangnya sudah jelas, hakim hanya menerapkan hukumnya atau dalam hal ini hakim bertindak sebagai terompet undang-undang (la bouche de la loi);
Dalam suatu perkara yang hukum atau undang-undangnya tidak atau belum jelas, maka hakim harus menafsirkan hukum atau undang-undang melalui cara-cara atau metode penafsiran yang berlaku dalam ilmu hukum;
Dalam suatu perkara dimana terjadi pelanggaran atau penerapan hukumnya bertentangan dengan undang-undang yang berlaku maka hakim akan menggunakan hak mengujinya berupa formale toetsing rechtatau materiel etoetsingrecht, yang biasanya dilakukan oleh judex juris terhadap perkara yang diputus oleh judex facti.
Sampai saat ini khusus terkait pencatatan pelaporan perjanjian perkawinan di Catatan Sipil, telah dikeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Departemen Dalam Negeri Nomor 472.2/5876/DUKCAPIL tanggal 19 Mei 2017 yang ditujukan kepada semua kepala dinas kependudukan dan catatan sipil (Dukcapil) Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia, yang mengatur bahwa Dukcapil sebagai instansi pelaksana atau Unit Pelaksana Teknis (UPT) dimana akan dibuat catatan pinggir pada register akta dan kutipan akta perkawinan, sedangkan atas akta perkawinan yang diterbitkan oleh Negara lain namun perjanjian perkawinannya dibuat di Indonesia, pelaporannya dibuat dalam bentuk surat keterangan. Hal ini berlaku bukan saja pada pembuatan perjanjian perkawinan, namun juga atas perubahan dan pencabutan perjanjian perkawinan. Dan aturan ini hanya mengatur tentang pencatatan perjanjian kawin, bukan tentang mengatur tata cara pembuatan dan larangan dalam pembuatan perjanjian kawin dimaksud.
BAB IV
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HARTA SUAMI DAN/ATAU ISTRI AKIBAT PERJANJIAN PERKAWINAN TIDAK DIDAFTARKAN PADA KANTOR PENCATATAN PERKAWINAN
Pengertian perkawinan dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan: “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Definisi ini diberikan oleh pembentuk undang-undang yang diharapkan sebagai pembakuan pengertian tentang perkawinan, sehingga masyarakat telah memahami apa inti makna sebuah perkawinan.
Ada beberapa hal dari rumusan tersebut di atas yang perlu diperhatikan:78
digunakannya kata: “seorang pria dengan seorang wanita” mengandung arti bahwa perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. Hal ini menolak perkawinan sesama jenis yang waktu ini telah dilegalkan oleh beberapa Negara Barat.
digunakannya ungkapan “sebagai suami istri” mengandung arti bahwa perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah tangga, bukan hanya dalam istilah “hidup bersama”.
88
dalam definisi tersebut disebutkan pula tujuan perkawinan yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, yang menafikan sekaligus perkawinan temporal sebagaimana yang berlaku dalam perkawinan mut’ah dan perkawinan tahlil.
disebutkannya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan bahwa perkawinan itu bagi Islam adalah peristiwa agama dan dilakukan untuk memenuhi perintah agama.
Beranjak dari definisi Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan saja, sudah jelas terbersit betapa kentalnya nuansa agamawi mewarnai hukum perkawinan dibuat oleh pemerintah Indonesia. Pilihan ini antara lain didasarkan pada suatu fakta, bahwa bangsa Indonesia yang memiliki dasar Pancasila, benar-benar harus dijadikan landasan saat membuat aturan hukum. Sila pertama Pancasila yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, sengaja dibenamkan secara tegas pada pasal awal Undang-undang Perkawinan untuk membuktikan bahwa bangsa ini selalu mengawali hidupnya dengan sila tersebut.
Memindai Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, asas hukum perkawinan sudah kelihatan mencuat jelas, misalnya asas yang menyatakan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Terbukti bahwa Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagai awal batang tubuh undang-undang, sudah menunjukkan formatnya untuk selalu bertumpu pada fondasi asas hukum yang dimiliki bangsa Indonesia. Pasal awal Undang-undang Perkawinan merupakan gerbang yang akan menuntun siapapun penyimaknya agar sadar sejak dini, bahwa memindai pasal selanjutnya, unsur agama akan selalu menjadi esensinya.79 Menurut Xxxxxxxx perkawinan adalah hubungan seksual, menurutnya tidak ada nikah (perkawinan) bila tidak ada hubungan seksual.80
Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang dengan sengaja diciptakan oleh Allah SWT yang diantara lain tujuannya untuk melanjutkan keturunan dan tujuan-tujuan lainnya.81 Pernikahan yang dilakukan manusia merupakan naluri Ilahiyah untuk berkembang biak melakukan regenerasi yang akan mewarisi tugas mulia dalam rangka mengemban amanat Allah sebagai Khalifah di muka bumi. Perkawinan di Indonesia di atur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Perkawinan adalah hubungan hukum yang merupakan pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang wanita yang telah memenuhi syarat-syarat perkawinan, untuk jangka waktu yang selama mungkin.82
Peristiwa perkawinan merupakan salah satu tahapan yang dianggap penting dalam kehidupan manusia dan telah dijalani selama berabad-abad pada suatu kebudayaan dan komunitas agama. Sebagaimana orang menganggapnya sebagai peristiwa sakral, sebagaimana peristiwa kelahiran dan kematian yang diusahakan hanya terjadi sekali dalam seumur hidup.83
Secara otentik Hukum Perkawinan telah mengatur tentang Dasar Perkawinan yang terdiri dari:
dalam Pasal 1 ditegaskan mengenai pengertian bahwa: “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Di dalam penjelasan ditegaskan lebih rinci bahwa sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila yang pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur bathin/rohani juga mempunyai peranan yang penting. Membenuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.
Adapun yang menyangkut sahnya perkawinan dan pencatatannya ditentukan bahwa:
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan ini dimuat di dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masng agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal 2 menunjuk paling pertama kepada hukum masing-masing agama dan kepercayaan bagi masing-masing pemeluknya. Menurut penjelasan atas Pasal 2 ayat (1) “tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya”. Jadi bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melangggar “hukum agamanya sendiri”. Demikian juga bagi orang Kristen dan bagi orang Hindu atau “Budha” seperti yang dijumpai di Indonesia.
Dalam alinea kedua penjelasan atas pasal 2 tadi diperingatkan bahwa ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang telah mendahului itu tidak berlaku lagi jika bertentangan dengan Undang-undang Perkawinan Nasional atau jika materinya telah diatur secara lain dalam Undang-undang Perkawinan Nasional.
Ketentuan tersebut juga dijumpai dalam ketentuan Pasal 66, malahan lebih luas lagi, yakni bukan hanya terbatas kepada ketentuan perundang-undangan tetapi diperluas lagi kepada peraturan-peraturan lain yang telah mendahului Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
Syarat sahnya perkawinan menurut Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 ditentukan bahwa: perkawinan sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Menurut penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dijelaskan bahwa dengan perumusan pada Pasal 2 ayat 1 ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, adapun yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini.
Pasal 2 ayat 2 PP No. 9 tahun 1975 berbunyi: Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.
Menurut penjelasan Pasal 2 PP No. 9 Tahun 1975 dengan adanya ketentuan tersebut dalam pasal ini maka pencatatan perkawinan dilakukan hanya oleh dua instansi, yakni Pegawai Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, dan Kantor Catatan Sipil atau Instansi atau pejabat yang membantunya.
Syarat-syarat melangsungkan Perkawinan:
Mengenai syarat-syarat perkawinan ada beberapa hal yang harus diperhatikan, syarat-syarat ini antara lain:
Syarat materiil
Syarat materiil absolut
Syarat materiil relatif
Syarat formal
Sebelum perkawinan dilangsungkan
Pada saat perkawinan dilangsungkan
Syarat materiil absolut adalah syarat yang mengenai pribadi seorang yang melangsungkan perkawinan. Adapun syarat-syarat tersebut dapat dilihat dalam ketentuan pasal-pasal sebagai berikut :
Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang No. 1974 bahwa, pada azasnya dalam suatu peristiwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
Ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 selaras dengan ketentuan Pasal 27 KUHPerdata yang menentukan bahwa dalam waktu yang sama seorang laki-laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang perempuan sebagai isterinya, seorang perempuan hanya satu orang laki-laki sebagai suaminya.
Pada Pasal 3 ayat 2 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 terdapat ketentuan pengecualian yang menentukan bahwa pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Dalam pasal ini memberi kesan bahwa setiap suami diperbolehkan beristeri lebih dari seorang, walaupun lebih dulu harus minta izin pada pengadilan dan telah memenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.
Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 berbunyi bahwa dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat 2 undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Bagi pemeluk agama Islam, perkawinannya dilangsungkan dalam pengadilan agama. Sedangkan bagi agama lain perkawinannya dilangsungkan dalam pengadilan negeri.
Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 pengadilan dimaksud dalam ayat 1 diatas hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :
Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri
Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pengajuan permohonan kepada pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1 undang-undang ini harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
Adanya persetujuan dari isteri atau isteri-isteri
Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
Ini semua telah diatur dalam Pasal 5 ayat 1 undang-undang No. 1 tahun 1974. Mengenai persetujuan antara kedua calon suami isteri diatur dalam Pasal 6 ayat 1 undang-undang No. 1 tahun 1974. Bahwa perkawinan harus di dasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Apabila syarat ini dilanggar maka perkawinan ini dapat ditentang atau dapat dicegah.
Dalam penjelasan pasal 6 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974 dinyatakan oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak asasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orangtuanya lebih dahulu. Hal ini tercantum dalam Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang No. 1 tahun 1974.
Perkawinan harus didasarkan pada usia yang cukup menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dan KUHPerdata, anak dianggap dewasa apabila berumur 21 tahun untuk melangsungkan perkawinan. Berdasarkan ketentuan pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan dijelaskan untuk dapat melangsungkan perkawinan bagi pria sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan bagi wanita sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.
Menurut KUHPerdata untuk dapat melangsungkan perkawinan bagi pihak pria sekurang-kurangnya berumur 18 tahun dan bagi pihak wanitanya berumur 15 tahun. Apabila kedua calon pengantin itu usianya belum mencukupi seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan, maka harus minta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita supaya dapat melangsungkan perkawinan. Ini berdasarkan pasal 7 ayat 2 Undang-Undang No. 1 tahun 1974.
Perkawinan usia muda adalah perkawinan yang dilakukan pada usia di bawah 20 tahun bagi wanita dan 25 tahun bagi pria. Perkawinan di bawah umur adalah perkawinan yang dilakukan pada usia di bawah 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi pria.
Dalam hal salah seorang dari kedua orangtua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dari orangtua yang masih hidup atau dari orangtua yang mampu menyatakan kehendaknya. Hal ini diatur dalam pasal 6 ayat 3 Undang-Undang No. 1 tahun 1974. Dalam hal kedua orangtua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali atau keluarga yang mempunyai hubungan darah selama mereka masih hidup dan mampu menyatakan kehendaknya. Apabila wali atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak ada atau tidak cakap atau tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin dapat dimintakan kepada pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan.
Syarat materiil relatif adalah syarat yang mengenai ketentuan-ketentuan yang merupakan larangan bagi seorang untuk kawin dengan orang tertentu.84 Dalam melakukan perkawinan ada perkawinan yang dilarang dilakukan seperti yang termuat di dalam Pasal 8 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah maupun ke atas.
Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.
Hubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu datau bapak xxxx.
Berhubungann susuan, yaitu orangtua susuan, saudara susuan dan bibi susuan.
Xxxxxxxxxxx saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau xxxxxxxxx dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang.
Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
Menurut Pasal 39 PP No. 9 tahun 1975 mengatur seorang janda yang hendak kawin lagi. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih datang bulan ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari dan bagi yang tidak datang bulan ditetapkan 90 hari.
Syarat formil sebelum dilangsungkan perkawinan dalam Peraturan Pemerintah atau PP No. 9 tahun 1975 Pasal 2 ayat 1 berbunyi bahwa pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat. Sedangkan dalam Pasal 3 ayat 1 PP No. 9 tahun 1975 menentukan bahwa setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan harus memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan.
Hal pemberitahuan tersebut dalam ayat 1 di atas dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Ini berdasarkan pasal 3 ayat (2) PP No. 9 tahun 1975. Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat 2 di atas disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah. Hal ini diatur dalam pasal 3 ayat (3) PP No. 9 tahun 1975.
Menurut Pasal 4 PP No. 9 tahun 1975, pemberitahuan tentang kehendak untuk melangsungkan perkawinan itu dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai atau oleh orangtua ataupun wakilnya. Pemberitahuan tersebut memuat nama calon kedua mempelai yang harus sesuai dengan akta kelahiran, umur / bulan / tahun kelahiran, agama atau kepercayaan yang dianutnya, pekerjaan kedua mempelai, tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama isteri atau suami terdahulu. Ini diatur dalam pasal 5 PP No. 9 tahun 1975.
Pasal 6 ayat 1 PP No. 9 tahun 1975 menyebutkan Pegawai Pencatat Perkawinan yang berwenang harus meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi apa tidak. Apabila syarat-syaratnya telah terpenuhi dan tidak ada sesuatu halangan perkawinan maka Pegawai Pencatat menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang ditetapkan pada kantor pencatatan perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum. Hal ini diatur dalam pasal 8 PP No. 9 tahun 1975. Syarat formil perkawinan dilangsungkan pada dasarnya dilaksanakan sesuai dengan hukum agamnya atau kepercayaannya masing-masing.
Menurut Pasal 10 PP No. 9 Tahun 1975 dijelaskan tentang tata cara perkawinan yaitu :
Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman perkawinan itu diumumkan.
Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.
Pasal 11 PP No. 9 tahun 1975 menyebutkan sesaat setelah dilangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaanya kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku. Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh kedua mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan. Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi. Bagi orang yang beragama Islam, perkawinan itu sah apabila dilakukan sesuai dengan hukum Islam. Suatu akad perkawinan sah apabila telah memenuhi syarat-syarat dan rukun perkawinan berdasarkan ketentuan agama dan Undang-Undang Perkawinan yang berlaku.
Adapun yang termasuk rukun perkawinan itu adalah, adanya calon mempelai pria dan wanita, ada wali nikah, dua orang saksi, dan akad nikah.85 Perlu diperhatikan bahwa untuk melangsungkan suatu perkawinan sepasang calon suami dan isteri harus sudah cukup dewasa sehat jasmani dan rohani serta mempunyai penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Undang-Undang Perkawinan Nasional menentukan bahwa untuk sahnya suatu perkawinan, disamping harus mengikuti ketentuan-ketentuan agama. Para pihak yang akan melangsungkan perkawinan itu harus memenuhi syarat-syarat yang disebutkan dalam Undang-Undang Perkawinan beserta penjelasannya. Adapun syarat-syarat perkawinan tersebut dapat dirinci sebagai berikut :
Harus ada persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6 ayat (1)). Sebagaimana dijelaskan dalam penjelasannya maksud dari ketentuan tersebut agar suami dan isteri yang akan kawin itu telah dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai dengan hak asasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Ketentuan ini tidak berarti mengurangi syarat-syarat perkawinan yang lain. Namun dalam masyarakat yang telah maju tidak pantas lagi adanya ”kawin paksa”, oleh karena itu adanya persetujuan dari kedua calon mempelai merupakan syarat utama dalam perkawinan di Indonesia yang sekarang berlaku.86 Persetujuan atau kesukarelaan kedua belah pihak ini sangat penting sekali untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera sesuai dengan tujuan perkawinan khususnya apabila dilihat dari pihak calon isteri hal ini adalah sesuai dengan persoalan emansipasi wanita dalam kehidupan masyarakat sekarang mempunyai kebebasan dalam menentukan pilihannya dalam ikatan perkawinan.
Pasal 6 ayat (1) ini oleh Prof. Dr. Hazairin, SH. Diberi komentar sebagai berikut: Pasal 6 ayat (1) mengandung suatu prinsip kebebasan, kemauan yang sangat baik. Buat umat Islam ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan Al-Qur’an.87
Xxxxx mempelai laki-laki sudah mencapai umur 19 tahun dan calon mempelai perempuan sudah mencapai umur 16 tahun (Pasal 7 ayat 1).
Dalam Pasal 29 KUH Perdata (BW) yang sudah tidak berlaku lagi, seorang pemuda yang belum mencapai 18 tahun begitu pula pemudi yang belum mencapai umur 15 tahun tidak dibolehkan mengikat tali pernikahan. Jadi terdapat perbedaan batas umur perkawinan antara KUH Perdata dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Namun kedua undang-undang itu menetapkan adanya batas umur perkawinan sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang bertujuan untuk mencegah terjadinya perkawinan anak-anak, agar pemuda dan pemudi yang akan melangsungkan perkawinan benar-benar telah masak jiwa dan raganya dalam bentuk keluarga yang kekal dan bahagia. Juga dimaksudkan untuk mencegah terjadinya perceraian muda, dapat membenihkan keturunan yang baik dan sehat, juga dapat menekan laju kelahiran yang cepat yang akan berakibat pertambahan penduduk yang cepat pula.88 Kalau umur calon suami isteri tidak diketahui mereka tidak boleh kawin kecuali apabila dapat dipastikan bahwa umur mereka sudah cukup.89
Mendapat izin dari kedua orang tuanya, bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun (Pasal 6 ayat (2)).
