IMPLIKASI YURIDIS PERALIHAN PERJANJIAN UTANG PIUTANG DARI BANK KONVENSIONAL MENJADI PEMBIAYAAN BANK SYARIAH
IMPLIKASI YURIDIS PERALIHAN PERJANJIAN UTANG PIUTANG DARI BANK KONVENSIONAL MENJADI PEMBIAYAAN BANK SYARIAH
(PT BANK BRISYARIAH PUSAT)
T E S I S
NAMA : XXX XXXXXXXX NIM : 18921037
BKU : KENOTARIATAN
IMPLIKASI YURIDIS PERALIHAN PERJANJIAN UTANG PIUTANG DARI BANK KONVENSIONAL MENJADI PEMBIAYAAN BANK SYARIAH
(PT BANK BRISYARIAH PUSAT)
T E S I S
NAMA : XXX XXXXXXXX NIM : 18921037
BKU : KENOTARIATAN
PERSEMBAHAN
KUPERSEMBAHKAN TESISKU INI UNTUK ALMAMATERKU TERCINTA, PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN,
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM, UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA,DAN
RASA HORMATKU DAN TERIMA KASIHKU KEPADA PARA KELUARGAKU TERCINTA
ALM.Xxx. Xxx Xxxxxx
PAPA TERCINTA SAYA YANG MENGHARAPKAN DAPAT MELIHAT SAYA LULUS S2
AKHIRNYA SAYA BISA MENGABULKAN KEINGINAN AYAH SAYA MESKIPUN TERLAMBAT
MAAFKAN ANAKMU INI YA PAPA
ANDAI WAKTU INI DAPAT AKU ULANG KEMBALI
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis
berjudul IMPLIKASI XXXXXXX XXXXXXXAN PERJANJIAN UTANG PIUTANG
DARI BANK KONVENSIONAL MENJADI PEMBIAYAAN BANK SYARIAH
(PT BANK BRISYARIAH PUSAT) dengan baik dan lancar.
Penulisan Tesis ini dilaksanakan guna melengkapi sebagian persyaratan dalam memperoleh gelar Magister Kenotariatan di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Penulis menyadari bahwa keberhasilan ini bukanlah keberhasilan individu semata, namun berkat bantuan dan bimbingan dari semua pihak. Oleh karena itu, penulis bermaksud menghaturkan terima kasih kepada:
1. Xxxx. XXXXXX XXXXX, ST., X.Xx., Ph.D. selaku REKTOR UII
2. Xx. Xxxxx Xxxxx, S.H., M.H. selaku DEKAN FH UII
3. Dr. Nurjihad, SH., M.Hum. Selaku Ketua Prodi MAGISTER
KENOTARIATAN yang telah memberikan izin dalam penulisan tesis ini
4. Xx.Xxxxx Xxxxx Xxxxx,S.H.,M.Hum selaku dosen pembimbing I yang selalu memberikan waktu bimbingan dan arahan selama penyusunan Tesis ini.
5. Xxxxxxx Xxxxxxxxxx,S.H.,M.Hum selaku dosen pembimbing I yang selalu memberikan waktu bimbingan dan arahan selama penyusunan Tesis ini.
6. Xxxx Xxxxxxxx,S.H MAMA tercinta yang tidak henti hentinya memberikan semangat dan dukungannya “I LOVE U MAMA”
7. Alm. Xxx.Xxx Xxxxxx PAPA tercinta yang mengharapkan kelulusan saya ini sebelum tiada “I LOVE U PAPA”
8. Xxxx Xxxxx Xxxxxxx pendamping dalam setiap bimbingan yang selalu
memberikan semangat dan motivasi. TERIMA KASIH SELALU ADA
buat saya. “ I LOVE U BOSKUUU”
9. Seluruh Dosen MAGISTER KENOTARIATAN Universitas Islam Indonesia Yogyakarta yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan baik isi maupun susunannya. Semoga Tesis ini dapat bermanfaat tidak hanya bagi penulis juga bagi para pembaca.
Yogyakarta ,Senin 21 Mei 2021
Xxx Xxxxxxxx,X.X
Abstrak
Islamic banking is a banking system developed based on Islamic sharia (law). Indonesia, where part of the population is Muslim, provides ample room for the development of Islamic banks. The development of Islamic banking in Indonesia has become a measure of the success of the existence of the Islamic economy. The purpose of writing this final project is to find out the implementation of Sharia principles in the activities of collecting funds and distributing funds as well as Islamic banking services. The PBI regulates services at Islamic banks, one of which is the transfer of debt using the hiwalah contract, which is implemented by the Central branch of PT Bank Rakyat Indonesia Syariah.
The research method used in this research is a case study. Data obtained through two sources, namely primary data and secondary data. Primary data were obtained by direct interviews with the legal division of PT Bank Rakyat Indonesia Syariah Pusat. While secondary data is obtained from other sources related to research, this data is obtained from books and other sources. The result of this research is that PT Bank Rakyat Indoesia Syariah Pusat has implemented a Take over Process / Transfer of Debt from Conventional Banks to Sharia Bank Rakyat Indonesia in accordance with Sharia rules without overriding the rules of the Government. In terms of Islamic law, the implementation of debt transfer (take over) is in accordance with sharia. The implementation of the debt transfer that occurs is using a merger of contracts that have been legalized by the MUI's DSN, namely the qardh wal murabahah, qardh wal musyarakah, qardh wal ijarah, and qardh wal ijarah muntahiya bitamlik contracts. From a positive legal point of view, the implementation of debt transfer at BRI Syariah is considered not to violate the Sharia Banking Law Number 21 of 2008, because it does not violate the provisions of this Law.
The suggestions that the author can give to PT Bank Rakyat Indonesia Syariah Pusat Jakarta to explain in more detail to customers the process of transferring debt from Conventional Banks to Bank Rakyat Indonesia Syariah so that customers can more easily understand the process and flow.
Perbankan syariah adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan syariah (hukum) Islam. Indonesia yang sebagian penduduknya adalah muslim memberikan ruang yang cukup lebar bagi perkembangan bank syariah. Perkembangan perbankan syariah di Indonesia telah menjadi tolak ukur keberhasilan eksistensi ekonomi syariah. Penulisan Tugas Akhir ini bertujuan untuk mengetahui Pelaksanaan Prinsip Xxxxxxx dalam Kegiatan Penghimpunan Xxxx dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Bank Syariah. Di dalam PBI tersebut mengatur tentang pelayanan jasa di bank syariah salah satunya adalah pengalihan hutang menggunakan akad hiwalah.yang diterapkan oleh PT Bank Rakyat Indonesia Syariah cabang Pusat.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus Data yang diperoleh melalui dua sumber, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan wawancara langsung bagian legal PT Bank Rakyat Indonesia Syariah Pusat. Sedangkan data sekunder diperoleh dari sumber lain yang berkaitan dengan penelitian, data ini diperoleh dari buku maupun sumber lainnya. Hasil penelitian ini adalah bahwa PT Bank Rakyat Indoesia Syariah Pusat telah melaksanakan Proses Take over/Pengalihan Utang dari Bank Konvensional ke Bank Rakyat Indonesia Syariah seusai aturan Syariah tanpa mengesampingkan aturan dari
Pemerintah. Pelaksanaan pengalihan hutang (take over) di BRI Syariah dari segi hukum Islam, telah sesuai dengan syariah. Pelaksanaan pengalihan hutang yang terjadi yaitu menggunakan penggabungan akad yang telah dilegalkan oleh DSN MUI yakni akad qardh wal murabahah, qardh wal musyarakah, qardh wal ijarah, dan qardh wal ijarah muntahiya bitamlik. Dari segi hukum positif, pelaksanaan pengalihan hutang di BRI Syariah dinilai tidak melanggar Undang-Undang Perbankan Syariah Nomor 21 Tahun 2008, Karena tidak menyalahi ketentuan ada dalam Undang-Undang tersebut.
Saran yang dapat penulis berikan bagi PT Bank Rakyat Indonesia Syariah Pusat Jakarta agar lebih dijelaskan secara rinci kepada nasabah mengenai proses pengalihan utang dari Bank Konvensional ke Bank Bank Rakyat Indonesia Syariah agar nasabah lebih mudah memahami proses dan alur nya.
Kata kunci : Pengalihan Utang(Take Over), Pembiayaan dan Pengetahuan
PERNYATAAN ORISINILITAS TESIS
Saya yang bertandatangan di bawah ini dengan; Nama : XXX XXXXXXXX,X.X
NIM 18921037
lfi PERALIHAN ’ERJANJIAN UTANG
SAT)
Program Studi : Magister Kenotariatan Judul Tesis :
Menyatakan dengan sesungguh-sungguhnya serta sebenarnya bahwa tesis penelitian yang saya serahkan melalui penelltian ini adalah benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri.
Jogjakarta, 21 Mei
2021
W
TIMPEl
270J0
XXX XXXXXXXX,X.X
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL i
HALAMAN JUDUL ii
HALAMAN PERSETUJUAN iii
HALAMAN PENGESAHAN iv
HALAMAN PERSEMBAHAN v
KATA PENGANTAR vi
ABSTRAK xvi
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 3
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 3
D. Tinjauan Pustaka 5
E. Metode Penelitian 6
BAB II: PENGALIHAN HUTANG (TAKE OVER) REGULASINYA DI INDONESIA DAN KHUSUSNYA DI BRISYARIAH PUSAT
1. DASAR HUKUM PENGALIHAN HUTANG
A. Dasar Hukum Pelaksanaan Pengalihan Hutang (Take Over) di Indonesia 15
X.Xxxxxx Pengalihan Hutang (Take Over)dalam Fatwa DSN-MUI 17
C. Konsep Pengalihan Hutang (Take Over) dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/14/DpBS 17 Maret 2008 22
2. Pengertian Akad 28
3. Pembiayaan Syariah 31
4.Pelaksanaan Pengalihan Hutang (TAKE OVER) BANK BRISYARIAH 32
BAB III : Pengalihan Hutang dalam Islam (Hiwalah)
1. Hiwalah 62
2. Dasar Hukum Pengalihan Hutang (Hiwalah) 64
3. Fatwa Dewan Syariah Nasional No 31/DSN-MUI/VI/2002 66
4. Macam-Macam Pengalihan Hutang (Hiwalah) 66
5. Rukun dan Syarat Pengalihan Hutang (Hiwalah) 68
6. Macam-Macam atau Jenis Hiwalah 73
7. Berakhirnya Hiwalah 73
8. Akibat Hukum Hiwalah 75
9. Xxxxx Xxxxx Setelah Hiwalah 76
10. Unsur Kerelaan dalam Hiwalah 77
BAB IV : PENUTUP
A. KESIMPULAN 79
B. SARAN 81
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak dapat lepas dari yang namanya kegiatan perikatan atau transaksi dengan sesama. Di antara transaksi yang berlaku di Indonesia, terhitung paling populer yakni transaksi jual beli. Jual beli merupakan kegiatan transaksi dalam bidang bisnis untuk kebutuhan dan kelangsungan hidup manusia. Jual beli dapat didefinisikan sebagai pertukaran harta atas dasar saling suka rela atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan. Sistem pembayaran jual beli yang tumbuh di masyarakat dapat dilakukan dengan dua cara, yakni secara tunai atau secara kredit (angsuran). Jual beli kredit atau angsuran (bai’u At-Taqsith) yaitu suatu pembelian yang dilakukan terhadap suatu barang yang mana pembayaran barang tersebut dilakukan secara berangsur-angsur sesuai dengan tahapan pembayaran yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
Seiring dengan perkembangan zaman, transaksi jual beli bukan lagi hanya terjadi antar individu dengan individu atau jual beli langsung antara penjual dan pembeli. Sekarang hadir lembaga keuangan yang membantu transaksi jual beli dengan berbagai desain akad dan penyelesaiannya. Salah satu lembaga yang menjadi rujukan masyarakat dalam melakukan jual beli adalah perbankan. Perbankan bertindak sebagai lembaga yang menjembatani masyarakat untuk membeli barang, baik penyelesaian jual beli tersebut secara tunai ataupun secara kredit (cicilan). Dalam hal ini perbankan syariah berperan sebagai salah satu lembaga keuangan yang menyuguhkan kebutuhan masyarakat dalam bertransaksi sebagaimana disebutkan sebelumnya.
Dalam beberapa tahun ini marak sekali pembiayaan jual beli di lembaga keuangan yang menggunakan akad atau perjanjian jual beli dengan cara kredit atau cicilan. Seperti dalam perbankan baik bank konvensional maupun bank syariah, market terbesar dalam pembiayaan yakni dengan menggunakan akad murabahah atau pembiayaan jual beli propherty dalam bank syariah. Ketika jual beli tersebut dengan sistem cicilan, kemudian pihak nasabah belum bisa melunasi biaya jual beli itu, maka
nasabah dapat menggunakan jasa take over (pengalihan hutang) di perbankan. Apabila di suatu akad atau perjanjian pembiayaan jual beli di bank konvensional kemudian ingin berpindah atau mengalihkan hutanya ke bank syariah agar tidak mempraktikkan riba, dapat juga mengajukan pengalihan hutang kepada bank syariah untuk bank konvesional.
Salah satu bentuk jasa pelayanan keuangan bank syariah adalah membantu masyarakat mengalihkan transaksi non syariah yang telah berjalan menjadi transaksi yang sesuai dengan syariah. Dengan demikian, yang dimaksud dengan pembiayaan berdasarkan pengalihan hutang (take over) di bank syariah adalah pembiayaan yang timbul sebagai akibat dari take over terhadap transaksi non syariah yang telah berjalan yang dilakukan oleh bank syariah atas permintan nasabah 1
Penyelesaian hutang secara take over telah diatur dalam fatwa DSN-MUI NO 31/ DSN-MUI/ VI/ 2002 tentang pengalihan hutang. Di dalamnya terdapat keterangan bahwa yang dinamakan take over adalah pengalihan transaksi non syariah yang telah berjalan menjadi transaksi yang sesuai dengan syariah. Penyelesaian pengalihan hutang (take over) dalam fatwa tersebut menggunakan empat alternatif, yaitu: 1) menggunakan akad al-Qardh, al-Bai’wa Murabahah; 2) menggunakan akad al-Syirkah al-Milk wa Murabahah; 3) menggunakan akad al-Qardh wa al-Ijarah; dan 4) menggunakan akad al-Qardh, al-Bai’ wa al-Ijarah Muntahiya Bi al-Tamlik (IMBT).
Hal yang berbeda ditemukan dalam ketentuan Surat Edaran Bank Indonesia. SEBI (Surat Edaran Bank Indonesia) juga menjadi acuan pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan bank syariah, hal tersebut tertera dalam SEBI Nomor 10/ 14/ DpBS, 17 Maret 2008. Dalam SEBI terdapat ketentuan mengenai transaksi pengalihan hutang yakni menggunakan akad hiwalah.
Hiwalah adalah akad pemindahan utang/piutang suatu pihak ke pihak lain. Dalam hal ini ada tiga pihak, yaitu pihak yang berutang (muhil atau madin), pihak yang memberi hutang (muhal atau da’in), dan pihak yang menerima pemindahan
1 Xxxxxxxxx A. Xxxxx, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), edisi 4, cet. ke-8 h. 248.
(muhal’alaih). Dalam praktik perbankan, hiwalah dikenal dengan istilah take over. Dalam ketentuan SEBI pada poin IV.2. tentang pemberian jasa pengalihan hutang dapat menggunakan akad hiwalah. Dengan demikian ada beberapa perbedaan dalam skema pengalihan hutang (take over) antara fatwa DSN MUI dan Surat Edaran Bank Indonesia. Sementara itu, kedua regulasi tersebut memiliki kedudukan yang cenderung seimbang. Keduanya sama-sama menjadi pedoman pelaksanaan operasional bank syariah di Indonesia.
Dengan demikian ada beberapa perbedaan dalam skema pengalihan hutang (take over) antara fatwa DSN MUI dan Surat Edaran Bank Indonesia. Sementara itu, kedua regulasi tersebut memiliki kedudukan yang cenderung seimbang. Keduanya sama-sama menjadi pedoman pelaksanaan operasional bank syariah di Indonesia.
Mengacu pada uraian di atas, penulis menemukan sebuah masalah di mana Bank Rakyat Indonesia Syariah, melayani pengalihan hutang (take over) atas permintaan nasabah dengan menggunakan skema berdasarkan ketentuan Fatwa DSN MUI, yakni memberikan qardh terlebih dahulu kemudian selanjutnya terjadi akad murabahah, musyarakah, ijarah, atau ijarah mytahiya bitamlik. Berbeda dengan isi ketentuan Surat Edaran Bank Indonesia yang juga mengatur mengenai transaksi tersebut. Dapat ditegaskan bahwa terkait dengan pengalihan hutang (take over) dengan konsep syariah dalam fatwa DSN MUI menggunakan konsep qard kemudian 4 alternatif akad lainya, sedangkan pengalihan hutang yang ada di Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) menggunakan akad hiwalah. Terdapat beberapa persamaan dan perbedaan antar kedua kodifikasi tentang pelaksanaan operasional bank syariah.
Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian, selanjutnya berdasarkan hasil penelitian tersebut akan penulis susun dalam bentuk tesis dengan judul “ IMPLIKASI YURIDIS PENGALIHAN PERJANJIAN HUTANG DARI BANK KONVENSIONAL MENJADI PEMBIAYAAN BANK SYARIAH” (STUDI KASUS PT BANK BRISYARIAH PUSAT)
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas dapat dirumuskan pokok permasalahkan sebagai berikut :
1. Apa yang menjadi dasar hukum proses pengalihan hutang (take over) kredit dari Bank Konvensional ke Bank Syariah?
2. Bagaimana analisis pengalihan hutang (take over) di Bank Rakyat Indonesia Syariah?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Bertitik tolak dari perumusan permasalahan di atas adapun tujuan penelitian tersebut ini secara umum adalah menemukan jawaban atas permasalahan yang ada tersebut. Tujuan penelitian adalah :
1. Untuk mengetahui dan memahami alur proses perjanjian hutang-piutang dari Bank Konvensional kepada Bank Syariah.
2. Untuk mengetahui dan memahami pengaruh take over terhadap perjanjian kredit (pembiayaan) dan pengikatan jaminan yang telah dilakukan sebelumnya.
Hasil penelitian diharapkan menghadirkan manfaat secara teoritis maupun praktis.
1. Secara Teoritis
A. Dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan bagi kehidupan masyarakat mengenai konsep pengalihan hutang syariah dan berbagai design akadnya.
B. Dapat dijadikan landasan atau referensi bagi penelitian selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
A. Dapat memberikan kontribusi keilmuan bagi lembaga perbankan syariah.
B. Dapat memberikan pemahaman dan wawasan pengetahuan kepada masyarakat atau nasabah mengenai peraturan pengalihan hutang (teke over) di bank syariah.
C. Dapat memberikan kontribusi keilmuan bagi praktisi dan akademisi ekonomi syariah.
D. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka dimaksudkan untuk memberikan informasi kepada penulis sebagai bahan perbandingan, sehingga penulis dapat menghindari plagiarism. Demi mendukung keorisinilan karya ilmiah, penulis akan memaparkan beberapa tinjauan pustaka yang terkait dengan tema penelitian ini. Kajian tentang konsep kedudukan hukum telah dilakukan beberapa penelitian terdahulu dalam bentuk artikel, skripsi, jurnal dan karya ilmiah lainnya, namun kedudukan hukum tentang konsep pengalihan hutang di bank syariah ini belum penulis temukan di penelitian sebelumnya. Telaah pustaka ini dapat berupa hasil penelitian yang telah dibukukan yang antara lain: Xxxxxxxx Xxxxxxx dengan judul “Pelaksanaan Take Over di Bank Syariah Mandiri Cabang Medan”, Xxx. Xxxxxx Xxxxxx, MBA dengan judul buku Dasar- Dasar Manajemen Bank Syariah dan Dr. A. Wangsawidjaja Z.,S.H., M.H. dengan judul buku Pembiayaan Bank Syariah.
