PELAKSANAAN PERJANJIAN PEMBORONGAN PROYEK PENINGKATAN JALAN JEMASIH – SINDANGWANGI TAHAP III KECAMATAN BANTARKAWUNG KABUPATEN BREBES
ii
PELAKSANAAN PERJANJIAN PEMBORONGAN PROYEK PENINGKATAN JALAN JEMASIH – SINDANGWANGI TAHAP III KECAMATAN BANTARKAWUNG KABUPATEN BREBES
Telah diperiksa dan disetujui oleh dosen pembimbing untuk diajukan ke muka Tim penguji dalam ujian pendadaran tanggal,.................................
Jogjakarta, Desember 2007 Dosen Pembimbing .
( XXXXXXX XXXXXXX, SH. MH )
iv
PELAKSANAAN PERJANJIAN PEMBORONGAN PROYEK PENINGKATAN JALAN JEMASIH – SINDANGWANGI TAHAP III KECAMATAN BANTARKAWUNG KABUPATEN BREBES
Telah dipertahankan dihadapan Xxx Xxxxuji dalam ujian Pendadaran pada tanggal 28 Desember 2007 dan dinyatakan LULUS
Yogyakarta, 28 Desember 2007
Xxx Xxxxuji Tanda tangan
1. Ketua : Xxx Xxxxxxxx, SH, MH
2. Anggota : Xxxxxxx Xxxxxxx, SH. MH
3.Anggota : H. Xxxxx Xxxxxx Xxxxx, SH, Mag
Disahkan oleh : Universitas Islam Indonesia
Fakultas Hukum Dekan,
DR.H. M. Mustaqiiem, SH, Msi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan bangsa Indonesia dalam era globalisasi dilaksanakan secara terpadu dan terencana di segala sektor kehidupan. Pembangunan nasional yang dilaksanakan saat ini adalah pembangunan berkesinambungan secara bertahap guna meneruskan cita-cita bangsa Indonesia untuk mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam rangka mencapai tujuan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Pembangunan adalah usaha untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahtraan rakyat. Oleh karena itu, hasil-hasil pembangunan harus dapat dinikmati seluruh rakyat sebagai peningkatan kesejahteraan lahir dan batin secara adil dan merata. Sebaliknya, berhasilnya pembangunan tergantung partisipasi rakyat yang berarti pembangunan harus dilaksanakan secara merata oleh segenap lapisan masyarakat.1
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, maka pembangunan nasional dilakukan secara berencana, menyeluruh terpadu, terarah, bertahap dan berlanjut untuk memacu peningkatan kemampuan nasional dalam rangka mewujudkan kehidupan yang sejajar dan sederajat dengan bangsa lain yang lebih maju. Pembangunan nasional Indonesia dilakukan bersama oleh masyarakat dan pemerintah. Masyarakat adalah pelaku utama dalam pembangunan dan
1 F.X. Xxxxxxxxx, Perjanjian Pemborongan, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm 1
pemerintah berkewajiban untuk mengerahkan, membimbing serta menciptakan suasana yang menunjang.
Bentuk nyata dari pembangunan yang telah dilakukan oleh pemerintah seperti pembangunan infrastruktur berupa pembangunan gedung-gedung perkantoran maupun sekolahan, pembangunan jalan raya hingga pembangunan sektor pertanian berupa waduk dan saluran irigasinya.
Pelaksanaan dari pembangunan tersebut disamping dilaksanakan oleh pemerintah tetapi juga melibatkan masyarakat dalam hal ini pihak swasta atau pengusaha dan kontraktor atau pemborong. Hubungan kerjasama dalam melaksanakan pembangunan tersebut lazim dilakukan dalam bentuk pemborongan, karena dengan menggunakan sistem pemborongan ini dirasakan akan lebih efektif dan efisien untuk mempercepat dalam mengadakan bangunan yang diperlukan.
Kerjasama antara pemerintah dengan pihak kontraktor atau pemborong dalam pengadaan bangunan, diperlukan adanya perjanjian pemborongan dimana pihak pemerintah bertindak selaku pihak yang memborongkan, sedangkan pihak kontraktor atau pemborong sebagai pihak pelaksana pemborongan. Perjanjian pemborongan lazim dibuat dalam bentuk tertulis yang dituangkan dalam bentuk formulir-formulir tertentu khususnya untuk proyek pemerintah yang disebut dengan perjanjian standard yaitu pelaksanaan perjanjian yang mendasarkan pada berlakunya peraturan standard yang menyangkut segi yuridis dan segi tekhnisnya yang ditunjuk dalam rumusan kontrak. Jadi, pelaksanaan perjanjian pemborongan selain mengindahkan pada ketentuan-ketentuan dalam KUHPerdata juga pada
ketentuan-ketentuan dalam perjanjian standard (AV tahun 1941) yang menyangkut segi yuridis dan segi tehknisnya yang ditunjuk dalam rumusan kontrak. Xxxxxx Xxxxxxxx mengatakan bahwa dalam perjanjian pemborongan yang dilakukan dengan pemerintah, pemerintah dapat mengadakan perjanjian yang mempunyai sifat yang diwarnai oleh hukum publik. Perjanjian berorientasi pada kepentingan umum yang bersifat memaksa. Di dalam kontrak tersebut tidak ada kebebasan berkontrak dari masing-masing pihak.2 Karena syarat-syarat yang terdapat dalam perjanjian telah ditentukan oleh pemrintah berdasarkan syarat- syarat umum dari perjanjian pemborongan bangunan, karena hal tersebut menyangkut keuangan negara dalam jumlah besar dan untuk melindungi keselamatan umum.
Seperti telah dikatakan diatas bahwa dalam perjanjian pemborongan dalam tulisan ini salah satu pihak adalah pemerintah sebagai pihak yang memberikan pekerjaan atau pihak yang memborongkan sedangkan pihak lainnya adalah pemborong atau kontraktor dalam hal ini adalah pihak swasta. Pengertian perjanjian pemborongan pekerjaan terdapat dalam Pasal 1601b KUH Perdata yang berbunyi :
Perjanjian pemborongan kerja ialah suatu persetujuan bahwa pihak kesatu, yaitu pemborong, mengikatkan diri untuk menyelesaikan suatu pekerjaan bagi pihak lain, yaitu pemberi tugas, dengan harga yang telah ditentukan.
2 Meriam Budiarjo, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994, Hlm 66
Perjanjian pemborongan selain diatur dalam KUHPerdata, juga diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan barang / jasa pemerintah. Xxxx Xxxxxxx mengatakan bahwa pihak yang satu menghendaki hasil dari suatu pekerjaan yang disanggupi oleh pihak yang lainnya untuk diserahkan dalam jangka waktu yang telah ditentukan, dengan menerima suatu jumlah uang dari hasil pekerjaannya tersebut.3
Didalam perjanjian ini juga terdapat kemungkinan adanya wanprestasi karena kelalaian atau kegagalan pengusaha atau pemborong dalam melaksanakan kewajiban atau kontrak perjanjian pemborongan yang merupakan hambatan terhadap waktu penyelesaian dan timbulnya kerugian. Atau terjadinya overmacht atau force majeur yaitu seuatu keadaan memaksa diluar kekuasaan manusia, yang mengakibatkan salah satu pihak dalam perjanjian tersebut tidak dapat memenuhi prestasinya seperti adanya banjir dan tanah longsor. Dalam keadaan yang demikian permasalahan yang akan timbul adalah masalah resiko. Resiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi keadaan memaksa.
Kabupaten Brebes merupakan salah satu daerah yang rawan dengan adanya banjir dan tanah longsor. Sehingga banyak pekerjaan pembangunan terutama pembangunan jalan yang baru saja dibangun bahkan belum selesai pengkerjaannya hancur karena banjir dan tanah longsor. Seperti terlihat dalam kasus perjanjian pekerjaan peningkatan jalan Jemasih-Sindangwangi tahap III Kecamatan Bantarkawung antara Pemerintah Kabupaten Brebes dengan CV. Xxx Xxxxxxxxx. Dimana Pemerintah Kabupaten Brebes sebagai pihak pemberi kerja
3 Subekti, Aneka Perjanjian, Ctkn VII, Alumni, Bandung, 1985, Hlm 65
dan CV. Xxx Xxxxxxxxx sebagai pemborong. Dalam pelaksanaan perjanjian pekerjaan tersebut yang karena pengkerjaan dilakukan pada fase musim penghujan sehingga banyak terjadi tanah longsor dan pelaksanaan perjanjian tersebut menjadi terlambat dan terhambat.
Dari uraian diatas kami tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul ”Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan Proyek Peningkatan Jalan Jemasih- Sindangwangi tahap III Kecamatan Bantarkawung Kabupaten Brebes”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pelaksanaan perjanjian pekerjaan peningkatan jalan Jemasih-Sindangwangi tahap III Kecamatan Bantarkawung antara Pemerintah Kabupaten Brebes dengan CV. Xxx Xxxxxxxxx?
2. Bagaimanakah upaya yang dilakukan oleh para pihak dengan adanya keterlambatan didalam penyelesaian pekerjaan?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk
1. mengetahui pelaksanaan perjanjian pekerjaan peningkatan jalan Jemasih- Sindangwangi tahap III Kecamatan Bantarkawung antara Pemerintah Kabupaten Brebes dengan CV. Xxx Xxxxxxxxx.
2. mengetahui upaya yang dilakukan oleh para pihak dengan adanya keterlambatan didalam penyelesaian pekerjaan.
D.Tinjauan Pustaka
1. Perjanjian Pada Umumnya
Perikatan diatur dalam KUHPerdata buku III, pengertian perikatan adalah suatu hubungan hukum mengenai kekayaan harta benda antara dua pihak atau lebih, yang memberikan hak kepada satu pihak untuk menuntut prestasi dari yang lainnya, sedangkan pihak yang lainnya diwajibkan memenuhi tuntutan itu.4 Dan ada pula sarjana yang mengartikan perikatan seperti yang dimaksud dalam buku III KUHPerdata sebagai hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan, di mana di satu pihak ada hak dan di lain pihak ada kewajiban.5 Sedangkan menurut Xxxx. Xx. Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx, SH perikatan adalah hubungan yang terjadi diantara dua orang atau lebih, yang terletak dalam harta kekayaan, dengan pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak yang lain wajib memenuhi prestasi tersebut.6 Di dalam perikatan terdapat dua pihak, pertama pihak yang berhak atas prestasi dan kedua berkewajiban memberikan prestasi.
Perikatan sendiri dapat terjadi karena dua hal yaitu:
a. Perjanjian
b. Undang-undang.
4 Subekti, Hukum Perdata, Ctk XXIX, inter masa, Jakarta, 2001, hlm. 122-123.
5 J. Satrio, Hukum Perikatan, perikatan pada umumnya, Alumni, Bandung, 1993, hlm. 12.
6 Xxxxxx, Xxxx,, hlm. 3.
KUHPerdata buku III tentang perikatan terdapat di dalamnya bab kedua tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari perjanjian atau kontrak, Xxxx. Xxxxxxx membedakan perikatan dan perjanjian sebagai berikut :
Perikatan adalah suatu peristiwa abstrak, sedangkan suatu perjanjian adalah suatu peristiwa hukum yang kongkrit.7 Sedangkan menurut Pasal 1313 KUHPerdata perjanjian atau kontrak adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Menurut X. Setiawan rumusan tersebut selain tidak lengkap juga sangat luas. Tidak lengkap karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja. Sangat luas karena dengan dipergunakannya perkataan perbuatan tercakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum, sehubungan dengan itu perlu kiranya diadakan perbaikan mengenai definisi tersebut:
Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum, menambahkan perkataan atau saling mengikatkan dirinya dalam Pasal 1313 KUHPerdata, sehingga rumusannya menjadi : persetujuan adalah suatu perbuatan hukum di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.8
Perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.9 Sedangkan J. Satrio memberikan definisi perjanjian menimbulkan dan berisi ketentuan-ketentuan hak dan
7 Subekti, op.cit., hlm. 122.
8 R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1979, hlm. 49.
9 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1996, hlm. 103-104.
kewajiban antara dua pihak atau dengan perkataan lain, perjanjian berisi perikatan.10
Untuk adanya suatu perjanjian harus ada dua pihak yang saling berhadap- hadapan dan sama-sama melakukan tindakan hukum. Itulah sebabnya bahwa perjanjian merupakan tindakan hukum dua pihak. Tindakan hukum dua pihak tidak lain merupakan perjanjian.11 Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua pihak yang membuatnya. Suatu perjanjian dinamakan persetujuan karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu dapat dikatakan bahwa perjanjian dan persetujuan itu adalah sama. Dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, pengertian kontrak lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.
Dengan diadakannya perikatan atau kontrak atau perjanjian atau hubungan hukum antara dua pihak atau lebih yang menuntut adanya sebuah prestasi dari salah satu pihak. Prestasi memiliki arti luas yang tidak hanya berupa uang, tetapi apa saja yang tidak dilarang oleh hukum. Jadi, bisa berupa penyerahan barang yang tidak berupa uang, kewajiban melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu. Namun karena di dalam perikatan terdapat dalam lapangan hukum kekayaan, maka banyak sarjana yang mengartikan prestasi dalam bentuk yang dapat dinilai dengan uang, perikatan akan menimbulkan hak dan kewajiban dari
10 J. Satrio, Hukum Perjanjian, Citra Xxxxxx Xxxxx, Bandung, 1992, hlm. 3.
11 Ibid, hlm. 8-9.
sana mempunyai nilai uang atau paling tidak pada akhirnya dapat dijabarkan dalam sejumlah uang tertentu.12
Berdasarkan pengertian di atas dapat terjadi dalam suatu hubungan hukum perikatan pada suatu waktu, suatu pihak dapat menjadi pihak yang berhak. Namun di lain waktu, dapat menjadi pihak yang berkewajiban. Menurut Xxxxx Xxxxx Xxxxxxxx, perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.13 Di dalam perjanjian ada syarat-syarat sahnya suatu perjanjian seperti yang diatur di dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Ada empat syarat untuk sahnya suatu perjanjian yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Dua syarat yang pertama dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orang atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri oleh obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. Dalam hal ini harus dibedakan antara syarat subyektif dengan syarat obyektif. Dalam hal syarat obyektif, kalau syarat itu tidak terpenuhi, perjanjian itu batal demi hukum. Artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk
12 J. Xxxxxx, op.cit., hlm. 15.
13 Xxxxx Xxxxx Xxxxxxxx, Hukum Perikatan, hlm. 77.
melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Dengan demikian, maka tiada dasar untuk saling menuntut di depan hakim. Dalam bahasa Inggris dikatakan bahwa perjanjian yang demikian itu null and void.