Jika kedua calon mempelai tidak mempunyai orangtua lagi atau orangtua yang bersangkutan tidak mampu menyatakan kehendaknya, misalnya karena berpenyakit, kurang akal, sakit ingatan dan lain sebagainya, maka izin dimaksudkan cukup dari orang yang masih hidup atau dari orangtua yang mampu meyatakan kehendaknya. Kalau tidak ada juga izin diperoleh dari wali atau orang yang mempunyai hubungan darah dengan kedua calon mempelai dalam garis ke atas selama mereka masih hidup dan mampu menyatakan kehendaknya (Pasal 6 ayat (3-4)). Jika terjadi perbedaan pendapat tentang siapa yang berhak memberi izin tersebut, diantara orangtua yang masih hidup, orangtua yang mampu menyatakan kehendak, wali, orang yang memelihara, keluarga dalam hubungan darah, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka setelah mendengar orang-orang tersebut dan berdasarkan permintaan mereka, maka izin diberikan oleh pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan itu (Pasal 6 ayat (5)). Mengenai perlunya izin ini adalah erat sekali hubungannya dengan pertanggung jawab orangtua dalam pemeliharaan yang dilakukan oleh orang tua secara susah payah dalam membesarkan anaknya. Sehingga kebebasan anak dalam memilih pasangan hidupnya jangan sampai menghilangkan fungsi tanggung jawab orangtua.90
Antara kedua calon suami isteri tidak ada larangan perkawinan (Pasal 8)
Masing-masing pihak tidak terikat tali perkawinan lain kecuali bagi calon suami apabila telah mendapatkan izin dari Pengadilan untuk beristeri lebih dari seorang.
Antara kedua calon mempelai tidak pernah terjadi dua kali perceraian, kecuali jika hukum agamanya menentukan lain (Pasal 10).
Dalam hal ini bagi orang Islam boleh kawin dengan perempuan yang sudah dijatuhi talak tiga kali tetapi telah kawin dengan laki-laki lain secara baik, kemudian telah terjadi perceraian dan sudah habis masa iddahnya.
Telah lepas dari masa iddah atau jangka waktu tunggu karena putusnya perkawinan (Pasal 11).
Mengenai waktu tunggu ini dijelaskan lebih lanjut di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 39 ayat (1) yaitu :
Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari.
Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih datang bulan ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari, sedangkan bagi yang tidak datang bulan ditetapkan 90 hari.
Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
Perlindungan hukum diartikan Xxxxxxxx X. Xxxxxx sebagai,
“... perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan atau sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya.”91
Jenis perlindungan hukum terbagi menjadi dua. Pertama adalah perlindungan hukum preventif, yang oleh Muchsin diartikan sebagai, “perlindungan hukum yang diberikan oleh pemerintah bertujuan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran.”92 Yang kedua merupakan perlindungan hukum represif, yang didefinisikan Xxxxxxxx X. Xxxxxx sebagai, “bentuk perlindungan hukum dimana lebih ditujukan dalam penyelesaian sengketa.”93
Pembuatan perjanjian perkawinan pra Putusan MK hanya dimungkinkan sebelum atau pada waktu dilakukannya perbuatan perkawinan, dan berdasarkan persetujuan bersama perjanjian tersebut dapat diubah kemudian hari namun tidak dapat dicabut. Berbeda jauh dengan pengaturan pasca Putusan MK, yang mana membolehkan perjanjian perkawinan untuk dibuat dan diberlakukan kapan saja sesuai waktu yang ditentukan oleh pihak-pihak pembuat perjanjian itu. Tafsiran baru ini juga memberi kebolehan untuk mengubah juga mencabut suatu perjanjian perkawinan. Berbeda dengan sebelumnya yang hanya memperbolehkan dilakukannya pengubahan, namun tidak pencabutan.
Dari beberapa hal tersebut, terlihat jelas bahwa efektifitas perlindungan hukum dalam pengaturan perjanjian perkawinan terhadap kepentingan pihak ketiga berkurang. Karena dengan pengaturan pasca Putusan MK, memberikan celah terjadinya masalah apabila pasangan suami-istri yang mempunyai hubungan hukum dengan pihak ketiga, kemudian hari melakukan pembuatan, pengubahan, atau pencabutan perjanjian perkawinan.
Pada dasarnya, perlindungan hukum yang diberikan dalam pengaturan perjanjian perkawinan terhadap kepentingan pihak ketiga memang lebih bersifat represif. Namun dengan adanya perbandingan antar pra dengan pasca Putusan MK, terlihat bahwa pengaturan perjanjian perkawinan terdahulu mempunyai sifat perlindungan hukum preventif. Dengan tidak dimungkinkannya pembuatan perjanjian perkawinan oleh pasangan setelah dilangsungkannya perkawinan, waktu keberlakuan perjanjian perkawinan yang pasti, dan tidak dibolehkannya pencabutan atas suatu perjanjian perkawinan, memberikan celah yang lebih kecil untuk terjadinya permasalahan oleh karena kealpaan atau bahkan itikad buruk dari pasangan suami-istri.
Notaris adalah jabatan yang pada tafsiran baru Putusan MK ditambahkan pada ayat (1). Notaris memang telah memiliki peran dalam perjanjian perkawinan baik sebelum Putusan MK, dengan dasar Pasal 147 KUHPerdata. Pasca Putusan MK, ditegaskan kembali bahwa dalam hal perjanjian perkawinan pejabat notaris mempunyai peranan penting. Hal ini menyebabkan kalangan pejabat notaris memberikan perhatian lebih kepada akibat hukum daripada Putusan MK, terutama dalam kasus pasangan yang hendak membuat perjanjian perkawinan saat masih terikat perkawinan.
Tertuang dalam ayat (1) pada Pasal 16 huruf a UUJN bahwa, "notaris wajib menjaga kepentingan para pihak yang terkait dalam perbuatan hukum.” Selain itu, notaris pada saat menjalankan tugasnya bersamaan harus mengedepankan prinsip kehati-hatian. Notaris perlu melakukan langkah perlindungan hukum preventif dalam membuat akta, guna melindungi dirinya sendiri dan juga para pihak dalam akta. Xxxxx Xxxxx memberikan pendapatnya tentang bagaimana notaris sebaiknya bertindak dalam pembuatan perjanjian perkawinan pasca Putusan MK, dengan berdasarkan prinsip kehati-hatian tersebut. Selain untuk melindungi diri notaris untuk terlibat dari sengketa yang lahir di kemudian hari, pendapat ini juga berguna supaya kepentingan pihak ketiga terlindungi. Hal-hal yang dimaksud perlu untuk diperhatikan seperti:
Meminta daftar inventarisasi harta yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan yang akan dicatumkan dalam akta;
Ada pernyataan harta-harta tersebut tidak pernah ditransaksikan dengan cara dan bentuk apapun, untuk dan kepada siapapun.94
Salah satu akibat hukum dari perkawinan adalah terciptanya harta benda perkawinan, yaitu harta bersama dan harta pribadi, berdasarkan Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Harta bersama suami-istri hanyalah meliputi harta-harta yang diperoleh suami-istri sepanjang perkawinan maka dapat disimpulkan bahwa yang masuk dalam harta bersama adalah hasil dan pendapatan baik suami maupun istri. Sedangkan harta pribadi menurut Pasal 35 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, adalah Harta yang sudah dimiliki atau harta bawaan suami atau istri pada saat perkawinan dilangsungkan dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan tidak masuk ke dalam harta bersama kecuali mereka memperjanjikan lain. Harta pribadi tersebut masih dapat dibedakan lagi yaitu harta bawaan suami atau istri yang bersangkutan, juga harta yang diperoleh suami atau istri sebagai warisan, hadiah, maupun hibah.
Wujud dan ruang lingkup harta bersama tidak diuraikan secara lebih lanjut dalam undang-undang perkawinan, akan tetapi kaidah hukum bahwa semua harta yang diperoleh selama masa perkawinan menjadi yurisdiksi harta bersama telah tertanam.95 Proses peradilan pada dasarnya mengembangkan semua harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan menjadi yurisdiksi harta bersama dalam proses peradilan. Berdasarkan pengembangan tersebut maka, suami dan istri memiliki kedudukan yang sama dalam harta bersama, yaitu dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak sesuai yang diatur dalam Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan.
Lahirlah tanggung jawab dari suami dan istri ketika mereka secara perjanjian perkawinan dibuat dalam bentuk tertulis baik dibawah tangan maupun otentik. Perjanjian perkawinan yang dibuat dalam bentuk di bawah tangan dapat diajukan untuk disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan atau notaris sesuai yang tertera dalam Putusan MK mengenai perluasan makna ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan. Perjanjian perkawinan memiliki beberapa jenis, sebagai berikut:
Percampuran laba dan rugi (gemeenscap van winst en verlies) yaitu seluruh pendapat yang diterima suami istri yang didapatkan secara cuma-cuma (hibah atau warisan) dan penghasilan yang mereka terima akan menjadi milik bersama begitu pula semua kerugian atau pengeluaran menjadi tanggungan bersama.
Percampuran penghasilan (gemeenschap van vruchten en inkomsten) yaitu yang terjadi dalam perjanjian ini hanya persatuan penghasilan saja. Penghasilan yang diterima oleh masing-masing pihak menjadi harta bersama tetapi untuk pengeluaran atau kerugian yang diperoleh ditanggung oleh masing-masing pihak.
Pemisahan harta secara bulat (keseluruhan) yaitu pemisahan seluruh harta, baik harta sebelum maupun sepanjang perkawinan berlangsung menjadi hak dari masing-masing, dengan pemisahan harta secara sepenuhnya inilah, suami dan istri tersebut bisa melakukan perbuatan hukum sendiri atas hartanya tanpa perlu mendapatkan persetujuan dari suami ataupun istrinya.
Jenis-jenis perjanjian perkawinan menurut KHI Pasal 45 adalah sebagai berikut:
Ta’lik talak menurut ketentuan Pasal 1 huruf (e) KHI adalah Perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam akta nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang.
Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam, suami atau istri dapat mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama apabila salah satu pihak tidak memenuhi perjanjian yang telah disepakati keduanya. Istri berhak meminta pembatalan nikah atau sebagai alasan perceraian dalam gugatannya apabila suami melanggar perjanjian, dan juga sebaliknya apabila istri yang melanggar perjanjian di luar taklik talak, maka suami berhak mengajukan perkaranya ke Pengadilan Agama.96 Pasal 47 ayat (2) disebutkan bahwa, perjanjian perkawinan itu dapat berupa percampuran harta pribadi atau pemisahan harta pencarian masing-masing sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Mengenai bentuk perjanjian perkawinan yang lain yang menyangkut kedudukan harta dalam perkawinan meliputi permasalahan sebagai berikut:
Dapat berisi tentang percampuran harta pribadi;
Pemisahan harta pendapatan masing-masing suami istri;
Kewenangan melakukan pembebanan terhadap harta pribadi dan harta bersama;
Perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Hal ini bertujuan untuk melindungi istri atas hasil pencahariannya.
Adapun dengan membuat postnuptial agreement, maka akan terjadi pemisahan harta kekayaan sesuai dengan kehendak suami dan istri, dengan demikian masing-masing pihak dapat bertanggung jawab atas harta bendanya tanpa bergantung satu sama lain.
Perlindungan Hukum Terhadap Harta Suami dan Istri
Setelah munculnya putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU/XII/2015, perjanjian perkawinan dapat dibuat oleh pasangan suami setelah perkawinan berlangsung. Terdapat beberapa situasi yang menjadi alasan dibuatnya perjanjian perkawinan setelah terjadinya perkawinan, lebih rinci adalah sebagai berikut:97
Adanya kealpaan dan ketidaktahuan, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ada ketentuan yang mengatur tentang Perjanjian Kawin dibuat sebelum pernikahan dilangsungkan.
Adanya risiko yang mungkin timbul dari harta bersama. Para pihak memilih untuk bertanggung jawab mengenai harta pribadi masing-masing.
Adanya sikap individual. Para suami istri sama-sama tidak mau terlibat dalam permasalahan yang diderita oleh pasangan mereka, karena pengaruh lingkungan dan peradaban manusia yang semakin liberal dan meniru kehidupan barat yang pada akhirnya terbawa oleh pasangan suami-istri untuk melakukan pembuatan Perjanjian Kawin.
Adanya keinginan untuk tetap memiliki sertifikat dengan hak milik atas tanah. Warga Negara Indonesia yang menikah dengan Warga Negara Asing tidak dapat memiliki hak milik, hak guna usaha, maupun hak guna bangunan karena adanya harta bersama dalam perkawinan, untuk menyimpangi ketentuan tersebut maka pasangan suami istri beda kewarganegaraan perlu membuat perjanjian perkawinan.
Oleh karena sebab-sebab tersebut, tidak sedikit pula pasangan-pasangan yang kemudian membuat perjanjian perkawinan setelah perkawinan dilangsungkan, akibat pembuatan perjanjian perkawinan dapat ditinjau dari beberapa segi, diantaranya:98
Perjanjian perkawinan dapat dibuat sebelum perkawinan, pada saat dilangsungkannya perkawinan, maupun pada masa perkawinan;
Saat berlakunya perjanjian perkawinan adalah sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Penentuan tanggal berlakunya perjanjian perkawinan sejak perkawinan dilangsungkan untuk perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan akan berakibat terhadap harta benda perkawinan yang telah terjadi sebelum perjanjian perkawinan dibuat. Dengan demikian akibat serta kepastian hukumnya terhadap pihak ketiga tergantung pada penentuan kapan berlakunya perjanjian perkawinan;
Perjanjian perkawinan dapat diubah maupun dicabut asalkan tidak merugikan pihak ketiga;
Supaya berlaku terhadap pihak ketiga, perubahan dan pembatalan perjanjian perkawinan harus pula disahkan oleh pejabat pencatat perkawinan yang tidak jelas dinyatakan di dalam Putusan MK tapi sebaiknya pengesahan tersebut harus dilakukan;
Perjanjian perkawinan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang dan mengikat para pihaknya, berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata;
Terhadap harta benda perkawinan, yaitu: harta benda yang ada sebelum perjanjian kawin dibuat, akan menjadi tanggung jawab bersama, dan harta benda yang diperjanjikan dalam perjanjian kawin, maka hal tersebut akan menjadi tanggung jawab masing-masing sesuai dengan kesepakatan yang dibuat dalam perjanjian kawin tersebut.
Terhadap pihak ketiga, perjanjian kawin yang berhubungan dengan pihak ketiga akan berlaku sejak tanggal penetapan Pengadilan Negeri dikeluarkan dan telah dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Sehingga pihak ketiga dalam hal ini tidak dirugikan jika terjadi sesuatu dikemudian hari, karena sudah ada kesepakatan pemisahan harta sebelumnya.
Dibuatnya perjanjian kawin dalam masa perkawinan membawa akibat terhadap perubahan status hukum harta benda serta utang yang terdapat atau diperoleh di dalam perkawinan tersebut yang sangat berkaitan erat dengan pihak ketiga. Dengan demikian seharusnya pembuatan perjanjian perkawinan tersebut tidak boleh merugikan pihak ketiga. Namun demikian, sampai dengan saat ini belum dibuat regulasi yang mengatur tatacara pembuatan perjanjian kawin dalam masa perkawinan sehingga membuka ruang interprestasi secara luas.99
Berdasarkan ketentuan Pasal 29 ayat (4) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perakawinan Pasca Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015, maka suami istri dapat menentukan sendiri isi dari perjanjian perkawinan yang akan mereka buat, karena perjanjian perkawinan dapat berisi tentang harta perkawinan atau perjanjian lainnya, asalkan tidak memberatkan atau merugikan salah satu pihak, yang menurut Xxxxx-Xx Xxxx, ketentuan tersebut batal demi hukum. Oleh karenanya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain:
Membuat inventarisasi seluruh harta dan utang suami istri dan harta mana saja yang diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan mereka yang kemudian ditanda tangani para pihak dan dilekatkan pada minut;
Apabila suatu hari timbul perselisihan mengenai hal yang belum atau tidak diperjanjikan dalam perjanjian, maka akan menjadi tanggung jawab bersama suami istri, dan tidak boleh merugikan pihak ketiga;
Ada kemungkinan dimuatnya ketentuan terhadap berlakunya perjanjian perkawinan dengan ketentuan bersyarat demikian pula dengan ketetapan waktu atau termin (termijn);
Perjanjian perkawinan hanya berlaku hukum negara Indonesia, dan tidak boleh menggunakan undang-undang negara asing untuk pilihan hukumnya;
Tidak boleh mengurangi segala hak disandarkan pada kekuasaan suami dan kekuasaan orang tua, juga hak yang diberikan undang-undang kepada suami-istri yang hidup terlama;
Tidak boleh melepaskan hak yang diberikan undang-undang kepada mereka atas harta peninggalan keluarga sedarah mereka dalam garis ke bawah, pun tidak boleh mengatur harta peninggalan itu;
Tidak boleh suami istri saling menunjuk sebagai ahli waris masing-masing atau menjanjikan apa yang harus dimuat dalam surat wasiat masing-masing.
Sehubungan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU/XII/2015, apabila para pihak tidak menentukan waktu perjanjian perkawinan mulai berlaku maka akan dimaknai perjanjian perkawinan mulai berlaku terhitung sejak perkawinan dilangsungkan. Jika sebelumnya telah ada perbuatan hukum yang berkaitan dengan pihak ketiga, misalnya perjanjian kredit maka perubahan status hukum terhadap harta benda dalam perkawinan yang sebelumnya dalam persatuan bulat menjadi terpisah ini dapat menimbulkan permasalahan hukum.
Oleh karena itu, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan serta dilakukan untuk melindungi pihak ketiga dalam pembuatan perjanjian perkawinan yang dibuat setelah terjadinya perkawinan, yaitu:
Perjanjian perkawinan harus dibuat dihadapan Notaris
Pembuatan perjanjian perkawinan dihadapan Notaris menjadi penting untuk menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum. Hal ini berkaitan dengan kebutuhan akan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa, atau perbuatan hukum yang diselenggarakan melalui jabatan tertentu. Notaris merupakan jabatan tertentu yang menjalankan profesi dalam pelayanan hukum kepada masyarakat. Perjanjian perkawinan yang dibuat oleh Notaris dengan prinsip kehati-hatian Notaris dan dengan formilasi akta yangbaik serta edukasi yang diberikan pada para pihaknya, maka isi perjanjian perkawinan tersebut dapat melindungi semua pihak, termasuk pihak ketiga. Prinsip kehati-hatian yang harus dilakukan oleh Notaris sebelum membuat perjanjian perkawinan menurut Xxxxx Xxxxx, diantaranya:
Mendengarkan serta memahami kehendak para pihak mengenai isi perjanjian perkawinan;
Menanyakan hal-hal yang sekiranya perlu untuk ditanyakan, seperti identitas dan dokumen-dokumen kelengkapan, kapan perkawinan dilangsungkan, serta meminta para pihak untuk membuat inventarisasi keseluruhan harta beserta statusnya (sedang menjadi jaminan kredit atau tidak);
Mengedukasi para pihak tentang resiko-resiko yang mungkin terjadi atas pembuatan perjanjian perkawinan ini, supaya para pihak beritikad baik dalam pembuatan perjanjian ini;
Sebagai proteksi diri dari kriminalisasi Notaris, Notaris dapat membuat atau meminta para pihak untuk membuat pernyataan bahwa semua yang disampaikan para pihak adalah benar;
Meminta para pihak untuk membuat pengumuman di media masa, bahwa akan membuat perjanjian perkawinan.