Untuk menghindari duplikasi, mengenai masalah take over di perbankan telah diteliti, hanya saja berbeda kasus dan obyek status hukum. Oleh karena itu penulis sertakan beberapa judul skripsi yang ada relevansinya dengan penelitian ini:
1. Tentang pelaksanaan take over di bank syariah telah penulis temukan penelitian dari Jurnal portal xxxxxx.xxx milik Xxxxxxxx Xxxxxxx dengan judul “Pelaksanaan Take Over di Bank Syariah Mandiri Cabang Medan” dengan kesimpulan: bahwa dalam pembiayaan take over tersebut telah menggunakan akad qard dan murabahah sesuai dengan fatwa DSN MUI nomer 31 tahun 2002. Yang menjadi pembeda dengan penelitian yang akan dilakukan penulis adalah, dalam penelitian ini tidak membahas tentang analisis pelaksanaannya dari sisi hukum positif (UU Perbankan syariah dan turunannya).
2. Dari skripsi X. Koni Xxxxxxx Xxxx dengan NIM: 104046101649 dari Program S1 Konsentrasi Perbankan Syariah Program Studi Muamalat (Ekonomi Islam) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Xxxxxx Xxxxxx Xxxxxxxxxxxx Jakarta 2011 yang berjudul “Analisa Perjanjian Take Over di Bank DKI Syariah” dengan kesimpulan: bahwa dalam analisanya mendapatkan beberapa aspek yang belum sesuai dengan aplikasi take over dengan teori akad pengalihan hutang (hiwalah), dan menerangkan prosedur pembiayaan take over di Bank DKI Syariah sampai dengan penyelesaian prosedur dengan pembuatan kontrak minimal 2 rangkap (pihak bank dan nasabah)
E. METODE PENELITIAN
1. Jenis penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-kualitatif. Fokusnya adalah penggambaran secara menyeluruh tentang bentuk, fungsi, dan makna sebuah aturan. Hal ini sejalan dengan pendapat Xxxxxx dan Xxxxxx yang menyatakan “metodologi kualitatif” sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang- orang dan perilaku yang dapat diamati. Dengan kata lain, penelitian ini disebut penelitian kualitatif karena merupakan penelitian yang tidak mengadakan perhitungan. 2
Lebih lanjut, dijelaskan bahwa pendekatan kualitatif yang menggunakan data lisan suatu bahasa memerlukan informan. Pendekatan yang melibatkan masyarakat ini diarahkan pada latar dan individu yang bersangkutan secara holistik sebagai bagian dari satu kesatuan yang utuh. Oleh karena itu, dalam penelitian bahasa jumlah informan tidak ditentukan jumlahnya.
2 Xxxxxxxx, Metode Penelitian kuantitatif, kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta 2009) h. 207.
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif empiris. Penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder berkala dengan melihat pula pelaksanaanya di lapangan. 3Penelitian hukum normatif empiris disebut juga dengan penelitian hukum doktrinal. Penelitian hukum jenis ini, acapkali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum yang dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas. 4 Penelitaian hukum normatif membahas doktrin-doktrin atau asas-asas dalam ilmu hukum.
Alasan menggunakan hukum normatif empiris karena penelitian ini peneliti membutuhkan data-data empiris sebagi pelengkap terhadap penelitian yang sedang dilalakukan. Selain itu juga menelaah bahan-bahan hukum sebagai bahan penelitian hukum normatif empiris. Sebagaimana kajian dalam penelitian ini adalah kedudukan dari fatwa DSN MUI dan Surat Edaran Bank Indonesia tentang pelaksanaan pengalihan hutang (take over) di BRISyariah Pusat Jakarta
2. Pendekatan Penelitian
Sesuai dengan penelitian ini adalah penelitian hukum normatif empiris, maka pendekatan penelitian dalam jenis ini menggunakan pendekatan konsep. Konsep memiliki arti memahami, menerima dan menangkap. Salah satu fungsi konsep adalah memunculkan objek- objek yang menarik perhatian dari sudut pengetahuan dalam pikiran dan atribut-atribut tertentu. 5 Pendekatan konsep digunakan untuk memahami perbandingan regulasi pelaksanaan operasional bank syariah dari Fatwa DSN MUI Surat Edaran Bank Indonesia mengenai transaksi pengalihan hutang (take over).
3 Xxxxxxxx Xxxxxxxx, Xxx Xxxxxx, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006) h. 13
4 Xxxxxxxx Xxxxxx Xxxxxx, Pengantar Met Xxxxxxxx Xxxxxx Xxxxxx, Pengantar Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006) h. 118.
5 Xxxxxxx, Teori dan Metodologi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006) h. 306.
Selain menggunakan pendekatan konsep, penelitian ini juga menggunakan pendekatan perundang- undangan (statue appoarch). Adapun mengenai pendekatan ini, yaitu penelitian tehadap produk-produk hukum. 6 Penulis menggunakan pendekatan perundang- undangan karena meneliti aturan mengenai konsep pengalihan hutang yang ada di Fatwa DSN MUI No. 31 Th. 2002 dan juga pengalihan hutang dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 10/ 14/ DPbS.
Pendekatan penelitian yang digunakan selanjutnya adalah pendekatan lapangan. Di mana penulis meneliti bagaimana pelaksanaan pengalihan hutang (take over) di BRISyariah Pusat dan bagaimana kedudukan kedua regulasi tentang pengalihan hutang dalam hal ini adalah kedudukan Fatwa DSN MUI dan Surat Edaran Bank Indonesia.
3. Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif empiris, sehingga membutuhkan dua macam sumber data dalam penelitian Tesis ini untuk mendukung informasi atau data yang akan digunakan dalam penelitian, dua sumber data tersebut adalah:
A. Sumber Data Primer
Sumber data primer adalah data yang diperoleh langsung dari subyek penelitian dengan menggunakan alat pengambilan data langsung pada subyek sebagai sumber informasi yang dicari. 7 Dalam hal ini alat pengambil data yang digunakan yaitu dengan wawancara secara langsung yang ditujukan kepada pihak Bank Jateng Syariah Semarang, serta bahan buku primer yang terdiri atas perundang-undangan dan risalah-risalah tentang akad pengalihan hutang dalam Islam juga buku- buku tentang fiqh muamalah lainya.
6 Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxx, Metodologi Penelitian Hukum, (Bandung: CV Xxxxxx Xxxx, 2008), h. 92
7 Xxxxxxxxx Xxxxx, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997) h. 91.
B. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh lewat pihak lain, tidak langsung diperoleh peneliti dari subyek penelitiannya. 8 Data ini diperoleh dari dokumen-dokumen atau laporan yang telah tersedia. Seperti hasil informasi dan wawancara dari media berupa tulisan, video dan rekaman suara juga studi kepustakaan terkait dengan undang-undang atau sumber hukum lainya.
4. Metode Pengumpulan Data
Karena penelitian ini bersifat normatif empiris, maka diperlukan pengumpulan data dengan berbagai metode yakni dengan pengumpulan data secara langsung dari lapangan dan juga studi kepustakaan. Metode pengumpulan data yang penulis lakukan adalah:
a. Metode Wawancara
Metode wawancara yaitu suatu upaya untuk mendapatkan informasi atau data berupa jawaban pertanyaan (wawancara) dari para sumber 9 yaitu pihak BRISyariah. Wawancara perlu dilakukan sebagai upaya penggalian data dari narasumber untuk mendapatkan informasi atau data secara langsung dan lebih akurat dari orang- orang yang berkompeten (berkaitan atau berkepentingan). Wawancara dilakukan secara tertulis dan tidak tertulis.
Adapun bentuk wawancara yang dilakukan yaitu Pertama wawancara semi terstruktur diajukan kepada pimpinan Cabang
8 Xxxxxxxxx Xxxxx, Ibid, h. 92
9 Xxxx Xxxxxxxx, Metodologi Penelitian Research (Yogyakarta: Xxxx Xxxxxx, 1989) h. 46.
BRISyariah Pusat, Bentuk wawancara ini bertujuan untuk memahami fenomena atau permasalahan yang terjadi. 10 Kedua wawancara tidak terstruktural diajukan kepada pihak terkait yakni BRISyariah Pusat, baik karyawan maupun nasabah take over. Wawancara ini bertujuan untuk mengetahui informasi tentang pelaksanaan pengalihan hutang di bank syariah.
b. Metode Dokumentasi
Dalam melaksanakan metode dokumentasi maka peneliti mencari dalam dokumen atau bahan pustaka. Data yang diperlukan sudah tertulis atau diolah oleh orang lain atau suatu lembaga, dengan kata lain datanya sudah “mateng” (jadi) dan disebut data sekunder. 11 Misalnya surat kabar, catatan harian, laporan atau berita, rekaman video, buku-buku dan artikel lainnya.
5. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode diskriptif-analisis, yakni prosedur atau cara memecahkan masalah penelitian dengan memaparkan keadaan obyek yang diselidiki sebagaimana adanya berdasarkan fakta yang aktual pada saat sekarang. 12 Adapun analisis yang akan dilakukan yaitu tentang apa yang menjadi landasan hukum pelaksanaan pengalihan hutang (take over) di BRI Syariah Pusat dan bagaimana pelaksanaan pengalihan hutang di BRI Syariah Pusat.
10 Xxxxx Xxxxxxxxxxx, Metodologi Penelitian Kualitatif Untuk Ilmu- ilmu Sosial (Jakarta: Salemba Humanika. 2012) h. 123-124.
11 Xxx Xxxxxx, Op. Cit, h. 61.
12 Xxxxxx Xxxxxx dan Xxxxxxx Xxxxxx, Instrumen Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995) h. 67.
BAB II
PENGALIHAN HUTANG (TAKE OVER) REGULASINYA DI INDONESIA DAN KHUSUSNYA DI BRISYARIAH PUSAT
1. DASAR HUKUM PENGALIHAN HUTANG
• Pengalihan Hutang (Take over) dalam Perbankan
Pengalihan Hutang dalam perbankan sering disebut dengan Take over, menurut kamus bahasa Inggris- Indonesia bermakna mengambil alih 13 Take over adalah pengambialihan atau dalam ruang lingkup perusahaan adalah perubahan kepentingan dalam pengendalian suatu perseroan. 14 Menurut Xxx Xxxxxxxx dan Xxxxx Xxxxxxxx, take over selain mempunyai pengertian perubahan kepentingan dalam pengendalian suatu perseroan, juga memiliki pengertian lain yaitu pengambilalihan sebuah perusahaan oleh perusahaan lain. 15
Pengalihan hutang adalah pemindahan utang nasabah dari bank/lembaga keuangan konvensional ke bank/lembaga keuangan syariah. 16 Dari beberapa pengertian diatas penulis dapat menggambarkan sedikit pengertian dari pengalihan hutang (take over), yaitu pemindahan kredit nasabah non-syariah yang menjadi transaksi berdasarkan prinsip syariah. Take over dari sudut pandang perusahaan mempunyai manfaat yaitu :
a. Memungkinkan perusahaan yang bersangkutan menurunkan biaya produksi dan distribusi
b. Memperoleh brand (merk dagang)
13 Xxxx M Xxxxxx dan Xxxxx Xxxxxx. Kamus Inggris Indonesia (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1990) h. 578.
14 Xxxxx Xxxxxx X. Muda, Kamus Lengkap Ekonomi, (Jakarta: Gitamedia press, 2003), h. 331.
15 Xxx Xxxxxxxx dan Xxxxx Xxxxxxxx, Kamus Istilah Ekonomi, (Jakarta: PT. Bumi Aksara , 2005), h. 231.
16 Ibid.Xxx Xxxxxxxx dan Xxxxx Xxxxxxxx, h. 331.
c. Memperluas aktivitas usaha yang ada/pindah ke bidang usaha yang baru
d. Untuk perusahaan induk, take over dapat mengurangi atau bahkan untuk dapat menghilangkan pesaing usaha dan meningkatkan kekuatan pasar
e. Dari sisi penggunaan sumber daya yang ada memungkinkan untuk meningkatkan efisiensi penggunaannya, tetapi dapat juga menjadi tidak efisien karena persaingan yang menurun.
Dari beberapa pendapat umum di atas mengenai take over, dapat sedikit tergambarkan take over yang dilakukan dalam lingkup dunia usaha (bisnis). Dalam penelitian kali ini, take over yang dimaksud peneliti adalah take over dalam lingkup perbankan, atau disebut juga dengan pengalihan hutang. Dalam dunia perbankan syariah istilah pengalihan hutang (take over) telah dibahas dalam Surat Edaran Bank Indonesia dan Fatwa DSN MUI Nomor 31 tahun 2002 tentang pengalihan hutang.
Dalam proses take over ini, bank syariah sebagai pihak yang akan melakukan take over terhadap kredit yang dimiliki calon nasabahnya di bank konvensional, bertindak sebagai wakil dari calon nasabahnya untuk melunasi sisa kredit yang terdapat di bank asal, mengambil bukti lunas, surat asli agunan, perizinan, polis asuransi dan surat roya, sehingga aset menjadi milik nasabah secara utuh. Kemudian, untuk melunasi hutang nasabah kepada bank syariah, maka nasabah tersebut menjual kembali kepada bank syariah.
Peralihan kredit (take over) merupakan istilah yang dipakai dalam dunia perbankan dalam hal pihak ketiga memberi kredit kepada debitur yang bertujuan untuk melunasi hutang atau kredit debitur kepada kreditur awal dan memberikan kredit baru kepada debitur sehingga kedudukan pihak ketiga ini menggantikan kedududakn debitur awal. Peristiwa pengalihan hutang ini identik dengan peristiwa subrogasi. Sesuai pasal 1400 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa subrogasi adalah perpindahan hak kreditur kepada seorang pihak ketiga yang membayar kepada kreditur, dapat terjadi karena persetujuan atau karena undang-undang. Peristiwa yang terjadi pada peralihan kredit memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam subrogasi. Subrogasi terjadi karena pembayaran yang dilakukanoleh pihak ketiga kepada kreditur baik
secara langsung maupun secara tidak langsung yaitu melalui debitur yang meminjam uang dari pihak ketiga 17
Pengalihan hutang (take over) merupakan salah satu bentuk pelayanan bank syariah dalam membantu masyarakat mengalihkan transaksi nonsyariah yang telah berjalan menjadi transaksi yang sesuai dengan syariah berdasarkan permintaan nasabah. 18 Dalam hal ini, bank syariah mengambil alih hutang nasabah di bank konvensional dengan cara memberikan jasa hiwalah atau menggunakan qard yang disesuaikan dengan ada tidaknya unsur bunga dalam hutang nasabah kepada bank konvensional. Dalam pembiayaan berdasarkan take over, bank syariah mengklasifikasikan hutang kepada bank konvensional menjadi dua macam, yaitu hutang pokok plus bunga dan hutang pokok saja. Dalam menangani hutang nasabah berbentuk hutang pokok plus bunga, bank syariah memberikan jasa qard (pinjaman uang). Karena alokasi pengguanaan qard tidak terbatas, termasuk untuk menalangi hutang yang berbasis bunga maka dalam penalangan hutang ini menggunakan akad qardh. Sedangkan yang berbentuk hutang pokok saja, bank syariah memberikan jasa hiwalah (alih hutang piutang) karena hiwalah tidak bisa untuk menalangi hutang yang berbasis bunga. Dengan demikian dalam memberikan pembiayaan, bank syariah dapat mengklasifikasikan pembiayaan yang diajukan nasabah ke dalam dua kategori, yakni pembiayaan take over atau non take over.
Dalam proses take over, bank syariah bertindak sebagai pihak yang akan melakukan take over terhadap kredit yang dimiliki calon nasabahnya di bank konvensional. Bertidak sebagai wakil dari calon nasabahnya untuk melunasi sisa kredit yang terdapat di bank asal, mengambil bukti lunas, surat asli agunan, perizinan, polis asuransi, sehingga barang (yang dikreditkan) menjadi milik nasabah secara utuh. 19 Selanjutnya, untuk melunasi hutang nasabah kepada bank syariah, maka nasabah tersebut menjual kembali (barang
17 Subekti, R. Xxxxxxxxxxxxx. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata (Jakarta: Xxxxxxx Xxxxxxx, 2003). h. 213
18 Xxxxx Xxxxxx X Xxxx. Kamus LengkapEkonomi (Jakarta: Gramedia Press, 2003) h. 331
19 Xxxxxxxxx Xxxxx, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2006) h. 248.
yang dikreditkan) tersebut kepada bank syariah, kemudian bank syariah akan menjual rumah tersebut lagi kepada nasabah dengan pilihan kombinasi akad yang tertera dalam fatwa DSN-MUI/VI/2002 nomor 31 tentang pengalihan hutang seperti qardh dan murabahah, syirkah al-milk dan murabahah, qardh dan ijarah serta qardh dan ijarah muntahiyah bittamlik. Take over di sini hampir sama dengan akad hiwalah mutlaqah yaitu pengalihan hutang yang dimiliki oleh pihak muhil (pihak yang berutang) terhadap pihak muhal (pihak yang menghutangkan) kepada pihak muhal alaih (pihak yang membayarkan hutang) untuk dapat dilunasi hutangnya tanpa dikatakan apakah muhal alaih mempunyai hutang atau tidak kepada muhil.
Hanya mazhab Hanafi yang memperbolehkan terjadinya hiwalah muthlaqah, mazhab Hanafi berpendapat jika akad hiwalah muthlaqah terjadi karena inisiatif pihak pertama, maka hak dan kewajiban antara pihak pertama dan pihak ketiga yang mereka tentukan ketika melakukan akad hutang piutang sebelumnya masih tetap berlaku, khususnya ketika jumlah hutang piutang antara ketiga pihak tidak sama. Sedangkan mazhab Xxxxxxx, Xxxxx‟i dan Xxxxxi hanya memperbolehkan hiwalah muqayyadah, yaitu pengalihan hutang yang dimiliki pihak pertama (muhil) terhadap pihak kedua (muhal) kepada pihak ketiga (muhal alaih) untuk dapat dilunasi hutangnya dengan dikaitkan pada hutang yang dimiliki muhal alaih kepada muhil. Jadi pihak pertama harus memiliki hutang kepada pihak kedua supaya akad hiwalah dapat berjalan.
Apabila diperhatikan, take over di sini dapat digolongkan sebagai akad hiwalah muthlaqah, yaitu seseorang memindahkan hutangnya kepada pihak
lain, tanpa mengaitkannya pada hutang muhal’alaih padanya. Hiwalah jenis
ini, tidak semua ahli fiqh membolehkannya sebagai mana penjelasan sebelumnya.
• Tujuan Pengalihan Hutang (Take Over)
Salah satu bentuk jasa pelayanan keuangan yang menjadi kebutuhan masyarakat adalah take over. Di sini bank berusaha untuk memfasilitasi masyarakat yang ingin memindahkan transaksi hutang nya yang telah berjalan beralih ke transakasi hutang yang sesuai syariah. take over bertujuan untuk membatu mengalihkan transaksi non syariah menjadi transaksi yang sesuai syariah.