Pada hal suatu syarat subyektif, jika syarat itu tidak terpenuhi, perjanjian bukan batal demi hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya (perizinannya) tidak bebas, jadi perjanjian yang telah dibuat itu mengikat juga, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang meminta pembatalan tadi. Dengan demikian, nasib sesuatu perjanjian seperti itu tidaklah pasti dan tergantung pada kesediaan suatu pihak untuk mentaatinya.14
2. Perjanjian Pekerjaan
Seperti yang telah dikemukakan diatas bahwa perjanjian pekerjaan atau perjanjian pemborongan diatur dalam Buku III KUH Perdata Pasal 1601b. Dengan adanya perjanjian pemborongan selalu ada pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian pemborongan, tetapi ada pihak-pihak lain yang secara tidak langsung terkait dengan adanya perjanjian pemborongan. Baik pihak yang terkait dalam perjanjian pemborongan dan pihak lain yang secara tidak langsung terkait dengan adanya perjanjian pemborongan disebut peserta dalam perjanjian pemborongan. Adapun peserta dalam perjanjiannya yaitu :
a. prinsipal (pimpinan proyek / pemberi tugas)
x. xxxxxxxxx (rekanan / kontraktor)
14 Subekti, Hukum Perjanjian, hlm. 17-20.
c. perencana (arsitek)
x. xxxxxxxx (direksi)15
Subekti membedakan perjanjian pemborongan dalam dua macam, yaitu pertama perjanjian pekerjaan dimana pihak pemborong diwajibkan memberikan bahannya untuk pekerjaan tersebut kedua perjanjian pekerjaan dimana si pemborong hanya akan melakukan pekerjaan saja.16
Satu dan lain memiliki konsekuensi yang berbeda dalam hal perjanjian pekerjaan dimana si pemborong hanya akan melakukan pekerjaan saja jika pekerjaan musnah sebelum pekerjaan itu diserahkan ia bertanggungjawab dan tidak dapat menuntut harga yang diperjanjiakan kecuali apabila musnahnya barang itu karena suatu cacat yang terdapat dalam bahan yang disediakan oleh pemberi tugas, yang bertanggung jawab adalah pemberi tugas.17 Dalam hal perjanjian pekerjaan dimana pihak pemborong diwajibkan memberikan bahannya untuk pekerjaan dengan cara bagaimanapun pekerjaan musnah sebelum diserahkan kepada pihak yang memberikan pekerjaan maka segala kerugian yang ditimbulkan atas tanggung jawab dari pihak penerima pekerjaan atau pemborong kecuali dapat dibuktikan bahwa pihak yang memberikan pekerjaan telah lalai menerima hasil pekerjaan itu.18
3. Wanprestasi
Perjanjian dibuat agar apa yang diperjanjikan tersebut dipenuhi prestasinya. Dalam perjanjian terdapat obyek perjanjian atau yang diperjanjiakan sesuai
15 Xxxxxxxx, Ibid…., hlm 7
16 Subekti, Aneka…., Ibid hlm 65
17 Ibid
18 Ibid
dengan ketentuan 1320 KUHPerdata. Obyek tersebut berupa prestasi yaitu barang atau sesuatu yang harus dituntut. Prestasi dari seorang debitur diharapkan akan dapat terpenuhi tetapi adakalanya prestasi itu tidak dapat terpenuhi. Maka dalam hal demikian debitur telah lalai atau melakukan wanprestasi.19
Wanprestasi atau yang kadang disebut dengan cidera janji adalah kebalikan dari pengertian prestasi, dalam bahasa inggris sering disebut dengan istilah default atau nonfulfillment atau breach of contract yang dimaksudkan adalah tidak dilaksanakannya suatu prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang telah disepakati bersama, seperti yang tersebut dalam kontrak bersangkutan.
Konsekwensi dari yuridis dari tindakan wanprestasi adalah timbulnya hak dari pihak yang dirugikan dalam kontrak tersebut untuk menuntut ganti kerugian dari pihak yang telah merugikannya, yaitu pihak yang telah melakukan wanprestasi.20 Para sarjana mendefinisikan ingkar janji ke dalam pengertian wanprestasi. Atau ingkar janji menjadi tiga bentuk, yaitu:21
1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali.
2. Terlambat memenuhi prestasi.
3. Memenuhi prestasi secara tidak baik, sedangkan prestasi itu sendiri merupakan objek perikatan berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu.
19 Ibid
20 Xxxxx Xxxxx, Pengantar Hukum Bisnis, Citra Xxxxxx Xxxxx, Bandung, 2002, hlm 17
21 ibid
E. Metode Penelitian
1. Objek Penelitian
Sebagai objek penelitian adalah perjanjian pekerjaan peningkatan jalan Jemasih-Sindangwangi tahap III Kecamatan Bantarkawung antara Pemerintah Kabupaten Brebes dengan CV. Xxx Xxxxxxxxx
2. Subjek Penelitian
Yang menjadi subjek penelitian dalam penelitian ini adalah :
a. Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Brebes
b. Direktur CV. Xxx Xxxxxxxxx
3. Sumber Data
a. Data Primer
Yaitu berupa keterangan atau informasi yang diperoleh langsung dari subjek penelitian.
b. Data Sekunder
Yaitu data yang diperoleh dari bahan-bahan tertulis, yang terdiri dari :
1) Bahan hukum primer, yaitu berupa peraturan perundang-undangan.
2) Bahan hukum sekunder, yaitu berupa buku-buku literatur, jurnal, artikel yang berkaitan dengan obyek penelitian.
3) Bahan hukum tersier, yaitu berupa kamus dan ensiklopedi.
4. Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara
Untuk pengumpulan data digunakan metode wawancara, yaitu mengumpulkan data dengan mengadakan tanya jawab langsung
dengan responden. Pedoman wawancara ini dipakai pada saat melakukan pengumpulan data berupa daftar pertanyaan yang masih bersifat terbuka dan hanya meliputi garis besar pertanyaan, sehingga terbuka kemungkinan untuk mengembangkan lebih lanjut.
b. Studi Kepustakaan
Yaitu dengan mempelajari buku-buku dan literatur yang berkaitan dengan materi yang diteliti.
5. Metode Pendekatan
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan secara yuridis normatif, yaitu data dan fakta yang diteliti, dikaji dan dikembangkan berdasarkan pada hukum.
6. Analisis Data
Data-data yang diperoleh baik dari studi kepustakaan maupun penelitian lapangan akan dianalisa dengan metode deskriptif kualitatif, yaitu dengan menguraikan data-data yang diperoleh dihubungkan dengan masalah yang diteliti, menganalisa dan menggambarkan kenyataan-kenyataan yang terjadi dalam objek penelitian sehingga akan diperoleh kesimpulan dan pemecahan dari permasalahan tersebut.
F. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, dan metode penelitian yang digunakan
BAB II TINJAUAN UMUM
Dalam bab ini akan diuraikan tentang pengertian-pengertian seputar perjanjian pada umumnya dan kemudian dilanjutkan dengan pembahasan mengenai perjanjian pekerjaan yang membahas pengertian perjanjian pekerjaan, sifat dan bentuknya, Isi perjanjian hingga masalah yangterkait dengan adanya keadaan memaksa.
BAB III PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
Dalam bab ini akan diuraikan tentang hasil dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti terkait dengan jawaban atas rumusan maslah yang ada yaitu pelaksanaan perjanjian pekerjaan peningkatan jalan Jemasih-Sindang wangi tahap III Kecamatan Bantarkawung antara Pemerintah Kabupaten Brebes dengan CV. Xxx Xxxxxxxxx dan Upaya hukum apakah yang dilakukan oleh pemberi kerja dengan adanya keterlambatan yang dilakukan oleh pemborong didalam penyelesaian pekerjaan
BAB IV PENUTUP
Dalam bab ini penulis akan menyimpulkan dari penelitian yang dilakukan kemudian akan memberikan saran.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, PERJANJIAN PEMBORONGAN DAN JASA KONSTRUKSI
A. Tinjauan Umum Perjanjian
1. Pengertian dan Pengaturan Perjanjian
Hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata yang berjudul tentang Perikatan pada umumnya. Hubungan perikatan dengan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan.22 Suatu perjanjian juga dinamakan suatu persetujuan karena dua pihak setuju untuk melaksanakan suatu hal atau sama- sama berjanji untuk melaksanakan suatu hal tertentu.
Istilah perjanjian merupakan istilah yang umum dalam dunia hukum. Mengenai pengertian perjanjian diatur dalam pasal 1313 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya pada satu orang atau lebih”. Pengertian perjanjian di atas selain tidak lengkap juga sangat luas. Tidak lengkap karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja sedangkan sangat luas karena dipergunakannya perkataan perbuatan tercakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum. Menurut X. Setiawan sehubungan dengan itu perlu diadakan perbaikan pengertian perjanjian, yaitu :
1. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum.
22 Subekti, Hukum Perjanjian, PT Intermasa, Jakarta, 1984, hlm 1
2. Menambah perkataan „atau saling mengikatkan dirinya‟ dalam Pasal 1313 KUHPerdata.
Sehingga perumusannya menjadi, Persetujuan adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.23
Beberapa sarjana juga mengemukakan keberatannya pada batasan perjanjian yang terdapat dalam KUHPerdata dengan mengatakan, rumusan dan batasan perjanjian dalam KUHPerdata kurang lengkap bahkan dikatakan terlalu luas. Adapun kelemahan dalam perumusan perjanjian dalam KUHPerdata adalah hanya menyangkut perjanjian sepihak saja, disini dapat diketahui dari rumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih” kata mengikatkan merupakan kata kerja yang sifatnya datang dari suatu pihak saja tidak dari kedua belah pihak. Adapun maksud dari perjanjian itu mengikatkan diri dari kedua belah pihak, sehingga nampak kekurangannya dimana setidak-tidaknya perlu ada rumusan “saling mengikatkan diri” jadi jelas nampak adanya consensus atau kesepakatan antara kedua belah pihak yang membuat perjanjian. Selain itu kata perbuatan mencakup juga perikatan tanpa consensus atau kesepakatan dalam pengertian perbuatan termasuk juga tindakan mengurus kepentingan orang lain dan perbuatan melawan hukum . Dalam rumusan pasal tersebut juga tidak disebutkan apa tujuan untuk mengadakan perjanjian sehingga pihak-pihak mengkaitkan dirinya itu tidaklah jelas maksudnya. Selanjutnya untuk adanya
23 R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perjanjian, Bandung, Binacipa, 1979, hlm 49
suatu perjanjian yang dilakukan cukup secara lisan saja. Untuk kedua bentuk tersebut sama kekuatannya untuk dapat dilaksanakan oleh para pihak.24
M Xxxxx Xxxxxxx berpendapat bahwa perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberikan kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.25
Menurut Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx kata overeenkomst diterjemahkan sebagai perjanjian, beliau tidak menggunakan istilah persetujuan sebagai Toesteming. Kata toesteming ini dapat diartikan persetujuan, persesuaian kehendak, atau kata sepakat. Pengertian perjanjian menurut beliau adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.26
Menurut Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx, perjanjian adalah sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, di mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu27
Perjanjian menurut system common law dipahami sebagai suatu perjumpaan nalar, yang lebih merupakan perjumpaan pendapat atau ketetapan maksud. Perjanjian adalah perjumpaan dari dua atau lebih nalar tentang suatu hal yang dilakukan atau yang akan dilakukan.28
24 Xxxxxx Xxxxxxxxx Xxxxxxx, “Penerapan Asas Iktikad Baik Pada Transaksi Bisnis Dalam E- Commerce), Tesis UGM, Yogyakarta, 2005, hlm 13
25 X. Xxxxx Xxxxxxx, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986. hlm. 9.
26 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx, Mengenal Hukum (suatu pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1987, hlm. 97.
27 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, Sumur Bandung, 1981, hlm. 11.
28 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxxxxx, Panduan untuk Merancang Xxxxxxx, Grasindo, Jakarta, 2001, hlm 6
Perjanjian erat sekali kaitannya dengan perikatan, sebab ketentuan Pasal 1233 KUHPerdata menyebutkan bahwa, perikatan dilahirkan baik dari Undang- undang maupun perjanjian. Perikatan yang lahir dari perxxxxxxx, memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari Undang-undang diadakan oleh Undang- undang di luar kemauan para pihak yang bersangkutan. Apabila dua orang mengadakan perjanjian, maka mereka bermaksud agar antara mereka berlaku suatu perikatan hukum. Berkaitan dengan ketentuan di atas Subekti berpendapat bahwa perjanjian itu merupakan sumber perikatan yang terpenting karena melihat perikatan sebagai suatu pengertian yang abstrak sedangkan perjanjian diartikan sebagai suatu hal yang kongkrit atau suatu peristiwa.29
Sedangkan menurut Xxxxxx, kontrak atau perjanjian memiliki tiga tujuan, yaitu, janji yang telah diberikan harus dilaksanakan dan memberikan perlindungan terhadap suatu harapan yang pantas, agar tidak terjadi suatu perubahan kekayaaan yang tidak halal, agar dihindarinya suatu kerugian.30
Perjanjian merupakan salah satu dari dua dasar hukum yang ada selain dari undang-undang yang dapat menimbulkan perikatan. Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang mengikat satu atau lebih subyek hukum dengan kewajiban-kewajiban yang berkaitan satu sama lain. Perikatan yang lahir karena undang-undang mencakup misalnya kewajiban seorang ayah untuk menafkahi anak yang dilahirkan oleh istrinya.31
29 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Intermasa, Jakarta, 1987, hlm. 3.
