PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING DITINJAU DARI PRINSIP KEADILAN, KEPASTIAN HUKUM, DAN HAK ASASI MANUSIA
PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING DITINJAU DARI PRINSIP KEADILAN, KEPASTIAN HUKUM, DAN HAK ASASI MANUSIA
PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING
DITINJAU DARI PRINSIP KEADILAN, KEPASTIAN HUKUM, DAN HAK ASASI MANUSIA
DISERTASI
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Hukum
OLEH :
I XXXXXX XXXX XXXXXXXXX NIM : 0830104109
PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2012
1
2
D I S E R T A S I
PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING DITINJAU DARI PRINSIP KEADILAN, KEPASTIAN HUKUM, DAN HAK ASASI MANUSIA
Oleh :
I Xxxxxx Xxxx Xxxxxxxxx
Dipertahankan didepan penguji pada tanggal 08 Februari 2012 dan dinyatakan memenuhi syarat
Komisi Pembimbing
Prof. Xx. Xxxxxxxxx, S.H., M.S. Promotor
Prof. Dr. IGN. Xxxxxxxxx, S.H.,M.H. Ko-Promotor 1
Xx. Xxxxx Xxxxxxx Xxxxxxx, S.H.,M.H. Ko-Promotor 2
Malang,
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Dekan
Xx. Xxxxxxxxx, X.X.,M.H.
NIP. 19591216 198503 1 001
Mengetahui :
Program Doktor Ilmu Hukum Ketua,
Prof. Xx. Xxxxxxxxx, S.H., M.S. NIP : 00000000 000000 0 004
3
PANITIA UJIAN AKHIR DISERTASI
JUDUL DISERTASI :
PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING DITINJAU DARI PRINSIP KEADILAN, KEPASTIAN HUKUM, DAN HAK ASASI MANUSIA
Nama Mahasiswa : I Xxxxxx Xxxx Xxxxxxxxx NIM 0830104109
Program Studi : Ilmu Hukum
KOMISI PEMBIMBING
Promotor : Prof. Xx. Xxxxxxxxx, S.H., M.S.
Ko Promotor 1 : Prof. Dr. IGN. Xxxxxxxxx, S.H.,M.H.
Ko Promotor 2 : Xx. Xxxxx Xxxxxxx Xxxxxxx, S.H.,M.H.
TIM DOSEN PENGUJI :
Dosen Penguji 1 : Prof. Xx. Xxxxxxxxx, S.H., M.S. Dosen Penguji 2 : Prof. Dr. IGN. Xxxxxxxxx, S.H.,M.H.
Dosen Penguji 3 : Xx. Xxxxx Xxxxxxx Xxxxxxx, S.H.,M.H. Dosen Penguji 4 : Xxxx. Xx. X Xxxx Xxxxxx, S.H., M.S. Dosen Penguji 5 : Xxxx. Xx. Xxxx Xxxxxxx Xxxxxx, S.H., S.U. Dosen Penguji 6 : Xx. Xxxxxxxxx, X.X.,M.H.
Dosen Penguji 7 : Xxxx. Xx. Xxxx Xxxxxx, S.H.,M.H.
Dosen Penguji 8 : Prof. Dr. I Dewa Xxxx Xxxxxx, S.H.,M.S.
Tanggal Ujian : 08 Februari 2012
SK Penguji :
4
PERNYATAAN ORISINALITAS DISERTASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa sepanjang sepengetahuan saya, di dalam Naskah Disertasi ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu Perguruan Tinggi, dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka.
Apabila ternyata di dalam Naskah ini dapat dibuktikan terdapat unsur-unsur jiplakan, saya bersedia Disertasi ini digugurkan dan gelar akademik yang telah saya peroleh (DOKTOR) dibatalkan, serta diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 25 ayat (2) dan Pasal 70).
Malang, 8 Februari 2012 Mahasiswa,
I Xxxxxx Xxxx Xxxxxxxxx NIM : 0830104109
PS : Ilmu Hukum PSIH UB
5
RIWAYAT HIDUP
I Xxxxxx Xxxx Xxxxxxxxx, lahir di Tianyar Tahun 1959 anak dari I Xxxxxx Xxxx (alm) dan Xx Xxx Xxxxxxxxan, suami dari Ni Xxxx Xxxxxxxx dan ayah dari Xxxx Xxx Xxxxxxxx Xxxxxxxxx, Xxxx Xxxx Adiguna Xxxxxxxxx, Xxxxxx Xxxx Xxxxxxxx Xxxxxxxxx, dan Ketut Ayu Divarupayanti Budiartha. Riwayat pendidikan : Sekolah Dasar Negeri 3 Tianyar Kubu Karangasem Tahun 1973, Sekolah Menengah Pertama Dwijati Kubu di Tianyar Tahun 1976, Sekolah Menengah Persiapan Pembangunan (SMPP) Xxxxxx Xxxxxxxxx Tahun 1980. Menyelesaikan Sarjana Hukum (SH) di Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar Tahun 1985, Magister Hukum (MH) pada Program Pascasarjana Universitas Arilangga Surabaya Tahun 2000. Riwayat pekerjaan : Diawali sebagai dosen Yyasan Kesejahteraan Korpri Provinsi Bali pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya Tahun 2000. Riwayat pekerjaan : Diawali sebagai dosen Yayasan Kesejahteraan Korpri Provinsi Bali pada Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Tahun 1985, kemudian pada tahun 1992 diangkat menjadi dosen Kopertis Wilayah III yang diperkerjakan pada Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Denpasar sampai sekarang. Pernah dipercaya sebagai Ketua Jurusan Hukum Internasional Tahun 1986 – 1987, Pembantu Dekan III (Bidang Kemahasiswaan) Tahun 1987 – 1989, Pembantu Dekan I (Bidang Akademik) Tahun 1989 – 1991, sebagai Wakil Dekan (Pelaksana Tugas Dekan sehari-hari) Tahun 1991 – 1997 (dua periode), kembali sebagai Pembantu Dekan I Tahun 1997 – 1999. Kemudian dipercaya sebagai Pembantu Rektor III (Bidang Kemahasiswaan) selama periode 2001 – 2003 dan periode tahun 2003 – 2007. Dalam kegiatan Tridharma Perguruan Tinggi pernah mengikuti/melakukan kegiatan seperti antara lain : Penataran Materi Kuliah Hukum Perdata dan Hukum Dagang di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada 1989, Penataran Metode Penelitian Hukum di Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya Tahun 1997, sebagai Pemakalah Seminar Hasil Penelitian Dosen se-Indonesia di Casarua Bogor mewakili Kopertis Wilayah VIII Tahun 1991, sebagai Dosen Teladan Kopertis Wilayah VIII Tahun 1992, sebagai Pemakalah dalam Seminar Nasional Peranan GATT/WTO Dalam Investasi dan Perdagangan Indonesia yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Warmadewa di Inna Bali Hotel Tahun 1998, sebagai Penceramah Tingkat Kopertis Wilayah VIII “Strategi Pengembangan Kegiatan Kemahasiswaan” di Kupang Tahun 2004, Penceramah “Peningkatan Penalaran Kemahasiswaan” di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar Tahun 2005. Sebagai Tim Pembina Desa Sadar Hukum bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Badung Tahun 1996 – 2006, sebagai Peserta Seminar Internasional “On Invironental Law Developmnt and Reform in Asian Contress, Canada, and Australian a Comparative Perspective 2008”. Pemakalah seminar international “Mediasi dalam Sistem Peradilan Indonesia –Jepang” yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Warmadewa bekerjasama dengan Mahkamah Agung RI di Denpasar Tahun 2010, melakukan penelitian antara lain “Franchice sebagai Instrumen Hukum Alih Teknologi Dalam Kegiatan Bisnis” Tahun 2011, menulis Diktat Hukum Dagang Tahun 2011. Karya ilmiah yang dipublikasikan yaitu beberapa kali menulis dalam Majalah terakreditasi Xxxxxx Xxxxxxxxx Fakultas Hukum Universitas Warmadewa sebagai Dewan Redaksi dan Xxxxx Xxxxxxx Majalah Kertha Wicaksana dari Tahun 1991 – sekarang.
6
UCAPAN TERIMA KASIH
Saya memanjatkan Puji Syukur Kehadapan Xxx Xxxx Xxxxx Xxxxx Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan karunia-Nya telah dapat menyelesaikan penelitian disertasi ini sesuai rencana dan harapan. Dalam proses dan penyelesaian penelitian dan penulisan disertasi ini saya telah mendapat bantuan moril dan materiil dari berbagai pihak, karena itu melalui kesempatan ini saya menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Prof. Xx. Xxxxxxxxx, SH.,MS, sebagai Promotor sekaligus sebagai Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, yang telah membimbing saya dengan segala kesabaran dan kearifannya dalam memberikan konstruksi berpikir, metodologi sampai cara melaksanakan penelitian dan penyusunan disertasi ini.
2. Prof. Dr. I Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxxxx, SH.,MH, sebagai Ko. Promotor I yang dengan segala kesabaran dan waktu yang telah diluangkan telah membimbing saya dalam memahami teori dan konsep-konsep hukum dalam membangun konstruksi berpikir baik dalam penyusunan proposal, penelitian dan penulisan disertasi ini. Juga dalam kesabarannya memberikan pelayanan administrasi.
3. Xx. Xxxxx Xxxxxxx Xxxxxxx, SH.,MH, sebagai Ko. Promotor II yang dengan keterbukaan, ketulusan dan kesabarannya telah menuntun saya dalam memahami konsepsi-konsepsi hukum ketenagakerjaan, khususnya berkenaan dengan perlindungan hukum terhadap pekerja outsourcing, yang secara kritis telah mempertajam batasan-batasan dan materi kajian dalam disertasi ini.
4. Rektor dan Direktur Program Pascasarjana Universitas Brawijaya yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk melanjutkan studi program Doktor Ilmu Hukum di Universitas Brawijaya.
5. Xx. Xxxxxxxxx, SH.,MH, Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang yang telah memberikan layanan administrasi dan semangat yang baik dalam penyelenggaraan program Doktor Ilmu Hukum ini.
6. Xxxx. Xx. X Xxxxxx Xxxxxxx, SH.,MH, mantan Ketua Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang yang telah banyak memberi dorongan semangat dan pelayanan administrasi yang sangat baik dalam penyelesaian studi di Universitas Brawijaya Malang.
7. Xxxx. Xx. X Xxxxxx Xxxxxxx, X.Xx., Koordinator Kopertis Wilayah VIII yang telah memberikan ijin dan kesempatan pada saya untuk melanjutkan studi kejenjang pendidikan Doktor Ilmu Hukum pada Universitas Brawijaya Malang.
8. Xxx Xxxxx Xxxxuji : Prof. Xx. Xxxxxxxxx, X.X., M.S., Prof. Dr. IGN. Xxxxxxxxx, S.H.,M.H., Xx. Xxxxx Xxxxxxx Xxxxxxx, S.H.,M.H., Xxxx. Xx. X Xxxx Xxxxxx, S.H., M.S., Xxxx. Xx. Xxxx Xxxxxxx Xxxxxx, S.H., S.U., Xx. Xxxxxxxxx, X.X.,M.H., Xxxx. Xx. Xxxx Xxxxxx, S.H.,M.H., Prof. Dr. I Dewa Xxxx Xxxxxx, S.H.,M.S., yang telah meluangkan waktu serta berkenan memberikan pertanyaan, kritik, saran untuk penyempurnaan disertasi ini.
7
9. Dr. Anak Xxxxx Xxx Xxxxx Xxxxx, X.Xx., Ketua Yayasan Kesejahteraan KORPRI Provinsi Bali yang telah memberikan bantuan moril maupun materiil dalam penyelesaian studi Program Doktor Ilmu Hukum pada Universitas Brawijaya Malang.
10. Xxxx. Xx. X Xxxx Xxxxxxx, SE.,X.Xx, Rektor Universitas Warmadewa Denpasar yang telah memberi ijin dan kesempatan kepada saya untuk melanjutkan studi Program Doktor Ilmu Hukum pada Universitas Brawijaya Malang.
11. Ni Luh Xxxx Xxxxxxxxxxxx, SH.,M.Hum., Dekan Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Denpasar yang telah memberikan dorongan semangat, kesempatan, bantuan materiil maupun moril dalam penyelesaian studi program Doktor Ilmu Hukum pada Universitas Brawijaya Malang.
12. Drs. Xxxxxx Xxxxxxxx, Mantan Ketua Yayasan Kesejahteraan Korpri Provinsi Bali yang telah memberikan kepercayaan dan bantuan moril untuk melanjutkan studi pada Program Doktor Ilmu Hukum pada Universitas Brawijaya Malang.
13. I Xxxxx Xxxxxxx, SH., (alm) mantan Sekretaris Yayasan Kesejahteraan Korpri Provinsi Bali dan Xxxxxx Xxxxx Fakultas Hukum Universitas Warmadewa yang telah memberikan kepercayaan dan dukungan moril untuk melanjutkan studi ke jenjang pendidikan Program Doktor Ilmu Hukum pada Universitas Brawijaya Malang.
14. I Xxxxx Xxxx, SH., mantan Wakil Sekretaris Yayasan Kesejahteraan Korpri Provinsi Bali dan mantan Pembantu Rektor III Universitas Warmadewa serta Pembina Yayasan Kesejahteraan Korpri Provinsi Bali atas kepercayaan dan bantuan materiil dan moril dalam melanjutkan studi Program Doktor Ilmu Hukum pada Universitas Brawijaya Malang.
15. I Made Gianyar, SH.,M.Hum., Xxxxxx Xxxxxx yang telah memberi bantuan materiil dan dukungan moril dalam melanjutkan studi Program Doktor Ilmu Hukum pada Universitas Brawijaya Malang.
16. Semua Dosen pada Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dan Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah membantu memberikan materi kuliah dan bahan hukum yang diperlukan di dalam Program Doktor Ilmu Hukum
17. Teman-teman dosen dan tenaga administrasi Fakultas Hukum Universitas Warmadewa yang senantiasa memberikan dukungan dan kepercayaan serta kontribusinya dalam menyelesaikan pendidikan Program Doktor Ilmu Hukum pada Universitas Brawijaya Malang.
18. Ayahnda I Xxxxxx Xxxx (alm) dan Ibunda Ni Luh Songkrokan (alm) yang telah selalu memberikan bimbingan, tuntunan, dalam segala hal terutama dalam menempuh cita-cita dalam bidang pendidikan.
19. Ayahnda mertua Drs. I Xxxx Xxxxxx (alm) dan Ibunda mertua Ni Xxxx Xxxxxxx, S.Pd., yang telah membimbing dan memberi dorongan semangat untuk meraih cita-cita di bidang pendidikan.
20. I Gede Ukir dan Xx Xxxxxx Xxxxxxx, sebagai orangtua asuh yang mendidik dan menempa serta memacu semangat saya dari kecil hingga sekarang berhasil dalam melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang Program Doktor Ilmu Hukum.
8
21. Istriku tercinta Ni Xxxx Xxxxxxxx, SE., dan putra-putriku tersayang yang selalu menjadi pemicu semangat saya untuk mengikuti program Doktor Ilmu Hukum pada Universitas Brawijaya Malang.
22. Adik I Gede Puspa dan I Gede Astra, SP., yang telah memberi bantuan moril maupun materiil dalam penyelesaian pendidikan Program Doktor Ilmu Hukum pada Universitas Brawijaya Malang.
23. I Nengah Songkob, yang telah memberikan dorongan semangat serta bantuan materiil dan moril yang berguna dalam penyelesaian skripsi Program Doktor Ilmu Hukum pada Universitas Brawijaya Malang.
24. Rekan – rekan peserta Program Doktor Ilmu Hukum angkatan II Ilmu Hukum Universitas Brawijaya – Universitas Udayana yang selalu menjadi teman setia dalam berdiskusi di dalam maupun di luar kampus.
25. Andai taulan lainnya yang tidak sempat disebut satu persatu yang telah memberi dukungan, bantuan langsung maupun tidak langsung materiil dan moril dalam penyelesaian pendidikan jenjang Program Doktor Ilmu Hukum pada Universitas Brawijaya Malang.
Bantuan dan kebaikan Bapak-bapak, Ibu-ibu, dan saudara-saudara adalah dorongan utama yang memperkuat semangat dan keyakinan saya selama mengikuti Program Pendidikan pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya. Sungguh tiada kata yang memadai untuk mengungkapkan rasa terima kasih saya. Melalui kesempatan ini perkenankan saya menyampaikan rasa hormat dan rasa terima kasih saya yang tiada terhingga atas dorongan, bantuan, dukungan dan pengertian yang telah Bapak-bapak, Ibu-ibu, dan saudara-saudara berikan kepada saya.
Malang, 8 Februari 2012
Penulis,
9
RINGKASAN
Disertasi ini merupakan penelitian tentang Perlindungan Hukum Pekerja Outsourcing Ditinjau Dari Prinsip Keadilan, Kepastian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Penelitian yang dilakukan dengan metode penelitian hukum normatif ini membahas tiga permasalahan, yaitu: 1) Bagaimana perlindungan hukum pekerja outsourcing ditinjau dari prinsip keadilan; 2) Bagaimana perlindungan hukum pekerja outsourcing ditinjau dari prinsip kepastian hukum; dan 3) Bagaimana perlindungan hukum pekerja outsourcing ditinjau dari prinsip HAM. Teori yang digunakan sebagai dasar analisis adalah: teori keadilan, teori keadilan sosial, teori kepastian hukum, teori perlindungan hukum, teori stufenbau, dan teori HAM.
Berdasarkan atas analisis kajian dari ketiga permasalahan yang dikemukakan, maka didapatkan bahwa pertama, perlindungan hukum pekerja oursourcing ditinjau dari prinsip keadilan yaitu : 1) tidak adanya kebebasan dan kedudukan yang sama dalam perjanjian dan hubungan kerja berkenaan dengan perjanjian kerja baik untuk PKWT maupun PKWTT harus dibuat secara tertulis dan formal (baku), 2) tidak adanya kesetaraan upah dan kesejahteraan bagi pekerja outsourcing yang berstatus PKWT dibandingkan dengan yang berstatus PKWTT, karena penetapan upah berdasarkan struktur dan skala pengupahan yang dipengaruhi oleh terbatasnya waktu/masa kerja PKWT.
Kedua, perlindungan hukum pekerja oursourcing ditinjau dari prinsip kepastian hukum yaitu : 1) adanya mata rantai hubungan hukum yang terputus antara pekerja outsourcing dan perusahaan pemberi pekerja dan adanya ketidakpastian hubungan kerja dengan perusahaan penerima pekerjaan, karena dapat beralih menjadi hubungan kerja dengan perusahaan pemberi pekerjaan walaupun sejak awal tidak pernah ada perjanjian dan hubungan kerja, 2) tidak adanya penegasan yang jelas mengenai ciri-ciri dan kriteria jenis pekerjaan penunjang yang dapat di outsource serta alur/skema kegiatan perusahaan pemberi pekerjaan sehingga tidak menjamin adanya job discription yang pasti, 3) adanya inkonsistensi pengaturan bentuk badan hukum perusahaan outsourcing yaitu terdapat konflik norma yang berkonsekuensi hukum tidak terjaminnya perlindungan dan pemenuhan hak-hak normatif pekerja oleh perusaahan outsourcing, 4) adanya inkonsistensi putusan Mahkamah Agung (MA) dalam penentuan jenis pekerjaan yang bisa di-outsource.
Ketiga, Perlindungan hukum pekerja oursourcing ditinjau dari prinsip HAM yaitu : 1) tidak adanya jaminan hak atas pekerjaan, serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja bagi pekerja outsourcing PKWT, 2) hak jaminan sosial (JAMSOSTEK) termasuk jaminan pensiun terutama bagi pekerja outsourcing PKWT sulit didapatkan berkenaan dengan tidak berkesinambungannya kepersertaan Jamsostek akibat jangka waktu (masa kerja) terbatas, tidak pasti terus bekerja, 3) adanya pembatasan hak hanya terhadap tiga serikat pekerja/serikat buruh atau hanya mengakomodir serikat pekerja/serikat buruh yang memiliki anggota 10% (sepuluh perseratus) dari seluruh pekerja yang dapat melakukan perundingan dengan pengusaha dalam perusahaan.
10
Bertolak dari kesimpulan tersebut di atas rekomendasi yang dapat diberikan, yaitu : 1) Dalam rangka menjamin adanya keadilan dan kepastian hukum dalam perlindungan hukum pekerja outsourcing dipandang perlu melakukan perubahan terhadap UU No. 13 Tahun 2003, yaitu dengan :
(1) Merekonstruksi outsourcing sebagai hubungan hukum tiga pihak terutama dalam hal pengaturan hubungan kerja antara pekerja outsourcing dengan perusahaan pemberi pekerjaan dan perusahaan penerimaan pekerjaan dengan hak dan kewajiban yang seimbang dan proporsional, kesetaraan upah dan kesejahteraan harus mencerminkan prinsip-prinsip keadilan;
(2) Mengatur secara jelas, tegas dan konsisten mengenai : (a) jenis, kriteria dan sarat-sarat pekerjaan yang dapat di-outsource, serta skema atau alur kegiatan/pekerjaan perusahaan pemberi pekerjaan; (b) bentuk badan hukum perusahaan outsourcing yaitu PT (Perseroan Terbatas) atau Koperasi baik untuk perusahaan pemborong pekerjaan maupun perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, agar mencerminkan prinsip-prinsip kepastian hukum; 2) Guna menjamin perlindungan hukum pekerja outsourcing yang mencerminkan prinsip HAM mengingat jenis dan sifat pekerjaan yang dilakukan pekerja outsourcing sangat spesifik, harus diatur dengan tegas dan mengenai jaminan pensiun dan kompensasi PHK karena berakhirnya perjanjian kerja outsourcing sebagai bagian dari jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek), dengan melakukan perubahan UU No. 3 Tahun 1992, sehingga dapat menjamin eksistensi pekerja outsourcing.