A. Dasar Hukum Pelaksanaan Pengalihan Hutang (Take Over) di Indonesia
• Landasan Hukum Positif Pelaksanaan Pengalihan Hutang (Take Over)
Pengesahan UU perbankan syariah telah melahirkan secercah harapan dalam sejarah perbankan di Indonesia. Dengan adanya UU perbankan syariah, eksistensi perbankan syariah sebagai pelaku ekonomi nasional mendapatkan pijakan yang lebih kuat dibanding sebelumnya. Dalam Peraturan Perundangan yang menjadi payung hukum Perbankan di Indonesia, disebutkan bahwa semua bank baik konvensional maupun syariah yang beroperasi di Indonesia berada di bawah pengawasan dan pembinaan dari Bank Indonesia sebagai bank sentral, namun semenjak tahun 2011 telah beralih tugas pengawasan Lembaga Keuangan yang awalnya menjadi pengawasan BI beralih ke pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Untuk memperkuat kewenangan sebagai bank sentral yang mengurusi sistem keuangan syariah di Indonesia, BI perlu menjalin kerja sama dengan DSN- MUI yang memiliki otoritas di bidang hukum syariah. Bentuk kerja sama tersebut diwujudkan dalam nota kesepahaman (Memorandum of Understanding) untuk menjalankan fungsi pembinaan dan pengawasan terhadap perbankan syariah. Dengan adanya kerja sama tersebut, keberadaan DSN-MUI menjadi penting dalam pengembangan sistem ekonomi dan perbankan syariah negeri ini.
Dalam operasionalnya, kegiatan usaha perbankan syariah dan atau produk dan jasa syariah wajib tunduk kepada prinsip syariah (Pasal 26 UU Perbankan Syariah). Untuk mengimplementasikan landasan yuridis tersebut, maka BI menjalin MOU dengan MUI dalam meregulasi operasional Bank Syariah. MUI sebagai lembaga yang menghimpun semua organisasi Islam
yang ada di Indonesia kemudian mengeluarkan fatwa Dewan Syariah Nasional MUI yang nantinya menjadi rujukan khususnya bagi kegiatan usaha bank syariah. Fatwa DSN-MUI tersebut kemudian direkomendasikan ke BI karena telah ada kerja sama antara kedua lembaga tersebut. Kemudian BI membentuk Komite Perbankan Syariah untuk merumuskan Peraturan Bank Indonesia yang beranggotakan unsur-unsur dari Bank Indonesia, Departemen Agama, dan unsur masyarakat dengan komposisi yang berimbang, memiliki keahlian di bidang syariah dan berjumlah paling banyak 11 (sebelas) orang (Pasal 26 ayat 4). PBI yang terbentuk tersebut dilimpahkan kepada Lembaga Keuangan Syariah dan BPR agar dijadikan landasan dan rujukan dalam kegiatan usaha, produk, serta jasa yang ada dalam bank syariah. Untuk mengawasi dan mengefektifkan kinerja bank syariah dalam menjalankan transaksi yang berlandaskan syariah, maka DSN-MUI juga menginstruksikan pembentukan Dewan Pengawas Syariah (DPS) di setiap lembaga keuangan syariah. DSN- MUI telah mengeluarkan surat rekomendasi nama-nama yang duduk sebagai Dewan Pengawas Syariah (DPS) pada suatu lembaga keuangan syariah. Tujuan pembentukan DPS adalah untuk menjalankan fungsi pengawasan terhadap aspek syariah yang ada dalam perbankan dengan bekerja sama dengan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan sebagai bank sentral dan lembaga otoritas yang mengawasi melindungi dan mengatur operasional bank di Indonesia agar tercipta iklim keuangan yang kondusif, meningkatkan geliat perekonomian nasional dan bagi IB (Islamic Bank) dapat benar-benar eksis menjadi lembaga keuangan yang memegang teguh prinsip syariah dalam setiap transaksi yang dijalankan.
Pengaihan hutang (take over) sebagai salah satu produk perbankan syariah di bidang jasa, telah mendapatkan dasar hukum dalam Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dengan diundangkanya Undang- Undang Nomr 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, hiwalah atau pengalihan hutang mendapat dasar hukum yang lebih kokoh. Dalam pasal 19 Undang-Undang Perbankan Syariah disebutkan bahwa kegiatan usaha Bank Umum Syariah (BUS) atau Unit Usaha Syariah (UUS) antara lain meliputi melakukan pengambilalihan hutang berdasarkan akad hiwalah atau akad lainya yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Produk jasa perbankan syariah berdasarkan akad hiwalah secara teknis mendasarkan kepada PBI (Peraturan Bank Indonesia) No. 9/ 19/ PBI/ 2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Xxxxxxx dalam Kegiatan Penghimpunan Xxxx dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Bank Syariah sebagaimana yang telah diubah dengan PBI No. 10/ 16/ PBI/ 2008. Pasal 3 PBI dimaksud menyebutkan pemenuhan prinsip syariah sebagamana dimaksud, antara lain dilakukan melalui kegiatan pelayanan jasa dengan mempergunakan antara lain akad hiwalah, kafalah dan sharf.
Lebih rinci lagi, praktik pengalihan hutang (take over) dijelaskan Dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 10/ 14/ DpBS Perihal Prinsip Xxxxxxx dalam Kegiatan Penghimpunan Xxxx dan Penyaluran Dana serta Pelayanan jasa Bank Syariah pada poin IV.2. dijelaskan lebih rinci mengenai mekanisme pemberian jasa pengalihan hutang atas dasar akad hiwalah.
Landasan hukum selanjutnya adalah DSN MUI telah menerbitakn fatwa No. 31/ DSN-MUI/ VI/ 2008 tentang Pengalihan Hutang. Istilah lain untuk pengalihan hutang dalam bahasa fiqh dikenal dengan istilah hiwalah
B. Konsep Pengalihan Hutang (Take Over) dalam Fatwa DSN-MUI
Dewan syariah merupakan sebuah lembaga yang berperan dalam menjamin ke-Islaman keuangan di seluruh dunia. Di Indonesia, peran ini dijalankan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) yang dibentuk oleh Majlis Ulama Indonesia (MUI) untuk menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan aktifitas Lembaga Keuangan Syariah (LKS). DSN MUI mulai ada pada tahun 1998 dan dikukuhkan oleh SK Dewan Pimpinan MUI No. Kep-754/ MUI/ II/ 1999 tanggal 10 Februari 1999. 20
Perkembangan Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia memerlukan regulasi yang berkaitan dengan kesesuaian oprasional lembaga keuangan syariah dengan prinsip-prinsip syariah. Persoalan muncul karena institusi
20 M. Xxxxxx Xxx xxx.Himpunan Fatwa Keuangan Syariah (Dewan Syariah NAsional MUI), ( Jakarta
: Erlangga 2014) hal. 4
regulator yang mempunyai otoritas mengatur dan mengawasi lembaga keuangan syariah, yaitu Bank Indonesia (BI) yang kemudian sekarang ini beralih ke OJK (Otoritas Jasa Keuangan) dan kementerian keuangan tidak dapat melaksanakan otoritasnya secara penuh di bidang syariah, maka munculah gagasan untuk dibentuknya Dewan Syariah Nasional.
DSN adalah lembaga yang dibentuk oleh MUI yang secara struktural berada dibawah MUI dan bertugas menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan ekonomi syariah. Baik masalah ekonomi syariah yang berhubungan langsung dengan lembaga keuangan syariah ataupun lainnya. Pada prinsipnya, pendirian DSN dimaksudkan sebagai usaha untuk efisiensi dan koordinasi para ulama dalam menanggapi isu-isu yang berhubungan dengan masalah ekonomi dan keuangan. Selain itu DSN diharapkan dapat berperan sebagai pengawas, pengarah dan pendorong penerapan nilai-nilai prinsip ajaran Islam dalam kehidupan ekonomi.
Keberadaan DSN beserta produk hukumnya mendapat legitimasi dari BI yang merupakan lembaga negara pemegang otoritas di bidang perbankan pada saat itu. Legitimasi tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/34/1999. Pada pasal 31 dinyatakan: “untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan usahanya, bank umum syariah diwajibkan memperhatikan fatwa DSN”. Lebih lanjut, dalam Surat Keputusan tersebut juga dinyatakan: “demikian pula dalam hal bank akan melakukan kegiatan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 28 dan Pasal 29, jika ternyata kegiata usaha yang dimaksudkan belum difatwakan oleh DSN, maka wajib meminta persetujuan DSN sebelum melakukan usaha kegiatan tersebut”. Adapun mekanisme kerja dewan syariah nasional adalah sebagai berikut :
1. DSN mengesahkan rancangan fatwa yang diusulkan oleh Badan Pelaksana Harian DSN
2. DSN melakukan rapat pleno paling tidak satu kali dalam tiga bulan, atau bilamana diperlukan.
3. Setiap tahunnya membuat suatu pernyataan yang dimuat dalam laporan tahunan (annual report) bahwa lembaga keuangan syariah yang bersangkutan
telah/tidak memenuhi segenap ketentuan syariah sesuai dengan fatwa yang dikeluarkan oleh DSN.
Mekanisme penyerapan fatwa DSN sebagai regulasi lembaga keuangan syariah, diatur dalam Pasal 26 UUPS No. 21 Tahun 2008 yaitu :
1. Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 20 dan Pasal 21, dan/atau produk jasa syariah wajib tunduk pada Prinsip Syariah.
2. Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia.
3. Fatwa sebagaimana dimaksud ayat (2) dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia.
4. Dalam rangka penyusunan Peraturan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud ayat (2), Bank Indonesia membentuk komite perbankan syariah.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, keanggotaan dan tugas komite perbankan syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia. 21
Terkait dengan salah satu produk jasa di bank syariah yaitu pengalihan hutang (take over) sebagaimana gambaran umum lembaga DSN MUI yang telah dijelaskan di atas, DSN MUI telah mengeluarkan fatwa tentang transaksi pengalihan hutang (Take over) yang diatur dalam Fatwa DSN MUI nomor 31 tahun 2002 tentang pengalihan hutang.
Ketentuan umum dalam fatwa nomor 31 tahun 2002, yang dimaksud dengan pengalihan hutang adalah pemindahan hutang nasabah dari bank konvensional beralih ke bank syariah. Dalam ketentuan umum ini dikenal juga al-qardh adalah akad pinjaman dari LKS (Lembaga Keuangan Syariah) kepada nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan pokok pinjaman yang diterimanya kepada LKS pada waktunya dan dengan cara pengembalian yang telah disepakati. Yang dimaksud nasabah adalah calon nasabah LKS yang mempunyai kredit (hutang) kepada Lembaga Keuangan Konvensional (LKK) untuk
21 Ibid M. Xxxxxx Xxx xxx. Himpunan Fatwa Keuangan Syariah (Dewan Syariah NAsional MUI). h. 5.
pembelian aset, yang ingin mengalihkan hutangnya ke LKS. Aset adalah aset nasabah yang dibelinya melalui kredit (hutang) kepada LKK dan belum lunas pembayaran kreditnya 22
Dalam fatwa DSN MUI nomor 31 tahun 2002 tentang pengalihan hutang, akad yang digunakan utnuk transaksi ini dapat melalui empat alternatif berikut :
a. Alternatif I
1. LKS memberikan qardh kepada nasabah. Dengan qardh tersebut nasabah melunasi kredit (utang)nya, dengan demikian aset yang dibeli dengan kredit tersebut menjadi milik nasabah )كلولا( secara penuh
2. Nasabah menjual aset dimaksud angka 1 kepada LKS, dan dengan hasil penjualan itu nasabah melunasi qardh-nya kepada LKS.
3. LKS menjual secara murabahah aset yang telah menjadi miliknya tersebut kepada nasabah, dengan pembayaran secara cicilan.
4. Fatwa DSN nomor: 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang al-Qardh dan Fatwa DSN nomor: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah berlaku pula dalam pelaksanaan Pembiayaan Pengalihan Utang sebagaimana dimaksud alternatif I ini.
b. Alternatif II
1. LKS membeli sebagian aset nasabah, dengan seizin LKK; sehingga dengan demikian, terjadilah syirkah al-milk antara LKS dan nasabah terhadap aset tersebut.
2. Bagian aset yang dibeli oleh LKS sebagaimana dimaksud angka 1 adalah bagian aset yang senilai dengan utang (sisa cicilan) nasabah kepada LKK.
3. LKS menjual secara murabahah bagian aset yang menjadi miliknya tersebut kepada nasabah, dengan pembayaran secara cicilan.
4. Fatwa DSN nomor: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah berlaku pula dalam pelaksanaan Pembiayaan Pengalihan Hutang sebagaimana dimaksud dalam alternatif II ini.
22 Ibid M. Xxxxxx Xxx xxx. Himpunan Fatwa Keuangan Syariah (Dewan Syariah NAsional MUI) h. 180.
c. Alternatif III
1. Dalam pengurusan untuk memperoleh kepemilikan penuh (كلولا ماتلا) atas aset, nasabah dapat melakukan akad ijarah dengan LKS, sesuai dengan fatwa DSN MUI nomor 09/DSN-MUI/IV/2002.
2. Apabila dipelukan, LKS dapat menalangi kewajiban nasabah kepada LKK untuk melunasi kreditnya dengan menggunakan prinsip prinsip al-qardh sesuai Fatwa DSN-MUI nomor 19/DSN- MUI/IV/2001
3. Akad ijarah sebagaimana dimaksud angka 1 tidak boleh dipersyaratkan dengan (harus terpisah dari) pemberian talangan sebagaimana dimaksud angka
.2
4. Besar imbalan jasa ijarah sebagaimana dimakasud angka 1 tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah talangan yang diberikan LKS kepada nasabah sebagaimana dimaksudkan pada angka 2.
d. Alternatif IV
1. LKS memberikan akad qardh kepada nasabah. Dengan qardh tersebut nasabah melunasi kredit (hutang) kepada LKK. Dengan demikian aset yang dibeli dengan kredit tersebut menjadi milik nasabah secara penuh
2. Nasabah menjual asetnya kepada LKS, dengan begitu nasabah melunasi qardh nya kepada LKS dengan uang hasil penjualan tersebut.
3. LKS menyewakan aset yang telah menjadi miliknya itu kepada nasabah dengan akad al- Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik.
4. Fatwa DSN nomor: 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang al-qardh dan Fatwa DSN nomor: 27/DSN-MUI/III/2002 tentang al-Ijarah al- Muntahiyah bi al-Tamlik berlaku pula dalam pelaksanaan Pembiayaan Pengalihan Utang sebagaimana dimaksud dalam alternatif IV ini.23
23 Ibid M. Xxxxxx Xxx xxx.Himpunan Fatwa Keuangan Syariah (Dewan Syariah NAsional MUI) h. 180-182.
Penetapan ketentuan fatwa Dewan Syariah Nasional Majlis Ulama Indonesia pengalihan tentang hutang ini ditetapkan di Jakarta, pada tanggal 15 rabi‟ul akhir 1423 H/ 26 Juni 2002.
C. Konsep Pengalihan Hutang (Take Over) dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/14/DpBS 17 Maret 2008 Perihal Pelaksanaan Prinsip Syariah dalm Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah.
Peraturan Bank Indonesia (PBI) adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia untuk mengawasi dan membina semua bank yang berbadan hukum di Indonesia atau beroperasi di Indonesia. Dalam hierarki hukum nasional yang terdiri dari UUD, UU, Perpu, PP, Perpres dan perda. PBI tidak disebutkan secara gamblang dalam status hierarki hukum Indonesia seperti perundang- undangan di atas, namun dalam pasal 7 ayat (4) UU No. 10 tahun 2004 ditegaskan bahwa peraturan yang dikeluarkan lembaga lain seperti Bank Indonesia yang bersifat mengatur mempunyai kekuatan hukum selama diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan, yang dalam hal ini oleh UUD, UU, Perpu, dan Perpres. 24 Dengan begitu, peraturan lembaga negara seperti PBI, tidak boleh berdiri sendiri, melainkan harus merujuk atau melaksanakan perintah dari salah ssatu hierarki hukum di atas.
Pasal 56 UU No. 10 tahun 2004 memberikan pengecualian bahwa ketentuan yang bersifat mengatur yang dikeluarkan pejabat negara sebelum pemberlakuan UU No. 10 tahun 2004 1 November 2004, tetap berlaku dan berkekuatan hukum, sepanjang tidak bertentangan dengan UU di atas (pasal 56 UU No . 10 tahun 2004). UU No. 10 tahun 2004 mulai berlaku pada 1 November
2004 (pasal 58 UU No 10 tahun 2004).25 Dengan ketentuan tersebut, PBI yang
24 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Perundang- undangan dikutip dari Lembaran Negara Tahun 2004 No. 53 sebagaimana dimuat dalam xxxx://xxx.xxxxxxxx.xxx/xxxx/xxxx/XX_XX_00_0000.xxx.
25 Xxxxxxx Xxxxx, Undang-Undang Perbankan Syariah : Titik Temu Hukum Islam dan Hukum Nasional, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009) h. 23.
lahir sebelum 1 November 2004 tetap mempunyai kekuatan hukum. Sedangkan PBI yang lahir setelah 1 November 2004 harus menyesuaikan ketentuan dalam UU No 10 tahun 2004. Proses kelahiran PBI harus ada perintah dari peraturan perundang- undangan yang disebutkan dalam pasal 7 ayat 4 UU No. 10 tahun 2004. Oleh karena itu dalam UU terdapat bunyi “ketentuan lebih lanjut mengenai hal tertentu diatur dalam PBI).
Melalui lembaran negara RI nomor 182 tanggal 10 November 1998, disahkan UU No. 10 tahun 1998 tentang perbankan. Dalam Undang-Undang ini ketentuan perihal bank syariah semakin tegas. Oleh sebab itu PBI yang mengatur perbankan syariah juga semakin kuat, karena diperintahkan oleh UU yang secara khusus mengatur perbankan syariah. Dalam UU perbankan syariah ada beberapa pasal yang memerintahkan “ketentuan lebih lanjut menegnai hal tertentu diatur dalam PBI”.
Setelah PBI menjadi pelaksana Undang-Undang, dalam hierarki hukum di Indonesia terdapat turunan dari PBI sebagai penjelas teknis pelaksanaan. Adalah Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI), merupakan regulasi yang berisi ketentuan pelaksanaan PBI yang lebih detail dalam ketentuan pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia (PBI).
Pelaksanaan Pengalihan hutang sebagai salah satu produk jasa dan layanan bank syariah diatur ketentuan pelaksanaanya dalam Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No 14/ 14/ DpBS. Dimana sehubungan dengan diterbitkanya Peraturan Bank Indonesia nomor 9/19/PBI/2007 tanggal 17 Desember 2007 tentang pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank syariah (lembaran negara republik Indonesia tahun 2007 No. 165, tambahan lebaran negara republik Indonesia no. 4793), perlu diatur ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia dengan pokok ketentuan sebagaimana terlampir.
Dalam Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) untuk semua bank syariah di Indonesia, perihal pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank syariah yang diterbitkan pada
17 maret 2008 menerangkan tentang pemberian jasa pengalihan hutang atas dasar akad hiwalah. Pada poin IV.2. diterangkan :
1) Dalam kegiatan pelayanan jasa dalam bentuk pemberian jasa pengalihan hutang atas dasar akad hiwalah terdiri dari :
a) Hiwalah mutlaqah yaitu transaksi yang berfungsi utnuk pengalihan hutang para pihak yang menimbulkan adanya dana keluar (cash out) bank, dan
b) Hiwalah muqayyadah adalah transaksi yang berfungsi untuk melakukan set-off utang piutang diantara 3 pihak yang memiliki hubungan muamalat (utang- piutang) melalui transaksi pengalihan hutang, serta tidak menimbulkan adanya dana keluar dari bank.