30 Atiyah, An Introdunction to Law of Contract, Oxford University Press Inc, New York, 1995
31 Xxxxxxxx Xxxxxxx, Cross Default dan Cross Collateral, Aditama,Bandung, 2004, hlm 10
Syarat sahnya suatau perjanjian secara umum diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Terdapat empat syarat yang harys dipenuhi untuk sahnya perjanjian. Syarat-syarat tersebut adalah :
a. Adanya kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian
b. Adanya kecakapan para pihak untuk mengadakan perjanjian
c. Adanya suatu hal tertentu
d. Adanya sebab (causa) yang halal.
Dari empat syarat tersebut, syarat pertama dan kedua merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh subyek suatu perjanjian karena disebut syarat subyektif sedangkan syarat ketiga dan keempat adalah syarat yang harus dipenuhi oleh obyek perjanjian yang disebut syarat obyektif. Tidak dipenuhinya syarat obyektif ini berakibat perjanjian tersebut batal demi hukum. Sedangkan tidak dipenuhinya syarat subyektif maka perjanjian dapat dibatalkan.
Jika syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KHUPerdata telah dipenuhi, maka berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata, perjanjian telah memiliki kekuatan hukum yang sama dengan undang-undang. Ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menegaskan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Berdasarkan ketentuan diatas, maka ketentuan-ketentuan dalam Buku III KUHPerata menganut system terbuka, artinya memberikan kebebasan kepada para pihak (dalam hal menentukan isi, bentuk, serta macam perjanjian) untuk mengadakan perjanjian akan tetapi isinya selain tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum, juga harus memuat syarat sahnya perjanjian.
Ketentuan yang terdapat dalam hukum perjanjian merupakan kaidah hukum yang mengatur artinya kaidah–kaidah hukum yang dalam kenyataanya dapat dikesampingkan oleh para pihak dengan membuat ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan khusus di dalam perjanjian yang mereka adakan sendiri. Kaidah- kaidah hukum semacam itu ada yang menamakan dengan istilah hukum pelengkap atau hukum penambah. Hal ini ditegaskan pula oleh Subekti bahwa pasal-pasal tersebut boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian.32
2. Asas-asas Perjanjian
Hukum perjanjian memuat sejumlah asas hukum. Pengertian asas hukum menurut beberapa pakar adalah :
Xxxx Xxxxxxxx menguraikan definisi mengenai asas hukum, sebagai pikiran- pikiran dasar, yang terdapat didalam dan dibelakan system hukum, masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim yang berkenaan dengannya ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang penjabarannya. Sedangkan menurut Xxxxxxxx Xxxxxxxx, asas hukum dapat diartikan sebagai suatu hal yang dianggap oleh masyarakat hukum yang bersangkutan sebagai basic truth atau kebenaran asasi, sebab malalui
32 Subekti, Op.cit., hlm 13
asas-asas hukum itulah pertimbangan etis dan social masyarakat masuk dalam hukum.33
Asas-asas hukum perjanjian merupakan asas-asas umum (principle) yang harus diindahkan oleh setiap pihak yang terlibat di dalamnya, asas-asas tersebut adalah:
a. Asas Konsensualisme
Dalam hukum perjanjian, asas konsensualisme berasal dari kata consensus yang berarti sepakat antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian. Menurut Subekti asas consensus itu dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan.34 Dengan kata lain perjanjian itu mempunyai akibat hukum sejak saat tercapainya kata sepakat dari para pihak yang bersangkutan.
Xxxx konsensualisme ini diatur dalam Pasal 1338 (1) jo. Pasal 1320 angka 1 KUHPerdata. Konsensus antara pihak dapat diketahui dari kata “dibuat secara sah”, sedangkan untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yang tercantum di dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang salah satunya menyebutkan “sepakat mereka yang mengikatkan dirinya” (Pasal 1320 angka 1 KUHPerdata)
Kata sepakat itu sendiri timbul apabila ada pernyataan kehendak dari satu pihak dan pihak lain menyatakan menerima atau menyetujuinya. Oleh karena itu unsur kehendak dan pernyataan merupakan unsur-unsur pokok di samping unsur lain yang menentukan lahirnya perjanjian.
Untuk menentukan kapan saat terjadinya kesepakatan dalam suatu perjanjian, maka muncul teori-teori sebagai berikut :
1. Teori Kehendak (wilstheorie)
33 Xxxxxxxx, Op.cit., hlm 11-13
34 Subekti, op.cit., hlm. 3.
Menurut teori ini yang menentukan apakah telah terjadi suatu perjanjian, adalah kehendak para pihak. Perjanjian mengikat, kalau kedua kehendak telah saling bertemu dan perxxxxxan mengikat atas dasar bahwa kehendak mereka (para pihak) patut dihormati.
2. Xxxxx Xxxxxxxxxxxxx
Menurut teori ini setiap orang yang turut serta dalam pergaulan hidup, harus menerima konsekuensi bahwa tindakan dan ucapannya mungkin ditafsirkan oleh pihak lain menurut arti yang dianggap patut oleh anggota masyarakat yang bersangkutan. Orang tidak boleh sembarangan mengucapkan sesuatu dan akibat salah ucap tidak patut untuk turut dipikul oleh orang lain, tetapi harus dipikul oleh salah ucap sendiri.
3. Teori Pernyataan
Menurut teori ini yang menjadikan patokan adalah apa yang dinyatakan seseorang. Xxxxx pernyataan dua orang sudah saling bertemu, maka perjanjian sudah terjadi dan karenanya mengikat para pihak.
4. Teori Kepercayaan
Menurut teori ini yang menjadi patokan ialah pernyataan seseorang, tetapi dengan pembatasan apakah pihak lain tahu atau seharusnya tahu bahwa orang dengan siapa ia berunding adalah keliru. Dengan perkataan lain bahwa yang menentukan bukan pernyataan orang, tetapi keyakinan atau kepercayaan yang ditimbulkan oleh pernyataan tersebut.35 Jika dilihat dari pengertian teori-teori tersebut maka dapat dimengerti bahwa perjanjian itu dapat terjadi hanya secara
35 J. Satrio, Hukum Perikatan (Perikatan yang lahir dari perxxxxxxx) buku I, Citra Xxxxxx Xxxxx, Bandung, 1995, hlm. 180.
lisan saja tanpa adanya formalitas tertentu, kecuali perjanjian yang oleh Undang- undang diharuskan dengan formalitas tertentu, dengan ancaman batal apabila formalitas yang telah ditentukan tidak dipenuhi. Bentuk dari formalitas adalah perjanjian itu harus dibuat secara tertulis atau dengan akta notaris dengan tujuan sebagai alat bukti adanya perjanjian tersebut.
b. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas ini berarti setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa saja walaupun perjanjian itu belum atau tidak diatur dalam Undang-undang. Asas ini menganut sistem terbuka yang memberikan kebebasan seluas-luasnya pada masyarakat untuk mengadakan perjanjian. Jadi para pihak diberikan kebebasan untuk menentukan sendiri isi dan bentuk perjanjian. Asas kebebasan berkontrak dapat diketahui dari ketentuan Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata dari kata “semua perjanjian” dapat disimpulkan bahwa, masyarakat diberi kebebasan untuk:
1. Mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian
2. Mengadakan perjanjian dengan siapa saja
3. Menentukan isi dan syarat-syarat perjanjian yang dibuatnya
4. Menentukan peraturan hukum mana yang berlaku bagi peraturan perjanjian yang dianutnya.
Asas kebebasan berkontrak ini dalam pelaksanaannya dibatasi oleh tiga hal seperti yang tercantum dalam Pasal 1337 KUHPerdata, yaitu perjanjian itu tidak dilarang oleh Undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
Selain dibatasi oleh Pasal 1337 KUHPerdata, asas kebebasan berkontrak juga dibatasi oleh:
1. Adanya standarisasi dalam perjanjian. Hal ini disebabkan adanya perkembangan ekonomi yang menghendaki segala secara cepat. Di sini biasanya salah satu pihak berkedudukan membuat perjanjian baku (standard), baik dalam bentuk dan isinya. Di dalam perjanjian standard itu terdapat pula klausula eksenorasi, yaitu yang mensyaratkan salah satu pihak harus melakukan atau tidak melakukan atau mengurangi atau mengalihkan kewajiban atau tanggung jawabnya. Apabila klausula eksenorasi yang dibuat oleh pihak lawan, maka pihak lain ini dianggap menyetujui klausula tersebut meskipun klausula tersebut menjadi beban baginya.
2. Tidak bertentangan dengan moral, adab kebiasaan dan ketertiban umum Menurut Sri Soedewi Xxxxxxxx Xxxxxx, pembatasan-pembatasan tersebut
adalah akibat dari adanya:
a.Perkembangan masyarakat, khususnya di bidang sosial ekonomi, yaitu misalnya adanya penggabungan-penggabungan atau sentralisasi-sentralisasi daripada perseroan atau perusahaan-perusahaan. Jadi dengan adanya pemusatan atau penggabungan atau sentralisasi ini, mengakibatkan kebebasan berkontrak perseroan dibatasi.
b. Adanya campur tangan pemerintah atau penguasa untuk melindungi kepentingan umum dan si ekonomi lemah dari cengkeraman pihak ekonomi kuat.
c.Adanya strooming atau aliran dari masyarakat yang menuju kearah “keadilan social” sehingga ada usaha-usaha untuk memberantas ketidakadilan yang terjadi dalam perjanjian-perjanjian yang tidak memenuhi rasa keadilan serta hak-hak asasi manusia.36
c. Xxxx Xxxxxx Xxxx (in good faith)
Asas itikad baik ini berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian, adapun asas itikad baik mempunyai dua pengertian yaitu:
1). Itikad baik dalam pengertian subyektif
Merupakan sikap batin seseorang pada saat dimulainya suatu hubungan hukum berupa perkiraan bahwa syarat-syarat yang telah diperlukan telah dipenuhi, di sini berarti adanya sikap jujur dan tidak bermaksud menyembunyikan sesuatu yang buruk yang dapat merugikan pihak lain.
2). Itikad baik dalam pengertian obyektif
Ini merupakan tindakan seseorang dalam melaksanakan perjanjian yaitu pada saat melaksanakan hak dan kewajiban dalam suatu hubungan hukum. Artinya bahwa pelaksanaan perjanjian harus berjalan di atas ketentuan yang benar, yaitu mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.
Asas itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menentukan bahwa persetujuan harus dilakukan dengan itikad baik.
Dari ketentuan di atas, hakim diberi wewenang untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian, jangan sampai pelaksanaan itu melanggar kepatutan dan
36 Xxx Xxxxxxx Xxxxxxxxx Xxxxxx dikutip dari Xxxxxxx Xxxxxxx dan Xxxxxx Xxx, Hukum Perjanjian Indonesia, Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1989, hlm. 53-54.
keadilan.37 Pelaksanaan yang sesuai dengan norma-norma kepatutan dan kesusilaan inilah yang dipandang adil dan hal ini dapat dikesampingkan oleh para pihak.
Menurut Xxxxx xxxxx, apabila ditinjau dari arti kata, kata itikad baik berarti kepantasan, kelayakan, kesusilaan, kecocokan sedangkan kesusilaan artinya kesopanan. Kesusilaan dan kepatutan adalah sebagai nilai yang patut, pantas, layak, sesuai, cocok, sopan, berada sebagaimana sama-sama dikehendaki oleh masing-masing yang berjanji.38 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa maksud dari pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik adalah bagi para pihak dalam perjanjian harus ada keharusan untuk tidak melakukan segala sesuatu yang bertentangan dengan norma kepatutan dan kesusilaan sehingga menimbulkan keadilan bagi kedua belah pihak dan tidak merugikan salah satu pihak. Adapun akibat dari pelanggaran asas itikad baik adalah perjanjian itu dapat dimintakan pembatalan.
d. Asas Kekuatan Mengikat (pacta sunt servanda)
Asas kekuatan mengikat atau asas pacta sunt servanda ini berkaitan dengan akibat dari perjanjian. Arti dari pacta sunt servanda adalah bahwa perjanjian yang dibuat secara sah mempunyai kekuatan mengikat dan berlaku sebagai Undang- undang bagi para pihak yang membuatnya, sehingga para pihak harus tunduk dan melaksanakan mengenai segala sesuatu yang telah diperjanjikan. Asas ini dapat diketahui dari Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa semua
37 Subekti, Aspek-aspek Hukum Perikatan Nasional, Alumni, Bandung, 1989, hlm. 41.
38 Xxxxx Xxxxx Xxxxxxxx, op.cit., hlm. 10
persetujuan yang dibuat secara sah, berlaku sebagai Undang-undang bagi yang membuatnya.
Asas ini menimbulkan kepastian hukum bagi para pihak yang telah memperjanjikan sesuatu memperoleh kepastian bahwa perjanjian itu dijamin pelaksanaannya. Hal ini sesuai dengan kekuatan Pasal 1338 KUHPerdata, yang intinya menyebutkan bahwa perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain diperbolehkan oleh Undang-undang. Asas ini dapat berlaku apabila kedudukan para pihak tidak seimbang. Tetapi jika kedudukan para pihak seimbang maka Undang-undang memberi perlindungan bahwa perjanjian itu dapat dibatalkan, baik atas perintah para pihak yang dirugikan, kecuali dapat dibuktikan pihak yang dirugikan menyadari sepenuhnya akibat-akibat yang timbul.
e. Asas Personalitas
Asas personalitas ini diartikan sebagai asas kepribadian, yang berarti bahwa pada umumnya tidak seorangpun dapat mengadakan perjanjian kecuali untuk dirinya sendiri. Suatu perjanjian hanya mengikat bagi pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu, dan tidak mengikat bagi orang lain yang tidak terlibat dalam perjanjian itu. Terhadap asas kepribadian ini ada pengecualiannya, yaitu apa yang disebut sebagai “derben beding” atau perjanjian untuk pihak ketiga.