11
SUMMARY
This dissertation is a study on the Law Protection of Outsourcing Workers Seen from Principles of Justice, Legal Certainty and Human Rights. The research which was conducted by the normative legal method addressed three issues, namely: 1) How does the legal protection of outsourced workers in terms of principles of justice, 2) a form of legal protection, legal certainty relating to the outsourced workers employment status, occupation, normative rights of workers, form of business entity of outsourcing company, and settlement of industrial disputes; 3) How is legal protections of outsourced workers in terms of human rights principles. The theories applied as the basis of the analysis are: the theory of justice, social justice theory, the theory of legal certainty, the theory of legal protection, stufenbau theory, and theories of human rights.
Based on the analysis of studies of the three issues raised, it was found that the first principle of justice was a philosophical, theoretical, and was a foundation in the establishment of juridical laws. Therefore, the formation of labor law that governs the law protection of outsourced workers must be based on principles of fairness. Governing the legal protection of outsourced workers in Article 64 to the Act No. 66. 13 of 2003 and other related laws and regulations, have not reflected or based on principles of justice, mainly because: 1) lack of freedom and equality in the agreements and working relationships; 2) freedom of association to form and join trade unions / labor unions weakened position and bargaining power of workers in fighting for the rights of normative; 3) the absence of equality of wages and welfare of workers remains far below,
4) lack of freedom in the resolution of rights disputes and disputes through arbitration voluntary layoffs.
Second, the principle of legal certainty should be a foundation in the establishment of regulations of employment law that governs legal protection of outsourcing workers, because the principle of legal certainty is a common law principle, derived from the legal ideals of Pancasila, principle II and V, and as the principle of national law. Setting the legal protection of outsourcing workers in employment legislation, especially the Law No.13 of 2003 and its implementing regulations indicate: 1) the uncertainty of the status of labor relations tend to be specified time work agreement; 2) lack of clarity characteristics and criteria supporting kind of work that can be outsourced so that there is no clear job description,
3) inconsistent on legal arrangements form of an outsourcing company, namely the conflict of norms that guarantee the protection and the consequential lack of fulfillment of normative rights of workers; 4) the existence of vague norms in setting wages and welfare of outsourcing workers more consequential lower than specified time work agreement
12
and no social security uncertainty, religious holiday allowance and layoffs compensation; 5) The arbitral award of legal uncertainty because legal action can be filed through the submission of an application for review (PK) and there is inconsistency in interpreting the Supreme Court decision supporting the kind of work that are outsourced in connection with the absence of a clear regulation characteristic and criteria of supporting employment or principal job of the company.
Third, philosophically, theoretically, and legally, human rights principles is the principle of common law, derived from the second principle of Pancasila, constitutionality is guaranteed by Republic Indonesia Constitution of 1945, and as the principle of national law. Therefore, it should be a foundation in the establishment of regulations employment law governing legal protection of outsourced workers. Setting the legal protection of outsourced workers in employment legislation is still not fully based on and reflects the principles of human rights. It is known from: 1) has not guaranteed the right to work and decent wages for humanity, so there is no job description and unequal wages compared with permanent workers (unspecified time work agreement); 2) the right to social security (Social Security) is difficult to obtain with respect to the sustainable period as a result of participation (employment) is limited, certainly not continue to work; 3) the right to form and to be member of labor union that is free potentially weaken the bargaining position of workers in the struggle for normative rights, dignity and humanity in working relationships with employers.
Based on the conclusion above, recommendations can be offered, namely: 1) In order to ensure fairness and legal certainty in the legal protection of workers outsourcing, it is considered necessary to make changes to the Law No. 13 of 2003, namely by: (1) Reconstructing outsourcing as the legal relationship between three-party, especially in terms of setting the working relationship between the worker with the outsourcing company providing the work and the one accepting employment in which the rights and obligations are balanced and proportionate, equal pay and welfare should reflect the principles of justice, (2) setting clearly, firmly and consistently regarding: (a) the type, criteria and full-laden jobs that can be outsourced, as well as the scheme or the flow of activities of the company providing the work,
(b) the form of legal entity of outsourcing company is Limited Company or cooperative both for the work contractor company or companies providing workers / laborers, in order that it reflects the principles of legal certainty, 2) to ensure the laws protection of labor outsourcing that reflects human rights principles, considering the type and nature of work performed by outsourced workers is very specific, the guarantee pension and layoffs compensation should be set firmly since the end of the outsourcing agreement is part of the social security of labor, by making changes to Law No. 3 of 1992, so as to guarantee the existence of outsourcing labor.
13
KATA PENGANTAR
Di dalam konsideran menimbang huruf c dan d Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU No. 13 Tahun 2003) dinyatakan bahwa, dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan. Untuk itu perlindungan tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha.
Pertimbangan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tersebut di atas sesuai dengan amanat Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI 1945), bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan kemanusiaan. Demikian juga yang ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUDNRI 1945, bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum, dan setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja sebagaimana penegasan Pasal 28D ayat (2) UUDNRI 1945.
Dalam outsourcing, pengusaha dapat menciptakan hubungan kerja yang harmonis dan dinamis sesuai dengan amanat Pasal 33 ayat (1) UUDNRI 1945 bahwa, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Oleh karena itu hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha dalam outsourcing juga harus mencerminkan perlindungan hukum kepada pekerja sebagaimana tujuan negara yang telah dituangkan dalam Pembukuan UUDNRI 1945, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila dalam rangka tercapainya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Outsourcing yang diatur dalam Pasal 64, 65 dan 66 UU No. 13 Tahun 2003 sangat kompleks, outsourcing dimaknai sebagai penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan oleh suatu perusahaan kepada perusahaan lainnya yang dilakukan dengan perjanjian secara tertulis, melalui dua cara, yaitu perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh sebagaimana penegasan Pasal 64 UU No.
13 Tahun 2003. Outsourcing merupakan sistem kerja yang berkembang
seiring kebutuhan pengusaha untuk hubungan kerja yang fleksibel, mudah untuk merekrut dan mudah melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap pekerjanya sebagai antisipasi persaingan global yang sangat kompetitif sehingga dapat menjadi lebih efektif, efisien, dan produktif.
Hubungan kerja yang terjadi dalam outsourcing adalah karena perjanjian kerja (perjanjian kerja outsourcing), dilakukan dengan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) atau Perjanjian Kerja
14
Waktu Tertentu (PKWT) asalkan memenuhi persyaratan Pasal 59 UU No.
13 Tahun 2003 sebagaimana ditegaskan pula dalam Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep. 100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Lebih lanjut kalau dicermati tampak adanya ketidakjelasan atau kekaburan norma dalam pengaturan outsourcing yang membuka ruang multitafsir yang rentan menimbulkan ketidakharmonisan hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan dalam sistem outsourcing. Kekaburan/ketidakjelasan pengaturan yang dimaksud berkaitan dengan ketidakpastian hukum hubungan kerja yang diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 juncto Kepmenakertrans No.Kep 100/MEN/VI/2004, yaitu dapat dengan hubungan kerja PKWTT dan/atau PKWT, sebagaimana Pasal 65 ayat (6) dan ayat (7), Pasal 66 ayat (2) b dan d, juncto Pasal 59 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003. Dalam hal ini ada hubungan hukum (hubungan kerja) yang terputus antara pekerja outsourcing dengan perusahaan pemberi pekerjaan (perusahaan pengguna pekerja). Hubungan kerja hanya terjadi antara pekerja outsourcing dengan perusahaan outsourcing (perusahaan penerima pekerjaan). Akan tetapi jika sejumlah persyaratan dalam undang-undang tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan outsourcing beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan, pada hal sejak awal antara pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan tidak ada perjanjian kerja/hubungan kerja.
Dalam penentuan jenis pekerjaan outsourcing yaitu pekerjaan penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi diatur dalam Pasal 65 ayat (2) c dan Pasal 66 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003, juncto Pasal 6 ayat (1) Kepmenakertrans No. Kep. 220/MEN/X/2004 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain. Hal ini sangat sulit didefinisikan karena adanya perbedaan persepsi, dan ada kalanya juga dilatar belakangi oleh kepentingan yang mewakili untuk memperoleh keuntungan dari kondisi tersebut. Disamping itu, bentuk-bentuk pengelolaan usaha yang sangat bervariasi dan beberapa perusahaan multinasional dalam era globalisasi ini membawa bentuk baru pola kemitraan usahanya, menambah semakin kompleksnya kerancuan tersebut.
Perlindungan hukum pekerja outsourcing yang diatur UU No. 13 Tahun 2003, baik perlindungan upah, kesejahteraan, syarat-syarat kerja dan lain-lain termasuk dalam penyelesaian perselisihan hubungan
industrial, masih belum jelas. Oleh karena ditentukan minimal sama dengan yang berlaku pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sebagaimana ketentuan Pasal 65 ayat (4) dan Pasal 66 ayat (2) c UU No. 13 Tahun 2003. Xxxxxxxx juga dalam hal tanggungjawab pemenuhan hak-hak pekerja outsourcing yang semula berada pada perusahaan outsourcing (perusahaan penerima pekerjaan) dapat beralih menjadi tanggung jawab perusahaan pemberi pekerjaan, sebagaimana ketentuan Pasal 65 ayat (9) dan Pasal 66 ayat
(4) UU No. 13 Tahun 2003. Pengalihan tanggungjawab pemenuhan hak- hak normatif pekerja outsourcing dari perusahaan outsourcing kepada perusahaan pemberi pekerjaan juga dapat terjadi dalam hal perusahaan outsourcing tidak berbentuk badan hukum sesuai Pasal 65 ayat (3), Pasal 66 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003, juncto Pasal 2 Kepmenakertrans No.
15
Kep. 101/MEN/X/2004 tentang Tata Cara Perizinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/buruh.
Ketidak sinkronan pengaturan terjadi terhadap perusahaan pemborong pekerjaan sebagai perusahaan outsourcing yang walaupun Pasal 65 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003 mengharuskan berbentuk badan hukum, tetapi dalam Pasal 3 Kepmenakertran No. Kep. 101/MEN/X/2004 membolehkan tidak berbentuk badan hukum sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum bentuk badan usaha perusahaan pemborong pekerjaan (perusahaan outsourcing) yang berkonsekuensi terhadap ketidakpastian hukum hubungan kerja pekerja outsourcing.
Dari ketidakharmonisan dan ketidaksinkronan pengaturan termasuk kekaburan terhadap beberapa norma hukum tersebut di atas, maka outsourcing ditantang berlakunya oleh mayoritas serikat pekerja/serikat buruh seluruh Indonesia. Serikat pekerja/serikat buruh beranggapan bahwa outsourcing tidak berbeda dengan perbudakan modern. Outsourcing juga dinilai membuat hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan pemberi pekerjaan menjadi tidak jelas. Banyak calon pekerja yang mendapatkan pekerjaan dari perusahaan outsourcing diwajibkan membayar sejumlah uang bahkan dengan memotong upahnya perbulan selama dikontrak. Selain itu pada umumnya pekerja dari perusahaan outsourcing tidak menerima hak-hak normatif yang seharusnya diterima pekerja outsourcing.
Hasil penelitian dalam disertasi ini membahas atau melakukan pengkajian secara normatif dan mendalam mengenai perlindungan hukum pekerja outsourcing ditinjau dari prinsip keadilan, kepastian hukum, dan Hak Asasi Manusia (HAM). Perlindungan hukum pekerja outsourcing dari segi prinsip keadilan menelaah mengenai : 1) prinsip keadilan dalam perjanjian dan hubungan kerja, dan 2) prinsip keadilan (kesetaraan) dalam pengaturan upah dan kesejahteraan pekerja outsourcing. Dalam menelaah perlindungan hukum pekerja outsourcing ditinjau dari prinsip kepastian hukum diungkapkan tentang : 1) Kepastian hukum dalam perlindungan preventif pekerja outsourcing, yang meliputi telaahan : (a) kepastian hubungan kerja; (b) kepastian jenis pekerjaan pekerja outsourcing, dan (c) kepastian hukum bentuk badan hukum perusahaan outsourcing. Sedangkan pembahasan perlindungan hukum pekerja outsourcing ditinjau dari prinsip HAM, menekankan telaahan pada : hak atas pekerja, imbalan dan perlakuan yang adil dan layak; 2) hak atas jaminan sosial (Jamsostek); 3) hak berserikat pekerja outsourcing dan keterwakilannya dalam melakukan perundingan dengan pengusaha.
Dari pengkajian yang telah dilakukan didapatkan kesimpulan sebagai temuan penelitian, bahwa perlindungan hukum pekerja outsourcing belum mencerminkan prinsip-prinsip keadilan, kepastian hukum, dan HAM sehingga direkomendasikan untuk diadakan perubahan terhadap UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, agar pekerja outsourcing menjadi lebih eksis dan konstitusional.
Malang, 8 Februari 2012
Penulis,
16
DAFTAR ISI
JUDUL .................................................................................. i
PENGESAHAN ........................................................................ ii
PANITIA UJIAN AKHIR DISERTASI ............................................ iii
PERNYATAAN ORISINALITAS DISERTASI .................................. iv
RIWAYAT HIDUP .................................................................... v
UCAPAN TERIMA KASIH .......................................................... vi
RINGKASAN ........................................................................... ix
SUMMARY ............................................................................. xi
KATA PENGANTAR ................................................................. xiii
DAFTAR ISI ........................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN........................................................ 1
1.1 Latar Belakang Masalah .................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................ 20
1.3 Tujuan Penelitian ............................................. 21
1.4 Manfaat Penelitian ......................................... 21
1.4.1 Manfaat Teoritis ..................................... 21
1.4.2 Manfaat Praktis ...................................... 22
1.5 Orisinalitas Penelitian ....................................... 22
1.6 Desain Penelitian ............................................. 26
1.7 Metode Penelitian ............................................ 27
1.7.1 Jenis Penelitian ...................................... 27
1.7.2 Pendekatan Masalah ............................... 27
1.7.3 Sumber Bahan Hukum ............................. 30
1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ........... 31
1.7.5 Analisis Bahan Hukum ............................. 32
1.8 Sistematika Penulisan ....................................... 35
17
BAB II | KERANGKA TEORITIK ............................................... | 38 |
2.1 Teori Keadilan ................................................. | 38 | |
2.2 Teori Keadilan Sosial ........................................ | 50 | |
2.3 Teori Kepastian Hukum ..................................... | 56 | |
2.4 Teori Perlindungan Hukum ................................ | 61 | |
2.5 Teori Stufenbau (Teori Penjenjangan Norma)....... | 65 | |
2.6 Xxxxx Xxx Xxxxx Xxxxxxx ................................... | 70 | |
BAB III | MAKNA PRINSIP KEADILAN, KEPASTIAN HUKUM, DAN HAK ASASI MANUSIA DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN HUKUM ................................................ | 75 |
3.1 Pengertian Prinsip Hukum dan Peraturan Hukum .. | 75 | |
3.2 Klasifikasi Makna Prinsip Hukum......................... | 88 | |
3.3. Prinsip Keadilan, Kepastian Hukum, dan HAM sebagai Landasan Peraturan Hukum ................... | 102 | |
3.3.1. Prinsip Keadilan ...................................... | 106 | |
3.3.2. Prinsip Kepastian Hukum ......................... | 109 | |
3.3.3. Prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) .............. | 113 | |
BAB IV | PENGATURAN OUTSOURCING DALAM PERUNDANG- UNDANGAN............................................................. | 121 |
4.1. Pengertian Outsourcing dan Pekerja Outsourcing.. | 121 | |
4.2. Tujuan dan Risiko Outsourcing........................... | 132 | |
4.2.1. Tujuan Outsourcing................................. | 132 | |
4.2.2. Risiko Outsourcing .................................. | 135 | |
4.3. Tahapan dan Pembatasan Outsourcing ................ | 139 | |
4.3.1. Tahapan Outsourcing .............................. | 139 | |
4.3.2. Pembatasan Outsourcing .......................... | 146 |
18
4.4. Jenis dan Perinzinan Perusahaan Outsourcing ...... 157
4.4.1. Jenis Perusahaan Outsourcing .................. 157
4.4.2. Perizinan Perusahaan Outsourcing ............. 167
4.5. Perjanjian dan Hubungan Kerja dalam
Outsourcing .................................................... 171
4.5.1. Pengertian, Syarat-syarat, dan Para Pihak
Dalam Perjanjian Outsourcing ................... 171
4.5.2. Perjanjian Kerja dan Hubungan Kerja
Outsourcing ........................................... 184
4.5.3 Xxxxxx, Xxx, dan Kekuatan Mengikat Perjanjian Kerja Outsourcing .................... 192
4.6 Wujud Perlindungan Hukum Pekerja Outsourcing.. 207
4.6.1. Perlindungan Hukum Pekerja Secara Preventif................................................ 208
4.6.2. Perlindungan Hukum Pekerja Secara Represif................................................. 221
4.6.2.1. Perlindungan Perselisihan
Hubungan Industrial ................... 221
4.6.2.2. Perlindungan Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK)................ 233
BAB V PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING DITINJAU DARI PRINSIP KEADILAN DAN KEPASTIAN HUKUM .................................................................. 237
5.1. Perlindungan Hukum Pekerja Outsourcing Ditinjau
dari Prinsip Keadilan ......................................... 250
5.1.1. Prinsip Keadilan dalam Perjanjian dan Hubungan Kerja...................................... 258
5.1.2. Prinsip Kesetaraan dalam Pengaturan Upah
dan Kesejahteraan Pekerja ....................... 266
5.2. Perlindungan Hukum Pekerja Outsourcing Ditinjau
dari Prinsip Kepastian Hukum ............................ 277
5.2.1. Kepastian Hukum dalam Perlindungan Preventif Pekerja Outsourcing................... 280
19
5.2.1.1. Kepastian Hukum Hubungan
Kerja ........................................ 280
5.2.1.2. Kepastian Hukum Jenis Pekerjaan
Pekerja Outsourcing ................... 292
5.2.1.3. Kepastian Hukum Bentuk Badan
Hukum Perusahaan Outsourcing ....... 300
5.2.2 Kepastian Hukum dalam Perlindungan Represif Pekerja Outsourcing .................... 322
BAB VI PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING
DITINJAU DARI PRINSIP HAK ASASI MANUSIA (HAM)... 335
6.1 Aspek HAM Berkaitan dengan Perlindungan
Hukum Pekerja ................................................ 335
6.2 Prinsip HAM dalam Perlindungan Hukum Pekerja
Outsourcing .................................................... 344
6.2.1 Hak Atas Pekerjaan, Imbalan dan Perlakuan
xxxx Xxxx dan Layak ...................................... 346
6.2.2 Hak atas Jaminan Sosial .......................... 364
6.2.3 Hak Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam Melakukan Perundingan dengan Pengusaha 372
BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI .............................. 396
7.1. Kesimpulan ..................................................... 396
7.2. Rekomendasi ................................................... 401
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
20
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Perkembangan ekonomi global dan kemajuan teknologi yang demikian cepat membawa dampak timbulnya persaingan usaha yang begitu ketat dan terjadi di semua lini. Lingkungan yang sangat kompetitif ini menuntut dunia usaha untuk menyesuaikan dengan tuntutan pasar yang memerlukan respon yang cepat dan fleksibel dalam meningkatkan pelayanan terhadap pelanggan. Untuk itu diperlukan perubahan dalam pengelolaan perusahaan dengan memperkecil rentang kendala manajemen, memangkas sedemikian rupa sehingga dapat menjadi lebih efektif, efisien, dan produktif. Dalam kaitan itulah kemudian muncul kecenderungan outsourcing, yaitu memborongkan satu bagian atau beberapa bagian kegiatan perusahaan yang tadinya dikelola sendiri kepada perusahaan lain yang kemudian disebut perusahaan penerima pekerjaan.1
Tidak ada perusahaan yang dapat mempertahankan daya saingnya dalam ekonomi global yang berubah secara cepat, dengan semata-mata mengandalkan sumber dayanya sendiri. Dalam kaitan ini outsourcing merupakan alternatif yang baik terhadap persaingan yang sangat kompetitif sekarang. Dalam persaingan yang sangat kompetitif, tidak ada perusahaan yang mampu merangsang tingkat investasi yang
1Xxxxxx Xxxxxx, Hukum Perburuhan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hlm. 219.
21
dibutuhkan untuk menjadikan semua operasinya paling efisien di dunia. Melalui outsourcing perusahaan mengatasi dilema tersebut dengan memfokus pada sumber daya internal mereka atau aktivitas yang memberikannya suatu keunggulan kompetitif yang unik.2
Outsourcing dikaitkan dengan hubungan kerja, sangat banyak dibicarakan oleh pelaku proses produksi barang maupun jasa dan juga oleh pemerhati. Oleh karena outsourcing banyak dilakukan dengan sengaja untuk menekan biaya pekerja/buruh dengan perlindungan dan syarat kerja yang diberikan jauh di bawah dari yang seharusnya diberikan sehingga sangat merugikan pekerja. Pelaksanaan outsourcing yang demikian dapat menimbulkan keresahan pekerja dan tidak jarang diikuti dengan tindakan mogok kerja, sehingga maksud diadakannya outsourcing seperti yang disebutkan di atas menjadi tidak tercapai, karena terganggunya proses produksi barang maupun jasa. Hal tersebut dapat terjadi karena sebelum adanya Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Lembaran Negara Tahun 2003 No. 39, Tambahan Lembaran Negara Tahun 2003 No. 4279 (yang selanjutnya disingkat dengan UU No. 13 Tahun 2003), tidak ada peraturan perundangan di bidang ketenagakerjaan yang mengatur perlindungan terhadap pekerja/buruh dalam melaksanakan outsourcing. Yang ada yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (yang selanjutnya disebut KUH.Perdata) dalam Pasal 1601 b, yang mengatur perjanjian-perjanjian pemborongan pekerjaan, yaitu suatu perjanjian dimana pihak yang kesatu, pemborong mengikatkan diri untuk membuat suatu kerja tertentu
2Imam Sjahputra Tunggal, Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan, (Jakarta : HARVARINDO, 2009), hlm. 324-325.