2) Dalam kegiatan pelayanan jasa dalam bentuk pengalihan hutang atas dasar akad hiwalah mutlaqah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut :
a) Bank bertindak sebagai pihak yang menerima pengalihan hutang atas hutang nasabah kepada pihak ketiga;
b) Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik pemberian jasa pengalihan hutang atas dasar akad hiwalah, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk bank dan penggunaan dana pribadi nasabah;
c) Bank wajib melakukan analisis atas rencana pemberian jasa pengalihan hutang atas dasar akad hiwalah bagi nasabah yang abatara lain meliputi aspek personal berupa analisa atas karakter (character) dan atau aspek usaha anatara lain meliputi analisa kapasitas usaha (capacity), keuangan (capital) dan prospek usaha (condition);
d) Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis berupa akad pengalihan hutang atas dasar akad hiwalah; spek usaha (condition);
e) Nilai pengalihan hutang harus sebesar nilai nominal;
f) Bank menyediakan dana talangan (qardh) sebesar nilai pengalihan hutang nasabah kepada pihak ketiga;
g) Bank dapat meminta imbalan (ujrah) atau fee dalam batas kewajaran kepada nasabah.
3) Dalam kegiatan pelayanan jasa dalam bentuk pemberian jasa pengalihan hutang atas dasar akad hiwalah muqayyadah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut :
a) Ketentuan penyaluran dana dalam bentuk pemberian jasa pengalihan hutang atas dasar kad hiwalah muthlaqah sebagaimana dimaksud pada poin b, kecuali angka 2, kecuali angka 1,6 dan 7;
b) Bank bertindak sebagai pihak yang menerima pengalihan hutang atas hutang nasabah kepada pihak ketiga, di mana sebelumnya bank memiliki hutang kepada nasabah; dan
c) Jumlah hutang nasabah kepada pihak ketiga yang bisa diambil alih oleh bank paling besar sebanyak nilai hutang.
4) Produk dibidang penyaluran dana
1. Murabahah diartikan sebagai suatu perjanjian antara bank dengan nasabah dalam bentuk pembiayaan pembelian atas sesuatu barang yang dibutuhkan oleh nasabah.
2. Xxxxx adalah akad jual beli barang pesanan antara pembeli dan penjual dengan pembayaran dilakukan di muka pada saat akad dan pengiriman barang dilakukan pada saat akhir kontrak.
3. Istishna‟ merupakan akad kontrak jual beli barang antara dua pihak berdasarkan pesanan dari pihak lain, dan barang pesanan akan diproduksi sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya dengan harga dan cara pembayaran yang disetujui terlebih dahulu.
4. Ijarah adalah transaksi sewa menyewa atas suatu barang dan atau
upah mengupah atas suatu jasa dalam waktu tetentu melalui pembayaran akad sewa atau imbal jasa.
5. Ijarah muntahiya bittamlik merupakan transaksi sewa menyewa dengan perjanjian untuk menjual atau menghibahkan objek sewa diakhir periode atau akhir masa sewa sehingga transaksi ini diakhiri dengan alih kepemilikan objek sewa.
6. Xxxxxxxxxx adalah akad perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan kerjasama usaha. Satu pihak akan menempatkan modal sebesar 100% yang disebut dengan shahibul maal, dan pihak lainnya sebagai pengelola usaha yang disebut dengan mudharib. Bagi hasil dari usaha yang dikerjasamakan dihitung sesuai dengan nisbah yang disepakati antara pihak-pihak yang bekerja sama.
7. Musyarakah merupakan akad kerja sama usaha antara dua pihak atau lebih dalam menjalankan usaha, dimana masing-masing pihak menyertakan modalnya sesuai dengan kesepakatan, dan bagi hasil atas usaha bersama diberikan sesuai dengan kontribusi dana atau sesuai kesepakatan bersama.
5) Produk bank syariah dibidang jasa
1. Hiwalah adalah akad pemindahan utang/piutang suatu pihak kepada pihak lain. Dengan demikian, didalamnya terdapat tiga pihak yaitu pihak berutang (muhil atau mudin), pihak yang memberi utang (muhal atau dai‟in) dan pihak yang menerima tambahan (muhal alaih).
2. Rahn adalah menahan sesuatu dengan cara yang dibenarkan yang memungkinkan ditarik kembali. Rahn juga bisa diartikan menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syariah sebagai jaminan utang, sehingga orang yang bersangkutan boleh mengambil utangnya semuanya atau sebagian. Dengan kata lain rahn adalah akad berupa menggadaikan barang dari satu pihak kepada pihak lain dengan utang sebagai gantinya
3. Kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang
ditanggung. Dalam pengertian ini, kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagaimana penjamin.
4. Wakalah dapat didefinisikan sebagai suatu perjanjian dimana seseorang mendelegasikan atau menyerahkan sesuatu wewenang kepada seseorang yang lain untuk menyelenggarakan sesuatu urusan dan orang lain tersebut menerimanya, dan melaksanakannya untuk dan atas nama pemberi kuasa.
5. Sharf merupakan jasa bank syariah dalam pertukaran mata uang. Pertukaran antara valas dan rupiah diperbolehkan apabila pertukaran ini tidak ditujukan untuk spekulasi. Arti harfiah, sharf adalah penambahan, penukaran, penghindaran, pemalingan, atau transaksi jual beli. Sharf dapat diartikan transaksi jual beli antara mata uang yang satu dengan yang lainnya
6) Perbedaan Antara Bank Syariah Dengan Bank Konvensional
Aspek | Bank syariah | Bank konvensional |
Hukum | Syariah Islam berdasarkan Al-qur‟an dan Hadist dan fatwa ulama (MUI) | Hukum posif yang berlaku di Indonesia(perdata dan pidana) |
Investasi | Jenis usaha yang halal saja | Semua bidang usaha |
Orientasi | Keuntungan (profit oriented), kemakmuran, dan kebahagian dunia akhirat | Keuntungan (profit oriented) |
Keuntungan | Bagi hasil | Dari bunga |
Hubungan bank dengan nasabah | kemitraan | Kreditur dan debitur |
Keberadaan dewan pengawas | ada | Tidak ada |
2. PENGERTIAN AKAD
Istilah dalam Al-qur‟an yang berhubungan dengan konsep perjanjian (akad), adalah kata al-aqdu (akad) dan al-ahdu (perjanjian). Istilah aqdu yang dijelaskan pada surat al-Maidah ayat 1 yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan
bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya”.
Ayat diatas menjelaskan bahwa yang mengacu pada terjadinya dua perjanjian atau lebih, yaitu bila seseorang mengadakan janji kemudian ada orang lain yang menyetujui janji tersebut, serta menyatakan pula suatu janji yang berhubungan dengan janji yang pertama, maka terjadilah perikatan dua buah janji dari dua orang yang mempunyai hubungan antara yang satu dengan yang lain.
Istilah “ahdu dalam Al-Qur‟an mengacu pada kenyataan seseorang untuk tidak mengerjakan sesuatu atau tidak ada sangkut pautnya dengan orang lain. Perjanjian yang dibuat seseorang tidak memerlukan persetujuan pihak lain, baik setuju maupun tidak, tidak berpengaruh pada janji yang dibuat orang tersebut, seperti yang dijelaskan dalam surat Al-Xxxxx xxxx 76 yang artinya :
“Sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)nya dan bertakwa, Maka Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa”.
Dalam bahasa Arab, lafadz akad berasal dari kata „aqada - ya‟
qidu- „aqdan. Secara bahasa, kata akad mempunyai beberapa arti sebagaimana dirumuskan oleh beberapa ulama antara lain:
x. Xxxxxx Xx-Xxxxxxx mengartikan kata akad sebagai berikut:
Akad dalam bahasa Arab artinya ikatan (atau penguat dan ikatan) antara ujung-ujung sesuatu, baik ikatan nyata maupun maknawi, dari satu segi maupun dua segi. 26
b. Xxxxxxxx Xxx Xxxxxx sebagaimana dikutip oleh Xxxxx Xxxxx Xxxxxxx, mengemukakan pengertian akad secara bahasa sebagai berikut:
Akad menurut etimologi diartikan untuk menggabungkan antara ujung sesuatu dan mengikatnya, lawannya adalah al-hillu (melepaskan), juga diartikan mengokohkan sesuatu dan memperkuatnya. 27
Selain dua pendapat tersebut di atas, kata akad secara bahasa diartikan
sebagai sambungan ( ةَدقْ ع
). Maksud dari kata sambungan yaitu sambungan
yang memegang kedua ujung itu dan mengikatnya.
Adapun pengertian akad secara istilah adalah sebagai berikut:
I. Menurut ulama Syafi‟ iyah, Malikiyah, dan Xxxxxxxxx
Akad adalah segala sesuatu yang diniatkan oleh seseorang untuk dikerjakan, baik timbul karena satu kehendak, seperti wakaf, talak dan sumpah, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan dua orang, seperti jual beli, sewa menyewa, perwakilan, dan gadai28
26 Xxxxxx xx-Zuhaili, Al-Fiqh Islamy wa Adillatuh Juz IV, (Damaskus: Dar Al-Fikr,1986), h. 80.
27 Xxxxx Xxxxx Xxxxxxx, Xxxx Xxxxxxxx, (Jakarta: Amzah, 2013), h. 110.
28 Xxxxxx xx-Zuhaili Op.Cit., h. 80.
II. Menurut Xxxxx Xxxxxxxxx
Akad adalah pertalian antara ijab dan qabul menurut ketentuan syarat
yang menimbulkan akibat hukum pada objeknya atau dengan redaksi yang lain: keterkaitan antara pembicaraan salah seorang yang
melakukan akad dengan yang lainnya menurut syara‟ pada segi yang tampak pengaruhnya pada objek.29
III. Menurut Xxxxxx xx-Zuhaili
Akad adalah kesepakatan dua kehendak untuk menimbulkan akibat- akibat hukum, baik berupa menimbulkan kewajiban, memindahkannya, mengalihkan, maupun menghentikannya. 30
IV. Menurut Xxxxx Xx- Xxxxxxxx
Akad adalah perikatan ijab dan kabul yang dibenarkan syara‟ yang menetapkan kerelaan kedua belah pihak. 31
V. Menurut Xxxxx Xxxxx Xxxxxx
Akad adalah suatu perikatan antara ijab dan qabul dengan cara yang dibenarkan syara‟ yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum pada objeknya. 32
29 Ibid., h. 81.
30 Ibid.
31 Xxxxx Xxx-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalat, (Semarang: Pustaka Xxxxx Xxxxx, 2001), h. 26.
Dari definisi tersebut dapat ketahui pengertian akad secara bahasa yaitu ikatan antara ujung sesuatu. Adapun pengertian akad secara istilah yaitu pertalian antara ijab dan qabul menurut ketentuan syara‟ yang menimbulkan akibat hukum pada objeknya berupa kewajiban, memindahkan, mengalihkan maupun menghentikannya.
3. PEMBIAYAAN SYARIAH
Pembiayaan adalah pendanaan yang diberikan oleh suatu pihak kepada pihak lain untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri ataupun dilakukan oleh lembaga . 33 Pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank, yaitu pemberian atas fasilitas penyediaan dana bank untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan devisit unit. Menurut sifat kegunaan nya, pembiayaan dibagi dalam dua hal yaitu sebagai berikut :
o Pembiayaan produktif, yaitu bentuk pembiayaan yang bertujuan untuk memperlancar jalannya proses produksi, mulai dari saat pengumpulan bahan mentah, pengolahan, dan sampai kepada proses penjualan barang- barang yang sudah jadi. 34
o Pembiayaan konsumtif, yaitu suatu pembiayaan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan akan habis jika digunakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
32 Xxxxx Xxxxx Xxxxxx, Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), (Yogyakarta: UII Press, 2004), h. 65.
33 Xxxxxxxx, Management Pembiayaan Bank Syariah, (Yogyakarta : UPP AMP YKPN, 2005) h. 17
34 Xxxxxxxx Xxxxx, Islamic Banking, (Jakarta : Bumi Aksara, 2010), h. 716.
4. PELAKSANAAN PENGALIHAN HUTANG (TAKE OVER) BANK BRISYARIAH
Ada beberapa produk pembiayaan pada Bank BRISyariah yang terbagi atas beberapa segmen pembiayaan, antara lain ;
a. Fasilitas pembiayaan konsumer, antara lain : 1). Kepemilikan Rumah (KPR iB);
2). Pemilikan Kendaraan Bermotor (KKB iB); 3). Kepemilikan Mutiguna (KMG iB);
4). Multijasa (KMJ iB);
5). Gadai Emas/ Kepemilikan Logam Mulia (KLM iB)
b. Fasilitas pembiayaan komersial, dibagi 2 yaitu :
1). Fasilitas pembiayaan Small Medium Enterprise (SME) / Pembiayaan Usaha kecil dan Menengah; dan
2). Pembiayaan komersial
c. Fasilitas pembiayaan mikro (pembiayaan kepada usaha kecil)
Pembagian segmen pembiayaan tersebut dibedakan karena fungsi, tujuan dan plafond dari masing-masing pembiayaan. Untuk masing-masing segmen tersebut di atas mempunyai pedoman dan prosedur yang berbeda-beda :
1) Fasilitas Pembiayaan Konsumer
Proses usulan pembiayaan dilakukan berdasarkan permohonan dari calon nasabah (perorangan) dengan inisiasi dan evaluasi dari account officer (AO). Permohanan dari calon nasabah harus memuat tujuan, jumlah, jangka waktu dan jenis fasilitas pembiayaan. Permohonan calon nasabah dibuat dengan format aplikasi standar yang telah ditentukan oleh Bank.
Dari permohonan calon nasabah tersebut maka account officer (AO) melakukan evaluasi nasabah tersebut berfokus pada kemampuan nasabah pada aspek yang secara umum dikenal dengan istilah 5 C’s. Penilaian tersebut harus bersifat objektif berdasarkan data yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. account officer (AO) wajib melakukan investigasi, checking (termasuk BI Checking), penilaian jaminan (appraisal) dan verifikasi data kuantitatif maupun kualitatif
Atas dasar evaluasi tersebut account officer (AO) selaku pemrakarsa mengajukan permohonan usulan pembiayaan dengan menggunakan Memorandum Usulan Pembiayaan (MUP) konsumer dengan format standar yang telah ditentukan kepada komite pembiayaan yang telah ditunjuk.
MUP harus berisi struktur pembiayaan, evaluasi, risiko pembiayaan, dasar pertimbangan dan rekomendasi. Setiap MUP harus ditandatangani oleh tersebut account officer (AO) selaku pemrakarsa dan disetujui oleh Komite Pembiayaan berdasarkan limit yang telah ditentukan.
2) Fasilitas Pembiayaan Komersial
Proses usulan pembiayaan dilakukan berdasarkan permohonan dari calon nasabah (badan usaha) dengan inisiasi dan evaluasi dari account officer (AO). Permohanan dari calon nasabah harus memuat tujuan, jumlah, jangka waktu dan jenis fasilitas pembiayaan.
Alur proses standar pembiayaan komersial sebagai berikut :
1. Solisitasi
Merupakan proses awal apakah calon nasabah telah sesuai dengan target market yang telah ditentukan, tidak masuk dalam Daftar Hitam Bank Indonesia dan tidak melanggar ketentuan Bank Indonesia serta syariah. Dalam hal ini account officer wajib membuat laporan kunjungan nasabah (LKN).
2. Inisiasi dan Evaluasi Pembiayaan
Inisiasi dilakukan oleh account officer berupa :
A. Collecting data
Merupakan pemngumpulan data nasabah berupa legalitas, data
financial, aplikasi permohonan nasabah dan data lainnya.
B. Analisa data kualitatif
Membuat instruksi ke bagian support pembiayaan antara lain legal reiview, BI Checking, trade checking dan penilaian jaminan.
C. Analisa data kuantitatif
Membuat analisa tentang keadaan calon nasabah
D. BI Checking
Melakukan penilaian calon nasabah terhadap data nasabah yang terdapat pada Bank Indonesia.
E. Penilaian Jamiman dan trade checking
Melakukan penilaian jaminan/ agunan nasabah dan juga usaha nasabah, termasuk karakter nasabah pada dunia usaha.
F. Penyusunan Memoram Usulan Pembiayaan (MUP)
Berdasarkan data kualitatif dan kuatitaif serta community checking data maka account officer meyakini untuk memberikan pembiayaan kepada calon nasabah tersebut untuk diusulkan ke dalam komite pembiayaan.
3. Persetujuan Pembiayaan
Proses ini dilakukan oleh komite pembiayaan berdasarkan pada Batas Wewenang Persetujuan Pembiayaan (BWPP) dengan didasarkan pada MUP yang diusulkan oleh account officer. Batas Wewenang Persetujuan Pembiayaan (BWPP) ditentukan dengan didasarkan kewenangan yang diberikan menajemen baik untuk limit kantor pusat dan atau limit kantor cabang.
4. Penandatangan Akad
Penandatangan akad pembiayaan termasuk pengikatan jaminan/ agunan yang dilakukan oleh legal financing baik di kantor cabang atau melalui kantor pusat. Penandatangan dilakukan berdasarkan Surat Keputusan Pembiayaan dari Komite Pembiayaan dan semua legalitasterpenuhi dengan sempurna.
5. Realisasi Pembiayaan
Dalam memberikan pembiayaan kepada calon nasabahnya, bank syariah harus mempertimbangkan dari segala aspek untuk melindungi kepentingan bank dan risiko penyaluran pembiayaan, penilaian agunan yang tepat sangat diperlukan. Ketidaktepatan dalam menilai agunan dapat memengaruhi atau mengakibatkan kesalahan dalam analisis pemberian pembiayaan. Bentuk agunan dapat berupa objek yang dibiayai pembiayaan, atau agunan tambahan selain dari objek yang dibiayai dengan kriteria sebagai berikut :
• Mempunyai nilai ekonomis, dalam arti dapat dinilai dengan uang dan dapat dijadikan uang.
• Kepemilikan dapat dipindahtangankan dari pemilik semula kepada pihak lain (marketable)
• Mempunyai nilai yuridis, dalam arti dapat diikat secara sempurna berdasarkan ketentuan dan perundang-undangan yan berlaku sehinga bank memiliki hak yang didahulukan (preferen) terhadap hasil likuiditas barang tersebut.
Dilakukan oleh bagian Administrasi Pembiayaan (ADP) setelah ditandadatangani faslitas pembiayaan dan seluruh dokumen diserahkan dan dinyatakan lengkap dan sesuai syarat-syarat yang telah ditentukan.
Skema proses standar pembiayaan komersial
ACCOUNT OFFICER
3) Fasilitas Pembiayaan Mikro
- Solisitasi
3. Membuat Memo Instruksi
Kepada Financing Support
4. Analisa Data Lainnya
4-)Tdk MParsouskedDuHrNPBIe?mbiayaan •KoMnesmumo Inesrtruksi Untuk
- Masuk Target Market?