Dalam hal ini seorang membuat suatu perjanjian, di mana dalam perjanjian itu ia memperjanjikan hak-hak bagi orang lain, tanpa kuasa dari orang yang
diperjanjikan itu.39 Asas personalitas diatur dalam Pasal 1317 KUHPerdata, menyebutkan tentang janji untuk pihak ketiga itu sebagai berikut: lagipun diperbolehkan untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada seorang lain memuat suatu janji yang seperti itu. Siapa yang telah memperjanjikan sesuatu seperti itu, tidak boleh menariknya kembali, jika pihak ketiga tersebut telah menyatakan hendak mempergunakannya.
f. Asas Sistem Terbukanya Hukum Perjanjian.
Asas ini mempunyai arti bahwa setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa saja, walaupun belum atau tidak diatur dalam Undang-undang, Asas ini sering juga disebut “asas kebebasan berkontrak”. Dalam perjanjian, asas ini memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.
Sistem terbuka, yang mengandung suatu asas kebebasan membuat perjanjian, dalam KUHPerdata diatur dalam Pasal 1338 ayat (1), yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Selanjutnya sistem terbuka dari hukum perjanjian, mengandung pengertian, bahwa perjanjian-perjanjian khusus
39 Xxxxxxx Xxxxxxx dan Xxxxxx Xxx, Hukum Perjanjian Indonesia, Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1989, hlm. 47.
yang diatur dalam Undang-undang hanyalah merupakan perjanjian yang paling terkenal saja dalam masyarakat pada waktu KUHPerdata dibentuk.40
3. Unsur-unsur Perjanjian
Suatu perjanjian memiliki unsur-unsur yang mendukung terjadinya suatu perjanjian tersebut. Dalam dataran teori, unsur-unsur itu dapat dikelompok menjadi tiga kelompok sebagai berikut:41
a. Unsur essensialia
b. Unsur naturalia
c. Unsur accidentalia Ad.a. Unsur essensialia
Unsur essensialia adalah unsur perjanjian yang harus ada di dalam perjanjian, unsur mutlak, di mana tanpa adanya unsur tersebut, perjanjian tidak mungkin ada. Contohnya adalah sebagai berikut:
1. “sebab yang halal” merupakan essensialia untuk adanya perjanjian.
Dalam perjanjian jual beli harga dan barang yang disepakati kedua belsh pihsk harus sama.
2. Pada perjanjian riil, syarat penyerahan objek perjanjian merupakan essensialia, sama seperti bentuk tertentu merupakan essensialia dari perjanjian formal.
Ad.b. Unsur naturalia
40 Subekti, op.cit., hlm. 13.
41 X.Xxxxxx, Hukum Perjanjian,Ctk. Pertama, PT Citra Xxxxxx Xxxxx, Bandung, 1992, Hlm.57-58
Unsur naturalia adalah unsur perjanjian yang oleh Undang-Undang diatur, tetapi yang oleh para pihak dapat disingkirkan atau diganti. Di sini unsur tersebut oleh Undang-Undang diatur dengan hukum yang mengatur/menambah (regelend/aanvullend recht).
Contoh, kewajiban penjual untuk menaggung biaya penyerahan (Pasal 1476 KUH Perdata) dan untuk menjamin atau vrijwaren (Pasal 1491 KUH Perdata) dapat disimpangi atas kesepakatan kedua belah pihak.
Dalam perjanjian para pihak dapat mencantumkan klausula yang isinya menyimpangi kewajiban penjual, misalnya pasal 1476 KUH Perdata dengan menetapkan: “menyimpang dari apa yang ditetapkan dalam pasal 1476 KUH Perdata, para pihak sepakat untuk menetapkan bahwa biaya pengiriman objek perjanjian ditanggung oleh pembeli sepenuhnya.”
Penyimpangan atas kewajiban penjual, misalnya Pasal 1491 KUH Perdata dapat diberikan dalam bentuk sebagai berikut: “para pihak dengan ini menyatakan, bahwa para pihak telah mengetahui dengan bentuk-bentuk, warna serta keadaan dari objek perjanjian dan karenanya para pihak sepakat untuk menetapkan, bahwa segala tuntutan atas dasar cacat tersembunyi tidak lagi dibenarkan”.
Ad.c. Unsur Accidentalia
Unsur accidentalia adalah unsur perjanjian yang ditambahkan oleh para pihak, Undang-Undang sendiri tidak mengatur mengenai hal tersebut.
Contohnya dalam perjanjian jual beli rumah, para pihak sepakat untuk menetapkan bahwa jual beli tersebut tiak meliputi pintu pagar besi yang ada di halaman depan rumah.
4. Pelaksaaan Perjanjian
Pengertian dari pelaksaaan perjanjian adalah suatu realisasi atau pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh para pihak demi mencapai tujuannya. Tujuan dari perjanjian itu tidak akan terwujud apabila tidak ada pelaksanaan daripada perjanjian itu.
Dalam hal ini menurut Xxxx. Xxxxxxx, SH, perjanjian itu adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang yang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.42
Dari peristiwa itu timbullah suatu hubungan antar pihak yang disebut dengan perikatan. Sementara perikatan itu sendiri adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau pihak yang satu berhak menuntut sesuatu kepada dua orang atau pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari yang lain dan pihak yang lain berkewajiban memenuhi tuntutan tersebut.
Berdasarkan ketentuan pasal 1234 KUH Perdata pelaksanaan prestasi dalam suatu perikatan dibedakan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu :
a. Prestasi yang berupa memberikan sesuatu
b. Prestasi yang berupa berbuat sesuatu
c. Prestasi yang berupa tidak berbut sesuatu.
42 Subekti, Op. Cit. Hlm. 1
Agar suatu perjanjian itu dapat terwujud maka dibutuhkan adanya pelaksanaan dari para pihak mengenai apa yang telah disepakati bersama mengenai isi dalam perjanjian.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan petunjuk mengenai perjanjian-perjanjian apa saja yang dapat dilaksanakan secara riil. Petunjuk tersebut terdapat dalam pasal 1240 dan 1241, pasal-pasal ini meyebutkan bahwa perjanjian yang dapat dilaksanakan secara riil adalah perjanjian yang termasuk dalam golongan perjanjian-perjanjian untuk berbuat sesuatu (melakukan suatu perbuatan) dan perjanjian-perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu (tidak melakukan suatu perbuatan)43.
Pasal 1240 KUH Perdata menyebutkan tentang perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu (tidak melakukan suatu perbuatan), bahwa si berpiutang (kreditur) berhak menuntut penghapusan segala sesuatu yang telah dibuat berlawanan dengan perjanjian dan bolehlah ia minta supaya dikuasakan oleh hakim untuk menyuruh menghapuskan segala sesuatu yang yang telah dibuat tadi atas biaya si berutang (debitur), dengan tidak mengurangi haknya untuk menuntut ganti rugi, jika ada alasan untuk itu.44
Pasal 1241 KUH Perdata menerangkan tentang perjanjian untuk berbuat sesuatu (melakukan suatu perbuatan), bahwa apabila perjanjian tidak dilaksanakan (artinya : apabila si berutang tidak menepati janjianya), maka si berpiutang (kreditur) boleh juga dikuasakan supaya dia sendirilah mengusahakn pelaksanaannya atas biaya si berutang (debitur).Perjanjian untuk berbuat sesuatu
43 Ibid, Hlm.36
44 Ibid, Hlm.37
(melakukan suatu perbuatan) juga secara mudah dapat dijalankan secara riil, asal saja bagi si berpiutang (kreditur) tidak penting oleh siapa perbuatan itu akan dilakukan.45
Mengenai perjanjian yang pertama, yaitu perjanjian untuk memberikan (menyerahkan) suatu barang, tidak terdapat petunjuk dalam Undang-Undang. Menurut ahli hukum dan yurisprudensi bahwa barang yang tak tertentu (artinya barang yang sudah ditujui atau dipilih) tidak dapat dieksekusi secara riil. Pendapat ini didasarkan pada dua alasan yaitu Pertama: Untuk menyerahkan hak milik atas suatu benda tak bergerak, diperlukan suatu akta transport yang merupakan suatu akta bilateral, yang harus diselenggarakan oleh dua pihak dan karena itu tidak mungkin diganti dengan suatu vonis atau putusan hakim. Kedua: Alasan a contrario, yaitu dalam pasal 1171 ayat (3) KUH Perdata,ditetapkan (mengenai hipotek), bahwa barang siapa berdasarkan Undang-Undang dan perjanjian, diwajibkan memberikan hipotek, dapat dipaksa untuk itu dengan putusan hakim yang mempunyai kekuatan yang sama, seolah-olah dia telah memberikan persetujuannya untuk hipotik itu, dan yang dengan terang akan menunjuk benda- benda atas mana akan dilakukan pembukuan.
Menurut pasal 1339 KUH Perdata, suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan (diwajibkan) oleh kepatuhan, kebiasaan dan Undang-Undang. Dengan demikian, setiap perjanjian dilengkapi dengan aturan-aturan yang terdapat dalam Undang-Undang, dalam adat
45 Ibid, Hlm.37
kebiasaan, sedangkan kewajiban-kewajiban yang diharuskan oleh kepatutan harus juga diindahkan.
Berkaitan dengan kebiasaan, pasal 1383 BW (lama) Belanda (pasal 1347 KUH Perdata) menyatakan bahwa hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan dianggap secara diam-diam dimasukkan ke dalam kontrak meskipuntidak secara tegas diperjanjikan. Dari ketentuan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa urutan kekuatan mengikatnya kontrak sebagai berikut:46
1. isi kontrak itu sendiri;
2. kepatutan atau iktikad baik;
3. kebiasaan; dan
4. Undang-Undang
Menurut pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, semua perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad (dalam bahasa Belanda tegoeder trouw; dalam bahasa Inggris in good faith; dalam bahasa Perancis de bonne foi). Norma yang ini merupakan salah satu sendi terpenting dalam Hukum Perjanjian.
Iktikad baik sudah harus ada sejak fase pra kontrak di mana para pihak mulai melakukan negosiasi hingga mencapai kesepakatan, dan selanjutnya pada fase pelaksanaan kontrak. Pembahasan iktikad tersebut semestinya dimulai dari iktikad baik dalam fase kontrak lantas dilanjutkan dengan iktikad baik pada saat pelaksanaan kontrak. Oleh karena doktrin iktikad baik dalam fase pra kontrak baru berkembang belakangan, dan untuk menjelaskannya tidak dapat terlepas dari doktrin iktikad baik yang terlebih dahulu ada, yakni iktikad baik dalam
46 Xxxxxx Xxxxxxxx, Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Ctk. Kedua, Program pasca sarjana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta,2004, Hlm. 192
pelaksanaan kontrak, maka pembahasan iktikad baik dalam disertasi ini dimulai dari iktikad baik pelaksanaan kontrak.47
B. Tinjauan Umum Perjanjian Pemborongan
1. Pengertian Perjanjian Pemborongan
Masalah perjanjian pembororngan bangunan adalah merupakan salah satu sarana atau cara dalam melaksanakan kegiatan pembangunan fisisk, yang didalamnya terdapat perjanjian yang bersifat mengikat. Dan oleh karena itu terikat ketentuan-ketentuan hukum perjanjian.
Telah dikemukakan diatas bahwa perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana para pihak saling mengikatkan diri dan saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal yang mereka sepakati bersama. Sesuatu hal yang terletak dalam lapangan harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang.
Di dalam KUHPerdata perjanjian pemborongan disebut dengan istilah pemborongan pekerjaan. Menurut pasal 1601 b KUHPerdata , pemborongan pekerjaaan adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu, si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelesaikan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang telah ditentukan.
Dengan memperhatikan rumusan diatas dapat disimpulkan bahwa suatu perjanjian antara seseorang (pihak yang memborongkan pekerjaan) dengan seorang lain (pihak pemborong pekerjaan) dimana pihak pertama menghendaki
47 Ibid, Hlm 190
sesuatu hasil pekerjaan yang disanggupi oleh pihak lawan, satas pembayaran sejumlah uang sebagai harga pemborongan.48
Definisi perjanjian pemborongan yang diatur dalam KUHPerdata menurut para sarjana adalah kurang tepat. Karena menganggap bahwa perjanjian pemborongan adalah perjanjian sepihak, sebab si pemborong hanya memiliki kawajiban saja sedangkan yang memborongkan mempunyai hak saja. Sebenaranya perjanjian pemborongan adalah perjanjian timbale balik yaitu antara pemborong dengan mana yang memborongkan yang masing-masing mempunyai hak dan kewajiban.
Menurut Xxxxxxxxxx, definisi perjanjian pemborongan yang terdapat dalam Pasal 1601 b KUHPerdata kurang tepat Djumaldji memberikan definisi perjanjian pemborongan sebagai suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu, si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan, sedangkan pihak yang lain, yang memborongkan mengikatkan diri untuk membayar suatu harga yang telah ditentukan.49dari definisi tersebut dapat dikatakan bahwa:
a. bahwa yang membuat perjanjian pemborongan atau yang terkait dalam perjanjian pemborongan adalah dua pihak saja, pihak ke satu disebut yang memborongkan / bouwheer / aanbertender / pemberi tugas, pihak kedua disebut pemborong / kontraktor / rekanan / annemer / pelaksana
b. bahwa obyek dari perjanjian pemborongan adalah perbuatan suatu karya / het maken van werk.
48 Subekti, Op.cit., hlm 57
49 Dumialdji, Hukum Bangunan, Dasar-dasar Hukum Dalam Proyek dan Sumber Daya Manusia,
hlm 4
Perjanjian pemborongan diatur dalam BAB 7 A Bi\uku III KUHPerdata , pasal 1601 b sampai dengan Pasal 1616 KUHPerdata, perjanjian pemborongan tersebut merupakan salah satu perjanjian melakukan pekerjaaan, yang didalamnya terdapat tiga macam perjanjian yaitu:
1. Perjanian kerja
2. perjanjian Pemborongan
3. Perjanjian menunaikan jasa
Ketiga perjanjaian tersebut mempunyai persamaan yaitu bahwa pihak yang satu melakukan perkerjaan bagi pihak yang lain dengan mnerima upah.