Perjanjian perkawinan dibuat dengan itikad baik para pihak
Itikad baik dari para pihak dalam membuat suatu perjanjian merupakan suatu hal yang sangat penting. Terutama hubungannya dengan pihak ketiga, karena hanya suami istri tersebutlah yang mengetahui apabila mereka memiliki perjanjian kredit dengan pihak ketiga yang tidak diketahui oleh Xxxxxxx yang akan membuat perjanjian perkawinan dalam masa perkawinan suami istri tersebut.
Perjanjian perkawinan harus dicatatkan pada petugas pencatat perkawinan
Pengesahan perjanjian perkawinan merupakan suatu hal yang sangat penting dan tidak boleh dilewatkan oleh suami istri yang membuat perjanjian perkawinan, supaya perlindungan hukum terhadap pihak ketiga terpenuhi serta untuk memenuhi asas Publisitas, seperti yang telah diatur dalam Pasal 29 ayat (1) KUHPerdata jo. Pasal 3 Undang-Undang Perkawinan.
Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Ketiga
Oleh karena pembuatan Perjanjian Kawin sepanjang perkawinan akan berakibat terhadap status hukum harta benda dan hutang yang terdapat atau diperoleh di dalam perkawinan tersebut maka tentunya pembuatan Perjanjian Kawin tersebut tidak boleh merugikan pihak ketiga, yang menjadi permasalahan adalah bagaimana caranya kita dapat mengetahui adanya pihak ketiga yang dirugikan terkait dengan pembuatan Perjanjian Kawin.
Sampai saat ini khusus terkait pencatatan pelaporan perjanjian perkawinan di Catatan Sipil, telah dikeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Departemen Dalam Negeri Nomor 472.2/5876/DUKCAPIL tanggal 19 Mei 2017 yang ditujukan kepada semua kepala dinas kependudukan dan catatan sipil (Dukcapil) Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia, yang mengatur bahwa Dukcapil sebagai instansi pelaksana atau Unit Pelaksana Teknis (UPT) dimana akan dibuat catatan pinggir pada register akta dan kutipan akta perkawinan, sedangkan atas akta perkawinan yang diterbitkan oleh Negara lain namun perjanjian perkawinannya dibuat di Indonesia, pelaporannya dibuat dalam bentuk surat keterangan. Hal ini berlaku bukan saja pada pembuatan perjanjian perkawinan, namun juga atas perubahan dan pencabutan perjanjian perkawinan. Dan aturan ini hanya mengatur tentang pencatatan perjanjian kawin, bukan tentang mengatur tata cara pembuatan dan larangan dalam pembuatan perjanjian kawin dimaksud.
Menurut pendapat penulis, sebaiknya pemerintah dapat memberikan tata cara pelaksanaan perjanjian kawin pasca putusan Mahkamah Konstitusi untuk dapat menjadi pedoman hukum bagi suami istri, notaris, kantor pencatatan sipil maupun pihak ketiga. Sebagai contoh dapat dikemukakan oleh penulis yaitu :
Harta bersama yang sedang dijadikan objek jaminan kredit harus dikecualikan dalam perjanjian, dengan kata lain, harta yang sedang dijadikan objek jaminan kredit, harus tetap dibiarkan sebagai harta bersama yang tidak dapat beralih atau berubah status menjadi jenis harta lain selain tetap sebagai harta bersama. Hal ini dimaksudkan sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap pihak ketiga sehingga akan terjamin kepastian pembayaran dan pemenuhan kewajiban dari suami istri sebagai debitur.
Di dalam perjanjian kawin dimaksud harus ditentukan hutang bersama suami istri yang telah diperbuat sebelum perjanjian kawin dilakukan tetap menjadi hutang bersama dan menjadi tanggung jawab bersama suami istri tersebut.
Perjanjian perkawinan yang dibuat selama perkawinan berlangsung hanya meliputi harta-harta yang diperoleh setelah perjanjian perkawinan dibuat, jadi tidak meliputi harta-harta yang sudah ada sebelum perjanjian perkawinan dibuat.
Perjanjian perkawinan yang dibuat selama perkawinan berlangsung, berlaku sejak perjanjian tersebut dibuat, jadi perjanjian perkawinan tersebut tidak berlaku surut.
Perjanjian perkawinan yang dibuat selama perkawinan berlangsung perlu dibuat model/bentuk/format perjanjian yang memperhatikan norma, etika dan itikad baik, sehingga dapat terwujud keadilan dan kepastian hukum bagi para pihak yg berkepentingan.
Pihak notaris sebagai ujung tombak lahirnya perjanjian kawin dimaksud perlu dan wajib mengambil beberapa langkah antisipasi yaitu :
Meminta para pihak (suami-isteri) untuk membuat surat pernyataan rinci mengenai daftar harta dan statusnya, misalnya apakah sedang menjadi jaminan pihak ketiga.
Dibuat pernyataan oleh para pihak yang menerangkan untuk membebaskan notaris dari segala akibat hukum atas dibuatnya Perjanjian Perkawinan ini.
Melakukan pengecekan status harta benda (terutama sertipikat) yang menjadi objek dari perjanjian perkawinan apakah dijaminkan kepada pihak ketiga
Mendapatkan persetujuan dari pihak ketiga yang tersangkut misalnya dalam hal harta yang menjadi objek dari perjanjian perkawinan tersebut merupakan jaminan kredit Bank.
Sehingga diharapkan dengan beberapa langkah antisipasi tersebut kerugian pihak ketiga terutama kreditur perbankan dapat terhindari sehingga resiko notaris untuk dituntut oleh pihak ketiga akan pembatalan perjanjian perkawinan dapat dihindari dan diminimalisir
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi, maka perjanjian perkawinan dapat atau boleh dibuat, dengan catatan bahwa Notaris harus benar benar memastikan hal-hal sebagai berikut:100
Para Pihak memang sudah melakukan ikatan perkawinan sesuai ketentuan yang berlaku. Akta Perkawinannya dicantumkan dalam premisa Akta Perjanjian Kawin yang akan dibuat tersebut.
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga dicantumkan dalam Premisa Akta.
Ditentukan bahwa Pisah Harta berlaku sejak tanggal Akta tersebut disahkan /dicatatkan di catatan sipil.
Oleh karena itu untuk Perjanjian Kawin perlu minta Pencatatan Tambahan oleh Xxxxxxx Xxxxx.
Organisasi (INI dan IPPAT) perlu mendorong Catatan Sipil untuk mencapai kesepahaman mengenai tugas pencatatan tersebut.
Guna menghindari kerugian pihak ketiga sebaiknya diberitahukan/diumumkan kepada pihak ketiga seperti Bank dan Kreditur (termasuk dalam Koran / dalam berita Negara)
Terkait dengan perlindungan hukum kepada pihak ketiga yang tidak boleh dirugikan, maka dalam hal pembuatan akta perjanjian kawin selama berlangsungnya perkawinan dengan dibuatnya akta Notaris, maka seorang Notaris dalam pembuat akta perjanjian kawin selama berlangsungnya perjanjian "wajib" pula mempertimbangkan kepentingan pihak ketiga agar jangan sampai dirugikan.
Oleh karena itu, seorang Notaris dalam pembuat akta perjanjian kawin selama berlangsungnya perkawinan, penulis sarankan untuk mengambil langkah-langkah sebagai berikut :
Pembuatan akta perjanjian kawin selama berlangsungnya perkawinan oleh Notaris "dilakukan atas dasar Putusan Pengadilan, yang mengijinkan dan memberi persetujuan kepada suami istri tersebut membuat perjanjian kawin selama berlangsungnya perkawinan, dan Xxxxx telah mempertimbangkan dan menyatakan dalam Putusan Pengadilan tersebut bahwa dengan pembuatan perjanjian kawin tersebut "tidak ada pihak ketiga terkait yang dirugikan", sekaligus dalam putusan Pengadilan tersebut juga dimuat "penunjukan Notaris (nama notaris) yang diperintahkan untuk membuat akta perjanjian kawinnya".
Berdasarkan putusan Pengadilan tersebut lah maka notaris harus melakukan beberapa tindakan sebelum perjanjian itu dibuat yaitu:
Oleh Notaris rencana pembuatan perjanjian kawin tersebut diumumkan terlebih dahulu dalam surat kabar harian;
Dalam pengumuman tersebut, memberi kesempatan kepada pihak ketiga untuk mengajukan keberatan dalam waktu tertentu (misalnya 7 hari atau 14 hari); dan
Setelah point huruf a dan huruf b tsb dilakukan, maka Notaris baru dapat membuat akta perjanjian kawin yang dibuat selama berlangsungnya perkawinan, dan hal putusan Pengadilan tersebut, pengumuman tersebut dan kesempatan mengajukan keberatan bagi pihak ketiga tersebut dinyatakan dengan jelas, lengkap dan tegas dalam akta perjanjian kawin tersebut.