- Tdk Melanggar
dibuatkan
5) Pr
Ketentuan BRSya
lainnya
osedur Pembiayaan K mersial
riah
• BI Che
•oLegal Review/ Xxxxxxx Xxxxxxx
• Trade Checking
cking
• Neraca dan laba rugi
• Rekening koran
• Struktur organisasi
• Curiculum vitae
• Compay profile
• Business Plan
2. Hal-hal yang Terkait d•ePnegnialanianTjaamkineanOver Pembiayaan dar-i BReanncakna
2. Collect Data
• Lampirkan Data-data sbb :
- Akte perusahaan
perusahaan
- Dari NKasoanbavhebnesruipoanal ke Bank- SPyeraizriniaanhusaha
legalitas dan financial
- Identitas pengurus
- Daftar buyer/ supplier
- Proyeksi cashflow
- Data pendukung proyeksi cashflow
a- .PermFohaosnialnitdaarsi nPaesambabhiayaan S- eNcPaWrPa Syariah :
- Dari sumber lainnya
5. Appraisal
6. Legal Financing 7. ADP
Melakukan penilaian agunan/ jaminan dari calon nasabah
1.Melakukan legal review/ xxxxxxx xxxxxxx
2.Melakukan pengikatan pembiayaan/ akad dan jaminan setelh mendapatkan persetujuan pembiayaan dari komite pembiayaan (SKP)
- melakukan BI checking
- Melakukan realisasi pembiayaan
a. Fasilitas Pembiayaan Mikro
1. Tujuan pembiayaan dilakukan berdasarkan permohonan dari calon nasabah perorangan, pengusaha dan atau pedagang. Bisnis mikro didasarkan pada komunitas (community base) di mana diharuskan pada analisa potensi pasar yang akan menjadi targetnya. Fitur pembiayaa mikro pada BRI Syariah adalah sebagai berikut :
- Mikro 25 iB
- Mikro 75 iB
- Mikro 500 iB
Perbandingan fitur pembiayaan mikro secara garis besar, sebagai berikut :
Jenis | Limit (dalam rupiah) | Jangka Waktu (dalam bulan) | Pengikatan Akad | Jaminan | Pengikatan Jaminan |
Mikro 25 iB | 2.500.000 s/d 25.000.000 | 6 s/d 36 | Di bawah tangan | Tidak diperlukan | |
Mikro 75 iB | 25.000.000 s/d 75.000.000 | 6 s/d 36 | Di bawah tangan dengan legalisasi oleh notaris | 1. Sertifikat 2. AJB/ girik 3. Kendaraan bermotor 4. Deposito | 1. SKMHT 2. SKJ dan pengalihan hak dibawah tangan 3. SKJ dibawah tangan 4. dibawahtangan |
Mikro 500 iB | 75.000.000 s/d 500.000.000 | 6 s/d 36 | Di bawah tangan dengan | 1. Sertifikat 2. Kendaraan bermotor | Semuanya notarial |
legalisasi oleh notaris | 3. Deposito |
2. Proses usulan pembiayaan dilakukan berdasarkan permohonan dari calon nasabah perorangan, pengusaha dan atau pedagang dengan radius maksimum 5 (lima) kilometer dari kantor/ unit mikro syariah (UMS). Inisiasi dan evaluasi dari Sales officer (SO). SO harus melakukan tahap awal berupa kunjungan ke calon nasabah untuk medapatkan informasi berupa nama nasabah, usaha nasabah, lamanya usaha nasabah, kebutuhan nasabah, tujuan pembiayaan, dan aktifitas keuangan nasabah serta interview kepada calon nasabah. SO wajib memeriksa kebenaran formulir aplikasi pembiayaan yang diisi nasanah berikut kelengkapan data.
3. SO wajib membuat Memorandum Usulan Pembiayaan (MUP) berikut Formulir pembiayaan dan data-data nasabah untuk diserahkan untuk diperiksa oleh Area Financing Officer (AFO) atau Unit Financing Offiver (UFO). Dalam memeriksa data tersebut AFO/ UFO wajib melakukan penelidikan negative information berupa BI Checking dan DHN-BI.
4. Verifikasi dan persetujuan wajibdisetujui oleh Unit Mikro Head (UH) atau Marketing Manager dalam suatu kantor Cabang atau Pimpinan Cabang Pembantu (Pincapem).
5. Atas dasar evaluasi tersebut account officer (AO) selaku pemrakarsa mengajukan permohonan usulan pembiayaan dengan menggunakan Memorandum Usulan Pembiayaan (MUP) konsumer dengan format standar yang telah ditentukan kepada komite pembiayaan yang telah ditunjuk.
o Penelitian Tentang Faktor-Faktor Take Over Pembiayaan dari Bank Konvensioal ke Bank BRISyariah
Dewasa ini banyak masyarkat, baik perorangan maupun badan usaha yang melakukan take over / pengalihan fasilitas kreditnya (pembiayaan) dari bank konvensional ke bank syariah. Ada berbagai macam alasan atau faktor yang mendasari pengalihan (take over) tersebut, antara lain :
a. Faktor bisnis
Banyak kalangan masyarkat melakukan pengalihan (take over) karena melihat faktor ini. Masyarakat menilai skema atau prinsip syariah lebih menguntungkan buat mereka. Adapun keunggulan skema atau prinsip pembiayaan syariah sebagai berikut :
Jenis | Kredit Konvensional | Pembiayaan Syariah |
Perhitungan Keuntungan Bank | Disebut dengan istilah Bunga : Dimana keuntungan bank dinilai dengan bunga yaitu prosentase dihitung dari jumlah kewajiban nasabah pada bank. Biasanya sifat dari bunga itu sendiri bersifat mengambang (floating) dan dapat berubah sesuai bunga pasar dan tanpa persetujuan dari nasabah itu sendiri. | Dalam syariah tidak dikenal dengan istilah bunga, adapun yang dikenal adalah istilah : 1. Margin (untuk produk murabahah/ jual beli). Di sini sifat untuk dari margin bersifat tetap (fixed) dan diperjanjikan di awal akad tanpa melihat suku bunga pasar. 2. Bagi Hasil Biasanya untuk produk mudharabah (investasi) ataupun musyarkah (joint finance). Di mana bagi hasil dihitung dari hasil keuntungan usaha nasabah yang |
diperjanjikan.adapun istilah perhitungannya disebut nisbah. | ||
Denda | Denda dihitung berdasarkan prosentase dan masuk dalam pendapatan bank . | Denda dihitung berdasarkan kerugian riil yang diderita oleh bank. Pendapatan denda tidak boleh masuk dalam penadapatan bank, masuk ke dalam dana Zakat Infaq dan Sedekah (ZIS) |
Objek | Uang sebagai objek transaksi | Barang sebagai objek jual beli dalam rakah dan prinsip murabahah dan Usaha sebagai objek musyarakah dan mudharabah. |
b. Faktor emosional
Faktor emosional di sini biasanya faktor yang timbul dari dalam pribadi dari nasabah itu sendiri. Faktor ini bisa timbul karena keyakinan spiritual dari nasabah itu sendiri, bahwa bunga adalah haram hukumnya. Faktor emosional lainnya adalah kedekatan nasabah terhadap seorang marketing, di mana marketing yang dipercayainya pindah ke suatu Bank Syariah.
c. Faktor lain
Faktor ini disebabkan suatu keadaan di mana seorang nasabah mendapat fasilitas pembiayaan dari tempat bekerja, contoh seorang pegawai bank yang pindah dari bank konvensional ke bank syariah di mana sebelumnya yang bersangkutan mempunyai fasilitas kredit di bank sebelumnya (konvensional) sehingga fasilitas pembiayaan tersebut dialikan ke bank syariah di mana orang tersebut bekerja.
o Penelitian Tentang Konversi Skema Pembiayaan dari Kredit Konvensional Ke Bank BRISyariah
Berdasarkan praktek pengalihan/ take over pembiayaan dari bank konvensional ke bank berdasarkan prinsip syariah sebagai berikut :
No | Fasilitas Konvensional | Konversi ke Syariah |
1 | Kredit Konsumer (KPR, Kendaraan, Kredit Multiguna (kredit tanpa agunan)) | Pembiayaan Murabahah (karena pembelian suatu barang) |
2 | Kredit Investasi(KI) | Pembiayaan Murabahah (karena pembelian aset usaha) |
3 | Kredit Modal Kerja (KMK)/ Rekening Koran | i. Pembiayaan Murabahah (jika modal kerja untuk pembelian modal usaha i. Pembiayan Musyarakah atau mudharabah |
Menurut Xxx Xxxxx Xxxxxxxxx (Legal Manager) BRISyariah bahwa take over harus mengacu kepada Xxxxx Dewan Pengawas Syariah BRISyariah Nomor 019/BRIS/DPS/II/2009 tanggal 18 Februari 2009, yang mengatur tentang “Ketentuan Take Over Pembiayaan Dari Bank Konvensional Dan Bank Syariah Lainnya Ke BRISyariah, sebagai berikut
:
Tujuan Pinjaman | Skema Setelah Take Over | Langkah Take Over |
1. Modal Kerja | Murabahah | 1. Qardh dari BRIS ke Nasabah untuk melunasi pinjaman di Bank Konvensional 3. Nasabah menjual aset /stok barang tersebut kepada BRISyariah 4. BRIS membeli aset/ stok barang tersebut 5. Nasabah melunasi qardh 6. Aset/ Stok menjadi milik BRIS 7. BRIS menjual kembali aset/stok baarang tersebut kepada Nasabah |
Mudharabah Musyarakah | Tanpa qardh | |
Hawalah | - | |
b. Konsumer Pinjaman untuk kebutuhan konsumtif | Murabahah | Langkah take over seperti langkah di atas |
a. KPR | Bisa di take over | |
b. KKB (kendaraan) | Bisa di take over | |
c. Multiguna i. Barang ii. Non Barang | Bisa di take over selama tujuannya untuk pembelian barang |
Menunjuk Opini Dewan Pengawas Syariah BRISyariah Nomor 019/BRIS/DPS/II/2009 tanggal 18 Februari 2009, bahwa pengalihan hutang (take over) adalah pemindahan hutang nasabah dari bank/ lembaga keuangan konvensional ke bank/ lembaga keuangan syariah.
Adapun ketentuan pengalihan hutang (take over) dengan skema murabahah (pembiayaan jual beli barang) pada BRISyariah adalah :
a. Harus ada objek barang yang di take over , termasuk di dalamnya berupa stok barang, karena objek tersebut dapat dikategorikan” aset” sebagaimana disebut dalam fatwa.
b. Objek barang yang di take over harus merupakan barang yang halal, jelas wujudnya (kualitasnya) dan jelas jumlahnya (dapat dikuantitatifkan).
c. Jika pinjaman adalah modal kerja, maka harus diperhatikan tujuan dari pinjaman tersebut., contoh : tidak dapat diberikan take over jika tujuan pinjaman adalah untuk perusahaan jasa yang menghasilkan barang / bukan pembelian barang.
d. Jika barang berupa modal kerja maka jumlah stok barang sebagai “aset” yang akan di take over jumlahnya minimal sebesar outstanding/ nilai pinjaman.
e. Besarnya nilai pinjaman yang di take over boleh sebesar nilai outstanding pinjaman di bank konvensional ditambah biaya-biaya lain seperti pinalty dan atau denda. Hal ini disebabkan konsep take over menggunakan skema qardh, dimana pinjaman qardh dapat ditujukan untuk apa saja.
f. Tidak semua pinjaman multiguna dapat di take over mengingat untuk pinjaman yang tidak untuk pembelian barang (seperti pinjaman untuk biaya pendidikan atau biaya untuk membayar rumah sakit) tidak dapat dijadikan pembiayaan murabahah.
o Penelitian tentang Tata Cara Take Over Kredit dari Bank Konvensional ke Bank Syariah
Dalam praktek pada Bank BRISyariah tata cara take over kredit/ pembiayaan dari bank konvensional ke Bank BRISyariah, pada umumnya dilakukan sebagai berikut :
1. Nasabah mengajukan surat permohonan pembiayaan kepada Bank dengan melampirkan legalitas (identitas nasabah dan jaminan) dan keterangan sisa kewajiban (pokok dan bunga) ;
2. Bank akan melakukan verifikasi legalitas dan kelayakan usaha dan atau kemampuan nasabah berdasarkan prinsip 5 C’s (character, capacity, capital, collateral dan condition) ;
3. Bank akan melakukan verifikasi data nasabah melalui :
a. BI Checking (data nasabah yang ada dalam Bank Indonesia), di mana Bank akan melihat kondisi/ kualitas nasabah berdasarkan track record nasabah berdasarkan kolektibilitas. Apakah Nasabah masuk ke dalam kategori kolektibilitas (1) lancar, (2) dalam perhatian khusus, (3) kurang lancar, (4) diragukan atau (5) macet ;
b. Verifikasi pada bank sebelumnya (konvensional), terkait dengan jaminan (aset nasabah yang menjadi agunan) dan total kewajiban nasabah (pokok, bunga atau biaya-biaya lain yang ada) guna melunasi;
c. Verifikasi jaminan pada instansi terkait dengan aset nasabah yang akan diagunkan pada Bank BRISyariah;
1. Asset nasabah yang terkait dengan tanah melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN);
2. Kapal laut > 20 M2 melalui syahbandar pelabuhan/ perhubungan
laut di mana kapal tersebut terdaftar;
3. Tagihan / piutang melalui pemberi kerja (bowheer) ; dan
4. Benda-benda bergerak melalui instansi pendaftaran seperti kepolisian (untuk kendaraan bermotor).
d. Appraisal jaminan atas asset-asset tersebut baik appraisal internal Bank maupun appraisal independen melalui Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP). Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 Pasal 44 diatur bahwa penilaian agunan wajib dilakukan oleh independen appraisal bagi pembiayaan yang diberikan kepada nasabah atau grup nasabah lebih dari Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah).35
e. Bank memberikan persetujuan surat persetujuan pembiayaan (apabila nasabah memenuhi kriteria Bank) berdasarkan Surat Persetujuan Pemberian Pembiayaan (SP3);
f. Penandatanganan Akad pembiayaan dan jaminan antara Bank dan nasabah; dan
g. Pelunasan danpengambilan jaminan dari bank konvensional.
35 Indonesia, Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, Tahun 2006, Pasal 44
4. Skema take over :
Bank
Konvensio
nal
6
Bank
Syariah
5
8
Nasabah
1
4
7
3
2
1. Analisa 2. BI Checking 3. Appraisal 4. Verifikasi data dan jaminan |
Keterangan :
1. Nasabah menjadi debitor dari bank konvensional
2. Nasabah mengajukan permohonan pembiayaan / take over kepada Bank Syariah
3. Nasabah verfikasi data dan agunan kepada Bank asal/ konvensional, bersamaan dengan analisa di internal
4. Bank Syariah menyetujui pemberian pembiayaan/ take over kepada nasabah dengan ditandatangani akad dan pengikatan jaminan
5. Bank Syariah memberikan fasilitas pembiayaan / dana kepada nasabah untuk melunasi hutangnya kepada bank syariah
6. Nasabah melunasi hutangnya kepada bank konvensional
7. Bank konvensional memberikan jaminan dan bukti pelunasan serta pelepasan jaminan kepada nasabah, atau menyerahkan langsung kepada Bank Syariah berdasarkan kuasa dari nasabah.
8. Nasabah memberikan jaminan kepada Bank Syariah
o Permasalahan Dalam Proses Take Over Dari Bank Konvesional ke Bank BRISyariah
Proses Take Over Dalam Skema Murabahah
1.Akad Jual Beli
a. Murabahah, yakni pembiayan jual beli di mana penyerahan barang dilakukan di awal akad. Bank menetapkan harga jual barang yaitu harga pokok perolehan barang ditambah sejumlah margin keuntungan bank. Harga Jual yang telah disepakati di awal akad tidak boleh berubah selama jangka waktu pembiayaan36.
BANK
NASABAH
2. Beli Barang
5. Bayar
4. Xxxxxx Xxxxxx
SUPPLIER
3. Kirim Barang
Keterangan gambar :
1. Bank dan Xxxxxxx melakukan akad pembiayaan jual beli atas suatu barang. Dalam Akad ini Bank bertindak sebagai penjual dan Xxxxxxx selaku pembeli;
2. Bank melakukan pembelian barang yang diinginkan Nasabah dari supplier / penjual dan dibayarkan kepada Nasabah;
3. Barang yang telah dibeli Bank dikirim oleh Supplier kepada Xxxxxxx.
4. Nasabah menerima barang yang dibeli;
5. Atas barang yang dibelinya, Nasabah membayar kewajiban kepada Bank secara angsuran selama jangka waktu tertentu
36 Xxxxx Xxxxxxxx, Op.Cit, hlm 25
b. Akad-akad yang dibutuhkan dalam pembiayaan murabahah adalah :
1. Akad Wakalah, yaitu pelimpahan kekuasaan oleh satu pihak kepada pihak lain dalam hal-hal yang boleh diwakilkan.37 Dalam hal ini Bank memberikan kuasa kepada Nasabah untuk mewakili bank dalam hal pembelian barang kepada supplier/ penjual. Dalam hal ini barang masih kepemilikan Bank.
2. Akad Pembiayaan Murabahah, perjanjian jual beli barang dalam bentuk pembiayaan, dimana Bank menjual Barang Kepada Nasabah dengan cara mencicil sesuai dengan harga beli, margin dan jangka waktu yang telah ditentukan kedua belah pihak.
3. Akta Pemberian Hak Tanggungan, perjanjian di mana Nasabah menjaminkan barang yang dibeli dan atau aset-aset yang lain milik Nasabah dan atau milik pihak ketiga lainnya sebagai penjamin.
c. Dalam proses take over diketahui bahwa barang secara kenyataannya sudah dalam milik Nasabah, baik barang tersebut menjadi objek pemberian fasilitas kredit maupun sebagai agunan kredit pada bank konvensional. Dalam hal barang menjadi objek jual beli maka barang tersebut harus dialihkan ke Bank terlebih dahulu.
d. Untuk mengatasi peralihan hak milik dari Nasabah ke BRISyariah, menurut Xxxxx Xxxxx (Legal Support) maka diperlukan media lain untuk menggantikan media wakalah, yaitu dengan cara Perjanjian Jual
37 Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, (Jakarta, PT. Intermasa, 2003), hlm
66
Beli (PJB) atas objek murabahah tersebut dari Nasabah kepada Bank BRISyariah. Adapun skema pembiayaan fasilitas pembiayaan
murabahah take over adalah sebagai berikut :
1.Akad qardh
BANK
BRISyariah
Nasabah
4. PJB
5. Akad Murabahah
2. bayar pelunasan
3. Pemberian agunan
BANK
Konvesion al
Keterangan :
a. Bank BRISyariah memberikan qardh (dana talangan) kepada Nasabah guna melunasi hutangnya kepada Bank Konvensional;
“Qardh” adalah akad pinjaman kepada Nasabah dengan ketentuan bahwa Nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya kepada Bank pada waktu yang telah disepakati antara Bank dengan Nasabah.38
b. Atas qardh (dana talangan) tersebut Nasabah membayarkan kepada Bank Konvensional;
c. Setelah dilakukan pembayaran pelunasan dari Nasabah, Bank Konvensional memberikan agunan milik Nasabah;
d. Agunan milik Nasabah dijual/ dialihkan kepada Bank BRISyariah melalui Perjanjian Jual Beli (PJB);
38 Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, Ibid, hlm 111
e. Atas dasar kepemilikan objek tersebut Bank BRISyariah melakukan jual beli dengan Nasabah dengan pembiayaan Murabahah kepada Nasabah yang diikuti oleh pengikatan jaminan atas objek tersebut.
o Pengecekan Dokumen Jaminan
Jaminan dalam pembiayaan memiliki dua fungsi yaitu Pertama untuk pembayran hutang seandainya terjadi wanprestasi atas pihak ketiga yaitu menjual jaminan tersebut. Kedua sebagai akibat dari fungsi pertama, atau sebagai indicator yang akan diberikan kepada pihak debitur. pemberian jumlah pembiayaan tidak boleh melebihi nilai harta yang dijaminkan Jaminan secara umum berfungsi seba- gai jaminan pelunasan kredit/ pembia- yaan. Jaminan pembiayaan kemampuan, modal, dan prospek usaha yang dimiliki debitur merupakan jaminan materiil yang berfungsi sebagai first yang dimiliki debitur merupakan jaminan materiil yang berfungsi sebagai first way out. Dengan jaminan immateriil tersebut dapat diharapkan debitur dapat mengelola perusahaannya dengan baik sehingga memperoleh pendapatan (revenue) bisnis guna melunasi pembiayaan sesuai yang diperjanjikan.