Adapun perbedaan antara perjanjian kerja dengan perjanjian pemborongan dan perjanjian menunaikan jasa yaiotu bahwa dalam perjanjian kerja terdapat unsure subordinasi, sedangkan dalam perjanjian pemborongan dan perjanjian menunaikan jasa terdapat kordinasi. Mengenai perbedaan antara perjanjian pemborongan dengan perjanjian menunaikan jasa, yaitu bahwa dalam perjanjian pemborongan berupa mewujudkan suatu karya tertentu, sedangkan dalam perjanjian menunaikan jasa berupa melaksanakan tugas tertentu yang ditentukan sebelumnya.
Subekti berpendapat bahwa perjanjian pemborongan adalah perjanjian antara seseorang (pihak yang memborongkan) dengan seorang lain (pihak yang memborongkan pekerjaan ) dimana pihak yang satu menghendaki suatu pekerjan yang disanggupi oleh pihak lainnya untuk diserahkan dalam jangka waktu yang ditentukan, atas pembayaran suatu jumlah uang sebagai harga pemborongan.50
50 Subekti, Aneka Perjanjian, hlm 58
Ketentuan-ketentuan perjanjian pemborongan di dalam KUHPerdata berlaku baik bagi perjanjian pemborongan pada proyek-proyekm pemerintah maupun swasta. Perjanjian pemborongan pada KUHPerdata itu bersifat pelengkap, artinya ketentuan-ketentuan perjanjian pemborongan dalam KUHPerdata dapat digunakan oleh para pihak dalam perjanjian pemborongan atau para pihak dalam perjanjian pemborongan dapat membuat sendiri ketentuan-ketentuan perjanjian pemborongan asal tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Apabila para pihak dalam perjanjian pemborongan membuat sendiri ketentuan-ketentuan dalam perjanjian pemborongan maka ketentuan- ketentuan dalam KUHPerdata dapat melengkapi apabila ada kekurangannya.
Selain diatur dalam KUHPerdata perjanjian pemborongan juga diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang Jasa dan A.V. 1941 Algemene Voorwarden voorde unitvoering bij aanneming van openbare werken in Indonesia yang terjemahannya adalah syarat-syarat umum untuk pelaksanaan pemborongan pekerjaan umum di Indonesia.
A.V. 1941 berisi tentang hal-hal yang menyangkut pelaksanaan perjanjian pemborongan bangunan yang terdiri atas tiga bagian yaitu :51
1. Bagian pertama memuat tentang syarat-syarat administrative.
2. Bagian kedua memuat tentang syarat-syarat bahan.
3.Bagian ketiga memuat tentang syarat-syarat teknis.
Peraturan standar atau persyaratan umum di Indonesia, sepnjang menyangkut perjanjian pemborongan ditetapkan oleh penguasa cq. Departemen
51 Djumialji, Op.Cit., hlm 6
pekerjaan umum. Karena hal ini menyangkut pekerjaan yang berhubungan dengan keselamatan umum dan tertib bangunan serta mengandung resiko yang tinggi, maka perlu adanya persyaratan dan ikut campurnya penguasa.
Peraturan standar tersebut adalah yang menyangkut segi administrative / segi yuridis dan segi tekhnisnya bangunan, sedangkan ketentuan yang mengatur mengenai prosedur pelelangan ataupun penunjukan langsung diatur dalam Keppres 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.
Perbedaan dua ketentuan yang berlaku dalam perjanjian pemborongan bangunan tersebut adalah, bahwa ketentuan undang-undang berlakunya dengan jalan diterapkan, sedangkan ketentuan-ketentuan dari peraturan standar berlakunya dengan jalan disertakan dalam perjanjian tersebut, yaitu sebagai berikut :
1. Dengan jalan menandatangani, yaitu peraturan standart tersebut dicantumkan dalam rumusan kontrak yang kemudian ditandatanganinya perjanjian, maka para pihak telah terikat pada peraturan standart yang tercantum didalamnya.
2. dengan malalui pemberitahuan, yaitu peraturan standar diberitahukan kepada pihak lainnya supaya dipelajari, dengan jlan pertukaran dokumenatau dipersilahkan untuk membaca terlebih dahulu. Setelah mengerti ketentuan-ketentuan peraturan standartnya, barulah kontrak ditandatangani
3. dengan jalan penunjukan, yaitu dalam perjanjian dimuat ketentuan bahwa untuk pelaksanaan perjanjian tersebut menunjuk pada berlakunya perjanjian standart
4. dengan jalan diumumkan, yaitu diumumkan di tempat-tempat tertentu yang mudah terlihat sehingga dapat dibaca oleh umum tentang berlakunya peraturan standart tersebut.
Peraturan standart juga mengatur mengenai hak-hak dan kewajiban para peserta dalam perjanjian sepanjang mengenai segi yuridis/administratifnya. Sedangkan mengenai segi tekhnisnya bangunan tunduk pada ketentuan yang diatur dalam Standart Specification yang telah dibentu oleh Departemen Pekerjaan Umum, sesuai dengan bidangnya masing-masing. Selanjutnya didalam perjanjiannya sendiri akan memuat secara terperinci mengenai luasnya pekerjaan dan syarat-syarat yang disertai bestek (gambar), persyaratan bahan material, harga tertentu, jangka waktu penyelesaian, resiko dan lain-lain.
2. Sifat dan Bentuk Perjanjian Pemborongan Bangunan
Perjanjian pemborongan bersifat konsensuil, artinya perjanjian pemborongan itu ada atau lahir sejak adanya kata sepakat antara kedua belah pihak yaitu pihak yang memborongkan dan pihak pemborong mengenai pembuatan suatu karya dan harga borongan/kontrak. Dengan adanya kata sepakat tersebut perjanjian pemborongan mengikat kedua belah pihak, artinya para pihak tidak dapat membatalkan perjanjian pemborongan tanpa persetujuan pihak
lainnya. Jika perjanjian pemborongan dibatalkan atau diputuskan secara sepihak, maka pihak lainnya dapat menuntutnya.
Perjanjian pemborongan bentuknya bebas artinya perjanjian pemborongan dapat dibuat secara lisan maupun tertulis. Dalam prakteknya, apabila perjanjian pemborongan yang menyangkut harga borongan kecil biasanya perjanjian pemborongan dibuat secara lisan, sedangkan apabila perjanjian pemborongan yang agak besar maupun yang besar biasanya perjanjian pemborongan dibuat dengan tertulis, baik akte dibawah tangan maupun dengan akte outentik. Khusus perjanjian pemborongan proyek pemerintah harus dibuat secara tertulis yang dituangkan dalam bentuk formulisr-formulir tertentu yang isinya ditentukan secara sepihak oleh pihak yang memborongkanberdasarkan peraturan standart yaitu A.V. 1941yang menyangkut segi yuridis dan segi tekhnisnya yang ditunjuk dalam rumusan kontrak.
Dengan demikian pelaksanaan perjanjian pemborongan selain mengindahkan pada ketentuan KUHPerdata juga dalam peraturan standartnya. Peraturan standartnya perjanjian pemborongan selain berlaku bagi perjanjian pemborongan mengenai perjanjian umum yang diborongkan oleh instansi pemerintah, juga dinyatakan berlaku bagi pemborongan bangunan oleh pihak swasta.
3. Macam dan Resiko Perjanjian Pemborongan
Di dalam KUHPerdata dikenal adanya dua macam perjanjian pemborongan yaitu :
a. Perjanjian pemborongan dimana pemborong hanya melakukan pekerjaan saja.
b. Perjanjian pemborongan dimana pemborong selain melakukan pekerjaan juga menyediakan bahan-bahannya.
Satu dan lain membawa perbedaan dalam hal tanggung jawabnya si pemborong atas hasilnya pekerjaan yang diperjanjikan. Dalam hal pemborongan harus menyediakan bahanbahannya, dan hasil pekerjaannya, karena apa pun juga, musnah sebelum diserahkan, maka kegiatan itu dipikul oleh pemborong kecuali jika pemberi tugas itu lalai untuk menerima hasil pekerjaan tersebut. Dalam hal pemborong hanya harus melakukan pekerjaan dan hasil pekerjaannya itu musnah, maka ia hanya bertanggung jawab atas kemusnahan itu sepanjang hal itu terjadi karena kesalahannya.52 Ketentuan yang terakhir ini mengandung maksud bahwa akibat suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa bahan- bahan yang telah disediakan oleh pihak yang memborongkan, dipikul pada pundaknya pihak yang memborongkan ini.53 Baru apabila dari pihaknya pemborong ada kesalahan mengenai kejadian itu, hal mana harus dibuktikan oleh pihak yang memborongkan, maka si xxxxxxxx dapat dipertanggungjawabkan sekedar kesalahannya itu mengakibatkan kemusnahan bahan-bahan tersebut. Kemudian dalam halnya si pemborong hanya diwajibkan melakukan pekerjaan saja. Oleh Pasal 1607 KUHPerdata dikatakan bahwa Jika musnahnya hasil pekerjaan tersebut dalam pasal yang lalu terjadi di luar kesalahan/kelalaian pemborong sebelum penyerahan dilakukan, sedangkan pemberi tugas pun tidak
52 Pasal 1605 dan 1606 KUHPerdata
53 Subekti. Op. Ciy., hlm 65
lalai untuk memeriksa dan menyetujui hasil pekerjaan itu, maka pemborong tidak berhak atas harga yang dijanjikan, kecuali jika barang itu musnah karena bahan- bahannya cacat.
Dari ketentuan tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kedua belah pihak menderita kerugian akibat kejadian yang tak disengaja yang memusnahkan pekerjaan itu. Pihak yang memborongkan kehilangan bahan-bahan yang telah disediakan olehnya sedangkan pihak pemborong kehilangan tenaga dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menggarap pekerjaan.54
Pihak yang memborongkan hanya dapat menuntut penggantian kerugiannya apabila ia dapat membuktikan adanya kesalahan dari si pemborong. Sedangkan pihak pemborong hanya akan dapat menuntut harga yang dijanjikan apabila ia berhasil membuktikan bahwa bahan-bahan yang disediakan oleh pihak lawan itu mengandung cacat-cacat yang menyebabkan kemusnahan pekerjaannya.
Dikatakan dalam Pasal 1608 KUHPerdata Jika pekerjaan yang diborongkan itu dilakukan sebagian demi sebagian atau menurut ukuran, maka hasil pekerjaan dapat diperiksa sebagian demi sebagian; pemeriksaan itu dianggap telah dilakukan terhadap semua bagian yang telah dibayar, jika pemberi tugas itu membayar pemborongan tiap kali menurut ukuran dan apa yang telah diselesaikan. Ketentuan ini mengandung maksud bahwa bagian pekerjaan yang sudah dibayar itu menjadi tanggung jawab pihak yang memborongkan apabila terjadi suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak yang memusnahkan bagian pekerjaan itu.
54 Subekti Op.Cit., hlm 66
C. Tinjauan Umum Wan Prestasi
Kalau debitur lalai55 tidak memenuhi janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya, maka dapat dikatakan bahwa debitur wanprestasi.56 Pengertian wanprestasi tidak dijelaskan secara definitif di dalam Undang-undang. Istilah wanprestasi berasal dari istilah belanda „wanprestatie’, yang artinya prestasi buruk. Jadi wanprestasi adalah suatu keadaan di mana tidak terlaksananya suatu prestasi dalam suatu perjanjian oleh pihak debitur karena kesalahannya, baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian.
Xxxxx Xxxxxxx memberi pengertian wanprestasi sebagai pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Kalau begitu seorang debitur disebutkan dan berada dalam keadaan wanprestasi, apabila dia dalam melakukan pelaksanaan prestasi perjanjian telah lalai sehingga terlambat dari jadwal waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak menurut sepatutnya.57
Agar debitur dapat dikatakan dalam keadaan wanprestasi ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi yaitu :
a. Syarat materiel, yaitu adanya kesengajaan berupa:
1).Kesengajaan, adalah suatu hal yang dilakukan seseorang dengan dikehendaki dan diketahui serta disadari oleh pelaku sehingga menimbulkan kerugian pada pihak lain.
55 Subekti, hlm 146
56 J. Satrio, hlm 122
57 Xxxxx xxxxxxx, hlm 60
2). Kelalaian, adalah sesuatu hal yang dilakukan di mana seseorang yang wajib berprestasi seharusnya tahu atau patut menduga bahwa dengan perbuatan atau sikap yang diambil olehnya akan menimbulkan kerugian.
b. Syarat formil, yaitu adanya peringatan atau somasi
Wanprestasi mempunyai akibat yang sangat penting, maka harus ditetapkan terlebih dahulu apakah debitur telah melakukan wanprestasi dan apabila hal itu disangkalnya harus dibuktikan di muka hakim. Penentuan saat terjadinya wanprestasi seringkali tidak diperjanjikan dengan tepat, kapan debitur diwajibkan melakukan prestasi yang telah diperjanjikan. Mengenai saat terjadinya wanprestasi diatur dalam Pasal 1238 KUHPerdata, yang menyebutkan bahwa, “si berhutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berhutang akan di anggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”. Berdasarkan Pasal tersebut, terdapat tiga cara untuk menentukan saat debitur telah wanprestasi yaitu:
1). Dengan surat perintah 2). Dengan akta sejenis
3). Dengan isi perjanjian yang menetapkan lalai dengan lewatnya batas waktu dalam perjanjian.
Apabila debitur telah melakukan wanprestasi maka akan menimbulkan akibat hukum bagi para pihak dalam perjanjian tersebut. Ketentuan Pasal 1267 KUHPerdata menyebutkan bahwa “pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih dilakukan, akan memaksa pihak yang
lain untuk memenuhi perjanjian, ataukah ia akan menuntut pembatalan perjanjian, disertai penggantian biaya kerugian dan bunga”. Menurut Xxxxx 1267 KUHPerdata tersebut, wanprestasi mengakibatkan kreditur dapat menuntut debitur berupa:
1). Pemenuhan prestasi
2). Pemutusan Prestasi
3). Ganti rugi
4). Pemenuhan janji disertai ganti rugi
5). Pemutusan perjanjian disertai ganti rugi.