Mengenai "pemberlakuan/mulai berlakunya" terhadap perjanjian kawin yang dimuat dalam akta perjanjian kawin, "sebaiknya" dan "disarankan kepada para pihak" diatur ketentuan hukumnya bahwa "perjanjian kawin yang dibuat selama berlangsungnya perkawinan tersebut, pemisahan harta perkawinan dengan akta perjanjian kawin tersebut mulai berlaku dan berlangsung terhitung sejak tanggal pembuatan akta perjanjian kawin dibuat dan ditandatangani, sedangkan "status, kedudukan, keadaan dan kondisi hukum terhadap harta perkawinan sebelum dibuatnya akta perjanjian kawin yang terkait dan berhubungan dengan semua perjanjian/perikatan dan kesepakatan dengan pihak ketiga yang telah dibuat sebelum dibuatnya perjanjian kawin tersebut tetap sebagaimana status, kedudukan, keadaan dan kondisi hukum semula seperti sebelum terjadi dan dibuatnya perjanjian kawin, dan perjanjian kawin yang dibuat oleh suami istri tersebut tidak berlaku surut.
Sekalipun demikian telah dipertimbangkan, diperhitungkan dan dilakukan dengan cermat dan teliti oleh seorang Notaris dalam pembuatan perjanjian kawin selama berlangsungnya perkawinan, tidak menutup pintu bagi pihak ketiga yang merasa dirugikan untuk melakukan tuntutan atau gugatan terhadap pembuatan perjanjian kawin tersebut.
Menurut pendapat penulis, walaupun dalam putusan Mahkamah Konstitusi No.69/PUU-XII/2015 bahwa para pihak dapat menetapkan kapan saat mulai berlakunya perjanjian kawin, namun menurut pendapat penulis perjanjian kawin tersebut seharusnya hanya mengatur terhadap harta-harta yang akan diperoleh kemudian setelah perjanjian kawin tersebut dibuat, bukan berlaku terhadap harta-harta yang telah diperoleh sebelum perjanjian kawin. Demikian juga mengenai syarat berlakunya perjanjian kawin tersebut harus secara tegas menyebutkan perjanjian kawin tersebut tidak boleh merugikan pihak ketiga.
Adapun klausula yang mesti dijanjikan oleh para pihak dan pendapat hukum yang mesti disampaikan oleh notaris kepada para pihak adalah dengan memuat klausula yaitu: “segala perbuatan hukum yang dilakukan sebelum perbuatan akte perjanjian kawin ini beserta akibat hukumnya tetap berlaku dan mengikat bagi kedua belah pihak seperti sebelum dibuat ditandatanganinya akte perjanjian kawin ini dan karenanya para penghadap tetap terikat dan tunduk dalam setiap ketentuan yang telah diperbuat dengan pihak ketiga sampai dengan perbuatan hukum tersebut secara resmi dinyatakan selesai “
Dan atau memuat klausula “Bahwa terhitung sejak hari dan tanggal akta ini ditandatangani antara pihak pertama (suami) dan pihak kedua (isteri) tidak terdapat persatuan harta benda baik bergerak maupun tidak bergerak, persatuan untung rugi, persatuan hutang piutang atau persatuan kebendaan maupun persatuan hasil dan pendapatan, Sedangkan terhadap persatuan harta benda baik bergerak maupun tidak bergerak, persatuan untung rugi, persatuan hutang piutang atau persatuan kebendaan maupun persatuan hasil dan pendapatan yang telah ada sebelum perjanjian ini ditandatangani tetap menyatu antara pihak pertama (suami) dan pihak kedua (isteri).”
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Prosedur pencatatan perjanjian perkawinan yang dibuat selama perkawinan berlangsung pada akta perkawinan diatur dalam Surat Edaran yang dikeluarkan oleh Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Nomor: 472.2/5876/Dukcapil mengenai “Pencatatan Pelaporan Perjanjian Perkawinan” pada tanggal 19 Mei 2017. Berdasarkan aturan tersebut, pasangan suami yang telah membuat perjanjian perkawinan membawa persyaratan sebagaimana yang telah diatur dalam lampiran I (foto copy KTP-el; foto copy KK, foto copy akta notaris perjanjian perkawinan yang telah dilegalisir dengan menunjukkan aslinya; kutipan akta perkawinan suami dan isteri) ke KUA bagi Muslim dan Dispendukcapil bagi Non Muslim kemudian oleh pejabat yang berwenang membuat catatan pinggir pada register akta dan kutipan akta nikah sebagaimana format pada lampiran II A. Hal ini dilakukan agar perjanjian perkawinan tersebut dapat mengikat bagi pihak ketiga.
124
Kepastian hukum perjanjian perkawinan: sampai saat ini khusus terkait pencatatan pelaporan perjanjian perkawinan di Catatan Sipil, telah dikeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Departemen Dalam Negeri Nomor 472.2/5876/DUKCAPIL tanggal 19 Mei 2017 yang ditujukan kepada semua kepala dinas kependudukan dan catatan sipil (Dukcapil) Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia, yang mengatur bahwa Dukcapil sebagai instansi pelaksana atau Unit Pelaksana Teknis (UPT) dimana akan dibuat catatan pinggir pada register akta dan kutipan akta perkawinan, sedangkan atas akta perkawinan yang diterbitkan oleh Negara lain namun perjanjian perkawinannya dibuat di Indonesia, pelaporannya dibuat dalam bentuk surat keterangan. Hal ini berlaku bukan saja pada pembuatan perjanjian perkawinan, namun juga atas perubahan dan pencabutan perjanjian perkawinan. Dan aturan ini hanya mengatur tentang pencatatan perjanjian kawin, bukan tentang mengatur tata cara pembuatan dan larangan dalam pembuatan perjanjian kawin dimaksud.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk melindungi pihak-piahk atas perjanjian perkawinan yang dibuat pada masa perkawinan, diantaranya: (a) perjanjian perkawinan seharusnya dibuat dihadapan Notaris; (b) Perjanjian perkawinan harus dibuat dengan itikad baik para pihak; (c) Perjanjian perkawinian wajib dicatatkan oleh petugas pencatat perkawinan. Perlindungan kepentingan pihak ketiga dalam perjanjian perkawinan pasca Putusan MK 69/PUU-XIII/2015 lebih bersifat represif, karena identitas dan kepetingan daripada pihak ketiga tidak terlihat apabila tidak ada hubungan hukum antar dirinya dengan baik salah satu atau pasangan suami-istri. Kepentingan pihak ketiga yang terganggu juga baru terlihat ketika ada permasalahan yang terjadi antara para pihak, sehingga perlindungan hukum yang bersifat represif lebih efektif daripada perlindungan hukum preventif dalam penyelesaian kasus.
Saran
Seharusnya pihak Pengadilan Negeri tidak perlu lagi menerima pendaftaran terhadap perjanjian perkawinan karena dalam Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan sudah ditentukan bahwa pendaftaran seharusnya dilakukan ke pegawai pencatatan perkawinan. Sehingga dalam praktekya di masyarakat tidak membingungkan masyrakat umum yang tidak atau kurang mengerti akan Hukum.
Pasangan suami istri yang hendak membuat perjanjian kawin seharusnya dilakukan dengan dasar itikad baik dan tidak boleh merugikan pihak ketiga.