Jaminan pembiayaan berupa agunan bersifat keben- daan (materiil) berfungsi sebagai second way out. Sebagai second way out, pelaksa naan penjualan/eksekusi agunan baru dapat dilakukan apabila debitur gagal memenuhi kewajibannya melalui first way out. Yang dimaksud dengan first way out adalah agunan kredit yang didasarkan atas keyakinan bank terhadap karakter dan kemampuan nasabah/debitur untuk membayar kembali kreditnya, dengan dana yang beradal dari hasil usaha yang dibiayai kredit, yang tercermin dalam cash flow nasabah
Untuk menghindari terjadinya sertifikat palsu, pemblokiran, terpasangnya Hak Tanggungan oleh pihak lain dan atau dalam sitaan pihak lain maka sebelum penandatangan akta jual beli dan atau akta
pemberian hak tanggungan (apht) perlu dilakukan pengecekan
sertifikat pada Kantor Pertanahan. Dimana pengecekan sertifikat
adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengetahui data fisik dan data
yuridis yang tersimpan dalam peta pendaftaran, daftar tanah, surat ukur
dan buku tanah seperti yang tercantum dalam. Adapun dasar hukum
pengecekan sertifikat adalah Pasal 34 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah : 39
i. Setiap orang yang berkepentingan berhak mengetahui data fisik dan data yuridis yang tersimpan di dalam peta pendaftaran, daftar tanah, surat ukur dan buku tanah.
ii. Data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam daftar nama hanya terbuka bagi instansi Pemerintah tertentu untuk keperluan pelaksanaan tugasnya.
iii. Persyaratan dan tata cara untuk memperoleh keterangan mengenai data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.
Jika tidak terdapat catatan dalam buku tanah atau sertifikat dinyatakan bersih, maka BPN akan membubuhkan tanda bahwa sertifikat sesuai dengan buku tanah, dengan adanya tulisan:
“Telah diperiksa dan sesuai dengan daftar di Kantor Pertanahan”
39 Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah
Yang dilengkapi dengan nomor daftar isian dan tanggal dilakukan pengecekan kemudian diparaf oleh petugas yang berkompeten.
Dalam praktek take over kredit atau pembiayaan di mana bank asal tidak bersedia mengeluarkan sertifikat asli untuk dilakukan pengecekan pada Kantor Pertanahan. Adapun berbagai macam alasan yang disampaikan, antara lain :
- Asli sertifikat merupakan jaminan, sehingga hanya dapat dikeluarkan apabila fasilitas kredit nasabah telah lunas.
- Karena prosedur keamanan internal bank tersebut terhadap dokumen jaminan yang birokratis.
- Tidak adanya staf atau pegawai yang bisa mengantarkan dan mengawal asli sertifikat tersebut ke Kantor Pertanahan
Berdasarkan praktek tersebut biasanya Bank melalui Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) melakukan pengecekan sertifikat dengan cara cek “intip”. Di mana pengecekan fisik asli sertifikat pada Kantor Pertanahan akan dilakukan setelah fasilitas pembiayaan cair (direalisasikan) oleh Bank. Hal ini sangat berisiko terhadap ke absahan terhadap akta jual beli dan atau akta pemberian hak tanggungan atas objek tanah tersebut.
o Pengikatan Perjanjian Jual Beli Terhadap Transaksi Take Over
Dengan Skema Murabahah
Fasilitas Pembiayaan Murabahah adalah perjanjian jual beli barang dalam bentuk pembiayaan, di mana Bank menjual Barang Kepada Nasabah dengan cara mencicil sesuai dengan harga beli, margin dan jangka waktu yang telah ditentukan kedua belah pihak.
Dalam proses take over pembiayaan dengan skema Murabahah tersebut aset atau objek murabahah sudah atas nama Nasabah, sehingga unsur jual beli tidak terpenuhi. Untuk mengakomodir unsur jual beli tersebut maka Bank BRISyariah dan juga bank-bank syariah lainnya melakukan perjanjian jual beli di bawah tangan, di mana Nasabah menjual objek tersebut kepada Bank yang kemudia Bank menjual kembali dengan cara fasilitas murabahah.
Berdasarkan Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 diatur sebagai berikut
i. Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam peusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
ii. Dalam keadaan tertentu sebagaimana yang ditentukan oleh Menteri, Kepala Kantor Pertanahan dapat mendaftar pemindahan hak atas bidang tanah hak milik, dilakukan di antara perorangan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan akta yang tidak dibuat oleh PPAT, tetapi yang menurut Kepala Kantor Pertanahan tersebut kadar kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftar pemindahan hak yang yang bersangkutan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tersebut disebutkan bahwa setiap peralihan atas tanah harus dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) (kecuali melalui mekanisme lelang).
Jika melihat Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tersebut di atas maka Perjanjian Jual Beli (PJB) di bawah tangan bukan merupakan peralihan hak.
o Penyelesaian Perselisihan
▪ Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah secara litigasi menjadi kewenangan absolut Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama, karena para pihak tidak boleh memperjanjikan lain akibat terikat dengan Undang-Undang yang telah menetapkan adanya kewenangan mutlak bagi suatu badan peradilan untuk menyelesaikan sengketa, namun secara non litigasi para pihak dibebaskan untuk membuat pilihan forum penyelesaian sengketa (settlement dispute option), termasuk menyelesaikan sengketanya diluar pengadilan, seperti melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) yang putusannya bersifat finaldan binding. Penyelesaian sengketa secara non litigasi dapat menjadi solusi dalam penyelesaian sengketa dibidang perbankan Syariah karena terdapat beberapa keunggulan dibandingkan dengan penyelesaian melalui litigasi atau pengadilan, karena penyelesaian sengketanya dapat dilakukan dengan cepat, biaya murah, bersifat confidential, atas dasar prinsip win-win solution, lebih partisipatif, dan mengurangi penumpukan perkara di pengadilan, tanpa mengurangi sifat profesionalisme.
•
Contoh klausul penyelesaian perselisihan yang terdapat pada Akad Murabahah Bank BRISyariah :
PASAL 6 PENYELESAIAN PERSELISIHAN
1) Apabila di kemudian hari terjadi perbedaan pendapat atau penafsiran atas hal-hal yang tercantum di dalam Akad ini atau terjadi perselisihan atau sengketa dalam pelaksanaan Akad ini, Para Pihak sepakat untuk menyelesaikannya secara musyawarah untuk mufakat.
2) Dalam hal, penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat 1 Pasal ini tidak mencapai kesepakatan, maka Para Pihak bersepakat, dan dengan ini berjanji serta mengikatkan diri satu terhadap yang lain, untuk menyelesaikannya melalui PENGADILAN AGAMA menurut Peraturan dan Prosedur Arbitrase yang berlaku di dalam Badan Arbitrase tersebut.
3) Para Pihak sepakat, dan dengan ini mengikatkan diri satu terhadap yang lain, bahwa putusan yang ditetapkan oleh PENGADILAN AGAMA tersebut sebagai keputusan tingkat pertama dan terakhir.
Tanpa mengurangi tempat pokok PENGADILAN AGAMA di Jakarta yang ditentukan di dalam Peraturan dan Prosedur Arbitrase PENGADILAN AGAMA, Para Pihak bersepakat memilih tempat pelaksanaan arbitrase di kota tempat cabang BANK berada. Namun penunjukan dan pembentukan Arbiter atau Xxxxxxx Xxxxxxxxx dilakukan oleh ketua PENGADILAN AGAMA.
o Proses take over kredit / pembiayaan dari Bank Konvensional ke Bank BRISyariah terjadi karena keinginan Nasabah yang semula memperoleh fasilitas kredit dari Bank Konvensional yang berbasis
bunga menjadi fasilitas pembiayaan yang berbasis pada bagi hasil (mudharabah dan musyarakah) atau margin (murabahah) pada Bank Syariah. Proses take over yang dilakukan BRISyariah harus sesuai dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak
Tanggungan, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Fidusia, Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN), Fatwa Dewan Pengawas Syariah, Sistem Operasional Prosedur (SOP) yang berlaku di BRISyariah, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan syariah dan jaminan.
Take over di sini tidak hanya pengambilalihan kredit/ pembiayaan saja, namun bisa juga termasuk aset atau agunan Nasabah. Proses take over dilakukan oleh BRISyariah harus disesuaikan dengan kebutuhan Nasabah dan produk-produk syariah yang ada (skema fasilitas pembiayaan syariah). Proses take over yang dilakukan oleh XXXXxxxxxx berjalan dengan baik sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, peraturan dan perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia. Proses take over fasilits pembiayaan di BRISyariah mayoritas memakai skema murabahah, musyarakah dan mudharabah. Adapun pengikatan akad pembiayaan dilakukan baik secara notariil maupun dibwah tangan, khusus untuk jaminan tetap dilakukan sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia dan sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan di BRISyariah.
• Skema Take Over dari Bank Konvensional ke Bank BRISyariah
Skema fasilitas pembiayaan harus diperhatikan oleh BRISyariah terhadap proses take over ini. Hal ini disebabkan karena penggunaan fasilitas pembiayaan itu sendiri yang akan diikuti oleh
pengikatan perjanjian atau akad-akad yang akan dibuat dan ditandatangani antara Nasabah dan Bank.
Apabila mengacu pada Opini Dewan Pengawas Syariah BRISyariah Nomor 019/BRIS/DPS/II/2009 tanggal 18 Februari 2009, yang mengatur tentang “Ketentuan Take Over Pembiayaan Dari Bank Konvensional Dan Bank Syariah Lainnya Ke BRISyariah, maka skema take over sebagai berikut :
Tujuan Pinjaman | Skema Setelah Take Over | Langkah Take Over |
Modal Kerja | Murabahah | 1.Qardh dari BRIS ke Nasabah untuk melunasi pinjaman di Bank Konvensional 12. Nasabah menjual aset /stok barang tersebut kepada BRISyariah 13. BRIS membeli aset/ stok barang tersebut 14. Nasabah melunasi qardh 15. Aset/ Stok menjadi milik BRIS 16.BRIS menjual kembali aset/stok baarang tersebut kepada Nasabah |
Mudharabah Musyarakah | Tanpa qardh | |
Hawalah | - | |
Konsumer Pinjaman untuk kebutuhan konsumtif | Murabahah | Langkah take over seperti langkah di atas |
a. KPR | Bisa di take over | |
d. KKB (kendaraan) | Bisa di take over | |
e. Multiguna iii. Barang iv. Non Barang | Bisa di take over selama tujuannya untuk pembelian barang |
• Proses Take Over Untuk Skema Murabahah
Pembiayaan murabahah yang terdapat pada perbankan syariah diterapkan dalam pembiayaan modal kerja, pengadaan barang, pembangunan rumah dan lain- lain. Beberapa contoh penerapan pembiayaan murabahah pada perbankan syariah yakni Modal Kerja (Modal Kerja berupa Barang). Pembiayaan untuk modal kerja dapat dilakukan dengan prinsip jual beli murabahah. Akan tetapi, transaksi ini hanya berlaku sekali putus, bukan satu akad dengan pembelian barang berulang- ulang.
Pembiayaan merupakan suatu fasilitas keuangan yang memungkinkan seseorang atau badan usaha untuk meminjam uang untuk membeli produk dan membayarnya kembali dalam jangka waktu yang ditentukan. Dalam Undang- Undang Nomor. 10 tahun 1998 menyebutkan bahwa kredit atau pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian nisba.
Divisi Pengembangan Produk dan Edukasi Departemen Perbankan Syariah Otoritas Jasa Keuangan (2016) Murabahah adalah Akad transaksi muamalah dengan menerapkan prinsip jual beli barang sebesar harga perolehan barang ditambah margin yang disepakati oleh para pihak. Harga perolehan diinformasikan oleh penjual kepada pembeli. Pembiayaan Murabahah adalah Produk pembiayaan perbankan syariah untuk memenuhi kebutuhan Nasabah dengan penggunaan akad Murabahah dan Wakalah di dalamnya. Obyek Murabahah Barang yang dijadikan underlying asset of transaction pada pembiayaan Murabahah yang harus disebutkan secara jelas,
detail dan terperinci dalam kontrak. Barang yang dijualbelikan harus halal secara zat maupun cara perolehannya. Murabahah merupakan akad jual beli atas barang tertentu, dimana penjual menyebutkan harga jual yang terdiri atas harga pokok barang dan tingkat keuntungan tertentu tas barang, dimana harga jual tersebut disetujui pembeli. Dalam Pasal 1 angka 7 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha 7 Berdasarkan Prinsip Syariah Murabahah adalah jual beli barang sebesar harga pokok barang ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati.Dalam Pasal 20 angka 6 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Murabahah adalah pembiayaan saling menguntungkan yang dilakukan oleh shahib al-mal (pemilik modal) dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi jual beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan keuntungan atau laba bagi shahib al-mal dan pengembaliannya dilakukan secara tunai atau angsur.
Salah satu skema take over adalah murabahah di mana adanya proses jual beli objek barang dari Bank kepada Nasabah. Untuk proses take over tidak diperlukan lagi media akad wakalah dari Bank kepada Nasabah untuk membeli barang dari supplier/ penjual. Hal tersebut disebabkan barang yang menjadi objek jual beli secara de jure dan de facto sudah menjadi milik Nasabah.
Adapun pengganti akad wakalah pada take over dengan skema
murabahah ini adalah akad qardh dan perjanjian jual beli. Penggunaan qardh
di sini adalah sebagai dana talangan dari Bank kepada Nasabah untuk melunasi hutang Nasabah pada Bank/ lembaga keuangan konvensional.
Untuk memenuhi syarat murabahah di mana barang/ objek harus dimiliki oleh Bank, maka diperlukan media Perjanjian jual beli. Perjanjian jual beli barang dilakukan dari Nasabah kepada Bank, sehingga kepemilikan barang/ objek menjadi milik Bank. Perjanjian jual beli ini akan dapat direalisasikan setelah proses qardh dilakukan dan barang / objek telah diserahkan dari Bank konvensional kepada Nasabah.
• Perjanjian Jual Beli Di Bawah Tangan
Berdasarkan Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah bahwa Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Perbuatan peralihan hak atas atas barang yang menjadi objek murabahah merupakan perbuatan untuk syarat formal, di mana barang tersebut harus merupakan milik Bank yang kemudian dijual kembali kepada Nasabah dengan fasilitas pembiayaan murabahah.
Jual beli di bawah tangan (tidak dihadapan PPAT) tidak dapat dikatakan “Illegal”, tapi dapat dikatakan “Informal”. Hal ini dikarenakan jika jual beli tersebut memenuhi syarat materiil bagi sahnya jual beli maka jual beli tersebut tetap sah (legal), walaupun tidak dilakukan dihadapan PPAT, tapi karena dibuat tidak sesuai dengan bentuk, isi dan tata cara yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku maka jual beli di bawah tangan dapat dikatakan “Informal”.
BAB III
Pengalihan Hutang dalam Islam (Hiwalah)
A. Pengertian Pengalihan Hutang (Hiwalah)
1. Hiwalah
Transaksi perniagaan yang berkembang di tengah masyarakat semakin beragam. Seiring dengan berkembangnya polemik perniagaan, maka bermunculan pula ketentuan transaksi yang semakin rumit, tidak sesederhana jual beli klasik, atau bahkan sistem barter jaman dahulu. Begitu juga dalam hal hutang-piutang, bukan hanya hutang-piutang sederhana sesederhana qard, atau hutang yang dibayar secara cicilan. Dalam akad muamalah ada akad pengalihan hutang, yakni hiwalah.
Secara bahasa, pengalihan hutang dalam hukum Islam disebut sebagai hiwalah yang mempunyai arti lain yaitu Al-intiqal dan Al-tahwil, artinya memindahkan dan mengalihkan. Penjelasan yang dimaksud adalah memindahkan hutang dari tanggungan muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggungan muhal'alaih (orang yang melakukan pembayaran hutang).40
لحه ىل
لحه يه لقٌلا : تغل
40 Xxxxx Xxxxxxx, Xxxx Xxxxxxxx, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010) h. .99
Sedangkan pengertian hiwalah secara istilah, para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikannya, antara lain sebagai berikut:
Menurut Xxxxxx, yang dimaksud hiwalah
41ً˝ مزتلولا تهذ ىلإ ىويدولا تهذ يه تبل اطولا لق
“Memindahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab pula”.
Al-jaziri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah adalah
42ً˝ تهذ ىلا تهذ يه ييدلا لق
“Pemindahan utang dari tanggung jawab seseorang menjadi tanggung jawab orang lain”.
Xxxxxx xx-din al-xxxxxxx bahwa yang dimaksud dengan hiwalah adalah
43تهذ ىلا تهذ يه ييذ لاقتا˝ ىضتقي دقع
“Akad yang menetapkan pemindahan beban utang dari seseorang kepada yang lain”.
Ensiklopedi Hukum Islam, di dalamnya dijelaskan hiwalah adalah Pemindahan hak atau kewajiban yang dilakukan pihak pertama kepada pihak kedua untuk menuntut pembayaran utang atau membayar utang dari atau kepada pihak ketiga, karena pihak ketiga berutang kepada pihak pertama dan
41 Xxx Xxx‟ah Xxxxxxxx, dkk. Mausu‟ah Fatawa al-Muamalat al- Maliyah Lilmasyarif wa al-muassaat al-Maliyah, al-Islamiyah, al- Murabahah, jilid 13, Kairo, Dar al-Salam Lithaba‟ah wa al-Tauzi‟ wa al- Tarjamah, 2009, h.11.
42 Xxxxxxxxxxx xx-Xxxxxx, Xx-Xxxx Xxx Xxxxxxx al-Arba‟ah, Juz 4, (Mesir al- Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, 1969), h. 210.
43 Xxxxxx xx-Huhaily, Al-fiqh al-Islami Wa Adillatuh, Juz 5, (Damsyiq: Dar al-Fikri 1989), h. 162.
pihak pertama berutang kepada pihak kedua atau karena pihak pertama berutang kepada pihak ketiga disebabkan pihak kedua berutang kepada pihak pertama. Perpindahan itu dimaksudkan sebagai ganti pembayaran yang ditegaskan dalam akad ataupun tidak didasarkan kesepakatan bersama.44
Dalam konsep hukum perdata Indonesia (BW/ KUH Perdata), hiwalah dipresepsikan dengan lembaga pengambilalihan hutang (schuldoverneming), atau lembaga pelepasan hutang atau penjualan hutang (debt sale), atau lembaga penggantian kreditur atau penggantian debitur. Dalam hukum perdata, dikenal lembaga yang disebut subrogasi dan novasi yaitu lembaga hukum yang memungkinkan terjadinya penggantian kreditur dan debitur.
2. Dasar Hukum Pengalihan Hutang (Hiwalah)
Ajaran Islam telah menerapkan bebarapa rukun dan syarat dalam semua bentuk muamalah, salah satunya utang piutang.Agar utang piutang dipandang sah dalam Islam maka harus terdapat rukun dan syarat yang menyertainya. Adapun Rukun dan Syarat utang piutang adalah sebagai berikut:
1) Rukun Utang Piutang
▪ Al-‘â qidâ ni, kedua belah pihak yang melakukan akad utan piutang, yang terdiri dari pihak yang memberi utang dan pihak yang menerima utang.
▪ Hartayangdihutangkan
▪ Sighat akad (ijab qabul)
2) Syarat Utang Piutang
a) Syarat bagi Al-‘â qidâ ni, adalah ahliyatul al-tabbaru’, orang yang mampu mengelola hartanya sendiri secara mutlak dan bertanggung jawab. Xxxxxx, berakal, cakap bertindak hukum sehingga anak kecil dan orang gila tidak masuk kategori ini. Selain itu juga disyaratkan tidak ada paksaan.
44 Xxxxx Xxxx Xxxxxx, et al. Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Xxxxxxx Xxxx Xxx Xxxxx, 1997). h. 559
b) Syarat oyek atau harta yang dihutangkanadalah hal yang bermanfaat, bernilai dan dapat dipergunakan.
c) Syarat shighat harus menunjukkan kesepakatan kedua belah pihak. Qardh tidak boleh mendatangkan manfaat bagi muqridh. Dalam shighat ijab qabul juga tidak mensyaratkan qardh bagi akad lainnya.