Didalam praktek apabila terjadi wanprestasi dalam perjanjian pemborongan maka pemberi kerja biasanya akan terlebih dahulu memberikan teguran agara pemborong memenui kewajibannya sebagaimana yang telah diperjanjiakan dalam jangka waktu yang layak.58
Jika pemborong tidak dapat menyelesaikan pekerjaan menurut waktu yang ditetapkan atau menyerahkan pekerjaan dengan tidak baik, maka atas gugatan dari si pemberi tugas hakim dapat memutuskan perjanjian tersebut sebagian atau seluruhnya beserta segala akibatnya. Yang dimaksudkan dengan pemutusan perjanjian disini adalah pemutusan untuk waktu yang akan datang dalam arti bahwa mengenai pekerjaan yang telah diselesaikan/dikerjakan akan tetap dibayar, namun atas pekerjaan yang belum dikerjakan itu yang diputuskan.59
Dengan adanya pemutusan perjanjian demikian perikatan bukan berhenti sama sekali seperti seolah-olah tidak pernah terjadi perikatan sama sekali, dan wajib dipulihkan ke keadaan semula melainkan dalam keadaan tersebut diatas si pemberi tugas dapat menyuruh orang lain untuk menyelesaikan pemborongan itu, sesuai dengan anggaran yang telah ditetapkan. Atau jika telahterlanjur dibayar
58 Xxxxxxxxxx, Hukum Bangunan, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hlm 17
59 Sri Soedewi Xxxxxx Xxxxxx, Hukum Bangunan, Liberti, Yogyakarta, 1982, hlm 82
kepada pemborong atas biaya yang harus ditanggung oleh si pemborong sesuai dengan pembayaran yang telah diterima.
D. Tinjauan Umum terhadap Undang-undang Jasa Konstruksi
D.1 Sejarah dan Pengertian jasa Konstruksi
Amat sangat mengagumkan bahwa dalam code hamurabi yang merupakan kitab undang-undang yang tertua yang pernah dicatat oleh sejarah, yakni yang dibuat kurang lebih 4000 tahun yang lalu, sudah ada diatur tentang kontrak pemborongan dan konstruksi. Disana antra lain ditulis bahwa jika pihak pemborong membuat suatu bangunan tetapi kemudian bangunannya itu roboh dan menimpa anak pemilik bangunan hingga tewas, maka anak dari pemborong tersebut juga harus dihukum mati. Jadi yang berlaku disini adalah nyawa dibayar dengan nyawa, darah dibayar dengan darah anak dibayar dengan anak. Dengan demikian sejarah hukum konstruksi ini sebenarnya sudah sangat tua setua peradaban manusia60. Di Indonesia sendiri sejarah hukum konsruksi dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu kategori hukum tradisional dan kategori hukum barat.
Kategori hukum tradisional adalah ketika dimasa lampau bangsa-bangsa ataupun kerajaan di nusantara mampu membangun maha karya yang luar bisa menajubkannya seperti halnya candi Borobudur, candi Prambanan, candi Dieng dan candi-candi yang lainnya beserta bangunan-bangunan lain di kepulauan nusantara. Sepintas memang tidak terlihat bagaimana hukum konstruksi ada ataupun berperan akan tetapi ketika pembangunan candi-candi itu dilakukan telah terjadi interaksi antar sesame manusia, interaksi inilah yang kemudian
60 Xxxxx Xxxxx, Kontrak Pemborongan Mega Proyek, Citra Xxxxxx Xxxxx, Bandung, 1998, hlm 1
menimbulkan hukum. Sejarah hukum konstruksi kategori hukum barat yang dimaksud adalah bahwa kaidah-kaidah hukum konstruksi yang berlaku di Indonesia tetapi yang berasal dari hukum yang berlaku di Eropa kontinental. Tonggak sejarahnya adalah ketika Burgerlijk Wet Boek di berlakukan di Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1848. Dalam Burgerlijk Wet Boek tersebut memang dibahas tentang hukum pemborongan kerja pada Pasal 1604 sampai 1617). Disamping itu, berlaku juga ketentuan perjanjian pada umumnya yakni yang terdapat dalam Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1456 Burgerlijk Wet Boek. Bahkan dapat dikatakan bahwa kaidah-kaidah hukum dalam Burgerlijk Wet Boek tersebut tentang pemborongan kerja dan perjanjian pada umumnya tanpa perubahan yang berarti masih berlaku hingga saat ini. Namun pada tanggal 7 Mei 1999 Indonesia telah mempunyai undang-undang tersendiri yang mengatur tentang jasa konstruksi. Yakni Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa konstruksi. Dengan pertimbangan bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, bahwa jasa konstruksi merupakan salah satu kegiatan dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya, yang mempunyai peranan penting dalam pencapaian berbagai sasaran guna menunjang terwujudnya tujuan pembangunan nasional, berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku belum berorientasi baik kepada kepentingan pengembangan jasa konstruksi sesuai dengan karakteristiknya, yang mengakibatkan kurang berkembangnya iklim usaha yang mendukung peningkatan daya saing secara optimal, maupun bagi kepentingan
masyarakat. Maka setelah berlakunya Undang-undang tersebut ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan jasa konstruksi yang telah ada sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini, dinyatakan tetap berlaku sampai diadakan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Undang- undang tersebut.61
Berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa kontruksi menyebutkan dalam Pasal 1 butir 1 pengertian jasa konstruksi adalah jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi.62 Dalam pembangunan nasional, jasa konstruksi mempunyai peranan penting dan strategis mengingat jasa konstruksi menghasilkan produk akhir berupa bangunan atau bentuk fisik lainnya, baik yang berupa prasarana maupun sarana yang berfungsi mendukung pertumbuhan dan perkembangan berbagai bidang, terutama bidang ekonomi, sosial, dan budaya untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang−Undang Dasar 1945. Selain berperan mendukung berbagai bidang pembangunan, jasa konstruksi berperan pula untuk mendukung tumbuh dan berkembangnya berbagai industri barang dan jasa yang diperlukan dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.
D.2 Asas dan Prinsip Jasa Konstruksi
Dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi disebutkan dalam Bab II bahwa Pengaturan jasa konstruksi berlandaskan pada
61 Pasal 44 ayat (1) Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa konstruksi
62 Pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa konstruksi
asas kejujuran dan keadilan, manfaat, keserasian, keseimbangan, kemandirian, keterbukaan, kemitraan, keamanan dan keselamatan demi kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.63
Asas Kejujuran dan Keadilan mengandung pengertian kesadaran akan fungsinya dalam penyelenggaraan tertib jasa konstruksi serta bertanggung jawab memenuhi berbagai kewajiban guna memperoleh haknya, Asas Manfaat mengandung pengertian bahwa segala kegiatan jasa konstruksi harus dilaksanakan berlandaskan pada prinsip−prinsip profesionalitas dalam kemampuan dan tanggung jawab, efisiensi dan efektifitas yang dapat menjamin terwujudnya nilai tambah yang optimal bagi para pihak dalam penyelenggaraan jasa konstruksi dan bagi kepentingan nasional, Asas keserasian mengandung pengertian harmoni dalam interaksi antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang berwawasan lingkungan untuk menghasilkan produk yang berkualitas dan bermanfaat tinggi, Asas Keseimbangan mengandung pengertian bahwa penyelenggaraan pekerjaan konstruksi harus berlandaskan pada prinsip yang menjamin terwujudnya keseimbangan antara kemampuan penyedia jasa dan beban kerjanya. Pengguna Jasa dalam menetapkan penyedia jasa wajib mematuhi asas ini, untuk menjamin terpilihnya penyedia jasa yang paling sesuai, dan di sisi lain dapat memberikan peluang pemerataan yang proporsional dalam kesempatan kerja pada penyedia jasa. Asas Kemandirian mengandung pengertian tumbuh dan berkembangnya daya saing jasa konstruksi nasional, Asas Keterbukaan mengandung pengertian ketersediaan informasi yang dapat diakses
63 Pasal 2 Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi
sehingga memberikan peluang bagi para pihak, terwujudnya transparansi dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang memungkinkan para pihak dapat melaksanakan kewajiban secara optimal dan kepastian akan hak dan untuk memperolehnya serta memungkinkan adanya koreksi sehingga dapat dihindari adanya berbagai kekurangan dan penyimpangan, Asas Kemitraan mengandung pengertian hubungan kerja para pihak yang harmonis, terbuka, bersifat timbale balik, dan sinergis, Asas Keamanan dan Keselamatan mengandung pengertian terpenuhinya tertib penyelenggaraan jasa konstruksi, keamanan lingkungan dan keselamatan kerja, serta memanfaatkan hasil pekerjaan konstruksi dengan tetap memperhatikan kepentingan umum.64
D.3 Jenis Usaha Konstruksi
Jenis usaha jasa konstruksi terdiri dari usaha perencanaan konstruksi, usaha pelaksanaan konstruksi dan usaha pengawasan konstruksi yang masing−masing dilaksanakan oleh perencana konstruksi, pelaksana konstruksi, dan pengawas konstruksi. Usaha perencanaan konstruksi memberikan layanan jasa perencanaan dalam pekerjaan konstruksi yang meliputi rangkaian kegiatan atau bagian−bagian dari Kegiatan mulai dari studi pengembangan sampai dengan penyusunan dokumen kontrak kerja konstruksi.
Usaha pelaksanaan konstruksi memberikan layanan jasa pelaksanaan dalam pekerjaan konstruksi yang meliputi rangkaian kegiatan atau bagian−bagian dari kegiatan mulai dari penyiapan lapangan sampai dengan penyerahan akhir hasil pekerjaan konstruksi. Usaha pengawasan konstruksi memberikan layanan jasa
64 Penjelasan Pasal 2 Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi
pengawasan baik sebagian atau keseluruhan pekerjaan pelaksanaan konstruksi mulai dari penyiapan lapangan sampai dengan penyerahan akhir hasil konstruksi.
D.4 Penyelesaian Konstruksi
Penyelesaian sengketa jasa konstruksi dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa. Namun, penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi sebagaimana diatur dalam Kitab Undang−Undang Hukum Pidana.
Jika dipilih upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.
Penyelesaian sengketa jasa konstruksi di luar pengadilan dapat ditempuh untuk masalah−masalah yang timbul dalam kegiatan pengikatan dan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, serta dalam hal terjadi kegagalan bangunan. Penyelesaian sengketa jasa konstruksi dapat menggunakan jasa pihak ketiga, yang disepakati oleh para pihak. Sejalan dengan ketentuan tentang kontrak kerja konstruksi para pihak telah menyetujui bahwa sengketa diantara mereka dapat diselesaikan dengan menggunakan jasa pihak ketiga sesuai dengan ketentuan yang berlaku tentang arbitrase dan alternatif pilihan penyelesaian sengketa. Penunjukan pihak ketiga tersebut dapat dilakukan sebelum sesuatu sengketa terjadi, yaitu dengan menyepakatinya dan mencantumkannya dalam kontrak kerja konstruksi. Dalam hal penunjukan pihak ketiga dilakukan setelah sengketa terjadi , maka hal itu harus disepakati dalam suatu akta tertulis yang
ditandatangani para pihak sesuai ketentuan peraturan perundang−undangan yang berlaku. Jasa pihak ketiga yang dimaksud di atas antara lain: arbitrase baik berupa lembaga atau ad−hoc yang bersifat nasional maupun internasional, mediasi, konsiliasi atau penilai ahli. Pihak ketiga dapat dibentuk oleh Pemerintah dan/atau masyarakat jasa konstruksi.
BAB III
PELAKSANAAN PERJANJIAN PEKERJAAN PENINGKATAN JALAN JEMASIH-SINDANGWANGI TAHAP III KECAMATAN BANTARKAWUNG
A. Pengantar
Layaknya perjanjian atau kontrak pada umumnya, perjanjian pekerjaan peningkatan jalan Jemasih-Sindangwangi tahap III Kecamatan Bantarkawung antara Pemerintah Kabupaten Brebes dengan CV. Xxx Xxxxxxxxx terdiri dari tiga fase yaitu fase pra kontrak, fase kontrak dan fase pasca kontrak.65
Dalam fase pra kontrak dikarenakan perjanjian pekerjaan peningkatan jalan Jemasih-Sindangwangi tahap III Kecamatan Bantarkawung antara Pemerintah Kabupaten Brebes dengan CV. Xxx Xxxxxxxxx merupakan proyek dari pemerintah dan nilainya diatas lima puluh juta rupiah maka tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang atau Jasa Pemerintah. Sesuai dengan ketentuan pasal 7 ayat (1) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang atau Jasa Pemerintah yang mengatur tentang ruang lingkup berlakunya Keputusan Presiden tersebut yang mengatakan bahwa pengadaan barang/jasa yang pembiayaannya sebagian atau seluruhnya dibebankan pada APBN/APBD.
Dalam tahap awal kontrak berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan
65 Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994, hlm36
Barang atau Jasa Pemerintah akan dilakukan pelelangan umum, yaitu metoda pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan secara terbuka dengan pengumuman secara luas melalui media massa dan papan pengumuman resmi untuk penerangan umum sehingga masyarakat luas dunia usaha yang berminat dan memenuhi kualifikasi dapat mengikutinya. Dalam hal ini Pemerintah kabupaten Brebes telah melakukan pengumuman baik melalui media massa maupun pada papan pengumuman pada tanggal 15 Agustus 2005.66 Proses selanjutnya setelah melalui tahap prakualifikasi yang terdiri dari pengumuman prakualifikasi, pengambilan dokumen prakualifikasi, pemasukan dokumen prakualifikasi, evaluasi dokumen prakualifikasi, penetapan hasil prakualifikasi, pengumuman hasil prakualifikasi, masa sanggah prakualifikasi, undangan kepada peserta yang lulus prakualifikasi, pengambilan dokumen lelang umum, penjelasan, penyusunan berita acara penjelasan dokumen lelang dan perubahannya, pemasukan penawaran, pembukaan penawaran, evaluasi penawaran, penetapan pemenang, pengumuman pemenang, masa sanggah, penunjukan pemenang, penandatanganan kontrak maka tahap berikutnya berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang atau Jasa Pemerintah adalah tahap pasca kualifikasi yang meliputi pengumuman pelelangan umum, pendaftaran untuk mengikuti pelelangan, pengambilan dokumen lelang umum, penjelasan, penyusunan berita acara penjelasan dokumen lelang dan perubahannya, pemasukan penawaran, pembukaan penawaran, evaluasi penawaran termasuk evaluasi kualifikasi,
66 Berita Acara Surat Perjanjian Pemborongan Nomor 050 / 11200 / SPP / BM-KUHPerdata / VII / 05
penetapan pemenang, pengumuman pemenang, masa sanggah, penunjukan pemenang, penandatanganan kontrak.