Untuk Pihak ketiga atau pihak-pihak yang merasa dirugikan sebaiknya mengajukan judicial review atau peninjauan kembali putusan Nomor 69/PUU-XII/2015 oleh Mahkamah Konstitusi, ini untuk lebih menyempurnakan isinya lagi, sehingga hal-hal yang belum diatur didalamnya dapat diatur lagi dan tidak menimbulkan spekulasi-spekulasi dan tafsiran yang telalu luas, sehingga regulasi mengenai perjanjian perkawinan ini semakin sempurna dan tidak merugikan berbagai pihak.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
A. Damanhuri H.R, 2007, Segi-Segi Hukum Perjanjian Kawin Harta Bersama, Mandar Maju, Jakarta
Abd. Xxxxxx Xxxxxxx, 2013, Xxxxx Xxxxxxxxx, Kencana, Bogor
Xxxxx Xxxxx, 2003, Hukum Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta
Xxxxx, C., 2015, Teori dan Hukum Konstitusi: Paradigma Kedaulatan Dalam UUD 1945 (Pasca Perubahan), Implikasi dan Implementasinya Pada Lembaga Negara, Setara Press, Malang
Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxx, 2017, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, CV. Mandar Maju, Bandung
Xxxxxxx Xxxxxxxx, 2010, Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta
Burhan Bungin, 2003, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis Kearah Penguasaan Modal Aplikasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta
Xxxxxxxxx Xxxxxxxx Xxxxxxxxxx, 2012, Hukum Harta Kekayaan Menurut Sistematika KUH Perdata Dan Perkembangannya, Refika Aditama, Bandung
Xxxx Xxxxxxx and Xxxxx Xxxxx, 2010, The English Legal System, Routledge, England
H. Iriyanto A. Baso Ence, 2008, Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi (Telaah Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi), P.T. Alumni, Bandung
H. Xxxxx HS dan Erlies Xxxxxxxx Xxxxxxx, 2016, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Disertasi dan Tesis (Buku Ketiga), PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta
Xxxxx Xxxxx, 2009, Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung
Happy Susanto, 2008, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadi Perceraian, Cetakan Pertama, Visi Media, Jakarta
Xxxxxxx Xxxxxxx, 2007, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung
I Xxxx Xxxx Xxxxxxx, Xxxxxxxxx dan Xxxx Xxxxxx, 2014, Filsafat Ilmu Dari Pohon Pengetahuan Sampai Karakter Keilmuan Ilmu Hukum, Madani, Malang
J. Satrio, 1993, Hukum Harta Perkawinan, Citra Xxxxxx Xxxxxx, Bandung
JJ. Warisman, 1996, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, UI Pers, Jakarta
Xxx Xxxxxxx Xxxx, 2003, Kepastian Hukum di Negara Berkembang, Terjemahan Tristam Moeliono, Komisi Hukum Nasional, Jakarta
Xxxxxxx Xxxxxx, 2013, Status Hukum Perjanjian Perkawinan Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang perkawinan (Analisis Kasus Putusan Nomor 69/Pdt.G/2010/PN.Dps), FH UI, Jakarta
Xxxxxx Xxxxxxx. 2017. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayu Media Publishing
Koentjaraningrat, 1980, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Cet. III, Gramedia, Jakarta
Komar Andasasmita, 1990, Notaris II Contoh Akta Otentik dan Penjelasannya, Cetakan Kedua, Ikatan Notaris Indonesia (INI) Daerah Jawa Barat, Bandung
Xxxxxxxxxx dan Xxxxx Xxxxxxxxx Xxxxxxxxxx, 2000, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah, Bumi Aksara, Jakarta
Xxxx X Xxxxxxx, 1990, Metodologi penelitian kualitatif, Xxxxxx Xxxxxxxxxx
Libertus Jehani, 2008, Perkawinan Apa Resiko Hukumnya ?, Cetakan Pertama, Forum Sahabat, Jakarta
M. Solly Lubis, 1994, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung
Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx, 2010, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, PT. Alumni, Bandung
Muchsin, 2003, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, Universitas Sebelas Maret, Surakarta
Noeng Muhadjir, 1996, Metodologi Penelitian Kualitatif, Roke Sarasni, Yogyakarta
Xxxxxxxx X. Hadjon, 1987, Perlindungan Bagi Rakyat diIndonesia, PT.Bina Ilmu, Surabaya
X.Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxxxxxx, 2000, Hukum Orang Dan Keluarga (Personen En Familie –Recht), Airlangga University Press, Surabaya
X.Xxxxxxx, 2001, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta
Xxxxxxx Xxxx’at, 2016, Advokasi Xxx Xxxxxxxxxx Penyelesaian Sengketa, Xxxxx Xxxxxx, Surya Pena Gemilang, Malang
Xxxxx Xxxxxxxx Xxxxxxxx, 1998, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri , Ghalia Indonesia, Jakarta
Xxxxx X.X, 2010, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta
Samadi Suryabrata, 1998, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta
Sanapiah Faisal, 1989, Format-Format Penelitian Sosial, Raja Grafindo Persada, Jakarta
Satjipto Raharjo, 1996, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Pers, Jakarta
Soerjono Soekanto, 1999, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia (suatu tinjauan secara sosiologis), cetakan keempat, Universitas Indonesia, Jakarta
Xxxxxxxx Xxxxxxxx dan Xxx Xxxxxxx, 2011, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo, Jakarta
Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, 1987, Hukum Orang dan Keluarga, Cetakan V, Alumni, Bandung
Soetojo Prawirohamidjojo, 1994, Pluralisisme Dalam Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga Press, Surabaya
Xxxxxxxxx Xxxxxxx, 1994, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Alumni, Bandung
Titik Triwulan Tutik, 2006, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, Cetakan Pertama , Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta
Xxxxxxx Xxxxxxx, 2011, Ham Politik (Kebebasan Berpendapat di Indonesia), Udayana University Press, Denpasar
Xxxxxxx Xxxxxxx, 2015, Hukum Ham dan Pemerintahan, Udayana University Press, Denpasar
Peraturan-Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Laporan Penelitian
Xxxxxx Xxxxxxxxx dan Xxxxx Xxxxxxxxx, Akibat Hukum Perjanjian Kawin Yang Dibuat Setelah Perkawinan Berlangsung, Jurnal Privat Law Volume III nomor 2 Juli-Desember 2015
Xxxxxx Xxxx Xxxxxx. “Kedudukan Hukum Perjanjian Perkawinan yang dibuat Setelah Perkawinan terhadap Pihak Ketiga (Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 69/PUU-XIII/2015)’. Jurnal Hukum dan Kenotariatan, Vol 2, No 1 (2018): Jurnal Volume II – Nomor 1– Februari 2018
Dian Trisna Dewi. “Akibat Hukum Pendaftaran Perjanjian Kawin Terhadap Pihak Ketiga Menurut Hukum Positip”. Jurnal Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Islam Malang
Xxx Xxxxxxxxxxx, Implikasi dan Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 Terhadap Pembuatan Akta Perjanjian Perkawinan Setelah Kawin yang Dibuat di Hadapan Notaris, Lex Renaissance Volume 2 Nomor 1 Januari 2017
Kadek Dwi Tusidhi Cesaryanti, 2014, “Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan Yang Tidak Disahkan Di Kantor Catatan Sipil Bagi Warga Negara Indonesia Terhadap Kepemilikan Hak Milik Atas Tanah Dalam Perkawinan Campuran”, Tesis Program Studi Magister Kenotariatan, Program Pascasarjana, Universitas Udayana, Denpasar
Moch. Isnaeni, Problematika Perjanjian Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 69/PUU-XIII/2015, Acara Seminar Himpunan Mahasiswa Kenotariatan Universitas Airlangga, Surabaya, 5 Desember 2016
Parwoto Wignjosumarto, Peran Hakim Agung dalam Penemuan Hukum dan Penciptaan Hukum pada Era Reformasi dan Transformasi, Jakarta: Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun ke-XXI No. 251, Oktober 2006
Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxx, “Perjanjian Perkawinan dalam Pandangan Hukum Islam”, Serat Acitya-Jurnal Ilmiah, UNTAG Semarang
1 Pasal 1 Undang-undang no. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
2 Xxxxxxxxx Xxxxxxxx Xxxxxxxxxx, 2012, Hukum Harta Kekayaan Menurut Sistematika KUH Perdata Dan Perkembangannya, Refika Aditama, Bandung, halaman 22.
3 X.Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxxxxxx, 2000, Hukum Orang Dan Keluarga (Personen En Familie –Recht), Airlangga University Press, Surabaya, halaman 73.
4 R.Subekti, 2001, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, halaman 39.
5 M. Solly Lubis, 1994, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, halamn 80.
6 Xxxx X Xxxxxxx, 1990, Metodologi penelitian kualitatif, Remaja Rosdakarya, halaman 195.
7 M. Solly Lubis, Loc.,Cit.
8 Xxxxx X.X, 2010, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, halaman 54.
9 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Pers, Jakarta, halaman 6.
10 JJ. Warisman, 1996, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, UI Pers, Jakarta, halaman 203.
11 Xxxxxxxx Xxxxxxxx, Op, .Cit, h.121.
12 Xxxxxxx Xxxxxxx, Op.cit, halaman 242.
13 Xxxxxxx Xxxxxxx, 2011, Ham Politik (Kebebasan Berpendapat di Indonesia), Udayana University Press, Denpasar, halaman 99.
14 H. Iriyanto A. Baso Ence, 2008, Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi (Telaah Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi), P.T. Alumni, Bandung, halaman 41.
15 Xxxx Xxxxxxx and Xxxxx Xxxxx, 2010, The English Legal System, Routledge, England, halaman 23.
16 H. Xxxxx HS dan Erlies Xxxxxxxx Xxxxxxx, 2016, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Disertasi dan Tesis (Buku Ketiga), PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, halaman 8.
17 Xxxxx Xxxxx, 2009, Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung, halaman 37
18 Soerjono Soekanto, 1999, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia (suatu tinjauan secara sosiologis), cetakan keempat, Universitas Indonesia, Jakarta, halaman 55.
19 Xxx Xxxxxxx Xxxx, 2003, Kepastian Hukum di Negara Berkembang, Terjemahan Tristam Moeliono, Komisi Hukum Nasional, Jakarta, halaman 25.
20 Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, halaman 53.
21 Ibid., hal. 54.
22 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, 1991, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi kedua, cet. 0, Xxxxx Xxxxxxx, Xxxxxxx, xxx. 59.