22
bagi pihak yang lain, yang memborongkan dengan menerima bayaran tertentu. Ketentuan KUH.Perdata yang mengatur perjanjian pemborongan pekerjaan hanya merupakan salah satu aspek dari outsourcing.
Sementara itu di dalam UU No. 13 Tahun 2003, secara eksplisit
tidak mengenal istilah outsourcing, tetapi di dalam Pasal 64 UU No. 13 Tahun 2003 dapat dilihat yang dimaksud dengan praktek outsourcing adalah penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan dari suatu
perusahaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyedia jasa pekerja.3 Dengan demikian UU No. 13 Tahun 2003 telah memberikan justifikasi terhadap penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja, yang populer disebut outsourcing.4 UU No. 13
Tahun 2003 ini mengatur dan melegalkan outsourcing. Istilah yang
dipakai adalah perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja/buruh, sebagaimana disebutkan Pasal 64 bahwa perusahaan dapat mengerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.5
Berdasarkan Pasal 64 UU No. 13 Tahun 2003 dapat dikatakan bahwa outsourcing dilakukan dengan perjanjian secara tertulis melalui dua cara, yaitu perjanjian pemborongan pekerjaan, atau penyedia jasa
3Hidayat Muharam, Panduan Memahami Hukum Ketenagakerjaan Serta Pelaksanaannya di Indonesia, (Bandung : Citra Xxxxxx Xxxxx, 2006), hlm. 13
4Abdul Khakim, Dasar-dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Bandung : Citra Xxxxxx Xxxxx, 2009), hlm. 74
5Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 179.
23
pekerja. Dengan perkataan lain, bahwa praktek outsourcing yang dimaksud dalam UU No. 13 Tahun 2003 sebagaimana ketentuan yang diatur Pasal 64, 65, dan 66, dikenal dalam dua bentuk, yaitu pemborongan pekerjaan dan penyedia jasa pekerja/buruh.6
Outsourcing dilihat dari hukum ketenagakerjaan merupakan
hubungan hukum berdasarkan perjanjian pemborongan pekerjaan/penyedia jasa pekerja. Pada hubungan hukum ini ditemukan tiga pihak, yaitu perusahaan pemborong pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa pekerja, yang sering juga disebut perusahaan penerima pekerjaan (Perusahaan Outsourcing), perusahaan pengguna pekerja atau perusahaan pemberi pekerjaan, dan pekerja/buruh itu sendiri. Hubungan kerja yang terjadi pada outsourcing adalah antara pekerja dengan
perusahaan penerima pekerjaan (Perusahaan Outsourcing) yang
dituangkan dalam perjanjian kerja tertulis. Hubungan kerja tersebut pada dasarnya Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu atau tetap (PKWTT), tetapi dapat pula dilakukan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) apabila memenuhi semua persyaratan baik formal maupun material sebagaimana diatur dalam Pasal 59 UU No. 13 Tahun 2003. Dengan demikian hubungan kerja pada outsourcing tidak selalu dalam bentuk
PKWT, dan sangat keliru kalau beranggapan bahwa outsourcing selalu
dan/atau sama dengan PKWT.
Seperti hubungan kerja pada umumnya, dalam hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha/perusahaan dengan sistem outsourcing, secara yuridis hubungan mereka adalah bebas, seseorang tidak boleh
6Xxxxxx Xxxxxx, Op.cit, hlm. 220.
24
diperbudak, diperulur maupun diperhambakan. Segala macam bentuk perbudakan, perhambaan dan peruluran dilarang karena memang tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya disingkat (UUDNRI Tahun 1945) dan Pancasila, namun secara sosiologis, pekerja tidaklah bebas sebagai seorang yang tidak mempunyai bekal hidup, karena bermodal tenaganya saja seseorang pekerja kadang kala terpaksa menerima hubungan kerja dengan pengusaha meskipun hubungan itu memberatkan pekerja sendiri, lebih- lebih sekarang dengan banyaknya tenaga kerja yang membutuhkan pekerjaan yang tidak sebanding dengan lapangan pekerjaan yang tersedia.7
Tenaga pekerja yang menjadi kepentingan pengusaha merupakan sesuatu yang sedemikian melekatnya pada pribadi pekerja, sehingga pekerja itu selalu mengikuti tenaganya ke tempat di mana dipekerjakan, dan pengusaha kadangkala seenaknya memutuskan hubungan kerja pekerja karena tenaganya sudah tidak diperlukan lagi. Oleh karena itu pemerintah dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan, turut serta melindungi pihak yang lemah (pekerja) dari kekuasaan pengusaha, guna menempatkannya pada kedudukan yang layak sesuai dengan harkat dan martabat manusia.
Dengan diberlakukannya UU No. 13 Tahun 2003 dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peran sertanya dalam pembangunan serta meningkatkan perlindungan tenaga kerja dan
7Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja,
(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 17.
25
keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Disamping itu juga menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun.8 Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha, sebagaimana yang dituangkan dalam konsideran menimbang huruf c dan d UU No. 13 Tahun 2003, sesuai dengan amanat Pasal 27 ayat (2) UUDNRI Tahun 1945, bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan kemanusiaan. Demikian juga yang ditentukan Pasal 28D ayat (1) UUDNRI 1945, bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum; dan setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja sebagaimana penegasan Pasal 28D ayat
(2) UUDNRI Tahun 1945. Disamping itu dengan outsourcing, pengusaha
dapat menciptakan hubungan kerja yang harmonis dan dinamis sesuai dengan amanat Pasal 33 ayat (1) UUDNRI 1945 bahwa, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Oleh karena itu hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha dalam outsourcing juga harus mencerminkan pemberian perlindungan hukum kepada pekerja sebagaimana tujuan negara yang telah dituangkan dalam Pembukuan UUDNRI 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
8Hadi Setia Tunggal, Himpunan Peraturan Ketenagakerjaan, (Jakarta : Harvarindo, 2009), hlm. iii.
26
kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila untuk terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Outsourcing merupakan sistem kerja yang berkembang seiring
meningkatnya kebutuhan pengusaha untuk hubungan kerja yang fleksibel, mudah untuk merekrut dan mudah melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pekerjanya. Meski tidak diizinkan oleh Undang- Undang, pada umumnya perjanjian kerja outsourcing menggunakan PKWT, yaitu suatu perjanjian yang memperjanjikan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 Kepmenakertrans No. 100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu/PKWT,9 (yang selanjutnya disingkat Kep. 100/Men/VI/2004).
Dalam khasanah hukum Indonesia, pemborongan pekerjaan dan pemberian jasa bukanlah merupakan sesuatu yang baru. KUH.Perdata dalam Pasal 1601 b sebagaimana telah diuraikan dimuka telah mengatur pemborongan pekerjaan, bahkan KUH. Perdata mengakui dan memberi tempat, serta melindungi hak perseorangan untuk menjadi pemborong pekerjaan.10 Dengan kata lain KUH.Perdata tidak membatasi hak untuk menjadi pemborong pekerjaan hanya kepada perusahaan berbadan hukum, melainkan memberikan hak kepada setiap perusahaan, bahkan
9Surya Tjandra dan Xxxxxx Xxxxxxxxxxx, Kompilasi Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Terseleksi 2006-2007, (Jakarta : Penerbit TURC, 2008), hlm. 135.
10Lalu Husni, Op.cit, hlm. 178-179.
27
kepada pemborong perseorangan sekalipun. Dalam KUH.Perdata, pelaksanaannya diatur dan dibedakan lebih lanjut, antara pemborongan pekerjaan yang dilaksanakan hanya menyediakan jasa pekerja saja atau dengan penyediaan bahannya sebagaimana ketentuan Pasal 1604 KUH.Perdata.
Terdapat beberapa prinsip yang berlaku dalam pemborongan pekerjaan sebagaimana diatur dalam Pasal 1604 - 1617 KUH.Perdata, antara lain :11
a. Jika telah terjadi kesepakatan dalam pemborongan pekerjaan dan pekerjaan telah mulai dikerjakan, pihak memborongkan tidak bisa menghentikan pemborongan pekerjaan.
b. Pemborongan pekerjaan berhenti dengan meninggalnya si pemborong, namun pihak yang memborongkan diwajibkan membayar kepada ahli waris si pemborong harga pekerjaan yang telah dikerjakan sesuai dengan pekerjaan yang telah dilakukan.
c. Si pemborong bertanggungjawab terhadap perbuatan- perbuatan orang-orang yang telah dikerjakan olehnya.
d. Buruh yang memegang suatu barang kepunyaan orang lain, untuk mengerjakan sesuatu pada barang tersebut, berhak menahan barang tersebut sampai biaya dan upah-upah yang dikeluarkan untuk barang itu dipenuhi keseluruhannya, kecuali jika pihak yang memborongkan telah memberikan jaminan secukupnya untuk pembayaran biaya dan upah-upah tersebut.
Mencermati ketentuan KUH.Perdata dengan prinsip-prinsip yang berlaku dalam pemborongan pekerjaan sebagaimana tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa pengaturan pemborongan pekerjaan dalam KUH.Perdata tidak mengharuskan pemborong pekerjaan adalah perusahaan yang berbadan hukum, melainkan dapat dilakukan oleh
11Xxxxx Xxxxxxx, Outsourcing dan Perjanjian Kerja, (Jakarta : DDS Publishing, 2006), hlm. 10-11.
28
perusahaan yang bukan berbadan hukum, bahkan oleh pemborong pekerjaan perseorangan sekalipun. Demikian juga untuk jenis pekerjaan yang diborongkan tidak diatur pembatasannya, hal ini sudah tentu sepanjang pekerjaan yang diborongkan itu tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan/kesopanan, dan ketertiban umum. Mengenai status pekerja tidak diatur secara rigid, apakah PKWT atau KWTT atau juga pekerja harian lepas melalui hubungan kerja dengan pihak yang memborong pekerjaan. Oleh karena itu tanggungjawab terhadap pekerjaan termasuk di dalamnya yang berkaitan dengan perlindungan hukum bagi pekerja ada pada pihak atau perusahaan yang memborong pekerjaan (penerima pekerjaan) dan tidak dapat beralih kepada pihak/perusahaan yang memborongkan pekerjaan (pemberi pekerjaan).
Outsourcing yang diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 sangat
kompleks, outsourcing dimaknai sebagai penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan oleh suatu perusahaan kepada perusahaan lainnya yang dilakukan dengan perjanjian secara tertulis, melalui dua cara, yaitu perjanjian pemborongan pekerjaan, atau penyediaan jasa pekerja/buruh, sebagaimana ketentuan Pasal 64 UU No. 13 Tahun 2003.
Untuk dapat menyerahkan pelaksanaan pekerjaan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan, harus memenuhi ketentuan Pasal 65 UU No. 13 Tahun 2003 sebagai berikut :
a. Pekerjaan yang diserahkan kepada perusahaan lain adalah :
1) dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
2) dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
3) merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan, dan
4) tidak menghambat proses produksi secara langsung.
29
b. Perusahaan penerima pemborongan pekerjaan harus berbentuk badan hukum.
c. Memberikan perlindungan dan syarat-syarat kerja minimal sama dengan perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
d. Pelaksanaan hubungan kerja antara perusahaan penerima pekerjaan dan pekerja/buruh diatur dalam perjanjian secara tertulis.
e. Hubungan kerja tersebut butir d dapat dilakukan dengan PKWTT atau PKWT jika memenuhi persyaratan PKWT (Pasal 59 UU No. 13 Tahun 2003).
f. Jika butir a dan b tersebut di atas tidak terpenuhi, demi hukum hubungan kerja beralih menjadi hubungan kerja antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan pekerja buruh yang bersangkutan.
Dalam Pasal 6 ayat (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep. 220/Men/X/2004 tentang syarat-syarat penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain (selanjutnya disingkat Kep. 220/Men/X/2004) ditentukan bahwa syarat-syarat penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain adalah :
a. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama baik manajemen maupun kegiatan pelaksanaan pekerjaan.
b. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan untuk memberikan penjelasan tentang cara melaksanakan pekerjaan agar sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh perusahaan pemberi pekerjaan.
c. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan. Artinya kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang mendukung dan memperlancar pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan alur kegiatan kerja perusahaan pemberi pekerjaan.
d. Tidak menghambat proses produksi secara langsung. Artinya kegiatan tersebut merupakan kegiatan tambahan yang apabila tidak dilakukan oleh perusahaan pemberi pekerjaan, proses pelaksanaan pekerjaan tetap berjalan sebagaimana biasanya.
Perusahaan pemberi pekerjaan yang akan menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaannya kepada perusahaan pemborong pekerjaan
30
wajib membuat alur kegiatan proses pelaksanaan dan berdasarkan alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan tersebut, perusahaan pemberi pekerjaan harus menetapkan jenis-jenis pekerjaan yang utama dan penunjang serta melaporkannya kepada instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan setempat, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2) Kep. 220/Men/X/2004.
Perusahaan penerima pemborongan pekerjaan diharuskan berbentuk badan hukum sebagaimana ketentuan Pasal 65 ayat (3) UU No.
13 Tahun 2003, kemudian oleh ketentuan Pasal 3 Kep. 220/X/2004 dikecualikan terhadap :
a. Perusahaan pemborong pekerjaan yang bergerak di bidang pengadaan barang.
b. Perusahaan pemborong pekerjaan yang bergerak di bidang jasa pemeliharaan dan perbaikan serta jasa konsultasi yang dalam melaksanakan pekerjaan tersebut mempekerjakan pekerja kurang dari sepuluh orang.
Apabila perusahaan pemborong pekerjaan yang berbadan hukum sebagaimana dimaksud di atas akan menyerahkan lagi sebagian pekerjaan yang diterima dari perusahaan pemberi pekerjaan, penyerahan tersebut dapat diberikan kepada perusahaan pemborong pekerjaan yang bukan berbadan hukum, dengan ketentuan apabila perusahaan yang bukan badan hukum tersebut tidak melaksanakan kewajibannya memenuhi hak-hak pekerja dalam hubungan kerja, perusahaan pemborong pekerjaan yang berbadan hukum yang bertanggungjawab dalam memenuhi kewajiban tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) Kep. 220/Men/X/2004. Dalam Pasal 4 ayat (1) Kep.
31
220/Men/X/2004 juga ditentukan, dalam hal di satu daerah tidak terdapat perusahaan pemborong pekerjaan yang berbadan hukum, tetapi tidak memenuhi kualifikasi untuk melaksanakan sebagian pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan, penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan dapat diserahkan kepada perusahaan pemborong pekerjaan yang bukan berbadan hukum.
Perusahaan penerima pemborongan pekerjaan yang bukan berbadan hukum sebagaimana dimaksud di atas bertanggungjawab memenuhi hak-hak pekerja yang terjadi dalam hubungan kerja antara perusahaan yang bukan berbadan hukum tersebut dengan pekerjanya, dan tanggungjawab tersebut harus dituangkan dalam perjanjian pemborongan pekerjaan antara perusahaan pemberi pekerjaan dan perusahaan pemborong pekerjaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) Kep. 220/Men/X/2004.
Disamping pengaturan bentuk outsourcing yang dilakukan dengan
cara perjanjian pemborongan pekerjaan sebagaimana ketentuan Pasal 65 UU No. 13 Tahun 2003 dan Kep. 220/Men/X/2004 tersebut di atas, dikenal juga bentuk outsourcing yang dilakukan dengan cara perjanjian penyediaan jasa pekerja yang diatur dalam Pasal 66 UU No. 13 Tahun 2003 dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : Kep.101/Men/VI/2004 tentang Tata Cara Perizinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh (Selanjutnya disingkat Kep. 101/Men/VI/2004).
32
Berdasarkan ketentuan Pasal 66 UU No. 13 Tahun 2003, diatur penyerahan pelaksanaan pekerjaan melalui perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebagai berikut :
a. Tidak boleh mempergunakan pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi.
Kegiatan pokok (core business) atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi adalah jelas
bukan kegiatan penunjang dalam suatu perusahaan. Yang termasuk kegiatan penunjang, antara lain, usaha pelayanan kebersihan (cleaning service) usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering), usaha tenaga pengaman (security), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh.
b. Penyediaan jasa pekerja/buruh :
1) Harus memenuhi syarat-syarat :
a) Adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
b) Perjanjian dibuat secara tertulis dan ditandatangani kedua pihak, melalui perjanjian kerja untuk waktu tertentu jika memenuhi persyaratan Pasal 59 UU No. 13 Tahun 2003 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
c) Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja perselisihan yang timbul menjadi tanggungjawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
Dalam hal ini pekerja/buruh memperoleh hak (yang sama) atas perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul dengan pekerja/buruh lainnya sesuai dengan yang berlaku di perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh. Perlindungan tersebut minimal harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d) Perjanjian antara pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
2) Merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan.
c. Jika ketentuan butir a, b. 1)a), b. 1)b), b.1)d) dan
b.2) tidak terpenuhi, demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.
33
Perusahaan penyedia jasa pekerja harus berbadan hukum yang dalam kegiatan usahanya adalah menyediakan jasa pekerja/buruh untuk dipekerjakan di perusahaan pemberi pekerjaan dan wajib memiliki izin operasional dari instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenakerjaan di Kabupaten/Kota sesuai domisili perusahaan penyedia jasa/buruh, sebagaimana ketentuan Pasal 66 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003 jo Pasal
2 ayat (1) Kep. 101/Men/VI/2004.
Dalam Pasal 4 Kep. 101/Men/IV/2004 ditentukan, bahwa : Jika perusahaan pemberi pekerjaan sepakat untuk memberikan pekerjaan kepada perusahaan penyedia jasa pekerja, kedua belah pihak wajib membuat perjanjian tertulis yang memuat sekurang-kurangnya :
a. Jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja/buruh dari perusahaan jasa;
b. Penegasan bahwa dalam melaksanakan pekerjaan sebagaimana yang dimaksud huruf a, hubungan kerja yang terjadi adalah antara perusahaan penyedia jasa dan pekerja/buruh yang diperkerjakan perusahaan penyedia jasa. Dengan demikian, perlindungan upah, kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggungjawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
Perjanjian penyediaan jasa pekerja antara perusahaan pemberi pekerjaan dan perusahaan penyedia jasa pekerja harus didaftarkan di instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh melaksanakan pekerjaan. Hal ini diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Kep. 101/Men/VI/2004. Ketika melakukan pendaftaran perjanjian penyediaan jasa pekerja sebagaimana di maksud di atas, perusahaan penyedia jasa pekerja harus melampirkan draft perjanjian kerja sebagaimana diatur
34
Pasal 5 ayat (4) Kep.101/Men/VI/2004. Akan tetapi, jika perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak mendaftarkan perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh ke instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan seperti diatur Pasal 5 ayat (1) Kep. 101/Men/VI/2004, maka berdasar Pasal 7 ayat (1) Kep. 101/Men/VI/2004 izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja /buruh yang bersangkutan dapat dicabut oleh instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenaga kerajaan setempat. Dalam hal izin operasional suatu perusahaan jasa pekerja dicabut karena melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud di atas, maka berdasarkan Pasal 7 ayat (2) Kep. 101/Men/VI/2004 hak-hak pekerja/buruh tetap menjadi tanggungjawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang bersangkutan.
Seperti halnya dalam perjanjian kerja antara pekerja dan perusahaan pemborong pekerjaan, maka perjanjian kerja dalam hubungan antara pekerja dan perusahaan penyedia jasa pekerja sebagaimana diatur dalam Pasal 66 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003, dapat dibuat PKWT sepanjang memenuhi persyaratan Pasal 59 UU No. 13 Tahun 2003 dan Kep. 100/Men/VI/2004 dan/atau PKWTT, dengan catatan PKWT atau PKWTT tersebut harus tertulis.
Dalam hal terjadi pergantian perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh di suatu perusahaan, maka di dalam perjanjian penyediaan jasa pekerja harus dimuat penegasan, bahwa perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang baru bersedia menerima pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebelumnya untuk jenis-jenis pekerjaan yang terus
35
menerus ada diperusahaan pemberi kerja, sebagaimana ditentukan Pasal 4 huruf c Kep. 101/Men/VI/2004.
Dari uraian beberapa pengaturan tentang outsourcing tersebut di
atas, baik yang diatur dalam KUH.Perdata, maupun pengaturan berikutnya dalam UU No. 13 Tahun 2003 dengan peraturan pelaksanaannya seperti Kep.220/Men/X/2004, Kep. 101/Men/VI/2004, dan Kep.100/Men/VI/2004, maka terlihat adanya inkonsistensi dalam pengaturan outsourcing. Inkosistensi pengaturan tersebut disatu sisi
karena terdapat ketidakharmonisan pengaturan outsourcing dalam bentuk
penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan pemborong pekerjaan maupun dalam bentuk penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan penyedia jasa pekerja antara yang diatur di dalam KUH.Perdata dan dalam UU No. 13 Tahun 2003. KUH.Perdata tidak ada ketentuan mengharuskan perusahaan pemborong pekerjaan dan perusahaan penyedia jasa pekerja berbentuk badan hukum sebagaimana ketentuan Pasal 1601 – Pasal 1604 KUH.Perdata. Sedangkan UU No. 13 Tahun 2003 perusahaan tersebut harus berbadan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 65 ayat (3) dan Pasal 66 ayat (3) UU No.