Pengalihan hutang atau disebut juga dengan hiwalah dibenarkan dalam Islam berdasarkan sunnah dan ijma‟.
A. HADITS
Xxxx Xxxxxxx meriwayatkan dari Xxx Xxxxxxxx, bahwa Xxxxxxxxxx XXX, bersabda:
“Dari Xxx Xxxxxxxx X.X berkata bahwa Xxxx Xxxxxxxx X.X.X bersabda: Memperlambat pembayaran hukum yang dilakukan oleh orang kaya merupakan perbuatan zalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar hutang, maka hendaklah ia beralih (diterima pengalihan tersebut)”. (HR Al- Bukhori) 45
Pada hadits ini Rasulullah memerintahkan kepada orang yang menghutangkan, jika orang yang berhutang menghiwalahkan kepada orang yang kaya dan berkemampuan, hendaklah ia menerima hiwalah tersebut, dan hendaklah ia mengikuti (menagih) kepada orang yang dihiwalahkannya (muhal'alaih), dengan demikian haknya dapat terpenuhi (dibayar) 46
45 Xxxxxxxxx xxx Xxxxxx Xxx Xxxxxxxx al-Bukhari, Shahih al- Bukhari, editor : Xxxxxxx Xxxx al-Bigha (Beirut: Xxx Xxx Xxxxxx, 1987 M/ 1407 H) h. 799
46 Xxxxxxxxx, Fiqh Ekonomi Syariah: Prinsip dan Implementasinya pada Sektor Kuangan Syariah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016) h. 284-285.
Jumhur ulama berpendapat bahwa perintah yang terdapat pada hadits di atas (fal yatba‟ atau fat ba‟hu) adalah perintah yang bersifat sunnah dan anjuran. Oleh karena itu, tidak wajib hukumnya untuk menerima akad hiwalah. Namun, Xxx Xxxx dan Xxxx Xxxxx berpendapat bahwa perintah dalam hadits tersebut adalah bersifat wajib, oleh karena itu wajib bagi pihak muhal untuk menerima hiwalah tersebut.47
3. Fatwa Dewan Syariah Nasional No 31/DSN-MUI/VI/2002
Pertama : ketentuan umum
a. Pengalihan hutang adalah pemindahan hutang nasabah dari bank konvensional ke bank syariah
b. Al-Qardh adalah akad pinjaman dari LKS kepada nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan pokok pinjaman yang diterimahya kepada LKS pada waktu dan dengan cara pengembalian yang telah disepakati
c. Nasabah adalah (calon) nasabah LKS yang mempunyai kredit (hutang) kepada lembaga keuangan konvensional(LKK) untuk pembelian asset, yang ingin mengalihkan hutangnya ke LKS
d. Asset adalah asset nasabah yang dibelinya melalui kredit dari LKK dan belum dilunasi pembayaran kreditnya
4. Macam-Macam Pengalihan Hutang (Hiwalah)
Ada beberapa istilah dalam pembagian jenis hiwalah. Ditinjau dari segi objek akad, hiwalah dapat dibagi menjadi dua, yaitu apabila yang dipindahkan merupakan hak menuntut utang, maka pemindahan itu disebut hiwalah al-haqq (pemindahan hak). Sedangkan jika yang dipindahkan adalah kewajiban untuk membaya hutang, maka disebut dengan hiwalah ad-dain (pemindahan hutang). 48 Dalam penelitian ini,
47 Xxxxxx xx-zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, jilid 6, xxxx-Xxxxx Xxxxxx Xx- Xxxxxxx, (Jakarta: Gema Insani, 2011), h. 84
48 Xxxxx Xxxx Sjahdaeni, Perbankan Syariah : Produk-Produk dan Aspek-Aspek Hukumnya, (Jakarta: Kencana, 2015) h. 384.
penulis membahas hiwalah dalam hal pemindahan kewajiban membayar hutang.
Hiwalah ad-dain ada dua pula, yaitu memindahkan sebagai ganti dari pembayaran hutang pihak pertama kepada pihak kedua disebut hiwalah al-muqayyadah (pemindahan bersyarat). Kemudian ada pemindahan hutang yang tidak ditegaskan sebagai ganti dari pembayaran hutang pihak pertama kepada pihak kedua disebut dengan hiwalah al-muthlaqah (pemindahan mutlak) 49
Hiwalah muthlaqah terjadi jika orang yang berhutang (orang pertama) kepada orang lain (orang kedua) mengalihkan hak penagihannya kepada pihak ketiga tanpa didasari pihak ketiga ini berhutang kepada orang pertama. Jika A berhutang kepada B dan A mengalihkan hak penagihan B kepada C, sementara C tidak punya hubungan hutang pituang kepada B, maka hiwalah ini disebut hiwalah muthlaqoh. Ini hanya dalam madzhab Hanafi dan Syi‟ah sedangkan jumhur ulama mengklasifikasikan jenis hiwalah ini sebagai kafalah.
Hiwalah muqayyadah terjadi jika muhil mengalihkan hak penagihan muhal kepada muhal alaih karena yang terakhir punya hutang kepada muhal. Inilah hiwalah yang boleh (jaiz) berdasarkan kesepakatan para ulama. 50
Ketiga madzhab selain madzhab hanafi (mahdzah Xxxxxx, Xxxxx‟i, dan Xxxxxxx) berpendapat bahwa hanya membolehkan hiwalah muqayyadah dan menyariatkan pada hiwalah muqayyadah agar hutang muhal kepada muhil dan hutang muhal alaih kepada muhil harus sama, baik sifat maupun jumlahnya. Jika sudah sama jenis dan jumlahnya,
49 M. Syafi‟i Xxxxxxx, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, (Jakarta, Gema Insani, 2001) h. 67.
50 Xxxxxxxxx, op.cit. h. 173.
maka sahlah hiwalahnya. Tetapi jika salah satunya berbeda, maka hiwalah tidak sah.
Seiring dengan konsep transaksi ekonomi yang semakin berkembang, muncul pula jenis hiwalah yang baru, yang masuk dalam akad profit, bukan lagi akad tabarru‟ yakni hiwalah bil ujroh. Hiwalah bil ujroh adalah hiwalah dengan pengenaan ujrah atau fee. Hiwalah bil ujrah hanya berlaku pada hiwalah muthlaqah. Dalam hiwalah muthlaqah muhal alaih boleh memperoleh ujrah atau fee atas kesediannya untuk membayar hutang muhil. Besarnya fee tersebut harus ditetapkan pada saat akad secara jelas, tetap dan pasti sesuai kesepakatan pada pihak. Ketentuan mengenai hiwalah bil ujrah telah disepakati oleh para ulama modern dan telah tercantum dalam fatwa DSN MUI nomor 58 tahun 2007 tentang hiwlaah bil ujroh.
5. Rukun dan Syarat Pengalihan Hutang (Hiwalah)
▪ Xxxxx Xxxxxxx
Hiwalah memiliki rukun-rukun yang menjadi landasannya.
Setiap rukun tersebut tentunya memiliki syarat-syarat yang terkait. Berikut adalah rukun-rukun hiwalah beserta syarat-syarat terkaitnya:
a. Muhil (orang yang berhutang dan berpiutang)
- Muhil adalah orang yang berutang (debitor) yang memindahklan utangnya kepada orang lain. Muhil haruslah orang yang mampu berakad, yaitu orang ynag sudah baligh.Hiwalah tidak sah jika berasal dari orang gila atau anak kecil yang belum bisa berfikir. Mereka termasuk dalam golongan orang yang tidak berakal.padahal, berakal adalah syarat sah untuk melakukan berbagai pemanfaatan harta.
Mazhab Hanafi memperbolehkan hiwalah yang dilakukan oleh anak kecil yang sudah bisa berpikir jika diizinkan oleh walinya atau jika
akad tersebut sudah terjadi sebelumnya. Namun, Mazhab Syafi‟I melarangnya.
b. Muhal (orang yang berpiutang kepada muhil)
- Muhal adalah orang yang member pinjaman (kreditor) yang utangnya dipindahkan untuk dilunasi oleh orang lain yang bukan peminjamnya atau orang yang memberi pinjaman kepada muhil yang memindahkan utangnya untuk dilunasi oleh orang lain.
Muhal harus orang yang sudah cakap untuk berakad, yaitu berakal. Qabul dari muhal termasuk rukun akad hiwalah. Orang yang tidak berakal tidak akan dapat melakukan qabul. Dipersyaratkan pula bahwa ia sudah baligh. Ini menurut pendapat Mazhab Syafi‟i.sebaliknya, Xxxxxx Xxxxxx berpendapat bahwa baligh adalah syarat pelaksanaan bukan syarat sahnya.Jika anak kecil yang sudah bisa berpikir menerima hiwalah, qabul yang dilakukan adalah sah.Akan tetapi, pelaksanaannya bergantung pada izin dari walinya karena dalam hiwalah terdapat unsur mu’awadhah (transaksi).Menurut mereka, transaksi sah dengan izin wali dan boleh dilakukan atas persetujuan wali.
c. Muhal ‘Alaih (orang yang berhutang kepada muhil dan wajib membayar hutang kepada muhal)
-Muhal ‘alaih adalah orang yang harus melunasi utang kepada muhal. Muhal ‘alaih adalah orang yang sudah baligh. Xxxxxx Xxxxxx dan Mazhab Syafi‟I sepakat atas hal ini.Xxxxlah tidak sah dilakukan oleh orang gila dan anak kecil, sekalipun ia sudah bisa berpikir. Hal ini karena kewajiban melunasi utang merupakan bagian dari tabbaru’ (berbuat baik), sedangkan orang yang belum baligh tidak sah ber- tabbaru’.Oleh karena itu, menurut ulama Xxxxxx Xxxxxx, balighnya muhal ‘alaih adalah syarat sah, bukan syarat pelaksanaan hiwalah sebagaimana dalam persyaratan muhil dan muhal.
d. Muhal Bih (hutang muhil kepada muhal) Muhal bih adalah hak muhal yang harus dilunasi oleh muhil.Namun kewajiban (untuk melunasi) hak itu, kemudian dialihkan oleh muhil kepada muhal ‘alaih.Syarat muhal bih adalah sebagai berikut:
- Berupa utang. Hiwalah tidak sah dalam bentuk benda-benda berwujud karena hiwalah merupakan pengalihan hukum. Akad ini mengalihkan utang yang berada dalam suatu tanggungan ke tanggungan orang lain. Pengalihan benda-benda berwujd merupakan pengalihan hakiki, bukan pengalihan hukum. Barang-barang berwujud bukan sesuatu yang “berada dalam tanggungan kewajiban”. Oleh sebab itu, tidak ada hiwalah padanya.
- Utang tersebut bersifat tetap, seperti harga (yang harus dibayar) setekah barang diserahkan dan masa khiyar telah habis. Boleh juga menuju sifat yang tetap, seperti harga sudah disepakati, namun belum habis masa khiyar. Harga ini akan menuju sifatnya yang tetap setelah habis masa khiyar. Ini adalah pendapat yang paling kuat dalam Mazhab Syafi‟i.
Dalam sebuah perjanjian dalam Islam (akad), terdapat rukun dan syarat yang menjadikan akad itu halal menurut agama. Tidak terkecuali akad pengalihan hutang.
Syarat hiwalah dari Xxxxxx Xxxxx adalah sebagai berikut:
a) Relanya pihak muhil dan muhal tanpa adanya muhal „alaih, jadi yang harus rela itu adalah muhal dan muhil Bagi muhal’alaih rela atau tidak rela, tidak akan mempengaruhi kesalahan hiwalah.
b) Samanya kedua hak, baik jenis maupun kadarnya, penyelesaiannya, tempo waktu, kualitas, dan kuantitasnya.
c) Stabilnya muhal ‘alaih, maka penghiwalahan kepada seseorang yang tidak mampu membayar utang adalah batal.
d) Hak tersebut diketahui secara jelas. Menurut Xxxxx, perpindahan hutang itu mempunyai tiga syarat:
1. Orang yang dipindahkan hutangnya itu sudah jatuh tempo.
2. Utang yang dipindahkan itu sama dengan hutang yang baru dalam kadar dan sifatnya.
3. Hutang tersebut bukan dari pesanan.
Persyaratan hiwalah ini berkaitan dengan Muhil, Muhal, Muhal Alaih dan Muhal Bih. Persyaratan yang berkaitan dengan Muhil, ia disyaratkan harus, berkemampuan untuk melakukan akad (kontrak). Hal ini hanya dapat dimiliki jika ia berakal dan baligh. Hiwalah tidak sah dilakukan oleh orang gila dan anak kecil karena tidak bisa atau belum dapat dipandang sebagai orang yang bertanggung secara hukum. Kedua, kerelaan Muhil. Ini disebabkan karena hiwalah mengandung pengertian kepemilikan sehingga tidak sah jika ia dipaksakan. Di samping itu persyaratan ini diwajibkan para fukoha terutama untuk meredam rasa kekecewaan atau ketersinggungan yang mungkin dirasakan oleh Muhil ketika diadakan akad hiwalah.
Persyaratan yang berkaitan dengan Muhal. Pertama, Ia harus memiliki kemampuan untuk melaksanakan kontrak. Ini sama dengan syarat yang harus dipenuhi oleh Muhil. Kedua, kerelaan dari Muhal karena tidak sah jika hal itu dipaksakan. Ketiga, ia bersedia menerima akad hiwalah.
Persyaratan yang berkaitan dengan Muhal Alaih. Pertama, sama dengan syarat pertama bagi Muhil dan Muhal yaitu berakal dan balig. Kedua, kerelaan dari hatinya karena tidak boleh dipaksakan. Ketiga, ia menerima akad hiwalah dalam majlis atau di luar majlis. Pendapat yang rajih (valid) adalah tidak disyaratkan adanya kerelaan muhal „alaih. Dan muhal „alaih akan membayar hutangnya dengan jumlah yang sama kepada siapa saja dari keduanya.
Persyaratan yang berkaitan dengan Muhal Bih. Pertama, ia harus berupa hutang dan hutang itu merupakan tanggungan dari Muhil kepada Muhal. Kedua, hutang tersebut harus berbentuk hutang lazim artinya bahwa hutang tersebut hanya bisa dihapuskan dengan pelunasan atau penghapusan.
Menurut Xxxx Xxxxxx, rukun hiwalah ialah adanya ijab (pernyataan melakukan pengalihan hutang) dari pihak pertama, dan adanya qabul (pernyataan menerima pengalihan hutang) dari pihak kedua dan pihak ketiga. Sementara itu, menurut mahdzab xxxxxx, Xxxxx‟i dan Xxxxxxx xxxxx hiwalah ada enam yakni : muhil, yakni orang yang berhutang dan sekaligus berpiutang; muhal yakni orang berpiutang kepada muhil; Muhal „alaih, yakni orang yang berhutang kepadamuhildan wajib membayar hutang kepada muhal; muhal bih 1, yakni hutang muhil kepada muhal, dan juga; muhal bih 2 sebagai hutang muhal alaih kepada muhil; sighat (ijab-qabul).
Untuk syarat sahnya hiwalah, disyaratkan beberapa hal. Seperti, relanya pihak muhil, dan muhal tanpa muhal‟alaih. muhil yang berhutang berkewajiban membayar hutang dari arah mana saja yang sesuai dengan keinginannya
Karena muhal mempunyai hak yang ada pada tanggungan muhil maka tidak mungkin terjadi perpindahan tanpa kerelaannya. Kedua, samanya kedua hak, baik jenis maupun kadarnya, penyelesaian, tempo waktu, serta mutu baik dan buruk. Maka tidak sah hiwalah apabila hutang berbentuk emas dan di- hiwalah-kan agar ia mengambil perak sebagai penggantinya. Demikian pula jika sekiranya hutang itu sekarang dan di-hiwalah-kan untuk dibayar kemudian (ditangguhkan) atau sebaliknya. Tidak sah hiwalah yang mutu baik dan buruknya berbeda atau salah satunya lebih banyak. Ketiga, stabilnya hutang. Jika penghiwalahan itu kepada pegawai yang gajinya belum lagi dibayar, maka hiwalah tidak sah. Keempat, kedua hak tersebut diketahui dengan jelas. Apabila hiwalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggungan muhil menjadi gugur. Apabila muhal alaih
mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia, muhal tidak boleh kembali kepada muhil. 51
6. Macam-Macam atau Jenis Hiwalah
Mazhab Hanafi membagi hiwalah dalam beberapa bagian. Ditinjau dari segi objek akad, maka hiwalah dapat dibagi dua.
o hiwalah al-haqq (pemindahan hak) yaitu, apabila yang dipindahkan merupakan hak menuntut utang.
o hiwalah ad-dain (pemindahan utang) yaitu, apabila yang dipindahkan itu kewajiban untuk membayar utang
Ditinjau dari sisi lain, hiwalah terbagi dua:
1. Hiwalah al-muqayyadah (pemindahan bersyarat),yaitu pemindahan sebagai ganti dari pembayaran utang pihak pertama kepada pihak kedua.
2. Hiwalah al-muthlaqah yaitu pemindahan utang yang tidak ditegaskan sebagai ganti rugi dari pembayaran utang pihak pertama kepada pihak kedua.
7. Berakhirnya Hiwalah
Pendapat Mazhab Syafi‟i.
Konsekuensi hukum hiwalah adalah berpindahnya kewajiban (membayar utang) dari muhil kepada muhal ‘alaih dalam bentuk lepasnya tanggung jawab muhil untuk membayar utang.
Pada saat itu juga, akad hiwalah berakhir. Tidak ada hubungan apa pun lagi antara muhil dan muhal. Yang tersisa hanyalah hubungan antara muhal dengan muhal ‘alaih. Muhal pun tidak berhak lagi untuk menagih kepada muhil, bahkan sekalipun muhal ‘alaih tidak membayar
51 Xxxxx Xxxx Sjahdaeni, op.cit. h. 385.
padanya karena suatu sebab. Misalnya, muhal ‘alaih bangkrut atau mengingkari utang tersebut.
Hal tersebut disebabkan kewajiban (membayar utang) sudah berpindah dengan akad hiwalah dari tempatnya yang pertama ke tempat yang lain. Sesuatu yang sudah berpindah dari tempatnya tidak akan kembali ke tempat semula, kecuali dengan akad perpindahan yang baru lagi.
Xxxxxxxx juga dengan akad hiwalah, kewajiban muhil melunasi utang gugur. Sesuatu yang sudah gugur tidak akan kembali (ada lagi), baik karena (yang berkewajiban baru) bangkrut maupun karena sebab lain.
Sama saja dalam hal ini, entah ia (muhal) mengetahui bahwa muhal ‘alaih sedang bangkrut pada saat hiwalah ataupun tidak dan dipersyaratkan agar pembayarannya mudah ataupun tidak. Kasus ini sama dengan orang yang membeli sesuatu dan ia ditipu. Ia tidak berhak menuntut apa pun pada penjual sekalipun ia mempersyaratkan tidak adanya penipuan. Ia telah lengah dengan tidak mencari tahu kondisi muhal ‘alaih pada saat hiwalah terjadi. Pada saat yang sama, syarat yang ditetapkan (muhal) bisa diabaikan.
Pendapat Mazhab Xxxxxxxx.
Jika muhal sulit memperoleh pembayaran dari muhal ‘alaih karena sebab yang jelas, ia berhak kembali menagih utang tersebut kepada muhil. Dengan demikian, akad hiwalah berakhir. Menurut Xxx Xxxxxxx, sebab-sebab tersebut adalah sebagai berikut:
- Muhal ‘alaih meninggal dalam keadaan bangkrut.