Kemudian setelah tahapan pelelangan selesai maka pada tanggal tiga puluh Agustus tahun dua ribu lima ditandatanganilah kontrak pelaksanaan perjanjian pekerjaan peningkatan jalan Jemasih-Sindangwangi tahap III Kecamatan Bantarkawung antara Pemerintah Kabupaten Brebes dengan CV. Xxx Xxxxxxxxx yang dimana draft perencanaan dari kontrak ini baku dan sepenuhnya disiapkan oleh pihak pertama, pihak kedua tidak diberi hak untuk menambahkan atau mengurangi point – point yang ada, namun apabila pihak kedua tidak menandatangani kontrak maka pihak kedua dianggap tidak sungguh-sungguh melakukan penawaran pada lelaang dan tentunya pihak kedua akan mendapat sanksi black list selama 2 tahun tidak boleh mengikuti lelang pengadaan barang dan jasa pemerintah serta kehilangan uang jaminan penwaran yang telah disetorkan ke BANK. Pihak Pemerintah Kabupaten Brebes diwakili oleh Xx. Xxxx Xxxxxxxx sebagai Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Brebes dan Pihak CV Xxx Xxxxxxxxx sebagai pihak kedua diwakili oleh Xxxx Xxxxxxxxx Xxxxxx sebagai direktris CV Xxx Xxxxxxxxx. Selanjutnya setelah ditandatanganinya kontrak maka fase berikutnya adalah fase kontrak dan fase pasca kontrak yang akan diuraikan sebagai berikut.
Kemudian setelah dilakukannya penandatanganan kontrak maka pihak pemberi kerja dalam hal ini pemerintah kabupaten Brebes menerbitkan Surat Perintah Kerja kepada CV. Xxxx Xxxxxxxxx yang berisi agar pekerjaan segera dimulai dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian, bahwa
pekerjaan harus sudah dimulai selambat-lambatnya 7 hari kalender kerja setelah surat perintah kerja diterima dan harus sudah diserahkan kembali pada tanggal 30 Desember 2005.
Setelah mendapatkan Surat Perintah Kerja maka CV Aji Pmungkas pada keesokan harinya langsung melakukan pekerjaannya67 meskipun dikemudian hari CV Xxx Xxxxxxxxx melakukan wanprestasi dengan tidak dapat menyerahkan pekerjaan pada tanggal yang telah ditentukan dalam Surat Perintah Kerja.
B. Hak dan Kewajiban Para Pihak Serta Jangka Waktu Pelaksanaan Pekerjaan Dalam Perjanjian Pemborongan Peningkatan Jalan Jemasih- Sindangwangi Tahap III Kecamatan Bantarkawung Antara Pemerintah Kabupaten Brebes Dengan CV. Xxx Xxxxxxxxx
Seperti dalam kontrak pada umumnya akan menimbulkan hak disalah satu pihak dan akan menimbulkan kewajiban dipihak lain atau begitu pila sebaliknya. Begitu pula pada perjanjian pekerjaan peningkatan jalan Jemasih-Sindangwangi tahap III Kecamatan Bantarkawung antara Pemerintah Kabupaten Brebes dengan CV. Xxx Xxxxxxxxx juga menimbulkan hak dan kewajiban pada pihak pertama yakni Pemerintah Kabupaten Brebes dan juga hak dan kewajiban pada pihak kedua yakni CV Xxx Xxxxxxxxx.
Hak Pihak Pertama68
1. menolak bahan-bahan dan alat-alat yang disediakan oleh pihak kedua jika kualitasnya tidak memenui syarat. Pasal 7 ayat (3)
67 Wawancara dengan Xxxx Xxxxxxxxx Xxxxxx, Direktris CV Xxx Xxxxxxxxx, pada tanggal …….
68 Perjanjian Pemborongan Nomor 050 / 11200 / SPP / BM-KUHPerdata / VII / 05
2. Jika pihak pertama gagal melakukan pekerjaan maka pihak pertama berhak melaksanakan pekerjaan itu dengan tenaga kerjanya sendiri atau dengan kontraktor lain Pasal 14 ayat (7)
Kewajiban Pihak Pertama69
1. berkewajiban menunjuk pengawas yang bertindak untuk dan atas nama pihak pertama.
2. berkewajiban mengeluarkan berita serah terima akhir apabila pihak kedua telah memenui segala kewajibannya. Pasal 15 ayat (3)
Hak Pihak Kedua70
1. Berhak atas pembayaran harga sesuai yang telah diperjanjiakan dalam kontrak. Pasal 19
2. Berhak atas klaim kenaikan harga dan bahan-bahan jika terjadi kebijakan pemerintah dalam bidang moneter, Pasal 20 ayat (2)
Kewajiban Pihak Kedua71
Dalam Pasal 5 tentang kewajiban dan tanggung jawab kontraktor perjanjian pekerjaan peningkatan jalan Jemasih-Sindangwangi tahap III Kecamatan Bantarkawung antara Pemerintah Kabupaten Brebes dengan CV. Xxx Xxxxxxxxx ditentukan bahwa pihak kedua harus membuat, menyelesaikan dan memelihara pekerjaan sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam dokumen kontrak dengan sungguh-sungguh dan penuh perhatian. Pihak kedua juga harus menyediakan semua tenaga kerja termasuk tenaga pengawas pelaksana, bahan,
69 ibid
70 ibid
71 ibid
peralatan dan lain-lain keperluan yang diperlukan, apakah itu tetap atau sementara yang diperlukan bagi pelaksana pekerjaan.Lebih terperinci :
1. Pihak kedua berkewajiban bahan-bahan dan alat-alat serta segala sesuatu yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan. Pasal 7 ayat (1)
2. Pihak kedua berkewajiban untuk membuat tempat atau gudang yang baik untuk menyimpan bahan-bahan dan alat-alat yuang disediakan guna kelancaran pekerjaan. Pasal 7 ayat (2)
3. Pihak kedua berkewajiban menyediakan tenaga kerja yang cukup jumlah keahlian dan keterampilannya termasuk didalamnya membayar ongkos dan upah tenaga kerja tersebut. Pasal 8 ayat (1) dan (2)
4. Pihak kedua berkewajiban untuk menyelenggarakan JAMSOSTEK. Pasal 8 ayat (3)
5. Apabila terjadi keadaan memaksa pihak kedua berkewajiban memberitahukan secara tertulis kepada pihak pertama selambat-lambatnya empat belas hari. Pasal 11 ayat (2)
6. Pihak kedua berkewajiban memelihara hasil pekerjaan hingga waktu seratus delapan puluh hari. Pasal 12
7. Pihak kedua berkewajiban menyerahkan hasil pekerjaan kepada pihak pertama.
8. Pihak kedua berkewajiban menyerahkan kepada pihak pertama surat jaminan bank. Pasal 16
9. Pihak kedua berkewajiban dan bertanggungjawab atas keselamatan tempat kerja. Pasal 19
10. pihak kedua berkewajiban membuat laporan baik mingguan maupun bulanan, membuat catatan-catatan mengenai kemajuan pekerjaan dan membuat foto-foto dokumentasi juga gambar-gambar yang terkait dengan hasil pekerjaan. Pasal 23
Jangka Waktu Pelaksanaan
Pada perjanjian pemborongan pekerjaan peningkatan jalan jemasih sindangwangi jangka waktu pelaksanaan pekerjaan sampai dengan selesai 100% ditetapkan selama : 120 (seratus dua puluh) hari kalender, terhitung sejak ytanggal 30 Agustus 2005 sampai dengan tanggal 30 desember 2005 Pasal 10(1), waktu penyelesaian tersebut tidak dapat dirubah oleh pihak kedua, kecuali adanya ”keadaan memaksa” seperti diatur dalam pasal 11 surat perjanjian ini atau adanya perintah penambahan pekerjaan sesuai dengan pasal 21 dari surat perjanjian ini dan harus disetujui oleh pihak pertama secara tertulis dan diketahui oleh pejabat yang berwenang dari pemerintah kabupaten brebes bahwa waktu penyelesaian pekerjaan ditambah pasal 10(2).
C. Sebab Terjadinya Keterlambatan Penyelesaian Pekerjaan Dalam Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan Peningkatan Jalan Jemasih- Sindangwangi Tahap III Kecamatan Bantarkawung Antara Pemerintah Kabupaten Brebes Dengan CV. Xxx Xxxxxxxxx
Didalam pelaksanaan pekerjaan pemborongan, khususnya pemborongan bangunan pada proyek pemerintah. Meski telah dibuat surat perjanjian yang didalamnya berisi mengenai sanksi atau denda yang akan dikenakan apabila terjadi pelanggaran perjanjian, hal tersebut tidak menjamin bahwa dalam tahap pelaksaannya tidak terjadi pelanggaran, baik itu berasal dari kesalahan pemborong
sendiri ataupun berasal dari faktor diluar pemborong.seperti telah diutarakan dalam bab sebelunya bahwa pihak pemberi tugas dalam hal ini pemerintah telah membentuk suatu tim pengawas tersendiri untuk mewakili kepentingannya dalam hal melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perjanjian.
Faktor-faktor yang menyebabkan pelaksanaan perjanjian pemborongan antara Pemerintah Kabupaten Brebes dengan CV. Xxx Xxxxxxxxx tidak berjalan dengan baik dan menimbulkan keterlambatan dari CV. Xxx Xxxxxxxxx adalah :72
1. Adanya kenaikan harga bangunan
2. Adanya force majoure berupa curah hujan yang cukup tinggi sehingga mengakibatkan beberapa titik yang telah selesai dikerjakan menjadi longsor.
Dalam hal kenaikan harga bangunan pada pasal 20(1) jelas disebutkan bahwa kenaikan bahan – bahan bangunan ditanggung sepenuhnya oleh pihak kedua(pemborong) dikarenakan bahan baku akan disediakan oleh CV. Xxx Xxxxxxxxx sehingga seharusnya CV. Xxx Xxxxxxxxx telah memperkirakan untuk menghitung kenaikan harga bahan baku pada saat tahap Pra kontrak.
Sedangkan adanya keadaan yang diluar kehendaknya (force majeure) yaitu curah hujan yang cukup tinggi sehingga menyebabkan longsor dibeberapa titik yang telah dikerjakan, dalam hal ini sebaiknya dikembalikan pada ketentuan BW Buku III tentang perikatan pasal 1244 dan 1245yang berbunyi
Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga. bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam
72 Wawancara dengan Xxxx Xxxxxxxxx Xxxxxx, Direktris CV Xxx Xxxxxxxxx, pada tanggal 18 April 2007
melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya. walaupun tidak ada itikat buruk kepadanya.(1244)
Tidak ada penggantian biaya. kerugian dan bunga. bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.(1245)
Serta pasal 11(1) dalam perjanjian ini yang menyebutkan tentang keadaan memaksa(force majeure) diantaranya yaitu, Bencana Alam meliputi : Gempa Bumi, Tanah longsor dan Banjir. Maka dari itu seharusnya pemerintah daerah bisa memaklumi dan menerima kenyataan keterlambatan ini dikarenakan tanah yang telah dan sedang dikerjakan longsor dikarenakan curah hujan yang cukup tinggi, yang diluar pihak kedua. Dalam hal ini seharusnya diadakan perpanjangan jangka waktu pelaksanaan pekerjaan sesuai bunyi pasal 10(2) tentang perubahan jangka waktu pelaksanaan yang dapat diubah apabila terjadi force majeure.
Karena telah terjadi keterlambatan dalam hal penyerahan pekerjaan sesuai yang telah ditentukan dalam batas waktu pelaksanaan CV. Xxx Xxxxxxxxx telah meminta kepada Pemerintah Kabupaten Brebes untuk meminta perpanjangan waktu namun permohonan tersebut tidak diterima dengan alasan adanya surat edaran bupati Nomor : 050 / 07548 Tanggal 28 september 2005 Perihal Batas akhir Pelaksanaan Kegiatan Fisik Tahun Anggaran 2005. karena habisnya masa tahun anggaran itulah sehingga perpanjangan waktu pekerjaan yang diminta tidak dapat dikabulkan. Dan Pemerintah Kabupaten Brebes telah menganggap keterlambatan penyerahan pekerjaan sebagai wanprestasi dan mekanisme penyelesaiaannya dikembalikan pada perjanjian.73
73 ibid
D. Upaya Pemerintah Kabupaten Brebes Dalam Menanggapi Keterlambatan Yang Dilakukan CV. Xxx Xxxxxxxxx Dalam Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan Peningkatan Jalan Jemasih-Sindangwangi Tahap III Kecamatan Bantarkawung Antara Pemerintah Kabupaten Brebes Dengan CV. Xxx Xxxxxxxxx
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa dalam pelaksanaannya Perjanjian Pemborongan Peningkatan Jalan Jemasih-Sindangwangi Tahap III Kecamatan Bantarkawung Antara Pemerintah Kabupaten Brebes Dengan CV. Xxx Xxxxxxxxx mengalami keterlambatan dengan beberapa alasan sehingga menimbulkan tidak dapat terpenuhinya janji dari satu pihak dalam hal ini dari CV. Xxx Xxxxxxxxx stsu dengsn ksts lsin CV Xxx Xxxxxxxxx telah melakukan wanprestasi..