13 Tahun 2003. Kemudian di sisi lain inkonsistensi pengaturan outsourcing juga tampak karena tidak adanya sinkronisasi pengaturan perusahaan pemborong pekerjaan antara UU No. 13 Tahun 2003 dan KEP 220/Men/X/2004, dimana perusahaan pemborong pekerjaan yang diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 harus berbentuk badan hukum (Pasal 65 ayat (3), sedangkan yang diatur dalam Pasal 3 Kep.220/Men/X/2004,
36
bentuk perusahaan pemborong pekerjaan dapat dikecualikan atau tidak harus berbentuk badan hukum.
Lebih lanjut kalau dicermati tampak adanya ketidak jelasan atau kekaburan norma dalam pengaturan outsourcing yang membuka ruang multitafsir yang rentan menimbulkan ketidak harmonisan hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan dalam sistem outsourcing. Kekaburan pengaturan yang dimaksud berkaitan dengan kepastian hukum hubungan kerja yang diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 jo Kep. 100/Men/VI/2004, yaitu dapat dengan hubungan kerja PKWT dan/atau PKWTT, sebagaimana Pasal 65 ayat (6) dan ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) b dan d jo Pasal 59 UU No. 13 Tahun 2003. Dalam kaitan ini hubungan kerja yang terjadi dalam perjanjian outsourcing adalah antara pekerja/buruh outsourcing
dengan perusahaan outsourcing (penerima pekerjaan), akan tetapi jika
sejumlah persyaratan yang ditentukan di dalam Undang-Undang tidak dipenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh (perusahaan outsourcing) beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi kerja.12 Dalam praktek perjanjian kerja outsourcing cenderung digunakan PKWT/kontrak, sehingga mudah bagi perusahaan untuk melakukan PHK kalau perusahaan tidak membutuhkan lagi.13 Padahal pekerja selalu menginginkan menjadi pekerja tetap (PKWTT).
12Xxxxx Xxxxxxx Xxxxxxx, Hukum Perburuhan, (Selanjutnya disebut Xxxxx Xxxxxxx Xxxxxxx X), (Jakarta : PT. Indeks, 2009), hlm. 44.
13Xxxxx Xxxxxxx & Xxxxxx Xxxxxxxxxxx, Loc.cit
37
Begitu juga dalam penentuan jenis pekerjaan outsourcing yaitu pekerjaan penunjang, pekerjaan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Sebagaimana diatur dalam Pasal 65 ayat (2) c dan Pasal 66 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003. Hal ini sangat sulit didefinisikan karena adanya perbedaan persepsi, dan adakalanya juga dilatarbelakangi oleh kepentingan yang mewakili untuk memperoleh keuntungan dari kondisi tersebut. Disamping itu, bentuk-bentuk pengelolaan usaha yang sangat bervariasi dan beberapa perusahaan multinasional dalam era globalisasi ini membawa bentuk baru pola kemitraan usahanya, menambah semakin kompleksnya kerancuan tersebut.14
Mengenai perlindungan hukum pekerja outsourcing yang diatur
UU No. 13 Tahun 2003 baik perlindungan upah, kesejahteraan, syarat- syarat kerja dan lain-lain termasuk dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial masih belum jelas, karena ditentukan minimal sama dengan yang berlaku pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 65 ayat (4) dan Pasal 66 ayat (2) c UU No. 13 Tahun 2003. Xxxxxxxx juga dalam hal tanggungjawab pemenuhan hak-hak pekerja outsourcing yang
semula berada pada perusahaan outsourcing dapat beralih menjadi
tanggungjawab perusahaan pemberi kerja, sebagai konsekuensi dari ketentuan Pasal 65 ayat (9) dan Pasal 66 ayat (4).
Dari ketidak harmonisan dan ketidak sinkronan pengaturan termasuk kekaburan terhadap beberapa norma pengaturan tersebut di atas, maka outsourcing di tentang berlakunya oleh mayoritas serikat
14Xxxxxx Xxxxxx, Op.cit, hlm. 222-223.
38
buruh di Indonesia. Serikat buruh beranggapan bahwa outsourcing tidak bedanya dengan perbudakan modern. Outsourcing juga dinilai membuat hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan pemberi kerja menjadi tidak jelas. Banyak calon pekerja yang mendapatkan pekerjaan dari perusahaan outsourcing diwajibkan membayar sejumlah uang, bahkan dengan memotong upahnya perbulan selama dikontrak. Selain itu banyak pekerja dari perusahaan outsourcing tidak menerima hak-hak normatif yang seharusnya diterima.15
Outsourcing tidak saja terjadi pada perusahaan swasta, tetapi juga dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Salah satu contoh perusahaan perseroan melakukan outsourcing adalah PT. Garuda Indonesia (Persero) Branch Office Denpasar dengan perusahaan penyedia jasa pekerja PT. Xxxxxx Xxxxx Xxxxxx yang dituangkan dalam Perjanjian Jasa Penyediaan Tenaga Kerja antara PT. Garuda Indonesia (Persero)
dengan PT. Xxxxxx Xxxxx Makmur No. DS/PER/DPSDM-2052/2008.
Sebagai ilustrasi terdapat beberapa kasus yang sudah menjadi putusan pengadilan mengenai praktek bisnis outsourcing yang dilakukan dengan melanggar Pasal 65 dan 66 UU No. 13 Tahun 2003. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 170/G/2007/PHI PNJKT.PST.16 Majelis hakim mempertimbangkan bahwa Tergugat I (Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh) telah melakukan praktek bisnis sebagai penyedia jasa pekerja/buruh dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 66 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU No. 13 Tahun
15Tabrani Abby & Xxxxxxxxx Gevani, “Hukum Perburuhan”, dalam Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, Penyunting/Editor Xxxxxxxxx Xxx Xxxxxxxxxx dan A. Patri M. Zen, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2009), hlm. 232.
16Xxxxx Xxxxxxx dan Xxxxxx Xxxxxxxxxxx, Op.cit, hlm. 135-136.
39
2003 jo Pasal 2 Kep.101/Men/X/2004. Konsekuensinya sesuai ketentuan Pasal 66 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003, demi hukum status hubungan kerja para penggugat kembali menjadi hubungan kerja antara para penggugat (pekerja) dengan Tergugat II (perusahaan pemberi pekerjaan/borongan) sehingga para penggugat beralih menjadi pekerja Tergugat II dengan status PKWT. Sedangkan putusan No. 171/PHI/G/2007/PHI.PNJKT.PST.17 Xxxxxxx Xxxxx memutuskan bahwa demi hukum hubungan kerja antara para penggugat (pekerja) dengan Tergugat II (perusahaan pemberi borongan) dari PKWT menjadi PKWTT. Karena praktek bisnis pemborongan pekerjaan yang dilakukan bertentangan dengan Pasal 59 dan Pasal 65 UU No. 13 Tahun 2003.
Dari fenomena yang dipaparkan di atas, tampaknya belum ada yang melakukan penelitian berkaitan dengan perlindungan hukum pekerja outsourcing ditinjau dari prinsip keadilan, kepastian hukum, dan hak asasi manusia (HAM), sehingga dipandang perlu dilakukan penelitian atau pengkajian secara seksama untuk mendapatkan konsep atau paling tidak mendapat masukan untuk menyempurnakan pengaturan outsourcing agar dalam praktek pelaksanaannya dapat memberikan jaminan kepastian hukum sekaligus perlindungan hukum bagi pekerja outsourcing.
1.2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut di atas, rumusan masalah yang menjadi fokus pengkajian dalam penelitian ini adalah :
17Ibid, hlm. 136-137.
40
1. Bagaimana perlindungan hukum pekerja outsourcing ditinjau dari prinsip keadilan?
2. Bagaimana perlindungan hukum pekerja outsourcing ditinjau dari prinsip kepastian hukum?
3. Bagaimana perlindungan hukum pekerja outsourcing ditinjau dari prinsip Hak Asasi Manusia (HAM)?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Xxxxx mengkaji secara lebih mendalam tentang perlindungan hukum pekerja outsourcing dalam perundang-undangan ditinjau dari prinsip keadilan.
2. Ingin mendeskripsi mengkaji secara kritis, dan menemukan wujud perlindungan hukum pekerja outsourcing yang berlandaskan prinsip kepastian hukum.
3. Xxxxx mengkritisi dan menganalisis pengaturan perlindungan hukum pekerja outsourcing ditinjau dari prinsip Hak Asasi Manusia.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini dibedakan menjadi manfaat penelitian dari segi teoritis dan manfaat penelitian dari segi praktis.
1.4.1 Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada dunia akademis, yaitu dalam upaya menemukan konsep-konsep baru mengenai wujud perlindungan hukum pekerja outsourcing yang berlandaskan prinsip-prinsip keadilan, kepastian hukum, dan Hak Asasi Manusia, sebagai bahan masukan dalam rangka pembaharuan hukum ketenagakerjaan.
41
1.4.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat diabdikan pada masyarakat terutama bagi pekerja dan perusahaan yang berkaitan dengan outsourcing, serta bagi pemerintah dan para penegak hukum yang berhubungan dengan penyelesaian masalah-masalah yang terjadi dalam praktek pelaksanaan outsourcing di Indonesia. Paling tidak diharapkan dapat dipakai acuan dalam memberikan perlindungan hukum bagi pekerja outsourcing. Terutama yang menyangkut upah, kesejahteraan, syarat-syarat kerja, kondisi kerja, jaminan sosial, penyelesaian perselisihan dan perlindungan kerja lainnya yang berlandaskan prinsip keadilan, kepastian hukum, dan Hak Asasi Manusia.
1.5. Orisinalitas Penelitian
Dari penelusuran bahan-bahan hukum didapatkan beberapa buah hasil penelitian yang mengambil objek yang berkaitan dengan dan perlindungan pekerja outsourcing, yaitu :
Pertama, dilakukan oleh Xxxxxxx Xxxxxxx pada tahun 1996,
disertasi pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia dengan Judul “Upaya Peningkatan Perlindungan Hukum Wanita Pekerja di Perusahaan Industri Swasta”. Dari penelitian ini disimpulkan, bahwa secara sosial ekonomi dalam hubungan kerja kedudukan wanita pekerja harian lebih lemah dari majikan, sehingga sebagai kompensasinya pihak wanita pekerja memerlukan perlindungan hukum yang lebih besar. Perlindungan hukum wanita pekerja harian pada perusahaan industri
42
swasta baik mengenai upah minimum, waktu kerja, dan waktu istirahat yang diatur dalam perundang-undangan tenaga kerja belum sesuai dengan amanat Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) UUDNRI Tahun 1945. Untuk meningkatkan perlindungan hukumnya terutama pada perusahaan industri swasta agar sesuai dengan makna Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) UUDNRI Tahun 1945 dan Perkembangan dunia usaha dewasa ini, maka terhadap pekerja wanita perlu peraturan-peraturan pelaksanaan yang mengatur : 1) upah minimum yang tidak diatur secara umum, tetapi secara khusus sesuai dengan kondisi ekonomi; 2) waktu kerja bagi wanita supaya diatur disamping yang full-time, juga diperbolehkan part-time;
3) adanya cuti haid disamping cuti bersalin yang diatur lebih fleksibel
disesuaikan dengan kebutuhan, tidak harus 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan.18
Kedua, dilakukan oleh Xxxxx Xxxxxxx Xxxxxxx, Tahun 2007 disertasi pada Program Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya dengan judul “Perlindungan Hukum Untuk Pekerja Anak”. Fokus kajian penelitian disertasi ini membahas tiga isu hukum yaitu : 1) Bagaimana wujud perlindungan hukum untuk pekerja anak di dalam peraturan perundang- undangan, 2) Apakah wujud perlindungan hukum untuk pekerja anak di dalam perundang-undangan mengakomodasikan kemiskinan sebagai
18 Xxxxxxx Xxxxxxx, Upaya Peningkatan Perlindungan Hukum Wanita Pekerja di Perusahaan Industri Swasta Studi Kasus tentang Wanita Pekerja Harian di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1996, hal. 9-12
43
sebab utama keberadaan pekerja anak, dan 3) Apakah wujud perlindungan hukum untuk pekerja anak di dalam peraturan perundang- undangan berlandaskan prinsip-prinsip perlindungan hukum untuk anak sebagaimana yang diatur di dalam Konvensi Hak-Hak Anak. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa wujud perlindungan hukum untuk pekerja anak didalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 berupa pembatasan dan pelarangan. Prinsip perlindungan aktif menjiwai prinsip- prinsip perlindungan hukum untuk pekerja anak, yaitu prinsip non- diskriminasi, prinsip kepentingan yang terbaik bagi anak, prinsip hak hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan dan prinsip penghargaan atas pendapat anak. Kemiskinan merupakan sebab utama diantara sebab adanya pekerja anak. Peraturan perundang-undangan belum mengakomodasikan kemiskinan sebagai sebab utama adanya pekerja anak, sehingga perlindungan hukum untuk pekerja anak belum berorientasi pada pengentasan kemiskinan pekerja anak. Prinsip perlindungan aktif yang meliputi prinsip non-diskriminasi, prinsip kepentingan yang terbagik bagi anak, prinsip hak hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan, dan prinsip penghargaan atas pendapat anak belum dijadikan landasan oleh perundang-undangan dalam memberikan perlindungan hukum untuk pekerja anak.19
19 Xxxxx Xxxxxxx Xxxxxxx, Perlindungan Hukum Untuk Pekerja Anak, Disertasi Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2007, hal. 217 lihat juga Hukum Pekerja Anak, (Selanjutnya disebut Xxxxx Xxxxxxx Xxxxxxx II), (Malang, Universitas Negeri Malang, 2008), hal. 140-141
44
Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Xxxxxxxxxx Xxxxxxxxxx pada tahun 2009 dengan judul “Perlindungan Hukum Pekerja Pada Perusahaan Pemborong Pekerjaan”, disertasi pada Program Studi Doktor Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa perlunya kepastian perlindungan hukum pekerja/buruh pada perusahaan pemborong pekerjaan atau penyedia jasa pekerja berkenaan dengan tidak adanya kepastian hukum dalam hubungan kerja. Sedangkan upaya hukum terhadap pekerja/buruh pada perusahaan pemborong pekerjaan atau penyedia jasa pekerja untuk melindungi hak-haknya dapat dilakukan melalui jalur non litigasi (di luar pengadilan), yaitu dengan melakukan penyelesaian bepartit, tripartit, konsiliasi, mediasi, dan arbitrase, dan jalur litigasi (pengadilan).20
Dari penelurusan bahan hukum dalam bentuk hasil penelitian tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa penelitian yang akan dilakukan untuk penulisan disertasi ini tampaknya sangat berbeda dengan pokok masalah dan hasil-hasil penelitian sebagai tersebut di atas. Hal ini disebabkan oleh isu sentral yang menjadi fokus pengkajian dalam penelitian ini adalah tentang perlindungan hukum pekerja outsourcing ditinjau dari prinsip keadilan, prinsip kepastian hukum, dan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM).
20 Satyagraha Suryaagust, Perlindungan Hukum Pekerja Pada Perusahaan Pemborong Pekerjaan, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Universitas 17 Agustus 1945, Surabaya, 2009, hal. 283-284
45
1.6. Desain Penelitian
Adapun desain penelitian disertasi ini dapat dijabarkan dalam bagan sebagai berikut :
Bagan : Desain Penelitian
Konsep
Perlindungan Hukum Pekerja
Outsourcing
yang
Berlandaskan Kepastian
Hukum
Bagaimana perlindungan
hukum pekerja outsourcing ditinjau dari
prinsip kepastian hukum
Analisis metode Interpretasi Hukum
Problematika Teoritik :
Kedu du kan pe kerj a
outsourcing masih lemah seperti : 1) jenj an g karir t idak pasti, upah lebih
rend ah, m asa kerj a
terb atas, kom pen sasi PHK t idak ada, 2) jenis
pekerjaan t idak jel as, hubu ng an kerj a ti dak
pasti, bentuk perusahaan t idak konsisten, 3)
perl aku an dan upah t id ak layak, j aminan sosial
( pensiun) ti dak ad a, keterwakil an pekerj a
dal am perundingan t idak proporsi on al
Outsourcing belum menjamin prinsip keadilan, kepastian hukum, dan HAM.
46
1.7. Metode Penelitian
1.7.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat, dan menjadi acuan perilaku setiap orang. Norma hukum yang berlaku itu berupa norma hukum positif tertulis bentukan lembaga perundang- undangan (Undang-Undang Dasar, kodifikasi, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan seterusnya), dan norma hukum tertulis bentukan lembaga peradilan (judge made law), serta norma hukum tertulis buatan pihak-pihak yang berkepentingan (kontrak, dokumen hukum, laporan hukum, catatan hukum, dan rancangan undang-undang).21 Nama lain dari penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum doktriner, juga disebut sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen.22
1.7.2 Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini sudah tentu disesuaikan dengan pokok masalah yang menjadi fokus penelitian. Dalam kaitan dengan penelitian ini menggunakan pendekatan perundang- undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach),
pendekatan analitis (analytical approach), dan pendekatan kefilsafatan
(Philosophical approach).23
21Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung : Citra Xxxxxx Xxxxx, 2004), hlm. 52.
22Xxxxxxx Xxxxxx, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta : Sinar Grafindo, 2008), hlm. 13.
23Xxxxxx Xxxxxxx, Xxxxx dan Metode Penelitian Hukum Normatif, (Malang : L Bayu Media Publising, 2006), hlm. 300.
47
Digunakan pendekatan perundang-undangan dimaksudkan pendekatan dengan menggunakan produk legislasi dan regulasi. Produk yang merupakan beschikking/decree, yaitu suatu putusan yang diterbitkan oleh pejabat administrasi yang bersifat konkrit dan khusus.24 Artinya didalam mengkaji ketiga permasalahan yang diteliti atau dibahas, senantiasa berpijak pada peraturan perundang-undangan yang berlaku yang berkaitan dengan perusahaan dan ketanagakerjaan yang mengatur outsourcing. Pendekatan konsep dimaksudkan bahwa berbagai konsep hukum baik berupa doktrin/pandangan yuris, asas-asas hukum yang relevan dengan perlindungan hukum bagi pekerja outsourcing.
Penggunaan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep didasari atas pertimbangan bahwa dari bahan hukum yang diperoleh dalam pendekatan tersebut akan mulai dapat dilakukan inventarisasi terhadap bahan hukum dalam penemuan konsep dan makna teks sebagai titik tolak mendekati permasalahan.
Pendekatan lain yang dianggap cukup relevan adalah pendekatan analitis, yaitu dalam arti untuk mengetahui makna yang dikandung dari istilah-istilah yang digunakan dalam aturan perundang-undangan secara tekstual, sekaligus mengetahui kontekstualnya terutama dalam penerapannya melalui praktek dan putusan-putusan hukum.25 Pendekatan ini dilakukan melalui dua pemeriksaan; pertama, berusaha memperoleh makna baru yang terkandung dalam aturan hukum yang bersangkutan dan kedua, menguji istilah-istilah hukum tersebut dalam praktek melalui analisis terhadap putusan-putusan hukum.
24Xxxxx Xxxxxxxx Xxxxxxx, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2007), hlm. 97.
25 Xxxxxx Xxxxxxx, Op.cit, hlm. 310.
48
Disamping itu agar penelitian ini dapat menghasilkan konsep- konsep yang lebih mendasar sesuai dengan tujuan hukum ketenagakerjaan sebagaimana diamanatkan UU No. 13 Tahun 2003 yang merupakan implementasi dari Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) UUDNRI 1945, maka pendekatan kefilsafatan dalam penelitian ini dipandang juga sangat relevan. Pendekatan kefilsafatan yang dimaksud adalah pendekatan mengenai bidang-bidang yang menyangkut dengan objek kajian filsafat hukum dalam hal ini meliputi :26
1) Ontologi hukum, yaitu mengkaji hakekat hukum seperti hakekat perjanjian outsourcing, hubungan kerja dalam outsourcing, hakekat kepastian perlindungan hukum pekerja outsourcing agar isi dan tujuan hukum pengaturan outsourcing dapat ditemukan maknanya.
2) Aksiologi hukum, yaitu mempelajari isi dari nilai seperti nilai kebenaran, nilai keadilan, nilai kepastian, nilai kebebasan, nilai perlindungan, nilai ekonomi dan lain-lain, termasuk asas-asas hukum yang berkaitan dengan perlindungan hukum pekerja outsourcing.
3) Epistemologi hukum, yaitu cara mendapatkan pengetahuan yang benar tentang ilmu hukum. Dalam hal ini untuk mendapatkan kebenaran ilmiah tentang perlindungan pekerja outsourcing ditinjau dari prinsip keadilan, kepastian hukum, dan hak asasi manusia, menggunakan cara-cara atau metode ilmiah hukum dalam kerangka penelitian hukum normatif. Sudah tentu dalam kaitan ini menggunakan analisis interfretasi hukum, termasuk menggunakan logika hukum, yaitu dengan mempelajari kaidah-kaidah berpikir secara hukum dan argumentasi hukum.
26Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxx, Metode Penelitian Hukum, (Bandung : Mandar Maju, 2008), hlm. 93.
49
1.7.3. Sumber Bahan Hukum
Penelitian ini dilakukan melalui studi kepustakaan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.27 Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat, yang dapat berupa, norma dasar (Pancasila), Peraturan Dasar (UUDNRI Tahun 1945), Peraturan Perundang-Undangan, hukum yang tidak kodifikasi yaitu hukum adat, hukum islam, yurisprudensi, traktat/perjanjian. Sedangkan bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis serta memahami bahan hukum primer, misalnya rancangan perundang-undangan, hasil karya ilmiah para sarjana, hasil-hasil penelitian, jurnal dan sebagainya.28 Disamping itu digunakan juga bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.29
Bahan hukum primer, yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah UUDNRI Tahun 1995, perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok masalah yang dibahas, yaitu terutama UU No. 13 Tahun 2003, KUH.Perdata, UU No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah, UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial, UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan kerja, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
27M. Xxxxxxxxx, Operasionalisasi Penelitian Hukum, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 96.