- Muhal ‘alaih mengingkari akad hiwalah sampai berani bersumpah akan hal itu. Ditambah lagi, muhal dan muhil tidak memiliki bukti tentang adanya akad hiwalah tersebut.
- Pengikut Xxx Xxxxxxx menambahkan sebab yang ketiga, yaitu hakim memutuskan bahwa muhal ‘alaih bangkrut pada masa hidupnya.
Dalil mereka mengenai hal ini adalah bahwa muhal sudah tidak akan mungkin memperoleh haknya dari muhal ‘alaih dalam situasi- situasi semacam ini. Tambahan lagi, terbebasnya muhil dari kewajiban membayar utang terkait dengan terpeliharanya hak muhal. Inilah tujuan hiwalah. Jika hak muhal tidak aman, muhil tidak terbebas dari tanggung jawab atas utangnya. Oleh karena itu, muhal pun berhak menagih utangnya kembali kepada muhil. Jika muhal kembali menagih muhil, akad hiwalah berakhir.
8. Akibat Hukum Hiwalah
Jika akad hiwalah telah terjadi, maka timbul akibat hukum dari akad tersebut, antara lain:
1. Jumhur ulama berpendapat bahwa kewajiban pihak pertama untuk membayar utang kepada pihak kedua secara otomatis menjadi terlepas. Sedangkan menurut sebagian ulama Mazhab Hanafi, kewajiban tersebut masih tetap ada, selama pihak ketiga belum melunasi utangnya kepada pihak kedua, karena sebagaimana disebutkan sebelumnya, mereka memandang bahwa akad tersebut didasarkan atas prinsip saling percaya.
2. Akad hiwalah menyebabkan lahirnya hak bagi pihak kedua untuk menuntu pembayaran utang kepada pihak ketiga.
3. Xxxxxx Xxxxxx yang membenarkan terjadinya hiwalah al-mutlaqah berpendapat bahwa jika akad hiwalah al-mutlaqah terjadi karena inisiatif dari pihak pertama, maka hak dan kewajiban antara pihak pertama dan pihak ketiga yang mereka tentukan ketika melakukan akad utang-piutang sebelumnya masih tetap berlaku, khususnya jika jumlah utang-piutang antara ketiga pihak tidak sama.
4. Adapun resiko yang harus diwaspadai dari kontrak hiwalah adalah adanya kecurangan nasabah dengan member invoice palsuwanprestasi (ingkar janji) untuk memenuhi kewajiban hiwalah ke bank. 52
52 Xxxxxxxx Xxxxx‟I Xxxxxxx, Bank Syariah Dari Teori ke Praktek , h. 127.
9. Xxxxx Xxxxx Setelah Hiwalah
Apabila hiwalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil gugur. Andai kata muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hiwalah atau meninggal dunia, maka muhal tidak boleh kembali lagi kepada muhil, hal ini adalah pendapat ulama Jumhur.
Menurut Xxxxxx Xxxxxi, bila muhil telah menipu muhal, ternyata muhal ‘alaih orang fakir yang tidak memiliki suatu apapun untuk membayar, maka muhal boleh kembali lagi kepada muhil. Menurut Xxxx Xxxxx, orang yang menghiwalahkan utang kepada orang lain, kemudian muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia dan ia belum membayar kewajiban, maka muhal tidak boleh kembali kepada muhil.
Xxx Xxxxxxx, Syarih dan Xxxxxx berpendapat, bahwa dalam keadaan muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia, maka orang yang mengutangkan (muhal) dapat kembali lagi kepada muhil untuk menagihnya.
Manfaat Hiwalah yaitu sebagai berikut
- Memungkinkan penyelesaian utang dan piutang dengn cepat dan simultan.
- Tersedianya talangan dana untuk hibah bagi yang membutuhkan.
- Dapat menjadi salah satu free-based income/sumber pendapatan non pembiayaan bagi bank syari‟ah. 53
53 Mardani, Hukum Sistem Ekonomi Islam,(Jakarta: Rajawali Pers, 2015), h. 245.
10. Unsur Kerelaan dalam Hiwalah
a. Kerelaan Muhal
Mayoritas ulama Xxxxxxxx, Xxxxxxxxx dan Syafi‟iyah berpendapat bahwa kerelaan muhal adalah hal yang wajib dalam hiwalah karena utang yang dipindahkan adalah haknya, maka tidak dapat dipindahkan dari tanggungan satu orang kepada yang lainnya tanpa kerelaan. Demikian ini karena penyelesaian tanggungan itu berbeda-beda, bisa mudah, sulit, cepat dan tertunda-tunda.
Xxxxxxxxx berpendapat bahwa jika muhal ‘alaih itu mampu membayar tanpa menunda-nunda dan tidak membangkang, muhal wajib menerima pemindahan itu dan tidak diisyaratkan adanya kerelaan darinya.
Alasan mayoritas ulama mengenai tidak adanya kewajiban muhal untuk menerima hiwalah adalah karena muhal ‘alaih kondisinya berbeda-beda ada yang mudah membayar dan ada yang menunda- nunda pembayaran. Dengan demikian, jika muhal ‘alaih mudah dan cepat membayar utangnya, dapat dikatakan bahwa muhal wajib menerima hiwalah. Namun jika muhal ‘alaih termasuk orang yang sulit dan suka menunda-nunda membayar utangnya, semua ulama berpendapat muhal tidak wajib menerima hiwalah.
b. Kerelaan Muhal‘Alaih
Mayoritas ulama Xxxxxxxxx, Xxxxx‟iyah dan Xxxxxxxxx berpendapat bahwa tidak ada syarat kerelaan muhal ‘alaih, ini berdasarkan hadist yang artinya : jika salah seorang diantara kamu sekalian dipindahkan utangnya kepada orang kaya, ikutilah (terimalah). Di samping itu, hak ada pada muhil dan ia boleh menerimanya sendiri atau mewakilkan kepada orang lain.
Xxxxxxxx berpendapat bahwa diisyaratkan adanya kerelaan muhal ‘alaih karena setiap orang mempunyai sikap yang berbeda dalam menyelesaikan urusan utang piutangnya, maka ia tidak wajib dengan sesuatu yang bukan menjadi kewajibannya. Pendapat yang rajih (valid) adalah tidak disyaratkan adanya kerelaan muhal ‘alaih. Dan muhal ‘alaih akan membayar utangnya dengan jumlah yang sama kepada siapa saja dari keduanya. 54
54 Xxxxxxxx xxx Xxxxxxxx xxx Thayyar, Ensiklopedia Fiqh Mu’amalah Dalam Pandangan 4 Madzhab, (Yogyakarta: Maktabah alHanif, 2004), h.215-216.
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat diambil simpulan sebagai berikut :
1. Proses Pengalihan (take over) kredit pembiayaan dari Bank Konvensional ke Bank BRISyariah harus mengacu pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, Fatwa Dewan Syariah Nasional, Fatwa Dewan Pengawas Syariah BRISyariah Nomor 019/BRIS/DPS/II/2009 tanggal 18 Februari 2009 dan Sistem Operasi dan Prosedur (SOP) BRISyariah. Perihal Persyaratan dan Tata Cara Take Over Pembiayaan dari Bank Lain di Kantor Cabang Syariah dan Kantor Cabang Pembantu Syariah. Dalam Surat Edaran tersebut dijelaskan skema empat alternatif akad yang serupa dengan Fatwa DSN MUI Nomor 31 Tahun 2002 Tentang Pengalihan Hutang.
XXXXxxxxxx memberikan qardh kepada nasabah. Dengan qardh tersebut nasabah melunasi kredit terhadap bank lain, dengan demikian kepemilikan aset telah menjadi kepemilikan penuh nasabah. Sampai di sini, pengalihan hutang telah terjadi. Sebagaimana definisi pengalihan hutang, adalah berpindahnya kewajiban muhil (orang yang berhutang) kepada muhal ‘alaih (penerima pemindahan) terhadap muhal (orang yang memberi hutang). Selanjutnya terjadi skema penyelesaian pengalihan hutang, dengan hasil penjualan aset miliknya tersebut, nasabah menjual kepada BRISyariah. Nasabah mendapatkan dana atas hasil penjualan asetnya tadi, dengan dana tersebut nasabah melunasi qardhnya kepada BRISyariah, Tahap selanjutnya adalah tahap pengambilan kembali aset nasabah
menggunakan beberapa akad yang ditawarkan diantaranya, murabahah, ijarah, musyarakah, dan ijarah muntahiya bitamlik. Desain akad selanjutnya untuk tahap pengembalian aset nasabah, disesuaikan dengan kebutuhan nasabah. Meski demikian, pada dasarnya ketentuan tentang pengalihan hutang telah disinggung pula dalam UU Perbankan Syariah, PBI, dan SEBI.
Dalam ketiga regulasi tersebut, pengalihan hutang dalam perbankan syariah ditawarkan menggunakan akad hiwalah. Namun, dalam praktiknya akad hiwalah sebagaimana yang dijelaskan secara detail dalam Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No 14/ DpBS 17 Maret 2008, penulis nilai belum sepenuhnya solutif. Dalam SEBI tersebut hanya mengatur tentang skema peristiwa pengalihan hutang saja dari mulai pemberian dana talangan berupa dana qardh untuk membayar hutang nsabaha kepada bank sebelumnya (bank konvesonal). Kemudian diatur tentang pembolehan penarikan ujroh atau imbalan sewajarnya, dan biaya administrasi seajarnya. Tidak diatur bagaimana skema pengembalian dana qardh, apakah boleh dilakukan dengan akad murabahah, atau musyarakah, dan lain lain. Tidak dijelaskan pula mengenai sistem pembayaranya boleh dibayarkan secara cicilan atau harus langsung sekali terselesaikan. Dengan begitu, dasar hukum yang digunakan BRISyariah dalam operasional pengalihan hutang (take over) berpijak pada fatwa DSN MUI. Yang mana, penggunaan dasar hukum tersebut dinilai telah sesuai dengan kebutuhan bank. Di BRISyariah kedudukan sumber hukum UU Perbankan Syariah, PBI, SEBI dan Fatwa DSN MUI adalah saling melengkapi.
2. Pelaksanaan pengalihan hutang (take over) di BRI Syariah dari segi hukum Islam, telah sesuai dengan syariah. Pelaksanaan pengalihan hutang yang terjadi yaitu menggunakan penggabungan akad yang telah dilegalkan oleh DSN MUI yakni akad qardh wal murabahah, qardh wal musyarakah, qardh wal ijarah, dan qardh wal ijarah muntahiya bitamlik. Dari segi hukum positif, pelaksanaan pengalihan hutang di BRI Syariah dinilai tidak melanggar Undang-Undang Perbankan Syariah Nomor 21 Tahun 2008, Karena tidak menyalahi ketentuan ada dalam Undang- Undang tersebut.
B. SARAN
Dengan selesainya penulisan Tesis ini, penulis menuangkan seluruh kemampuan dan kemauan yang ada mengenai pembahasan “Implikasi Xxxxxxx Xxxxalihan Hutang (Take Over) di BRISyariah ” Maka selanjutnya penulis akan menyampaikan saran-saran sebagai berikut :
a) Sampai saat ini, regulasi yang terbaru dari tentang pengalihan hutang di bank syariah adalah PBI (Peraturan Bank Indonesia) No. 9/ 19/ PBI/ 2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Xxxxxxx dalam Kegiatan Penghimpunan Xxxx dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Bank Syariah. Di dalam PBI tersebut mengatur tentang pelayanan jasa di bank syariah salah satunya adalah pengalihan hutang menggunakan akad hiwalah. Namun penjelasan yang disuguhkan PBI ataupun turunannya (SEBI) tidak sepenuhnya jelas. Artinya, dalam regulasi tersebut hanya mengatur bagaimana mekanisme pengalihan hutangnya saja, tetapi belum dibahas hingga penyelesaian pengembalian dana talanganya menggunakna akad apa. Untuk itu, diharapkan Otoritas Jasa Keuangan yang saat ini menjadi lembaga yang mengatur, mengawasi dan melindungi lembaga keuangan segera menerbitkan POJK terkait prosedur pengalihan hutang (take over) di Bank Syariah. Apakah harus menggunakan akad hiwalah saja atau boleh menggunakan akad lain yang diantaranya adalah 4 akad alternatif sesuai yang ditawarkan DSN MUI.
b) Dengan memperhatikan dan mengkhawatirkan terjadinya pertentangan hukum yang terjadi antara fatwa DSN MUI dan Peraturan atau undang-undang hukum positif untuk berbankan, ada baiknya komunikasi yang baik antara kedua lembaga tersebut ketika mengeluarkan sebuah produk hukum sangat diperlukan. Sebagaimana kerancuan akad yang ditawarkan dalam pelaksanaan pengalihan hutang ini. Karena bagaimanapun kedua lembaga ini sama-sama menjadi pedoman pelaksanaan operasional bank syariah di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur
Xxxxxxxx, Xxxxxxxxx bin Xxxxxx Xxx, Xxxxxx al-Bukhari, 1987 M/ 1407 H. editor : Xxxxxxx Xxxx-Dar Xxx Xxxxxx, Bigha Beirut.
Xxxxx, Xxxxxx X, 2003, Kamus Lengkap Ekonomi,: Gitamedia press, Jakarta
Xxxxx Xxxxx Xxxxxx, Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), (Yogyakarta: UII Press, 2004),
Xxx, Xxxxxxxxx, 2011, Metode Penelitian Hukum, Cet III, Sinar Grafika, Jakarta.
Xx-Xxxxxx, Xxxxxxxxxxx 1969, Al-Fiqh Ala Mazahib al- Arba’ah, Juz 4, al-Maktabah al- Tijariyah al-Kubra, Mesir.
Xxxxxxx, X. Syafi’i, 2001 Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Gema Insani, Jakarta
Xxxxxxx, X. Syafi’i, 2001, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Gema Insani, Jakarta. Arsip Job Description Bank Jateng Cabang Syariah
Xxxxxx, Xxxxxxxx Xxxxxx, 2006, Pengantar Metodologi
Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Az-Huhaily, Xxxxxx, Al-fiqh al- Islami Wa Adillatuh, Juz 5,
(Damsyiq: Dar al-Fikri 1989), h. 162.
Xxxxx, Xxxxxxxxx, 1997, Metode Penelitian, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Az-xxxxxxx, Xxxxxx, 2011, Fiqh Islam wa Adillatuhu, jilid 6, xxxx-Xxxxx Xxxxxx Al-Kattani, Gema Insani, Jakarta
Buku Profil Bank Jateng Syariah
Xxxxxx, Xxxxx Xxxx, 1997, Ensiklopedi Hukum Islam, Ichtiar Baru Xxx Xxxxx, Jakarta.
Xxxxxx, Xxxx X dan Xxxxx Xxxxxx, 1990, Kamus Inggris Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Xxxxx Xxx-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalat, (Semarang: Pustaka Xxxxx Xxxxx, 2001)
Xxxxx Xxxxxxxxxxx, 2012, Metodologi Penelitian Kualitatif Untuk Ilmu-ilmu Sosial, Salemba Humanika, Jakarta.
Xxxxx, Xxxxxxx, 2009, Undang-Undang Perbankan Syariah : Titik Temu Hukum Islam dan Hukum Nasional, Rajawali Pers, Jakarta
Xxxxx, Xxxxxxx, 2009, Undang-Undang Perbankan Syariah, Rajawali Pers, Jakarta.
Xxxxxxxxx, 2009, Multi Akad dalam Transaksi Syariah Kontemporer pada Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia, UIN Xxxxxx Xxxxxxxxxxxx, Ciputat.
Xxxxxx, X. Xxxxxx, Xxxxxx X, 2007, Handbook of Islamic Banking, Xxxxxxxx Xxxxxx Xxxxx, Xxxxxx Xxxxx Publishing, USA.
Xxxxxxx, 2006, Teori dan Metodologi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Xxxxx, Xxxxxxxxx, 2006, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, PT Raja Grafindo Persada Jakarta.
Xxxxx, Xxxxxxxxx, 2006, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Xxxxxxx, Xxxxx Xxxxxx, 2010, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta
Xxxxxxxx, Management Pembiayaan Bank Syariah, (Yogyakarta : UPP AMP YKPN, 2005)
Xxxxxxxx, Xxx Xxx’xx, dkk, 2009, Mausu’ah Fatawa al- Muamalat al-Maliyah Lilmasyarif wa al-muassaat al- Maliyah, al-Islamiyah, al-Murabahah, jilid 13, Dar al-Salam Lithaba’ah wa al-Tauzi’ wa al-Tarjamah, Kairo.
Xxxxxxxx, Xxxxx, Xxxxxx Xxxxxxxx, 1997, Kamus Al- Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Pustaka Progresif, Surabaya.
Xxxxxxxx, Xxxxxx Xxxxx, 2008, Metodologi Penelitian Hukum, CV Mandar Maju, Bandung.
Xxxxxx, Xxxxxx dan Xxxxxxx Xxxxxx, 1995, Instrumen Penelitian Bidang Sosial, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Xxxxxxxx, Xxxxxxxxx, suhrawardi, 2004, Hukum Perjanjian dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta.
Xxxxxxxx, Xxx dan Xxxxx Xxxxxxxx, 2005, Kamus Istilah Ekonomi, PT. Bumi Aksara, Jakarta
Xxxxxxxxx, 2016 Fiqh Ekonomi Syariah: Prinsip dan Implementasinya pada Sektor Kuangan Syariah, Rajawali Pers, Jakarta
Xxxxx, Xxxxxx, 1987, Fiqh Sunnah, Al-Maarif, Bandung.
Xxx, X. Ichwan dkk. 2014, Himpunan Fatwa Keuangan Syariah (Dewan Syariah NAsional MUI), Erlangga, Jakarta
Sjahdaeni, Xxxxx Xxxx, 2015, Perbankan Syariah : Produk- Produk dan Aspek-Aspek Hukumnya, Kencana, Jakarta
Xxxxxxxx, Xxxxxxxx, Xxx Xxxxxx, 2006, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Xxxxxxxx, 2009, Metode Penelitian kuantitatif, kualitatif dan R&D, Alfabeta, Bandung Xxxxxxx, Xxxxx, 2010, Fiqh Muamalah, Rajawali Pers, Jakarta.
Xxxxxxxx, Xxxx, 1989, Metodologi Penelitian Xxxxxxxx, Xxxx Offset, Yogyakarta. Tim Penyusun, 1996, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Xxxxxxxxxxxxx, Xxxxxxx R., 2003, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata): Xxxxxxx Xxxxxxx, Jakarta.
Xxxxxxxx Xxxxx, Islamic Banking, (Jakarta : Bumi Aksara, 2010),
Xxxxxx xx-Zuhaili, Al-Fiqh Islamy wa Adillatuh Juz IV, (Damaskus: Dar Al-Fikr,1986), Xxxxx Xxxxx Xxxxxxx, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2013)
Undang-undang dan Peraturan lainnya
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang- undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Merger, Konsolidasi dan Akuisisi
Sumber Lainnya
Himpunan Fatwa Dewan Syariah Indonesia , 2001 Bank Indonesia, Kodifikasi Produk Perbankan Syariah.
Berandaekis, Pengertian Perjanjian Akad Menurut Hukum Islam, http//xxxxxxxxxxx.xxxxxxxx.xxx. Diakses tanggal 11 September 2014.
Xxxxxxxxxxxx.xxxx.xxxxxxx.xx.xx, Penyelesaian Sengketa erdata Melalui Basyarnas. Diakses tanggal 12 September 2014
Xxxxx, Xxxxxxxx, Implikasi Putusan Mahkamah Agung, xxx.xxx.xxxxxxxx.xx.xx. Diakses tanggal 22 Agustus 2014
Data presentasi Akuisisi dan Spin Off PT. Bank BRISyariah.