23 Xxxxxxx Xxxxxx, 2012, Pengantar Hukum Indonesia, Medan Area University Press, Medan, hal. 5.
24 Ibid.
25 Satjipto Raharjo, Op. Cit., hal. 54.
26 Ibid., hal. 55.
27 Ibid., hal. 55.
28 Xxxx Xxxxxxxxx, 2009, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta, halaman 1.
29 Satjipto Raharjo, 1996, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, halaman 48.
30 Noeng Muhadjir, 1996, Metodologi Penelitian Kualitatif, Roke Sarasni, Yogyakarta, halaman 22.
31 Xxxxxxxx Xxxxxxxx, Op.Cit., h. 21.
32 Satjipto Rahardjo, Op.Cit., h. 30.
33 Ibid., h. 30.
34 Koentjaraningrat, 1980, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Cet. III, Gramedia, Jakarta, halaman 21.
35 Komaruddin dan Xxxxx Xxxxxxxxx Xxxxxxxxxx, 2000, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah, Bumi Aksara, Jakarta, halaman 122.
36 Samadi Suryabrata, 1998, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, halaman 31.
37 Sanapiah Xxxxxx, 1989, Format-Format Penelitian Sosial, Raja Grafindo Persada, Jakarta, halaman 34.
38 Abd. Xxxxxx Xxxxxxx, 2013, Xxxxx Xxxxxxxxx, Kencana, Bogor, halaman 119.
39 Xxxxxxxx Xxxxxxxx dan Xxx Xxxxxxx, 2011, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo, Jakarta, halaman 1.
40 Sunaryati Xxxxxxx, 1994, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Alumni, Bandung, halaman 105
41 Xxxxxx Xxxxxxx. 2017. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayu Media Publishing, halaman 303.
42 Ibid, halaman 20.
43 Xxxxxxxx Xxxxxxxx dan Xxx Xxxxxxx, Op,Cit., h. 39.
44 Xxxxxxx Xxxxxxxx, 2010, Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, halaman 114.
45 Burhan Bungin, 2003, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis Kearah Penguasaan Modal Aplikasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, halaman 53.
46 Xxxxx Xxxxxxxx Xxxxxxxx, 1998, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri , Ghalia Indonesia, Jakarta, halaman 57.
47 Soetojo Prawirohamidjojo, 1994, Pluralisisme Dalam Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga Press, Surabaya, halaman 58.
48 J. Satrio, 1993, Hukum Harta Perkawinan, Citra Aditya Bhakti, Bandung, halaman 148-149.
49 Libertus Jehani, 2008, Perkawinan Apa Resiko Hukumnya ?, Cetakan Pertama, Forum Sahabat, Jakarta, halaman 78.
50 Happy Susanto, 2008, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadi Perceraian, Cetakan Pertama, Visi Media, Jakarta, halaman 102-104
51 J. Satrio, Op. cit., hal 224
52 Komar Andasasmita, 1990, Notaris II Contoh Akta Otentik dan Penjelasannya, Cetakan Kedua, Ikatan Notaris Indonesia (INI) Daerah Jawa Barat, Bandung, halaman 58.
53 Xxx Xxxxxxxxxxx, Implikasi dan Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 Terhadap Pembuatan Akta Perjanjian Perkawinan Setelah Kawin yang Dibuat di Hadapan Notaris, Lex Renaissance Volume 2 Nomor 1 Januari 2017, halaman 22.
54 Ibid.
55 Moch. Isnaeni, Problematika Perjanjian Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 69/PUU-XIII/2015, Acara Seminar Himpunan Mahasiswa Kenotariatan Universitas Airlangga, Surabaya, 5 Desember 2016, hlm 21
56 Xxxxxx Xxxxxxxxx dan Xxxxx Xxxxxxxxx, Akibat Hukum Perjanjian Kawin Yang Dibuat Setelah Perkawinan Berlangsung, Jurnal Privat Law Volume III nomor 2 Juli-Desember 2015, hlm 89
57 R . Tjitrosudibio dan R. Subekti, 2006, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, P.T. Pradnya Paramita, Jakarta, halaman 26.
58 Ibid., halaman 102.
59 Ibid.
60 Ibid.
61 Wirjono Prodjodikoro, 1981, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan tertentu, Sumur, Bandung, halaman 11.
62 Ibid., halaman 2.
63 Ibid., halaman 3.
64 Ibid., halaman 3.
65 Xxx Xxxxxx, 2004, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, Jakarta, Rineka Cipta, halaman 172
66 Rosnindar Sembiring, 2016, Hukum Keluarga Harta Benda Dalam Perkawinan, Jakarta, Raja Grafindo Persada, halaman 64.
67 Ibid., halaman 66.
68 Titik Triwulan Tutik, 2006, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, Cetakan Pertama , Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, halaman 249
69 Libertus Jehani, Op. Cit., halaman 78.
70 Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, 1987, Hukum Orang dan Keluarga, Cetakan V, Alumni, Bandung , hal. 83
71 A. Damanhuri H.R, 2007, Segi-Segi Hukum Perjanjian Kawin Harta Bersama, Mandar Maju, Jakarta, halaman 10.
72 Dian Trisna Dewi. “Akibat Hukum Pendaftaran Perjanjian Kawin Terhadap Pihak Ketiga Menurut Hukum Positip”. Jurnal Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Islam Malang, halaman 39.
73 Xxxxxxx Xxxxxxx, 2007, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, halaman 87.
74 Soetojo Prawirohamidjojo dan Xxxxxxxxxx Xxxxx, Hukum Orang dan Keluarga (Personen en Familie–Recht), Op. Cit., halaman 83.
75 Damanhuri H.R., Op.Cit, hlm. 11
76 Xxxxxxx Xxxxxx, 2013, Status Hukum Perjanjian Perkawinan Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang perkawinan (Analisis Kasus Putusan Nomor 69/Pdt.G/2010/PN.Dps), FH UI, Jakarta, hlm. 62.
77 Parwoto Wignjosumarto, Peran Hakim Agung dalam Penemuan Hukum dan Penciptaan Hukum pada Era Reformasi dan Transformasi, Jakarta: Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun ke-XXI No. 251, Oktober 2006, halaman 69
78 Xxxx Xxxxxxxxxxx, 2014, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, halaman 40.
79 Moch. Isnaeni, 2016, Hukum Perkaawinan Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, halaman 35-38.
80 Xxxxx Xxxxxxxx dan Azhari Akmal Tarigan, 2006, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih UU No.1/1974 sampai KHI, Kencana, Jakarta, halaman 40.
81 Xxxxxxxx Xxx Xxxxx, 2003, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, Siraja, Jakarta, halaman 1.
82 Rie. G. Kartasapoetra, 1998, Pengantar Ilmu Hukum Lengkap, Cetakan 1, Bina Aksara, Jakarta, halaman 97.
83 Wasman & Wadah Nuromiyah, 2011, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (perbandingan Fiqh dan Hukum Positif), Teras, Yogyakarta, halaman 279.
84 Suhardana, 2001, Hukum Perdata I, Prenhallindo, Jakarta, halaman 93.
85 Soemiyati, 1997, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, cet. 2, Liberty, Yogyakarta, halaman 30.
86 Hilman Hadikusuma, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung, halaman 45.
87 Bakri A. Xxxxxx dan Xxxxx Xxxxxxx, 1993, Hukum Perkawinan Menurut Islam, Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Perdata/BW, Hidakarya Agung, Jakarta, halaman 32.
88 Hilman Hadikusuma, Op. Cit., halaman 51.
89 Sudarsono, 1991, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, halaman 77.
90 Soemiyati, Op. Cit., halaman 66.
91 Xxxxxxxx X. Hadjon, 1987, Perlindungan Bagi Rakyat diIndonesia, PT.Bina Ilmu, Surabaya, halaman 25.
92 Muchsin, 2003, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, halaman 20.
93 Xxxxxxxx X. Hadjon, 1987, loc.cit.
94 Xxxxx Xxxxx, 2016, Memahami Kedudukan Hukum: “Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”, makalah, pada seminar Ikatan Notaris Indonesia, Hotel Grasia Semarang, 19 Desember 2016
95 Xxxxx Xxxxx, Op. Cit., halaman 46.
96 Xxxxx Xxxxx, 2003, Hukum Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, halaman 162.
97 Xxxxxx Xxxxxxxxxx dan Xxxxx Xxxxxxxxx. “Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan yang dibuat Setelah Perkawinan Berlangsung”, Privat Law Vol. III No 2 Juli-Desember 2015, hlm. 91
98 Yulies Tiena Masriani, “Perjanjian Perkawinan dalam Pandangan Hukum Islam”, Serat Acitya-Jurnal Ilmiah, UNTAG Semarang, hlm. 128
99 Xxxxxx Xxxx Xxxxxx. “Kedudukan Hukum Perjanjian Perkawinan yang dibuat Setelah Perkawinan terhadap Pihak Ketiga (Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 69/PUU-XIII/2015)’. Jurnal Hukum dan Kenotariatan, Vol 2, No 1 (2018): Jurnal Volume II – Nomor 1– Februari 2018. hlm. 176.
100 Perjanjian Kawin Pasca Berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi RI no.69/PUUXIII/2015, Seminar diadakan oleh pengurus wilayah (Pengwil) INI 7 IPPAT DKI Jakarta, tanggal 23 November 2016, di Hotel Sahid Sudirman, Jakarta