28Ibid.
29Xxxxxxxx Xxxxxxxx dan Xxx Xxxxxxx, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 52.
50
Kemanusiaan, Kep 100/Men/VI/2004, Kep. 101/Men/VI/2004, Kep. 220/Men/X/2004 dan lain-lain peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan perlindungan hukum pekerja serta perjanjian outsourcing. Bahan hukum sekundernya adalah beberapa karya tulis dari kalangan Sarjana yang ada relevansinya dengan pokok permasalahan yang dibahas. Sedangkan bahan hukum tersier dipergunakan Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Hukum yaitu Black Law Dictionary.
1.7.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Penelitian dilakukan dengan studi kepustakaan untuk mendapatkan bahan hukum. Bahan hukum yang relevan dikumpulkan dengan menggunakan sistem kartu (card system)30, dimana kartu-kartu disusun berdasarkan pada topik bukan berdasarkan pada nama pengarang. Hal ini dilakukan agar lebih mudah dalam penguraian, menganalisis, dan membuat kesimpulan dari konsep-konsep yang ada, karena setiap kartu hanya memuat satu konsep tentang masalah tertentu dari berbagai pendapat para ahli, sehingga dengan cepat terlihat hakekat konsep hukum yang dibahas.
Dalam pengumpulan bahan hukum dengan menggunakan sistem kartu, sudah tentu dilakukan kegiatan membaca secara kritis analitis dan membuat catatan-catatan yang diperlukan. Untuk pencatatan tersebut disediakan kartu yang disusun menurut alfabet sesuai dengan pokok masalah yang dicatat dan setiap kartu memuat : 1) Pokok masalah;
2) Informasi atau pendapat yang diperlukan; dan 3) Sumber yang tepat
30Winarno Xxxxxxxxx, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar-Dasar Metode & Teknik,
(Bandung : Tarsito, 1973), hlm. 257.
51
darimana catatan itu diambil.31 Kartu yang digunakan untuk pencatatan itu meliputi tiga bentuk yaitu : 1) kartu yang isinya kutipan; 2) kartu yang berisi ikhtisar; dan 3) kartu yang berisi ulasan.
Pencatatan baik berupa kutipan, ikhtisar, dan ulasan tersebut merupakan salah satu bahan kajian yang dapat digunakan sebagai pangkal tolak berpikir untuk membangun konsep-konsep dalam penelitian ini.
1.7.5. Analisis Bahan Hukum
Sumber yang didapatkan berupa bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan yang ada dalam penelitian ini, baik itu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tersier, dilakukan inventarisasi, identifikasi, dan klasifikasi, untuk menemukan hukum sesuai masalah yang di teliti.32 Selanjutnya dianalisis dengan kerangka berpikir yang diarahkan untuk sampai pada suatu diskripsi yang jelas atas permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Analisis hukum dilakukan dengan menggunakan interpretasi hukum yang sesuai dengan jenis penelitian hukum normatif.
Interprestasi adalah metode untuk menafsirkan terhadap teks perundang-undangan yang tidak jelas, agar perundang-undangan tersebut dapat diterapkan terhadap peristiwa konkrit tertentu. Ajaran interpretasi dalam penemuan hukum sudah lama dikenal yang disebut dengan hermeneutik yuridis.33
31 Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxx, Op.cit, hlm. 105-106.
32M. Xxxxxxxxx, Op.cit, hlm. 143-144.
33Ibid, hlm. 82.
52
Paradigma hermeneutika dalam ilmu hukum, oleh Xxxxx Xxxxxx disebut hermeneutika hukum, dimana esensi dari pengertian hermeneutika hukum adalah :34
Ajaran filsafat mengenai hal mengerti/memahami sesuatu, atau sebuah metode interpretasi (penapsiran) terhadap teks. Kata “sesuatu/teks” yang dimaksud disini, bisa berupa teks hukum, peristiwa hukum, fakta hukum, dokumen resmi negara, naskah-naskah kuno, ayat-ayat ahkam dalam kitab suci, ataupun berupa pendapat dan hasil ijtihad para ahli hukum (doktrin). Metode dan teknik menafsirkan dilakukan secara holistik dalam bingkai keterkaitan antara teks, konteks, dan kontektualisasi.
Menurut Xxxx Xxxxxx, bahwa Hermeneutika sebagai metode analisis memiliki perkembangan sebagai berikut :
”Xxxxxx Xxxxxxxxx and xxxxxxx have adapted the process of hermeneutics, which originally referred to the interpretation of religius texts, to the understandig of social life. As used in the social sciences, hemeneutics aim at understanding the process of understanding. Whereas the interpretativist seeks to discover haw the subject interprets his or her experience of life, the hermeneuticst is more intersted in the interpretivist’s process of discovery”.35 (Artinya hermeneutika menurut Xxxxxx Xxxxxxxx semula menunjuk penafsiran pada kitab-
kitab suci, menuju pemahaman pada kehidupan sosial. Dalam ilmu sosial, hermeneutika digunakan untuk mengarahkan pada proses pemahaman. Kemudian pada interpretasi untuk menemukan makna dalam pengalaman hidupnya, hermeneutika lebih tertarik dalam proses interpretasi untuk penemuan baru)”.
Dengan demikian metode penafsiran (interpretasi) hukum merupakan kegiatan menentukan isi aturan hukum, artinya menetapkan apa yang menjadi kaidah hukumnya dan merumuskan makna aturan hukum itu. Dalam pandangan ini tepat apa yang dikemukakan oleh Xxxxxx
34Xxxxx Xxxxxx, Hermeneutika Hukum Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Interprestasi Teks, (Yogyakarta : UII Press, 2005), hlm. 45
35Xxxx Xxxxxx, The Basics of Social Research, (Amerika : Wadsworth Publishing Company, 1999), P. 260
53
seperti yang dikutif Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxx, bahwa ilmu hukum adalah ilmu tentang makna-makna. Menentukan makna dari suatu gejala hukum berarti melakukan interpretasi terhadap gejala hukum tersebut, sehingga dengan demikian kegiatan tersebut berupa kegiatan memaparkan aturan hukum, kegiatan memaparkan aturan hukum ini akan sangat tergantung pada bagaimana cara seorang peneliti membangun konsepnya dan menyusun teori untuk menginterpretasikan gejala-gejala hukum. Bila hal ini terjadi maka seorang pengkaji ilmu hukum atau ilmuan hukum dalam upayanya merumuskan teorinya, harus memilih dari berbagai makna atau hukum yang mungkin terdapat dalam gejala-gejala hukum itu. Jadi pengembangan atau pengkajian ilmu hukum tidak hanya berupa kegiatan memaparkan bagaimana aturan hukum dapat diinterpretasi, melainkan juga menentukan pilihan diantara berbagai kemungkinan alternatif makna hukum yang terdapat dalam aturan hukum.36
Dalam ilmu hukum dan praktek peradilan dikenal beberapa macam metode interpretasi, yaitu : 1) interpretasi subsumptif; 2) interpretasi gramatikal; 3) intepretasi sistematis/logis; 4) interpretasi historis;
5) interpretasi teleologis/sosiologis; 6) interpretasi komparatif;
7) interpretasi antisipatif/futuristis; 8) interpretasi restriktif;
9) interpretasi otentik/secara resmi; 10) interpretasi interdisipliner;
11) interpretasi multidisiplimer; 12) interpretasi dalam perjanjian.37 Berkaitan dengan penelitian ini, maka metode interpretasi yang
relevan digunakan adalah : 1) interpretasi gramatikal, 2) interpretasi
otentik, 3) interpretasi teleologis/sosiologis, dan 4) interpretasi
36Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxx, Op.cit, hlm. 109.
37Xxxxxxx Xxxxxxxx, Op.cit, hlm. 83-83
54
sistematis/logis. Yang dimaksud dengan interprestasi gramatikal adalah dengan mengartikan suatu term hukum atau suatu bagian kalimat menurut bahasa sehari-hari atau bahasa hukum. Interpretasi otentik adalah menafsirkan produk dari pembuat peraturan perundang- undangan.38 Interprestasi tekologis/sosiologis yaitu menafsirkan sesuai dengan tujuan pembentuk undang-undang, sehingga tujuan lebih diperhatikan dari bunyi kata-katanya. Artinya maksud dan tujuan hukum disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakat luas.39 Dalam kaitan dengan penelitian ini sudah tentu disesuaikan dengan maksud dan tujuan dibentuknya UU No. 13 Tahun 2003. Sedangkan penafsiran distematis dimaksudkan menafsirkan peraturan perundang-undangan dengan menghubungkan dengan peraturan hukum (undang-undang lain) atau dengan keseluruhan sistem hukum. Hukum dilihat sebagai satu kesatuan atau sebagian sistem peraturan. Satu peraturan tidak dilihat sebagai peraturan yang berdiri sendiri, tetapi sebagai bagian dari satu sistem undang-undang yang merupakan bagian dari sistem perundang- undangan.40
1.8. Sistematika Penulisan
Disertasi ini terdiri dari tujuh (7) bab yaitu sebagai berikut :
BAB I Pendahuluan, berisi uraian tentang : Latar Belakang Masalah; Rumusan Masalah; Tujuan Penelitian; Manfaat Penelitian; Orisinalitas Penelitian; Desain Penelitian; Metode Penelitian
38Xxxxxxx X, Pernak-perxxx Xxxxxxx Dalam Nalar Hukum, (Denpasar : UPT Universitas Udayana, 2006), hlm. 13-14.
39Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxx, Op.cit, hlm. 96-97
40Xxxxxxx Xxxxxxxx, Op.cit, hlm. 85-88.
55
yang meliputi : Jenis Penelitian, Pendekatan Masalah, Bahan Hukum, Teknik Pengumpulan Bahan Hukum, Analisis Bahan Hukum serta uraian Sistematika Penulisan.
BAB II Kerangka Teoritik, menguraikan tentang berbagai teori yang menjadi pisau análisis dalam memecahkan masalah yang dibahas yaitu : Teori Keadilan; Teori Keadilan Sosial; Teori Kepastian Hukum; Teori Perlindungan Hukum; Teori Stufenbau (Teori Penjenjangan Norma); serta Teori Hak Asasi Manusia.
BAB III Makna Prinsip Keadilan, Kepastian Hukum, dan Hak Asasi Manusia Dalam Pembentukan Peraturan Hukum, yang menguraikan tentang : Pengertian, Prinsip Hukum dan Peraturan Hukum; Klasifikasi Makna Prinsip Hukum; Prinsip Keadilan, Kepastian Hukum, dan HAM sebagai Landasan Peraturan Hukum.
BAB IV Pengaturan Outsourcing Dalam Perundang-Undangan, yang
menguraikan tentang : Pengertian Outsourcing dan Pekerja Outsourcing; Tujuan dan Risiko Outsourcing; Tahapan dan Pembatasan Outsourcing; Jenis, dan Perizinan Perusahaan Outsourcing; Perjanjian dan Hubungan Kerja Dalam Outsourcing; serta Wujud Perlindungan Hukum Pekerja Outsourcing.
BAB V. Perlindungan Hukum Pekerja Outsourcing Ditinjau dari Prinsip Keadilan dan Kepastian Hukum, yang menguraikan tentang : Perlindungan Hukum Pekerja Outsourcing Ditinjau dari Prinsip Keadilan dan Perlindungan Hukum Pekerja Outsourcing Ditinjau Dari Prinsip Kepastian Hukum.
56
Dalam menguraikan perlindungan hukum pekerja outsourcing ditinjau dari segi prinsip keadilan, mencakup sub bahasan : prinsip keadilan dalam perjanjian dan hubungan kerja serta prinsip kesetaraan dalam pengaturan upah dan kesejahteraan. Sedangkan dalam menguraikan perlindungan hukum pekerja outsourcing ditinjau dari prinsip kepastian hukum, mencakup pokok bahasan : kepastian hukum dalam perlindungan preventif pekerja outsourcing, yang meliputi :
1) kepastian hukum status hubungan kerja, 2) kepastian hukum jenis pekerjaan pekerja outsourcing, dan 3) kepastian hukum bentuk badan hukum perusahaan outsourcing, Kepastian hukum dalam perlindungan represif pekerja outsourcing.
BAB VI Perlindungan Hukum Pekerja Outsourcing Ditinjau dari Prinsip HAM, yang menguraikan tentang : Aspek HAM Berkaitan dengan Perlindungan Hukum Pekerja dan Prinsip HAM Dalam Perlindungan Hukum Pekerja Outsourcing, yang meliputi : hak atas pekerjaan, perlakuan dan imbalan yang adil dan layak, hak atas jaminan sosial, dan hak serikat pekerja/serikat buruh dalam melakukan perundingan dengan pengusaha.
BAB VII Kesimpulan dan Rekomendasi, dalam bab ini diuraikan tentang beberapa kesimpulan yang diperoleh dari hasil pembahasan berkaitan dengan pokok masalah yang dibahas serta beberapa rekomendasi sebagai temuan dan sekaligus bahan masukan dalam rangka penyempurnaan peraturan perundang-undangan dibidang ketenagakerjaan yang berkaitan dengan outsourcing.
57
BAB II KERANGKA TEORITIK
Menganalisis pokok masalah yang menjadi kajian dalam penelitian dapat dilakukan dengan menggunakan teori. Teori pada hakekatnya adalah seperangkat konstruksi (konsep), batasan dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis, tentang fenomena dengan merinci hubungan antara variabel, dengan tujuan menjelaskan dan memprediksikan gejala itu.41 Teori juga berarti serangkaian asumsi, konsep, definisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.42 Oleh karena itu dalam bentuknya yang paling sederhana, suatu teori merupakan hubungan antara dua variabel atau lebih yang telah teruji kebenarannya.43 Pada penelitian ini menggunakan beberapa teori hukum yang terkait dengan pembahasan pokok masalah masing-masing.
2.1. Teori Keadilan
Pembahasan terhadap masalah pertama dalam penelitian ini, yaitu tentang perlindungan hukum pekerja outsourcing ditinjau dari prinsip keadilan akan dianalisis dengan menggunakan teori keadilan.
41Xxxxxxxxx dan Xxxxxx Xxxxxx, Pengantar Metode Penelitian Hukum,
(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 14.
42Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rineka Cipta, 2004), hlm. 19.
43Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, Cet.
2008), hlm. 126-127.
38
58
Keadilan menurut Xxxxxxxxxxx dalam Xxxx Xxxxx Xxxxxxx,00 dalam karyanya ”Nichomachean ethics”, artinya berbuat kebajikan, atau dengan kata lain, keadilan adalah kebajikan yang utama. Xxxxxxxxxxx menyatakan : 45
”Justice consists in treating equals equally and unequals unequally, in proportion to their inequality”.
Prinsip ini beranjak dari asumsi “untuk hal-hal yang sama diperlakukan secara sama, dan yang tidak sama juga diperlakukan tidak sama, secara proporsional”. Xxxxxxxxxxx membagi keadilan menjadi dua bentuk, Pertama keadilan distributif, adalah keadilan yang ditentukan oleh pembuat undang-undang, distribusinya memuat jasa, hak, dan kebaikan bagi anggota-anggota masyarakat menurut prinsip kesamaan proporsional. Kedua, keadilan korektif, yaitu keadilan yang menjamin, mengawasi dan memelihara distribusi ini melawan serangan-serangan illegal. Fungsi korektif keadilan pada prinsipnya diatur oleh hakim dan menstabilkan kembali status quo dengan cara mengembalikan milik korban yang bersangkutan atau dengan cara mengganti atas miliknya yang hilang.46
Xxxxxx,00 mengatakan bahwa orang dinilai ”baik” dilihat dari perilaku keadilannya. Menurutnya ada tiga kebajikan moral yaitu : keadilan, pengendalian diri, dan sopan santun.
44Agus Xxxxx Xxxxxxx, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, (Yogyakarta : Laksbang Mediatama, 2008), hlm. 36
45Ibid. Periksa juga O. Xxxxxxxxxxxxx, Masalah : Keadilan, (Semarang : Tirta Amerta, 1971), hlm. 7
46Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx, Filsafat Hukum, (Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 2006), hlm. 47-48
47 E. Xxxxxxxxx, Etika Profesi Hukum, (Selanjutnya disebut E. Xxxxxxxxx X), (Yogyakarta : Kanisius, 1995), hlm. 124
59
Sedangkan Xxxxxx Xxxxxxx,00 dalam hubungannya dengan keadilan mengajukan tiga struktur fundamental (hubungan dasar), yaitu :
a) hubungan antar individu (ordo partium ad partes); b) hubungan antar
masyarakat sebagai keseluruhan dengan individu (ordo tatius ad partes); dan c) hubungan antara individu terhadap masyarakat secara keseluruhan (ordo partium ad totum).
Xxxxxx Xxxxxxx,00 menyatakan keadilan distributif pada dasarnya merupakan penghormatan terhadap person manusia (acceptio personarum) dan keluhurannya (dignitas). Dalam kontek keadilan distributif, keadilan dan kepatutan (equitas) tidak tercapai semata-mata dengan penetapan nilai yang aktual, melainkan juga atas dasar kesamaan antara satu hal dengan hal yang lainnya (acqualitas rei ad rem). Ada dua bentuk kesamaan, yaitu : 1) kesamaan proporsional (acqualitas proportionis); dan b) kesamaan kuantitas atau jumlah (acqualitas quantitas).
Xxxxxx Xxxxxxx,50 juga menyatakan bahwa penghormatan terhadap person dapat terwujud apabila ada sesuatu yang dibagikan/diberikan kepada seseorang sebanding dengan yang seharusnya ia terima (praeter proportion dagnitis ipsius). Dengan dasar itu maka pengakuan terhadap
person harus diarahkan pada pengakuan terhadap kepatutan (equity),
kemudian pelayanan dan penghargaan didistribusikan secara proporsional atas dasar harkat dan martabat manusia.
48 Ibid, hlm. 125-126
49 E. Xxxxxxxxx, Etika Hukum Relevansi Teori Hukum Kodrat Xxxxxx Xxxxxxx, (Selanjutnya disebut E. Xxxxxxxxx XX), (Yogyakarta : Kanisius, 2002), hlm. 90-91
50 E. Xxxxxxxxx I, Loc.cit
60
Pembagian keadilan menurut pengarang modern, antara lain yang dilakukan oleh Xxxx Xxxxxxxxx dan Xxxxxx Xxxxxxxxx,51 yaitu : 1) keadilan distributif (distributive justice); mempunyai pengertian yang sama pada pola tradisional, dimana benefits and burdens harus dibagi secara adil,
2) keadilan retributif (retributive justice) berkaitan dengan terjadinya
kesalahan, dimana hukum atau denda dibebankan kepada orang yang bersalah haruslah bersifat adil, 3) keadilan kompensatoris (compensatory justice), menyangkut juga kesalahan yang dilakukan, tetapi menurut aspek lain, dimana orang mempunyai kewajiban moral untuk memberikan kompensasi atau ganti rugi kepada pihak lain yang dirugikan.
Dari beberapa pembedaan tentang keadilan tersebut di atas, keadilan distributif dipandang sebagai awal mula segala jenis teori keadilan. Dinamika keadilan yang berkembang di masyarakat dalam telaah para ahli pada umumnya berlandaskan pada teori keadilan distributif, meskipun dengan berbagai versi dan pandangannya masing- masing. Oleh karena itu menurut saya, melakukan telaah kritis mengenai perlindungan hukum pekerja outsourcing, khususnya hubungan hukum
pekerja outsourcing dengan perusahaan outsourcing (penerima
pekerjaan) dan juga dengan perusahaan pemberi pekerjaan, dapat dilihat dari keadilan distributif yang ditentukan dalam peraturan perundang- undangan di satu sisi, dan dari keadilan distributif dalam kontrak/perjanjian outsourcing dan atau perjanjian kerja outsourcing di sisi yang lain.
51 Xxxx Xxxxx Xxxxxxx, Op.cit, hlm. 38
61
Keadilan distributif dalam peraturan perundang-undangan artinya peraturan yang adil, yaitu peraturan pada mana terdapat keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang dilindungi, atau setiap orang memperoleh sebanyak mungkin yang menjadi bagiannya. 52 Sedangkan dalam perjanjain outsourcing tentu dilandasi pemikiran proporsional yang terkandung dalam keadilan distributif. Keadilan dalam berkontrak atau melakukan perjanjian lebih termanifestasi apabila pertukaran kepentingan para pihak terdistribusi sesuai dengan hak dan kewajibannya secara proporsional.
Dalam teori etika modern terdapat dua prinsip untuk keadilan distributif, yaitu prinsip formal dan prinsip material.53 Prinsip formal, yaitu untuk hal-hal yang sama diperlakukan secara sama, dan yang tidak sama juga diperlakukan tidak sama secara proporsional. Prinsip material, prinsip ini melengkapi prinsip formal. Hal yang sama dikemukakan oleh
X.X. xxx Xxxxxxxxx,00 J. Xxx Xxx dan J.H. Xxxxxxxx,55 bahwa keadilan itu memperlakukan sama terhadap hal yang sama dan memperlakukan yang tidak sama sebanding dengan ketidaklaksanaannya. Asas keadilan tidak menjadikan persamaan hakiki dalam pembagian kebutuhan-kebutuhan hidup. Hasrat akan persamaan dalam bentuk perlakuan harus membuka mata bagi ketidaksamaan dari kenyataan-kenyataan.