Sebenarnya dalam hal seperti ini dalam perjanjian telah diatur sedemikian rupa agar hal seperti ini tidak terjadi. Seperti pada umumnya perjanjian pemborongan bahwa pihak pemberi kerja selalu dapat menuntut orang sebagai pengawas pekerjaan yang dilakukan pihak kedua. Dalam Perjanjian Pemborongan Peningkatan Jalan Jemasih-Sindangwangi Tahap III Kecamatan Bantarkawung Antara Pemerintah Kabupaten Brebes Dengan CV. Xxx Xxxxxxxxx diatur dalam Pasal 4 tentang pengawasan pekerjaan yang berbunyi :
(1) Pengawas pekerjaan dilakukan oleh pengawas lapangan dan panitia pemeriksa pekerjaan
(2) Untuk melakukan pengawasan sehari-hari dan pengendalian pekerjaan, yang terjadi atas pengawasan dan tindak pengkoreksian, pihak pertama menunjuk pengawas yag bertindak untuk dan atas nama pihak pertama.
(3) Pihak kedua harus mematuhi segala petunjuk dan peringatan- peringatan secara tertulis dari pengawas lapangan dan panitia pemeriksa pekerjaan.
(4) Pihak kedua harus mematuhi segala petunjuk (dalam hal tekhnis) dan atau perintah panitia pemeriksa pekerjaan.
Namun dalam pelaksanaannya mekanisme pangawasan seperti yang diatur dalam Pasal 4 Perjanjian Pemborongan Peningkatan Jalan Jemasih-Sindangwangi Tahap III Kecamatan Bantarkawung Antara Pemerintah Kabupaten Brebes. Dengan CV. Xxx Xxxxxxxxx tidak berjalan dengan efektif, terbukti dengan tidak pernahnya dilakukan pengawasan oleh panitia pengawas tersebut.74
Dikarenakan pada tanggal 30 Desember 2005 CV Xxx Xxxxxxxxx tidak dapat menyelesaikan pekerjaan sehingga tidak menyerahkan kembali perkerjaannya kepada Pemerintah Kabupaten Brebes, maka tanpa didahului dengan surat somasi atau peringatan sebelumnya Pemerintah Kabupaten Brebes melakukan pemutusan kontrak secara sepihak dengan diterbitkannya Surat No. 050 / 30878 perihal pemberhentian Pelaksanaan kegiatan TA. 2005 yang ditujukan kepada CV Xxx Xxxxxxxxx yang menyatakan :
(1) batas waktu Tahun Anggaran 2005 telah berakhir diminta supaya saudara menghentikan kegiatan pelaksanaan pekerjaan peningkatan jalan Jemasih-Sindangwangi Tahap III Kecamatan Bantarkawung.
(2) Dengan dihentikannya telah diadakan opname pekerjaan pada akhir Desember 2005 baru mencapai 61,603%.
74 Wawancara dengan Xxxx Xxxxxxxxx Xxxxxx, Direktris CV Xxx Xxxxxxxxx, pada tanggal …….
(3) Sehubungan sampai dengan berakhirnya tahun anggaran 2005 pelaksanaan pekerjaan tidak memenui target yang telah disepakati dan dengan dihentikannya pekerjaan peningkatan jalan Jemasih- Sindangwangi Tahap III Kecamatan Bantarkawung maka CV Xxx Xxxxxxxxx dikenakan sanksi berupa :
i. Tidak diperkenankan mengikuti lelang selama satu tahun anggaran pada tahun 2006 untuk kegiatan-kegiatan APBD Kabupaten Brebes
ii. Jaminan pelaksanaan sebesar 5% dari nilai kontrak menjadi hak mutlak Pemerintah Kabupaten Brebes.
Dalam pelaksanaan perjanjian tersebut CV Xxx Xxxxxxxxx telah melakukan pekerjaan sebesar 75 % hal ini berbeda dengan perhitungan Pemerintah Kabupaten Brebes yang hanya menghitung hingga 61, 603%, dalam hal penerbitan surat pemberhentian kegiatan tersebut CV Xxx Xxxxxxxxx sama seklali tidak pernah menirima somasi ataupun peringatan dai Pemerintah Kabupaten Brebes.
Dikarenakan pemutusan kontrak sepihak tersebut maka CV Xxx Xxxxxxxxx telah menghentikan pekerjaan peningkatan jalan jemasih sindangwangi tahap III, walaupun sebelumnya pihak CV Xxx Xxxxxxxxx telah melakukan permohonan perpanjangan masa pekerjaan kepada pemerintah Kabupaten Brebes dengan alasan terjadinya keadaan diluar kehendak(force majeure) dari pihak kedua, akan tetapi hal tersebut di tolak karena telah habisnya tahun anggaran yang dibuktikan dengan keluarnya surat edaran bupati nomor 050/07548 tanggal 28 Desember
Tahun 2005 perihal batas akhir pelaksanaan kegiatan fisik tahun anggaran 2005, dalam hal ini pemerintah kabupaten brebes75 menilai bahwa kegagalan CV Xxx Xxxxxxxxx menyerahkan pekerjaan karena force majoure tidak ditanggapi, sesuai ketentuan bunyi pasal 11 ayat 4 tentang force majeure yang berbunyi ”Jika dalam waktu 3 x 24 Jam sejak diterimanya pemberitahuan pihak kedua kepada pihak pertama tidak memberikan jawaban tentang keadaan memaksa tersebut, maka keadaan memaksa dinyatakan ditolak. Sehingga berlaku ketentuan pasal 11(5) ”Bila keadaan memaksa itu ditolak oleh pihak pertama maka berlaku ketentuan pasal 22 ayat 1 dan 5 dan pasal 24 Perjanjian ini”.pemerintah sebagai pihak pertama mengambil kesimpulan pihak kedua melakukan wanprestasi
Setelah dilakukan pemutusan kontrak secara sepihak oleh Pemerintah Kabupaten Brebes maka Pemerintah Kabupaten Brebes mengambil langkah untuk mencairkan jaminan uang sebesar 5% dari nilai kontrak kepada PT Asuransi Jasa Indonesia, namun PT Asuransi Jasa Indonesia tidak mau mencairkan uang jaminan tersebut dengan alasan bahwa harus ada pernyataaan ketidaksanggupan dari CV Xxx Xxxxxxxxx untuk tidak sanggup menyelesaikan perjanjian tersebut.76 Alasan yang dikemukakan PT Asuransi Jasa Indonesia tentunya bertentangan dengan apa yang terdapat dalam perjanjian itu sendiri khususnya dalam Pasal 16 butir c yang menyatakan uang jaminan dapat dicairkan pihak pertama (Pemerintah Kabupaten Brebes) secara langsung apabila terjadi pemutusan pekerjaan.
Atas tindakan PT Asuransi Jasa Indonesia tersebut dengan tidak mencairkan uang jaminan sebesar 5% maka Pemerintah Kabupaten Brebes telah mengirim
75 Wawancara dengan Xx. XXXXXX XXXXXX, Kepala Dinas PU Kabupaten Brebes, pada tanggal 23 April 2007
76 ibid
surat hingga 7 kali untuk dapat mencairkan uang jaminan 5% tersebut dan melakukan blacklist terhadap PT Asuransi Jasa Indonesia dengan tidak pernah lagi menempatkan uang jaminan pekerjaan di PT Asuransi Jasa Indonesia sejak awal tahun 2006.77
77 ibid
BAB IV PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pada tahap pra kontrak maupun fase kontrak berjalan sepihak, terbukti dengan tidak dilibatkannya pihak kedua dalam hal ini CV Xxx Xxxxxxxxx dalam menyusun draft perjanjian yang akan ditanda tangani, melainkan pihak kedua hanya menerima kontrak yang sudah baku dan dipersiapkan oleh hanya pihak pertama. Dan dalam pelaksanaannya bahwa CV. Xxx Xxxxxxxxx telah melakukan wanprestasi dengan tidak melakukan penyerahan pekerjaan samapai batas waktu yang diberikan samapai dengan 30 Desember 2007.
Pelaksanaan perjanjian pekerjaan peningkatan jalan Jemasih-Sindangwangi tahap III Kecamatan Bantarkawung antara Pemerintah Kabupaten Brebes dengan CV. Xxx Xxxxxxxxx, telah dilaksanakan sesuai dengan Keputusan Presiden no.80 tahun 2003 tentang Pedoman pengadaan barang dan jasa Pemerintah, dimana CV. Xxx Xxxxxxxxx sebagai pelaksana pekerjaan peningkatan jalan Jemasih- Sindangwangi, atas dasar hasil lelang yang dilakukan secara terbuka oleh Pemerintah Kabupaten Brebes. Semua hal yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan peningkatan jalan telah dituangkan dalam surat perjanjian antara CV. Xxx Xxxxxxxxx dengan Pemerintah Kabupaten Brebes, namun dalam perjanjian tersebut pihak CV Xxx Xxxxxxxxx berada dalam kedudukan yang lemah dan tidak seimbang dengan pihak pemerintah.
Pemerintah daerah melakukan upaya penyelesaian atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan ini secara sepihak dan tidak mengacu pada kontrak yang telah ada karena pemutusan itu lebih didasarkan pada surat edaran yang dikeluarkan bupati mengenai habisnya masa tahun anggaran sehingga ketentuan yang ada dalam kontrak mengenai langkah perpanjangan jangka waktu pelaksanaan tidak ditempuh, dan keputusan tersebut cenderung dipaksakan. Pemerintah memberikan sanksi kepada pihak kedua sebagai perusahaan yang masuk daftar hitam sehingga CV. Xxx Xxxxxxxxx tidak dapat mengikuti lelang pada APBD tahun 2006 sebagai imbas karena keterlambatan dalam penyelesaian pekerjaan peningkatan jalan Jemasih-Sindangwangi Kabupaten Brebes.
Keputusan pemerintah kabupaten Brebes dengan menyatakan bahwa CV Xxx Xxxxxxxxx telah wanprestasi dikarenakan keterlambatan penyerahan pekerjaan tidak dapat dibenarkan, mengingat syarat materiil maupun syarat formil tentang keadaan wanprestasi juga tidak terpenuhi.
SARAN - SARAN
1) Keterlambatan penyelesaian pekerjaan yang dikarenakan adanya unsur force mojure, keadaan memaksa yang berada di luar kekuasaan para pihak (due to causes which are reasonably beyond the parties power and control). Dalam kedaan yang demikian, tidak ada pihak yang dibebankan tanggung jawab atau risiko untuk setiap kegagalan atau penundaan terhadap
pelaksanaan kewajiban sesuai dengan ketentuan pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata.
1244. Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga. bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya. walaupun tidak ada itikat buruk kepadanya.
1245. Tidak ada penggantian biaya. kerugian dan bunga. bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.
2) CV. Xxx Xxxxxxxxx seharusnya lebih teliti dalam memahami butir-butir dalam perjanjian sehingga tidak menjadi masalah di kemudian hari. Baik pihak pertama maupun pihak kedua sebaiknya mempelajari asas – asas yang berlaku dalam perjanjian yang terdapat dalam KUHPerdata khususnya Buku III yang mengatur tentang perikatan, karena tidak sesuainya suatu perjanjian dengan ketentuan yang ada demi hukum akan mengakibatkan batalnya suatu perjanjian atau dimintai pembatalan oleh salah satu pihak..
3) Mengingat kegiatan yang serupa seperti ini rutin diadakan setiap tahun sebaiknya panitia pengadaan barang dan jasa pemerintah dibekali dengan pengetahuan khusus tentang contract drafting dan mengerti dengan hukum dasar dari perjanjian.
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
1. Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxxxxx, Panduan untuk Merancang Kontrak, Grasindo, Jakarta, 2001
2. Xxxxxxx Xxxxxxx dan Xxxxxx Xxx, Hukum Perjanjian Indonesia, Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1989
3. Dumialdji, Hukum Bangunan, Dasar-dasar Hukum Dalam Proyek dan Sumber Daya Manusia, , Rineka Cipta, Jakarta, 1996
4. F.X. Xxxxxxxxx, Perjanjian Pemborongan, Bina Aksara, Jakarta, 1987
5. J. Satrio, Hukum Perjanjian, Citra Xxxxxx Xxxxx, Bandung, 1992
6. J. Satrio, Hukum Perikatan (Perikatan yang lahir dari perxxxxxxx) buku I,
Citra Xxxxxx Xxxxx, Bandung, 1995
7. J. Satrio, Hukum Perikatan, perikatan pada umumnya, Alumni, Bandung, 1993
8. Xxxxxxxx Xxxxxxx, Xxxxx Default dan Cross Collateral, Aditama,Bandung, 2004
9. Xxxxxx Xxxxxxxxxxxxxxxx, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994
10. Xxxxx Xxxxx, Pengantar Hukum Bisnis, Citra Xxxxxx Xxxxx, Bandung, 2002
11. Xxxxx Xxxxx, Kontrak Pemborongan Mega Proyek, Citra Xxxxxx Xxxxx
12. X. Xxxxx Xxxxxxx, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986
13. R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1979
14. Xxxxxx Xxxxxxxxx Xxxxxxx, “Penerapan Asas Iktikad Baik Pada Transaksi Bisnis Dalam E-Commerce), Tesis UGM, Yogyakarta, 2005
15. Xxxxxx Xxxxxxxx, Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Ctk. Kedua, Program pasca sarjana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta,2004
16. Xxx Xxxxxxx Xxxxxx Xxxxxx, Hukum Bangunan, Liberti, Yogyakarta
17. Subekti, Aneka Perjanjian, Ctkn VII, Alumni, Bandung, 1985
18. Subekti, Hukum Perdata, Ctk XXIX, inter masa, Jakarta, 2001
19. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Intermasa, Jakarta, 1987
20. Subekti, Aspek-aspek Hukum Perikatan Nasional, Alumni, Bandung, 1989
21. Subekti, Hukum Perjanjian, PT Intermasa, Jakarta, 1984
22. Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1996
23. Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, Sumur Bandung, 1981
B. Peraturan Perundang-undangan
1. Kitab Undang-undang Hukum Perdata
2. Undang-unang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi
3. Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang atau Jasa Pemerintah