52 L.J. Van Apeldoorm, Pengantar Ilmu Hukum, Terjemahan Xxxxxxx Xxxxxx, (Jakarta : Xxxxxxx Xxxxxxxx, 2009), hlm. 11
53 Xxxx Xxxxx Xxxxxxx, Op.cit, hlm. 39
54 L.J. Xxx Xxxxxxxxx, Op.cit, hlm. 11-13
55 L.J. Xxx Xxx dan J.H. Xxxxxxxx, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1990), hlm. 171-172
62
Xxxxxxxxx dan Xxxxx,56 mengajukan enam prinsip agar keadilan distributif terwujud, yaitu yang diberikan :
a) kepada setiap orang bagian yang sama;
b) kepada setiap orang sesuai dengan kebutuhan individualnya;
c) kepada setiap orang sesuai dengan haknya;
d) kepada setiap orang sesuai dengan usaha individualnya;
e) kepada setiap orang sesuai dengan kontribusinya;
f) kepada setiap orang sesuai dengan jasanya (merit).
Sehubungan dengan prinsip/hakekat keadilan dalam kontrak/perjanjian, beberapa sarjana mengajukan pemikirannya tentang keadilan yang berbasis kontrak, antara lain Xxxx Xxxxx, Xxxxxxx, Xxxxxxxx Xxxx, serta Xxxx Xxxxx.57 Para pemikir tersebut menyadari bahwa tanpa kontrak serta hak dan kewajiban yang ditimbulkannya, maka masyarakat bisnis tidak akan berjalan. Oleh karena itu tanpa adanya kontrak/perjanjian, orang tidak akan bersedia terikat dan bergantung pada pernyataan pihak lain. Kontrak/perjanjian memberikan sebuah cara dalam menjamin bahwa masing-masing individual akan memenuhi janjinya, dan selanjutnya hal ini memungkinkan terjadinya transaksi diantara mereka.
Xxxx Xxxxx, Xxxxxxx, dan Xxxxxxxx Xxxx, meskipun teori keadilannya berbasis kontrak, namun oleh Xxxx Xxxxx dikritik karena
56 Ibid, hlm. 95
57 Xxxx Xxxxx Xxxxxxx, Op.cit, hlm. 40
63
cenderung bersifat utilitarianisme dan intuisionisme,58 teori keadilan Xxxxx merupakan teori yang dianggap fenomenal dan paling banyak diperdebatkan oleh para ahli. Teori keadilan Xxxxx bertitik tolak dari kritiknya atas kegagalan teori-teori keadilan yang berkembang sebelumnya. Kegagalan tersebut disebabkan oleh substansinya yang sangat dipengaruhi baik utilitarianisme maupun intiusionisme.59
Seperti halnya Xxxxxx Xxxxxxx,60 menyebutnya sebagai teori ”goal-
based theory”, menyatakan bahwa utilitarianisme gagal untuk menjamin keadilan sosial karena lebih mendahulukan asas manfaat daripada asas hak. Oleh karena itu utilitarianisme tidak tepat untuk dijadikan basis untuk membangun suatu konsep keadilan. Xxxx Xxxxx mengkritik utilitarianisme yang dipelopori Xxxxxx Xxxxxxx dan dikembangkan oleh Xxxx Xxxxxx Xxxx, sebagai pandangan moral yang sangat dominan dengan pahamnya yang mengajarkan bahwa benar salahnya peraturan atau tindakan manusia tergantung pada konsekuensi langsung dari peraturan atau tindakan tertentu yang dilakukan. Dengan demikian baik buruknya tindakan manusia secara moral sangat tergantung pada baik buruknya konsekuensi tindakan tersebut bagi manusia.61
Kelemahan pokok teori-teori kontrak yang berbasis utilitarianisme adalah :62
58 Xxxx Xxxxx, A Theory of Justice, (Massacussets : The Belknap Press of Xxxxxxx University Press of Combridge, 1971), Revised Edition, hlm. 10
59 Xxxxx Xxx Xxxx, Keadilan dan Xxxxxxxxx (Telaah Filsafat Politik Xxxx Xxxxx), (Yogyakarta : Kanisus, 1999), hlm. 21
60 Ibid.
61 Xxxx Xxxxx Xxxxxxx, Op.cit, hlm. 191
62 Ibid, hlm. 183 xxxxxxx juga Xxxxx Xxx Xxxx, Op.cit, hlm. 29
64
a) Keadilan sulit dijamin karena pengambilan keputusan lebih ditentukan oleh prinsip manfaat daripada prinsip hak;
b) Keadilan sebagai sebuah nilai juga tidak mendapat prioritas terhadap pertimbangan-pertimbangan ekonomis;
c) Keadilan seakan dapat dikompensasi melalui keuntungan-keuntungan ekonomis atau keuntungan-keuntungan sosial lainnya;
d) Pada taraf ini ketidak adilan akan mudah muncul dan bersamaan dengan itu penghargaan pada hak dan martabat manusia juga hilang dan diremehkan.
Selanjutnya Xxxx Xxxxx,00 menyatakan adalah tidak adil mengorbankan hak dari satu atau beberapa orang hanya demi keuntungan ekonomis yang lebih besar bagi masyarakat secara keseluruhan. Sikap ini justru bertentangan dengan keadilan sebagai fairness yang menuntut prinsip kebebasan yang sama sebagai basis yang melandasi pengaturan kesejahteraan sosial. Oleh karenanya pertimbangan ekonomis tidak boleh bertentangan dengan prinsip kebebasan dan hak yang sama bagi semua orang. Dengan kata lain, keputusan sosial yang mempunyai akibat bagi semua anggota masyarakat
harus dibuat atas dasar hak (right based weight) daripada atas dasar manfaat (good-based weight). Hanya dengan itu keadilan sebagai fairness dinikmati semua orang.
Xxxx Xxxxx, juga mengkritik intuisionisme karena tidak memberi tempat memadai pada asas rasionalitas. Intuisionisme dalam proses pengambilan keputusan (moral) lebih mengandalkan kemampuan intuisi
63 Xxxxx Xxx Xxxx, Op.cit, hlm. 18
65
manusia. Dengan demikian pandangan ini juga tidak memadai apabila dijadikan pegangan dalam mengambil keputusan, terutama pada waktu terjadinya konflik antara norma-norma moral.64
Dengan mengambil pelajaran dari kegagalan teori-teori keadilan sebelumnya, Xxxx Xxxxx mencoba menawarkan suatu bentuk penyelesaian yang terkait problematika keadilan dengan membangun teori keadilan berbasis kontrak.65 Menurutnya suatu teori keadilan yang memadai harus dibentuk dengan pendekatan kontrak, dimana asas-asas keadilan yang dipilih bersama benar-benar merupakan hasil kesepakatan bersama dari semua person yang bebas, rasional, dan sederajat. Hanya melalui pendekatan kontrak sebuah teori keadilan mampu menjamin pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan kewajiban secara adil bagi semua orang. Oleh karenanya dengan tegas Xxxx Xxxxx menyatakan, suatu konsep keadilan yang baik haruslah bersifat kontraktual, konsekuensinya setiap konsep keadilan yang tidak berbasis kontraktual harus dikesampingkan demi kepentingan keadilan itu sendiri. Dalam kaitan ini Xxxx Xxxxx menyebut justice as fairness yang ditandai adanya prinsip rasionalitas, kebebasan, dan kesamaan.66 Oleh karena itu diperlukan prinsip-prinsip keadilan yang lebih mengutamakan asas hak daripada asas manfaat. Xxxx Xxxxx, merumuskan dua prinsip keadilan distributif sebagai berikut :
1. The greatest equal principle, bahwa setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan
64 Ibid, hlm. 21-22
65 Ibid, hlm. 71
66 Ibid.
66
yang sama bagi semua orang. Ini merupakan hal yang paling mendasar (hak asasi) yang harus dimiliki semua orang. Dengan kata lain, hanya dengan adanya jaminan kebebasan yang sama bagi semua orang, maka keadilan akan terwujud.
2. Ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga perlu diperhatikan asas atau prinsip berikut :
a. The different principle; dan
b. The principle of fair equality of opportunity. Prinsip ini diharapkan memberikan keuntungan terbesar bagi orang-orang yang kurang beruntung, serta memberikan penegasan bahwa dengan kondisi dan kesempatan yang sama, semua posisi dan jabatan harus terbuka bagi semua orang.
Dengan penekanannya yang begitu kuat pada pentingnya memberi peluang yang sama bagi semua pihak, Xxxx Xxxxx berusaha agar keadilan tidak terjebak dalam ekstrem kapitalisme disatu pihak dan sosialisme di lain pihak. Xxxx Xxxxx mengatakan bahwa prinsip (1) yaitu the greatest
equal principle, harus lebih diprioritaskan dari prinsip (2) apabila
keduanya berkonflik. Sedangkan prinsip (2) bagian b, yaitu the principle of fair equality of opportunity harus lebih diprioritaskan dari bagian a, yaitu the different principle.67
Keadilan harus dipahami sebagai fairness, dalam arti bahwa tidak hanya mereka yang memiliki bakat dan kemampuan yang lebih baik saja yang berhak menikmati pelbagai manfaat sosial lebih banyak, tetapi keuntungan tersebut juga harus membuka peluang bagi mereka yang
67 Xxxx Xxxxx Xxxxxxx, Op.cit, hlm. 45-46
67
kurang beruntung untuk meningkatkan prospek hidupnya. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, pertanggungjawaban moralitas “kelebihan” dari mereka yang beruntung harus ditempatkan pada “bingkai kepentingan” kelompok mereka yang kurang beruntung. The different
principle tidak menuntut manfaat yang sama (equal benefits) bagi semua
orang, melainkan manfaat yang sifatnya timbal balik (reciprocal benefits), misalnya seorang pekerja yang terampil tentunya akan lebih dihargai dibandingkan dengan pekerja yang tidak terampil. Disini keadilan sebagai fairness sangat menekankan asas resiprositas, namun bukan berarti
sekedar “simple reciprocity, dimana distribusi kekayaan dilakukan tanpa
melihat perbedaan-perbedaan obyektif diantara anggota masyarakat. Oleh karenanya, agar terjamin suatu aturan main yang obyektif maka keadilan yang dapat diterima sebagai fairness adalah pure procedural justice, artinya keadilan sebagai fairness harus berproses sekaligus terefleksi melalui suatu prosedur yang adil untuk menjamin hasil yang
adil pula.68
Menarik untuk digarisbawahi bahwa konsep kesamaan menurut Xxxx Xxxxx harus dipahami sebagai “kesetaraan kedudukan dan hak”, bukan dalam arti “kesamaan hasil” yang dapat diperoleh semua orang. Kebebasan yang ada selalu dalam kebebasan yang “tersituasi” (dalam konteks “ini” dan “disini”), sehingga disadarkan dalam berbagai kondisi, keadaan-keadaan dan kualitas masing-masing. Tentunya pandangan ini semakin membuka mata mereka yang senantiasa menuntut hasil yang sama tanpa memandang proses (prosedur) dari awal hingga akhir. Bagi
68Xxxxxx X. Xxxxxxxxx, Etika Bisnis Konsep dan Kasus (Alih Bahasa Xxx Xxxxxxxxxxxx), (Yogyakarta : Andi, 2005), hlm. 109-110
68
Xxxx Xxxxx kesamaan hasil bukanlah alasan untuk membenarkan sebuah prosedur. Keadilan sebagai fairness atau sebagai pure procesural justice tidak menuntut setiap orang yang terlibat dan menempuh prosedur yang sama juga harus mendapat hasil yang sama. Sebaliknya, hasil prosedur yang fair itu harus diterima sebagai adil, juga apabila setiap orang tidak mendapat hasil yang sama. Dengan demikian konsep keadilan yang lahir dari suatu prosedur yang diterima oleh semua pihak juga harus diterima sebagai konsep yang pantas berlaku untuk umum.69 Oleh karena itu harus dipahami semua orang bahwa keadilan tidak selalu berarti semua orang harus selalu mendapatkan sesuatu dalam jumlah yang sama, tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan yang secara obyektif ada pada setiap individu.
Dari pemaparan beberapa teori keadilan tersebut di atas, maka jelaslah bahwa prinsip-prinsip keadilan dapat digunakan sebagai landasan atau menganalisis perlindungan hukum pekerja outsourcing. Teori keadilan yang relevan dalam hal ini adalah teori keadilan yang dikemukakan Xxxxxxxxxxx dan teori keadilan Xxxx Xxxxx.
Xxxxxxxxxxx yang membagi keadilan menjadi keadilan distributif dan keadilan korektif, bilamana dikaitkan dengan perlindungan hukum pekerja outsourcing, maka perlindungan hukum pekerja outsourcing yang preventif diakumudir dalam keadilan distributif. Oleh karena perlindungan hukum pekerja outsourcing yang preventif ini harus dituangkan sedemikian rupa sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dengan cara menuangkan ke dalam pengaturan perundang-undangan dan juga dapat
69Xxxxx Xxx Xxxx, Op.cit, hlm. 45
69
dituangkan dalam perjanjian. Dalam hal ini perjanjian outsourcing dan/atau perjanjian kerja outsourcing. Dalam rangka pengaturan perlindungan pekerja outsourcing inilah relevan juga teori keadilan distributif dari Xxxx Xxxxx, yang meliputi prinsip kebebasan dalam arti
persamaan hak, dan prinsip perbedaan yang proporsional dalam hubungan pekerja outsourcing dengan perusahaan outsourcing (penerima pekerjaan) dan perusahaan pemberi pekerjaan baik ketentuan hukum yang diatur di dalam perundang-undangan maupun yang termuat dalam perjanjian outsourcing dan/atau perjanjian kerja outsourcing.
Perlindungan hukum pekerja outsourcing secara represif sangat
relevan dengan teori/jenis keadilan korektif, yaitu bahwa keadilan bagi pekerja outsourcing juga dapat diakomodir dalam putusan-putusan pengadilan yang menyelesaikan perselisihan hubungan industrial antara pekerja outsourcing dengan perusahaan outsourcing (penerima pekerjaan) dan/atau perusahaan pemberi pekerjaan.
2.2. Teori Keadilan Sosial
Keadilan sosial merupakan dahannya dari ide keadilan yang menjadi batangnya. Unsur-unsur pokok yang terdaapt pada keadilan berlaku pula bagi keadilan sosial, demikian pula dasar filsafatnya atau kerangka pemikirannya. Dengan demikian terdapatlah juga bermacam- macam pemaparan dan penjelasan tentang keadilan sosial.70
Isi dan lingkupan keadilan sosial yang dikemukakan oleh aliran pemikiran neoliberalisme di Inggris, yaitu sosial justice pada prinsipnya
70 The Xxxxx Xxx, Teori-teori Keadilan, (Yogyakarta : Super Sukses, 1982), hlm. 43
70
menuntut persamaan kesempatan (equality of opportunity) dan suatu taraf hidup yang minimum (minimum standard of living). Sedangkan ajaran neoliberal dari kaum solidaritas di Perancis menyatakan bahwa untuk menjembatani jurang antara solidaritas manusia dan ketatalaksanaan yang nyata dalam kondisi-kondisi manusia perlu oleh negara diadakan perundang-undangan sosial, perlindungan terhadap wanita dan anak-anak, pajak penghasilan yang progresif dan tindakan- tindakan yang sejenis.
Xxxxxx Xxxxxx, dari kaum idialis, mengungkapkan, bahwa keadilan sosial adalah pengaturan yang tepat dari suatu masyarakat nasional yang bertujuan memupuk dan mendorong perkembangan segenap kepastian yang setinggi mungkin dari kepribadian dalam seluruh anggota masyarakat.
Xxxxxxx X. Bushnell, dalam The Liang Gie memerinci pokok-pokok
dari keadilan sosial (social justice) sebagai berikut : 71
”(1) For every child a normal birth, a healty enviroment, abundant, good and a liberal, appropriate education.
(2) For every mature person a scure job adapted to his abilities.
(3) For every person a income adequate to maintain him efficient in the position of his highest social service.
(4) For every person such influence with the authorities that his needs and ideas riceive due consideration by them”.
(1) Bagi setiap anak, suatu kelahiran yang normal, suatu lingkungan yang sehat, makanan baik yang berlimpah- limpah, dan suatu pendidikan sepantasnya yang liberal.
(2) Bagi setiap orang dewasa, suatu pekerjaan yang terjamin sesuai dengan kemampuannya.
71 Ibid, hlm. 44-45
71
(3) Bagi setiap orang, suatu penghasilan yang memadai untuk mempertahankannya agar tetap efisien dalam kedudukan dari pengabdiannya yang tertinggi kepada masyarakat.
(4) Bagi setiap orang, pengaruh pada para penguasa sedemikian hingga kebutuhan dan idenya memperoleh pertimbangan sebagaimana mestinya dari mereka.”
Isi dan lingkup keadilan sosial sebagai salah satu sila dari dasar Negara Republik Indonesia, menjadi kewenangan dari seluruh rakyat Indonesia melalui wakil-wakilnya untuk menetapkan dan menyempurnakannya menurut perkembangan zaman.
Xxxxxxxx Xxxxx dalam uraiannya mengenai sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menulis demikian : 72
“Keadilan sosial adalah langkah yang menentukan untuk melaksanakan Indonesia yang adil dan makmur.
Pemimpin-pemimpin Indonesia yang menyusun Undang- Undang Dasar 1945 mempunyai kepercayaan, bahwa cita-cita keadilan sosial dalam bidang ekonomi dapat mencapai kemakmuran yang merata.”
Selanjutnya diperinci langkah-langkah pelaksanaan untuk mencapai negara yang adil dan makmur itu seperti adanya ketentuan upah minimum, peyediaan rumah, pemeliharaan kesehatan, dan pengadaan celengan oleh pengusaha bagi para buruhnya, penyamarataan pendapatan masyarakat, pengembangan koperasi sesuai dengan tuntutan zaman modern, pelaksanaan ekonomi terpimpin sesuai dengan rencana pemerintah untuk mencapai kemakmuran yang sebesar mungkin bagi rakyat, pelaksanaan pengajaran, dan pemeliharaan fakir miskin/anak terlantar, dan pemberian jaminan sosial kepada penduduk.73
72 Xxxxxxxx Xxxxx, Lahirnya Pancasila, (Bung Karno Mengembang Dasar- dasar Negara), (Yogyakarta : Oesaha Penerbitan Goentoer, 1949), hal. 37-40
73 Xxxxxxxx Xxxxx, Pengertian Pancasila, (Pidato Lahirnya Pancasila, tanggal 1 Juni 1977 di Gedung Kebangkitan Nasional – Jakarta), (Jakarta : Idayu Press, 1977), hlm. 34-40
72
Keadilan sosial tidak saja menjadi dasar negara, tetapi sekaligus menjadi tujuan yang harus dilaksanakan.74 Dari uraian beliau tersebut pengertian keadilan sosial hampir dipersamakan dengan kemakmuran rakyat.
Panitia ad-xxx Xxxxxxx Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) 1966 memberikan perumusan jika keadilan sosial sebagai berikut :75
”Sila keadilan sosial mengandung prinsip bahwa setiap orang di Indonesia akan mendapat perlakuan yang adil dalam bidang hukum, politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan.”
Dalam perumusan ini keadilan sosial diartikan ”mendapat perlakuan yang adil”.
Dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (Nomor ; II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Xxx Xxxxxxxx Pancakarsa) ditentukan :
”Dengan Sila Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, manusia Indonesia menyadari hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia.”
Selanjutnya untuk mewujudkan keadilan sosial itu diperinci perbuatan dan sikap yang perlu dipupuk, yakni : 1) perbuatan luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotong royongan; 2) sikap adol terhadap sesama, menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban serta menghormati hak-hak orang lain; 3) sikap suka memberi pertolongan kepada orang yang memerlukan; 4) sikap suka bekerja keras; 5) sikap menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan bersama.
74 Ibid, hlm. 34
75 The Xxxxx Xxx, Op.cit, hlm. 4
73
Pengertian keadilan sosial dikaitkan dengan pemahaman kesatuan Sila-Sila Pancasila, maka Xxxxxxxxxx memberikan pengertian sila kelima : Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia adalah keadilan yang Berketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.76 Dalam kaitan pemahaman ini keadilan pada hakekatnya merupakan tujuan suatu keadilan dalam hidup bersama atau dengan perkataan lain keadilan sosial (sila kelima Pancasila) pada hakekatnya sebagai tujuan dari lembaga hidup bersama yang disebut negara.77 Memahami kesatuan sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat, maka pengertian keadilan dalam keadilan sosial (sila kelima) yaitu sifat-sifat dan keadaan negara yang sesuai dengan hakekat adil.78
Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxxx, dalam menguraikan asas-asas atau prinsip-prinsip yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Mukadimahnya yang seharusnya dijadikan pedoman dalam melakukan pembaharuan hukum nasional, menyebutkan :79
”Asas Keadilan Sosial mengamanatkan bahwa semua warga negara mempunyai hak yang sama dan bahwa semua orang sama dihadapan hukum.”
76 Notonegoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer, (Jakarta : Pantjuran Tujuh, 1975), hlm. 43-44
77 Xxx Xxxxx Xxxx Kumara Xxx Xxxxxxx, Penjabaran Nilai-nilai Pancasila Dalam Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan, (Selanjutnya disebut Xxx Xxxxx Xxxx Kumara Xxx Xxxxxxx I), Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2010, hlm. 95
78 Ibid, hal. 99
79 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxxx, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan,
(Bandung : PT. Alumni, 2006), hlm. 188
74
Xxxx Xxxxxxx Xxxxxx,80 dalam rangka membahas keterkaitan asas kekeluargaan dengan persaingan usaha menyatakan, bahwa asas kekeluargaan merupakan pengamalan Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, yang meliputi tujuan meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional dikaitkan dengan pemerataan. Dalam asas tersebut terkandung pula pengakuan terhadap persamaan.
Mengenai persamaan, hal tersebut harus dipahami dalam pengertian baik sebagai suatu dalil mengenai keadilan maupun sebagai suatu hak.81 Dalam pengertian yang pertama keadilan dipandang merupakan sikap tidak memihak yang melahirkan gagasan mengenai persamaan, yaitu persamaan perlakuan dalam hukum. Mengenai pengertian yang kedua, dapat ditelusuri dari ketentuan yang tertuang dalam Pasal 27 ayat (2) UUDNRI 1945, bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal tersebut pada dasarnya mengakui pula kebebasan, namun kebebasan itu harus dipandang dalam pengertian yang dinamis.
Kebebasan sehubungan dengan asas kekeluargaan sebagai implementasi Sila Keadilan Sosial (Sila Kelima) merupakan suatu alat yang membuka jalan yang seluas-luasnya bagi pengembangan personalitas dan persamaan yang dimaksudkan dalam rangka memberi kesempatan yang sama kepada setiap orang untuk melakukan hal yang sama. Dalam kaitan dengan persaingan usaha kebebasan tersebut pada dasarnya memperluas
80 Xxxx Xxxxxxx Xxxxxx, Penganturan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Ringkasan Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Airlangga, (Surabaya, 1999), hlm. 9
81 W. Xxxxxxxxx, Legal Theory, (Londong : Xxxxxx & Sons Limited, 1960), hlm. 385
75
makna persamaan, sehingga pengertiannya mengarah pada persamaan kesempatan berusaha.82 Sejalan dengan alur pikir tersebut dapat dikatakan bahwa kebebasan dalam keadilan sosial dikaitkan dengan pekerja outsourcing, maka kebebasan tersebut juga pada dasarnya memperluas makna persamaan, sehingga pengertiannya mengarah pada persamaan kesempatan untuk mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Artinya kebebasan dan persamaan hak untuk mendapat pekerjaan termasuk sebagai pekerja outsourcing dan mendapat perlakuan dan imbalan yang adil dan layak bagi kemanusiaan sesuai pekerjaan yang dilakukan sebagai mana diatur dalam Pasal 27 ayat
(2) dan Pasal 28D ayat (2) UUDNRI 1945 merupakan pengejawantahan/ implementasi dari asas/prinsip keadilan sosial.
2.3. Teori Kepastian Hukum
Menganalisis secara kritis mengenai rumusan masalah kedua dalam penelitian ini, yaitu perlindungan hukum pekerja outsourcing ditinjau dari prinsip kepastian hukum, akan diketengahkan teori/konsep kepastian hukum sebagai landasan pijakan analisis.
Kepastian memiliki arti ”ketentuan, ketetapan” sedangkan jika kata kepastian itu digabungkan dengan kata hukum menjadi kepastian hukum, memiliki arti ”perangkat hukum suatu negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara”.83
Kepastian hukum secara historis muncul sejak ada gagasan pemisahan kekuasaan yang dinyatakan oleh Xxxxxxxxxxx, bahwa dengan
82 Xxxx Xxxxxxx Xxxxxx, Loc.cit
83 Xxxxx X. Xxxxxxxx xxx, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2008), hlm. 1028.
76
adanya pemisahan kekuasaan, maka tugas penciptaan undang-undang itu ditangan pembentuk undang-undang, sedangkan hakim (peradilan) hanya bertugas menyuarakan isi undang-undang saja.84 Pendapat Moentesquieu, yang ditulis dalam bukunya De iesprit des lois (The Spirit of Laws) pada tahun 1978, merupakan reaksi terhadap kesewenang-wenangan kaum monarki, dimana kepala kerajaan amat menentukan sistem hukum. Peradilan pada saat itu secara nyata menjadi pelayanan monarki.85
Pada tahun 1764, seorang pemikir hukum Italia, xxxxxx Xxxxxxxx, menulis buku berjudul De delliti e delle pene, yang menerapkan gagasan Xxxxxxxxxxx dalam bidang hukum pidana. Baginya, seorang dapat
dihukum jika tindakan itu telah diputuskan oleh legislatif sebelumnya, dan oleh sebab itu, eksekutif dapat menindak dan menghukum apabila terdapat seseorang yang melanggar apa yang telah diputuskan oleh pihak legislatif. Xxxxxannya ini kemudian dikenal sebagai asas nullum crimen
sine legi, yang pada tujuannya memberikan perlindungan hukum bagi
setiap warga negara terhadap kesewenangan negara.86
Kepastian hukum tidak selalu mempersoalkan hubungan hukum antara warga negara dan negara, atau tidak semata-mata berkaitan dengan negara, karena esensi dari kepastian hukum adalah masalah perlindungan dari tindakan kesewenang-wenangan. Aktor-aktor yang dapat melakukan kesewenang-wenangan, tidak terbatas pada negara saja
84 A.L.J. Xxx Xxxxxxxxx, Op.cit, hlm. 391-394
85 U. Utrecht dan Moh. Xxxxx X Xxxxxxx, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta : Iktiar Baru dan Sinar Harapan, 1989), hlm. 388
86 E. Xxxxxxxx X. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai, (Jakarta : PT Kompas Media Nusantara, 2007), hal. 93
77
tetapi juga oleh sekelompok pihak lain selain negara. Kepastian hukum merupakan nilai yang pada prinsipnya memberikan perlindungan hukum bagi setiap warga negara dari kekuasaan yang sewenang-wenang, sehingga hukum memberikan tanggungjawab pada negara untuk menjalankannya. Dalam hal ini nampak terlihat letak relasi antara persoalan kepastian hukum dengan negara.87
Menurut Xxxxxx Xxxxxxxx dalam Xxxx Xxxxxxxx,88 bahwa dalam
pengertian hukum dapat dibedakan tiga aspek yang tiga-tiganya diperlukan untuk mencapai pada pengertian hukum yang memadai. Aspek yang pertama adalah keadilan dalam arti yang sempit. Keadilan ini berarti kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan. Aspek yang kedua adalah tujuan keadilan atau finalitas. Aspek ini menentukan isi hukum, sebab isi hukum memang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Aspek yang ketiga ialah kepastian hukum atau legalitas. Aspek itu menjamin bahwa hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati.
Xxxxx Xxxxxxx Xxxxxxx,00 menyatakan :
“Bahwa kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamaan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan
87Ibid, hlm. 94-95
88 Xxxx Xxxxxxx, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 1982), hlm. 163
89 Xxxxx Xxxxxxx Xxxxxxx, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 158
78
oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang, melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan yang satu dengan putusan hakim yang lainnya untuk kasus serupa yang telah diputuskan.”
Kepastian hukum menurut Xxxxxxxx Xxxxxxxxxxx, merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam penegakan hukum. Dalam hal ini Xxxxxxxx Xxxxxxxxxxx mengartikan kepastian hukum merupakan :90
“Perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang- wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu”.
Sedangkan menurut Xxxxxxxxx dalam kaitannya dengan menguraikan unsur-unsur negara hukum dimana salah satu unsur negara hukum adalah adanya kepastian hukum. Dalam kaitannya ini dikatakan bahwa unsur-unsur turunan dari kepastian hukum yaitu :91
1. Asas legalitas;
2. Adanya undang-undang yang mengatur tindakan yang berwenang sedemikian rupa, sehingga warga dapat mengetahui apa yang diharapkan;
3. Undang-undang tidak boleh berlaku surut;
4. Pengendalian yang bebas dari pengaruh kekuasaan yang lain.
Xxxxxxx Xxxxxxx, mengungkapkan bahwa kepastian hukum itu mempunyai tiga arti, yaitu:92
“Pertama, pasti mengenai peraturan hukumnya yang mengatur masalah pemerintah tertentu yang abstrak. Kedua,
90Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta : Penerbit Liberty, 1999), hlm. 145
91 Dikutip dari Xxx Xxxxx Xxxxxx Xxx Xxxxxxx I, Op.cit, hal. 162
92 Xxxxxxx Xxxxxxx, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia,
(Bandung : Citra Xxxxxx Xxxxxx, 2001), hal. 53
79
pasti mengenai kedudukan hukum dari subjek dan objek hukumnya dalam pelaksanaan peraturan-peraturan hukum administrasi negara. Ketiga mencegah kemungkinan timbulnya perbuatan sewenang-wenang (eigenrechting) dari pihak manapun, juga tindakan dari pihak pemerintah.”
Dalam rangka menciptakan dan menjaga kepastian hukum, peran pemerintah dan pengadilan sangat penting. Pemerintah tidak boleh menerbitkan aturan pelaksanaan yang tidak diatur oleh undang-undang atau bertentangan dengan undang-undang. Apabila hal itu terjadi, pengadilan harus menyatakan bahwa peraturan demikian batal demi hukum, artinya dianggap tidak pernah ada sehingga akibat yang terjadi karena adanya peraturan itu harus dipulihkan seperti sedia kala. Akan tetapi, apabila pemerintah tetap tidak mau mencabut aturan yang telah dinyatakan batal itu, hal ini akan berubah menjadi masalah politik antara pemerintah dan pembentuk undang-undang. Yang lebih parah lagi apabila lembaga perwakilan rakyat sebagai pembentuk undang-undang tidak mempersoalkan keengganan pemerintah mencabut aturan yang dinyatakan batal oleh pengadilan tersebut. Sudah barang tentu hal semacam itu tidak memberikan kepastian hukum dan akibatnya hukum tidak mempunyai daya prediktibilitas.93
Berkenaan dengan kepastian hukum dijadikan sebagai pisau analisis dalam mengkritisi perlindungan hukum pekerja outsourcing maka akan dikaji/ditelaah mengenai kepastian hukum perlindungan hukum pekerja outsourcing secara preventif dan kepastian hukum perlindungan hukum pekerja outsourcing secara represif. Secara preventif kepastian
93Xxxxx Xxxxxxx Xxxxxxx, Op.cit, hlm. 159-160
80
hukum perlindungan hukum pekerja outsourcing meliputi : 1) kepastian hukum pengaturan hak-hak pekerja outsourcing dalam perundang- undangan (legalitas dalam konsistensi pengaturan hak-hak pekerja outsourcing), 2) kepastian hukum mengenai kedudukan pekerja outsourcing sebagai subjek hukum dalam hubungan hukum dengan subjek hukum lainnya dalam hal ini dengan perusahaan outsourcing perusahaan penerima pekerjaan dan (perusahaan pemberi pekerjaan dalam outsourcing), dan 3) kepastian hukum berkaitan dengan mencegah timbulnya kesewenang-wenangan terhadap pekerja outsourcing dari pihak manapun termasuk dari pihak pemerintah.
Sedangkan secara represif, kepastian hukum perlindungan hukum pekerja outsourcing akan menganalisis atau mengkaji mengenai upaya hukum dalam penyelesaian perselisihan dan konsistensi putusan-putusan pengadilan di dalam menjamin hak-hak pekerja outsourcing bilamana terjadi perselisihan hubungan industrial dengan pihak perusahaan baik perusahaan pemberi pekerjaan maupun penerima pekerjaan dalam hubungan dengan outsourcing.
2.4. Teori Perlindungan Hukum
Terhadap permasalahan yang kedua, yaitu berkenaan dengan kepastian hukum pengaturan wujud perlindungan hukum bagi pekerja outsourcing yang diperkerjakan pada perusahaan pemberi pekerjaan, relevan kiranya menggunakan teori/konsep perlindungan hukum.
81
Secara etimologis, perlindungan diartikan sebagai tempat berlindung, perbuatan memperlindungi.94 Dalam beberapa peraturan perundang-undangan dapat ditemukan konsep perlindungan seperti :
Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Pelrindungan Anak disebutkan :
Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin hak-haknya agar dapat hidup tumbuh, berkembang dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan :
Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Selanjutnya pada Pasal 1 butir 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban ditentukan :
Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan undang- undang ini.
Dalam memaknai perlindungan hukum untuk pekerja anak, Xxxxx Xxxxxxx Xxxxxxx mengatakan :95
”Perlindungan hukum untuk pekerja anak dapat berwujud peletakan hak-hak pekerja anak dalam suatu hubungan kerja. Perlindungan hukum untuk pekerja anak dapat diberikan dalam berbagai cara yang sistematis, yang didalamnya selalu harus ada unsur edukasi dan advokasinya, terutama terhadap ketidakmampuan atau
94Xxxxx X. Xxxxxxx, dkk, Op.cit, hlm. 595.
95Xxxxx Xxxxxxx Xxxxxxx XX, Op.cit, (Malang : UM Press, 2008), hlm. 32
82
ketidak pahaman pekerja anak dalam mengemban hak dan kewajiban sebagai pekerja. Cara yang sistematis ini merupakan serangkaian program yang didalamnya terdapat unsur latihan, pendidikan, dan bimbingan”.
Berkaitan dengan perlindungan hukum bagi pekerja, Xxxxxxx Xxxxxxx berpendapat bahwa Negara Republik Indonesia berkewajiban melindungi segenap bangsa Indonesia.96 Frase “Segenap bangsa Indonesia” berarti mencakup pula pekerja dalam hal ini termasuk pekerja outsourcing. Selanjutnya dikatakan bahwa perlindungan hukum pekerja, baik dengan maupun tanpa bantuan organisasi pekerja, melalui peraturan-peraturan dan tindakan-tindakan yang bertujuan melindungi pihak yang lemah, menempatkan pekerja pada kedudukan yang layak sebagai manusia.97
Dalam menganalisis perlindungan hukum bagi rakyat di Xxxxxxxxx, Xxxxxxxx X. Xxxxxx mengatakan :
”Bahwa ada dua macam perlindungan hukum bagi rakyat, yaitu perlindungan hukum yang preventif dan perlindungan hukum yang represif”.98
Pendapat Philipus M. Xxxxxx tersebut memudahkan analisis mengenai perlindungan hukum. Didalam perlindungan hukum, dengan mengikuti konsep Xxxxxxxx X. Xxxxxx, minimal ada dua pihak, dimana perlindungan hukum di fokuskan pada salah satu pihak, dengan tindakan- tindakannya, berhadapan dengan rakyat yang dikenai tindakan-tindakan
96Suliati Rachmat, Op.cit, hlm. 10
97Ibid.
98Xxxxxxxx X. Xxxxxx, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia,
(Surabaya : Percetakan M2 Print, Xxxxx Xxxxxx, 2007), hlm. 2
83
pemerintah tersebut. Segala sarana, diantaranya peraturan perundang- undangan, yang memfasilitasi pengajuan keberatan-keberatan oleh rakyat sebelum keputusan pemerintah mendapat bentuk difinitif, merupakan perlindungan hukum yang preventif. Penanganan perlindungan hukum bagi rakyat oleh pengadilan merupakan perlindungan hukum yang represif. Berdasarkan pendapat Philipus M. Xxxxxx ini, pengertian perlindungan hukum dalam penelitian ini mencakup perlindungan hukum preventif maupun perlindungan hukum yang represif.99
Konsep perlindungan hukum yang diketengahkan oleh Xxxxxxxx X. Xxxxxx,100 sangat relevan digunakan dalam mengkaji perlindungan hukum pekerja outsourcing yaitu pihak pekerja/buruh yang dalam kedudukan lebih lemah dari pengusaha/perusahaan baik terhadap perusahaan outsourcing (perusahaan penerima pekerjaan) maupun dalam kaitan dengan perusahaan pemberi pekerjaan harus mendapat perlindungan hukum baik perlindungan hukum preventif maupun perlindungan hukum represif. Perlindungan hukum preventif dimaksudkan bahwa pekerja outsourcing dijamin kepastian dan perlindungan hukumnya terhadap hak- hak normatifnya seperti upah, kesejahteraan, syarat-syarat kerja, keselamatan dan kecelakaan kerja, jaminan sosial dan lain-lain sesuai dengan undang-undang ketenagakerjaan yang berlaku. Sedangkan perlindungan hukum yang represif, akan dikaji/ditelaah tentang beberapa perselisihan hubungan industrial kasus putusan pengadilan yang
99 Ibid, hlm. 2-4
100 Ibid
84
berkenaan dengan kepastian hukum status hubungan kerja outsourcing dengan PKWT menjadi PKWTT, atau PKWT dari tanggungjawab perusahaan outsourcing beralih ke perusahaan pemberi kerja.
2.5. Teori Stufenbau (Teori Penjenjangan Norma)
Dalam menganalisis permasalahan kedua, yaitu mengenai pengaturan bentuk hukum badan usaha perusahaan outsourcing (perusahaan penerima pekerjaan) agar dapat memberi kepastian dan perlindungan hukum bagi pekerja outsourcing, nampaknya relevan juga menggunakan dasar analisis teori kepastian hukum dan teori perlindungan hukum sebagaimana terurai di atas. Namun dalam kaitan dengan adanya konflik norma dalam rangka harmonisasi dan sinkronisasi pengaturan bentuk badan usaha perusahaan outsourcing seperti yang telah terjadi antara UU No. 13 Tahun 2003 dengan KUH.Perdata, dan Kep.220/Men/X/2004, kiranya sangat relevan menggunakan teori hukum Xxxx Xxxxxx, yaitu Stufenbau Theory.
Xxxx Xxxxxx memandang hukum itu normatif karena Grundnorm.
Jika hukum sudah menentukan pola perilaku tertentu, maka tiap orang seharusnya berperilaku sesuai yang ditentukan. Di sinilah letak sifat normatif dari hukum. Seluruh tata hukum positif yang telah ditentukan dalam hidup bersama harus berpedoman secara hierarkhis pada grundnorm. Dengan demikian Xxxxxx secara tidak langsung juga membuat teori tentang tertib hukum. Dengan menggunakan teori/konsep stufenbau (lapisan-lapisan aturan menurut eselon), ia mengkonstruksi pemikiran
85
tentang tertib yuridis. Dalam konstruksi ini ditentukan jenjang-jenjang perundang-undangan dari yang paling abstrak (grundnorm) sampai tingkatan yang paling konkrit. Jadi ada sistem perundang- undangan dengan struktur piramidal. Mulai dari yang paling abstrak, yakni grundnorm sampai yang konkrit seperti undang-undang, peraturan pemerintah, dan lain sebagainya. Jadi menurut Xxxxxx, cara mengenal suatu aturan yang legal dan tidak legal adalah mengeceknya melalui logika stufenbou itu, dan grundnorm menjadi batu uji utama. Dengan demikian Xxxx Xxxxxx dengan teori mengenai penjenjangan norma hukum (stufen theory) memperkenalkan hukum sebagai sistem atau hierarkhi norma-norma, dari norma yang paling rendah/konkrit hingga norma tertinggi/abstrak yang disebutnya norma dasar (grundnorm).
Xxxx Xxxxxxxx, salah satu murid Xxxx Xxxxxx mengembangkan
teori gurunya tentang hierarkhi perundang-undangan yaitu teori bangunan jenjang tata hukum (theory von stufenbau der rechtsordnung), dalam teori ini disebutkan norma tertinggi khusus bagi sub sistem norma hukum kenegaraan itu disebut staatsfundamentalnorm (norma fundamental negara).101 Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar suatu negara (staatsverfassung), termasuk norma penegaknya. Hakekat hukum suatu staatsfundamentalnorm ialah syarat bagi berlakunya konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Ia ada terlebih dahulu sebelum
101Zoelfirman, Kebebasan Berkontrak Versus Hak Asasi Manusia : Analisis Yuridis Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, (Medan : UISU Press, 2003), hlm. 29
86
adanya konstitusi atau Undang-Undang Dasar.102 Menurut Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx Suprapto, bahwa Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai suatu norma fundamental negara yang menurut istilah Notonagoro merupakan pokok kaidah Undang-Undang Dasar Negara Indonesia atau menurut Xxxx Xxxxxxxx adalah staatsfundamentalnorm103.
Norma fundamental negara yang merupakan dasar bagi
pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar suatu negara, termasuk norma pengubahnya. Sedangkan suatu aturan dasar pokok negara biasanya dapat dituangkan di dalam bentuk dokumen negara yang disebut staatsverfassung, atau dapat juga dituangkan dalam beberapa dokumen negara yang tersebar yang disebut dengan istilah staatsgrundgesetz. Dengan demikian, jelaslah bahwa aturan dasar pokok negara merupakan sumber dan dasar bagi terbentuknya suatu Undang- Undang (formellgesetz) yang merupakan peraturan perundang-undangan, yaitu peraturan yang berada di bawah aturan dasar pokok negara. Undang-Undang (formal), yaitu merupakan norma hukum yang lebih konkrit dan terperinci serta sudah dapat langsung berlaku di dalam masyarakat, sehingga suatu Undang-Undang sudah dapat mencantumkan norma-norma yang bersifat sanksi, baik itu sanksi pidana maupun perdata. Hal ini disebabkan karena norma hukum itu selalu dibentuk oleh lembaga legislatif.104 Kelompok norma yang terakhir ini adalah peraturan pelaksana dan peraturan otonom, yang merupakan peraturan yang
102Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx P, Ilmu Perundang-Undangan Proses dan Teknik Pembentukannya, (Yogyakarta : Kanisius, 2007) hlm. 236-237
103Ibid, hlm. 136
104Xxxxxxxxxx, Op.cit, hlm. 28-29
87
terletak dibawah norma Undang-Undang yang berfungsi menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang.105
Dengan mengacu pada teori Xxxx Xxxxxx dan Xxxx Xxxxxxxx sebagaimana telah diuraikan di atas berkenaan dengan bentuk badan usaha perusahaan outsourcing yang akan datang dapat ditetapkan baik pada tingkat/kategori Undang-Undang maupun peraturan pelaksana dan aturan otonom yang sinkron dan memberikan kepastian perlindungan hukum bagi pekerja outsourcing.
Berkenaan dengan konflik norma atau pertentangan norma
sebagaigama tersebut di atas, relevan juga menggunakan konsep penyelesaian konflik norma yang diungkapkan oleh Xxxxxxxx X. Xxxxxx, bahwa ada tipe penyelesaian konflik norma berkaitan dengan asas preferensi hukum (yang meliputi asas lex superior, asas lex specialis, dan
lex posterior) yaitu :106
”(1) Pengikaran (disavowal)
Langkah ini seringkali merupakan suatu paradok, dengan mempertahankan bahwa tidak ada konflik norma.
Seringkali konflik itu terjadi berkenaan dengan asas lex spesialis dalam konflik pragmatis atau dalam konflik logika diinterprestasi sebagai pragmatis. Suatu contoh yang lazim yaitu membedakan wilayah hukum seperti antara hukum privat dan hukum publik, dengan berargumentasi bahwa 2 bidang hukum tersebut diterapkan secara terpisah, meskipun dirasakan bahwa antara kedua ketentuan tersebut terdapat konflik norma.
(2) Reinterpretasi
Dalam kaitan penerapan 3 asas prefensi hukum harus dibedakan yang pertama adalah reinterpretasi, yaitu dengan mengikuti asas-asas preferensi, menginterpretasi
105Ibid, hlm. 28
106Xxxxxxxx X. Xxxxxx dan Xxxxxx Xxx Xxxxxxxxx, Argumentasi Hukum, (Yogyakarta
: Gajah Mada University Press, 2005), hlm. 31- 32
88
kembali norma yang utama dengan cara yang lebih fleksibel.
Cara yang kedua dengan menginterpretasi norma preferensi, dan kemudian menerapkan norma tersebut dengan menyampingkan norma yang lain.
(3) Pembatalan (invalidation)
Ada 2 macam yaitu : 1. Abstrak formal, 2. Praktikal Pembatalan abstrak dan formal dilaksanakan misalnya oleh suatu lembaga khusus, kalau di Indonesia pembatalan Peraturan Pemerintah ke bawah dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Pembatalan praktikal, yaitu tidak menerapkan norma tersebut didalam kasus konkrit.
Note : Di Indonesia, dalam praktek peradilan dikenal dengan menyampingkan. Contoh dalam kasus Tempo hakim menyampingkan Peraturan Menteri Penerangan oleh karena bertentangan dengan Undang-undang Pers.
(4) Pemulihan (remedy)
Mempertimbangkan pemulihan dapat membatalkan satu ketentuan. Misal : dalam hal satu norma yang unggul dalam arti Overruled norm, berkaitan dengan aspek ekonomi maka sebagai ganti membatalkan norma yang kalah, maka dengan cara memberikan kompensasi.”
Dalam kaitan penggunaan asas hukum preferensi hukum terhadap konflik norma di atas adalah dengan menggunakan asas lex post terior derogat legi preori dalam konflik norma UU No. 13 Tahun 2003 dengan KUH.Perdata, sehingga Undang-Undang yang berlaku belakangan mengenyampingkan undang-undang yang ada sebelumnya, yaitu UU No.
13 Tahun 2003 mengenyampingkan KUH.Perdata. Sedangkan mengenai ketidaksinkronan UU No. 13 Tahun 2003 dengan Kep.220/Men/X/2004, maka diberlakukan asas hukum lex superior derogate legi inperior, yaitu ketentuan hukum yang lebih tinggi mengenyampingkan ketentuan hukum yang lebih rendah. Dalam kaitan ini UU No. 13 Tahun 2003 mengenyampingkan Kep.220/Men/X/2004. Dengan demikian perusahaan penerima pekerjaan (perusahaan outsourcing) secara normatif harus berbadan hukum sesuai UU No. 13 Tahun 2003, walaupun KUH.Perdata dan Kep. 220/Men/X/2004 tidak mengharuskan berbadan hukum.
89
2.6. Teori Hak Asasi Manusia
Pengkajian perlindungan hukum pekerja outsourcing dari segi keadilan dan kepastian hukum, nampaknya perlu dilengkapi dengan kajian dari segi Hak Asasi Manusia. Karena seperti halnya keadilan dan kepastian hukum sebagaimana disebutkan di atas, negara harus juga memperlakukan pekerja outsourcing dengan memperhatikan hak-hak asasi manusia, agar perlindungan hukum yang diberikan kepada pekerja outsourcing ligitimitasnya tidak mencederai hak-hak dasar untuk hidup di suatu negara, sebab hak hidup tersebut diberi Tuhan sejak manusia dilahirkan. Berkaitan dengan hal ini perlu ditegaskan apa yang dinyatakan oleh Xxxxxxxx Xxxxxx,000 bahwa :
“Berhubung hak asasi manusia merupakan hak-hak dasar yang dibawa manusia semenjak lahir sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa, maka perlu dipahami bahwa hak asasi manusia tersebut tidak bersumber dari negara dan hukum, tetapi semata-mata bersumber dari Tuhan sebagai pencipta alam semesta beserta isinya, sehingga hak asasi manusia itu tidak bisa dikurangi (non derogable right), oleh karena itu yang diperlukan dari negara dan hukum adalah suatu pengakuan dan jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut”.
Tinjauan dari satu sisi bahwa hak asasi manusia yang bercirikan (prinsip utamanya) adalah kebebasan dasar untuk hidup dalam suatu negara harus dihormati bahkan negara menjamin hak-hak asasi tersebut, sedangkan disisi lain bahwa negara mempunyai wewenang untuk mengatur dan menerapkan perundang-undangan yang berkaitan dengan pekerja outsourcing, maka jaminan hak asasi manusia tersebut
000Xxxxxxxx Xxxxxx, Perkembangan HAM dan Keberadaan Peradilan HAM di Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 10
90
terakomodasi melalui adanya pembatasan atau pelarangan perlakuan diskriminasi, perlakuan tidak layak bagi kemanusiaan terhadap pekerja outsourcing dalam perundang-undangan ketenagakerjaan.
Teori universalisme merupakan teori klasik mengenai hak asasi
manusia yang bertumpu pada pemikiran teori hukum alam. Berdasarkan teori hukum alam, pemikiran yang berkaitan dengan hak asasi manusia meliputi :108
a) Xxx Xxxxx Manusia dimiliki secara alami oleh setiap orang berdasarkan pemikiran bahwa seseorang dilahirkan sebagai manusia yang memiliki kebebasan;
b) Hak Asasi Manusia bisa dilakukan secara universal kepada setiap orang tanpa memandang lokasi geografisnya;
c) Hak Asasi Manusia tidak membutuhkan tindakan atau program dari pihak lain, apakah mereka individu, kelompok atau pemerintah.
Xxxxxx Xxxxx Xxxxx dalam Xxxxx Xx Xxxxxx menyebutkan ada empat teori HAM yaitu :109
“Pertama, hak-hak alamiah (natural rights), berpandangan
bahwa HAM adalah hak yang dimiliki oleh seluruh manusia pada segala waktu dan tempat berdasarkan takdirnya sebagai manusia (human right are rights that belong to all human being at all times and in all places by virtue of being born as human beings).
Kedua, teori positivis (positivist theory), yang berpandangan bahwa karena hak harus tertuang dalam hukum yang riil,
108Harifin A. Tumpa, Peluang dan Tantangan Eksistensi Pengadilan HAM di Indonesia, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 45-46
109Majda Xx Xxxxxx, Dimensi-dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, Budaya, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 7-8
91
maka dipandang sebagai hak melalui adanya jaminan konstitusi (right, then should be created and granted by constitution, laws and contracts). Pandangan secara nyata berasal dari ungkapan Xxxxxxx yang mengatakan, rights is a child of law, from real laws come real rights, but from imaginary law, laws of nature, come imaginary rights. Natural rights is simple nonsense, natura; and imprecible rights rethorical nonsense, nonsensupon still.
Ketiga, teori relativis kultural (cultural relativist theory). Teori ini adalah salah satu bentuk antitiesis dari teori hak- hak alami (natural rights). Teori ini berpandangan bahwa mengganggap hak itu bersifat universal merupakan pelanggaran satu dimensi kultural terhadap dimensi kultural yang lain atau disebut dengan imperialisme kultural (cultural imperialism). Yang ditekankan dalam teori ini adalah bahwa manusia merupakan interaksi sosial dan kultural serta perbedaan tradisi budaya dan peradaban berisikan perbedaan cara pandang kemanusiaan (different ways of being human). Oleh karena itu penganut teori ini menyatakan, that rights belonging so all human being at all times ini all places would be the rights of desocialized and deculturized beings.
Keempat, doktrin Xxxxxx (Marxist doctrine and human rights). Doktrin Xxxxxx menolak teori hak-hak alami karena negara atau konlekstivitas adalah sumber galian seluruh hak (responsitiory of all rights). Hak-hak mendapat pengakuan sebagai hak individual, apabila telah mendapat pengakuan dari negara dan kolektivitas. Dengan kata lain, all rights derive from the state, and are not naturally prossessed by human beings by virtue of having been born.”
Hak-hak asasi manusia diakui sebagai bagian humanisasi hidup yang telah mulai tergantung sejak manusia menjadi sadar tentang tempatnya dan tugasnya di dunia ini. Oleh karena hak asasi dianggap sebagai fundamental yang di atasnya, seluruh organisasi hidup bersama harus dibangun. Hak-hak asasi dibagi dalam dua jenis yaitu :110
”1) Hak asasi individual, yaitu hak untuk hidup dan perkembangan hidup seperti hak kebebasan batin, hak atas nama baik, hak atas kebebasan agama dan sebagainya. Hak-hak dasar ini disusun terutama demi
110Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx, Op.cit, hlm. 112
92
perlindungan pribadi manusia terhadap kekuasaan negara.
2) Hak asasi sebagai mahluk sosial yang dibagi dalam hak- hak ekonomis sosial, dan kultural.”
Universal Declaration of Human Right (1998) tidak menciptakan hak-hak asasi, tetapi hanya memaklumkannya, meliputi : 111
a) Manusia mempunyai hak-hak kebebasan politik, dimana tiap pribadi harus dilindungi terhadap penyelewengan dari pihak pemerintah.
b) Manusia mempunyai hak-hak kebebasan sosial, yaitu hak untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, perawatan, kesehatan dan pendidikan.
Dari prinsip-prinsip, jenis-jenis atau teori hak asasi manusia seperti terurai di atas, kalau dikaitkan dengan atau digunakan untuk menganalisis perlindungan hukum pekerja outsourcing, maka nampaknya bahwa kesempatan kerja atau hak untuk bekerja dalam hal ini pekerja outsourcing merupakan salah satu hak asasi manusia yaitu hak-hak kebebasan sosial (hak asasi sebagai makhluk sosial) yakni hak untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, perawatan, kesehatan, dan pendidikan, yang sudah tentu berkaitan sangat erat dengan hak-hak pekerja dalam hal ini pekerja outsourcing.
Dalam hal perlindungan hukum pekerja outsourcing ditinjau dari
prinsip hak asasi manusia, teori hak asasi manusia yang relevan digunakan sebagai dasar analisis adalah teori hak-hak alami (natural rights theory) dan teori positivist (positivist theory). Berdasarkan teori hak-hak alami, bahwa hak atas pekerjaan dalam hal ini bagi pekerja
111Ibid.
93
outsourcing adalah hak yang dimiliki oleh seluruh manusia pada segala waktu dan tempat berdasar takdirnya sebagai manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun demikian hak atas pekerjaan atau hak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bagi pekerja outsourcing dikaitkan dengan teori positivis, harus tertuang dalam hukum yang riil, yaitu sebagai hak yang dijamin dalam konstitusi negara. Dengan demikian hak untuk hidup (sebagai pekerja outsourcing) dapat dimiliki oleh setiap manusia dan hak itu harus dituangkan mengaturannya di dalam konstitusi atau ketentuan hukum yang konkrit. Sehingga dengan prinsip hak-hak asasi manusia itu akan memberikan jaminan keadilan dan kepastian hukum bagi pekerja outsourcing.
94
BAB III
MAKNA PRINSIP KEADILAN, KEPASTIAN HUKUM, DAN HAK ASASI MANUSIA DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN HUKUM
3.1. Pengertian Prinsip Hukum dan Peraturan Hukum
Sebelum menguraikan makna prinsip keadilan, kepastian hukum, dan HAM dalam pembentukan norma hukum (peraturan hukum), terlebih dahulu akan diuraikan mengenai pengertian prinsip hukum dan norma hukum (peraturan hukum).
Menurut asal katanya, kata “prinsip” merupakan istilah dalam bahasa Inggris “principle”. Di dalam bahasa Indonesia kata “prinsip” bersinonim dengan kata “asas” dan kata “dasar”.112 Di dalam Black’s Law Distionary kata “principle” diartikan sebagai “a basic rule, law or doctarine”.113 Dalam bahasa sehari-hari, baik lisan maupun tulis, yang bersaing penggunaannya adalah kata “prinsip” dan kata “asas”. Kata
“asas” sendiri berasal dari bahasa Arab.114
Secara etimologi, asas berarti : 1) dasar; asas; fundamen;
2) sesuatu kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir (berpendapat, dan sebagainya), 3) cita-cita yang menjadi dasar (perkumpulan, dan sebagainya).115 Dengan demikian kata “prinsip’ atau “asas” berarti kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak
112 Xxxxx X. Xxxxxxx, dkk, Op.cit, hlm. 1102
113 Xxxxxx A. Xxxxxx, Editor in Chief, Xxxxx’x Low Dictionary, (Xxxxxx xxxxxxx, St. Xxxx, Xxxx, 1999), Op.cit, hlm. 1211
114 Xxxxx Xxxxxxx Xxxxxxx XXX, Op.cit, hlm. 36
115 Xxxxx X Xxxxxxx, dkk, Loc.cit
75
95
dan sebagainya. Berdasarkan pengertian ini dapat dipahami bahwa ada dua konsep yang hendak ditautkan dalam membicarakan prinsip atau asas, yaitu kebenaran disatu pihak dengan berpikir atau bertindak. Penentuannya terletak pada konsep “landasan”, yaitu bahwa setiap perbuatan berpikir atau bertindak selalu harus berlandaskan kebenaran. Kebenaran saja bukan merupakan prinsip atau asas. Agar kebenaran itu menjadi prinsip, ia harus dijadikan landasan berpikir atau bertindak atau landasan perbuatan lainnya.116 Di dalam disertasi ini kata “prinsip” dimaknai sebagai landasan pembentukan atau penjabaran sesuatu.
Istilah prinsip hukum dipadankan atau dikenal juga dengan istilah asas hukum, karena kata “prinsip” bersinonim dengan kata “asas”. Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx juga memadankan istilah prinsip hukum dengan asas hukum.117 Kata “prinsip” atau kata “asas” diartikan sebagai kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir atau bertindak. Selanjutnya The Liang Gie berpendapat bahwa :118
“Asas adalah suatu dalil umum yang dinyatakan dalam istilah umum tanpa menyarankan cara-cara khusus mengenai pelaksanaannya, yang diterapkan pada serangkaian perbuatan untuk menjadi petunjuk yang cepat bagi perbuatan itu”.
Sedangkan kata atau istilah “hukum” hingga kini masih merupakan bahan perdebatan di kalangan para ahli hukum. Walaupun belum ditemukan definisi yang memuaskan segala pihak, namun sebagai bahan
116 Xxxxx Xxxxxxx Xxxxxxx XX, Op.cit., hlm. 21
117 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx, Op.cit, hlm. 32
118 The Xxxxx Xxx, Op.cit, hlm. 9
96
acuan perlu diberikan rumusan atau definisi sebagaimana yang diungkapkan oleh Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx,119 bahwa :
“Hukum adalah rangkaian kaidah, peraturan-peraturan, tata aturan, baik yang tertulis, maupun yang tidak tertulis yang menentukan atau mengatur hubungan-hubungan dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi”.
Selanjutnya Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx mengemukakan, hukum sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang mempunyai isi yang bersifat umum dan normatif, umum karena berlaku bagi setiap orang dan normatif karena menentukan apa yang seyogyanya dilakukan, apa yang tidak boleh dilakukan atau harus dilakukan serta menentukan bagaimana caranya melaksanakan kepatuhan pada kaedah-kaedah hukum yang berlaku.120
Menurut Xxxxxxxx dalam Xxx Xxxx Xxxxxx dan X. Xxxxxxxx Xxxxxx :121
“Bahwa setiap peraturan hukum pada hakekatnya dipengaruhi oleh dua unsur penting, yaitu : unsur riil, karena sifatnya yang konkrit, bersumber dari lingkungan dimana manusia itu hidup, seperti tradisi atau sifat-sifat yang dibawa manusia sejak lahir dengan perbedaan jenisnya, unsur idiil, karena sifatnya yang abstrak, bersumber pada diri manusia itu sendiri yang berupa “akal/pikiran” atau “perasaan”.
Bangunan hukum yang bersumber pada perasaan manusia disebut “asas-asas hukum” (beginselen), sedangkan yang bersumber dari akal/pikiran manusia disebut “pengertian-pengertian” (begrippen). Karena
119 Ibid, hlm. 38
120 Ibid, hlm. 39
121 Xxx Xxxx Xxxxxx dan X. Xxxxxxxx Xxxxxx, Asas-asas Hukum Tata Negara, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1983), hlm. 12
97
bersumber pada perasaan, maka asas-asas hukum mempunyai sifat yang selalu berkembang dalam arti berbeda-beda antara satu lingkungan pergaulan manusia dengan lingkungan pergaulan manusia lainnya, tergantung pada masing-masing pandangan hidup yang dianutnya, yaitu nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan.122
Setelah dibahas mengenai prinsip atau asas dan hukum itu sendiri, maka selanjutnya akan diuraikan pengertian prinsip hukum atau asas hukum dari beberapa ahli hukum. Diantara para ahli hukum yang memberikan pendapatnya tentang prinsip hukum atau asas hukum, yang dikutif oleh J.B. Daliyo, yaitu :123
1) Bellefroid, berpendapat bahwa asas hukum umum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum. Asas hukum merupakan pengendapan dari hukum positif;
2) P. Xxxxxxxx, berpendapat bahwa asas hukum adalah kecenderungan- kecenderungan yang disyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita pada hukum dan merupakan sifat-sifat umum dengan keterbatasannya sebagai pembawaan yang umum itu, tetapi harus ada;
3) Eikema Hommes, berpendapat bahwa asas hukum bukanlah norma- norma hukum konkrit tetapi ia adalah sebagai dasar-dasar pikiran
122 Xxx Xxxxx Xxxx Kumara Xxx Xxxxxxx, “Hubungan Antara Nilai, Asas Hukum dan Norma Hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundang- undangan”, (Selanjutnya disebut Xxx Xxxxx Xxxx Kumara Xxx Xxxxxxx II), Majalah Ilmu Hukum Kertha Wicaksana, Terakreditasi (Denpasar ; Fakultas Hukum Universitas Xxxxxxxxx, Xx. 1, Vol. 17, Januari 2011), hlm. 49
123 J.B. Daliyo, xx.xx, Pengantar Ilmu Hukum, Buku Panduan Mahasiswa, (Jakarta : PT. Gramedia, 1989), hlm. 88
98
umum, atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku. Asas hukum adalah dasar-dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif;
4) Xxxxxxxx Xxxxxxxx, berpendapat bahwa asas hukum adalah unsur yang penting dan pokok dari peraturan hukum. Asas hukum adalah jantungnya peraturan hukum, karena ia merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya peraturan hukum atau ia adalah sebagai rasio legisnya peraturan hukum. Pada akhirnya peraturan hukum itu harus dapat dikembalikan kepada asas-asas tersebut;
5) Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx, berpendapat bahwa asas hukum atau prinsip hukum bukanlah peraturan hukum yang konkret, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkret yang terdapat dalam dan dibelakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat ditemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut.
Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx juga berpendapat, bahwa asas hukum bukanlah kaedah hukum yang konkrit, melainkan merupakan latar belakang peraturan yang konkrit dan bersifat umum atau abstrak. Memang pada umumnya asas hukum tidak dituangkan dalam bentuk peraturan yang konkrit atau pasal-pasal. Akan tetapi tidak jarang asas hukum itu dituangkan dalam peraturan konkrit.124 Dengan kata lain asas hukum bukanlah norma dasar (walaupun norma hukum memuat asas
124 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx, Op.cit, hlm. 33
99
hukum), tetapi merupakan dasar norma yang selalu berkembang sesuai dengan tuntutan-tuntutan etis yang berlaku dalam masyarakat. Asas hukum atau dasar norma ini disamping ada yang bersifat umum, juga ada yang bersifat khusus (spesifik). Umumnya asas hukum itu tidak tertulis dan dapat berfungsi sebagai alat penguji terhadap kaedah hukum atau suatu keputusan, dan berfungsi dalam dinamisasi hukum, begitu juga dapat dijadikan dasar gugatan lewat jurisprudensi, doktrin serta hukum adat.125
Jika dicermati rumusan pengertian prinsip hukum atau asas hukum tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa pada hakekatnya yang dimaksud dengan prinsip hukum atau asas hukum adalah dasar-dasar umum yang terkandung dalam peraturan hukum atau dijadikan landasan peraturan hukum, dan dasar-dasar umum tersebut merupakan sesuatu yang mengandung nilai-nilai etis.
Xxxx Xxxxxxxx yang dikutip A. Xxxxx X. Xxxxxxxx,126 mengemukakan bahwa sebuah asas hukum bukanlah sebuah aturan hukum (rechtsregel). Asas hukum berisi hal-hal yang bersifat umum sehingga ia tidak dapat berbicara terlalu banyak. Penerapan asas hukum secara langsung melalui jalan subsumsi atau pengelompokan sebagai aturan hukum tidaklah mungkin, karena untuk itu terlebih dahulu perlu dibentuk isi yang lebih konkrit. Dengan kata lain, asas hukum bukanlah
125 Xxx Xxxxx Xxxx Xxxxxx Xxx Xxxxxxx I, Op.cit, hlm. 149
126 A. Xxxxx X. Hattamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi, Universitas Indonesia, (Jakarta, 1990, hlm. 302)