THE PRINCIPLE OF THE POWER OF BINDING AGREEMENTON THE SALE AND PURCHASE OF LAND RIGHTS)
PRINSIP KEKUATAN MENGIKAT PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI HAK ATAS TANAH
(THE PRINCIPLE OF THE POWER OF BINDING AGREEMENTON THE SALE AND PURCHASE OF LAND RIGHTS)
XXXXXX XXXXXXX XXXXXXXXX, S.H. NIM 140720201008
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JEMBER FAKULTAS HUKUM MAGISTER KENOTARIATAN 2019
TESIS
PRINSIP KEKUATAN MENGIKAT PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI HAK ATAS TANAH
(THE PRINCIPLE OF THE POWER OF BINDING AGREEMENTON THE SALE AND PURCHASE OF LAND RIGHTS)
XXXXXX XXXXXXX XXXXXXXXX, S.H. NIM 140720201008
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JEMBER FAKULTAS HUKUM MAGISTER KENOTARIATAN 2019
MOTTO
Jika orang berpegang pada keyakinan, maka hilanglah kesangsian.Tetapi, jika orang sudah mulai berpegang pada kesangsian, maka hilanglah keyakinan.1
1 xxxx://xxxxxxxxxxxxxx.xxxxxxxx.xxx/0000/00/xxxxx-xxxxx-xxxxxxxx-xxxxx-xxxxx.xxxx,
diakses pada tanggal 12 Januari 2019
PERSEMBAHAN
Saya persembahkan dengan cinta dan ketulusan hati sebuah karya ilmiah berupa tesis ini kepada :
1. Orang tua saya tercinta Ibunda, Xxxx dan Papa yang telah membesarkan, merawat dan mendidik saya dengan setulus cinta dan kasih sayangnya serta mendukung saya hingga sampai pada titik saat ini saya berdiri;
2. Suami dan kedua anakku tercinta yang telah menemani dan mendukung saya di setiap waktu;
3. Almamater Tercinta Fakultas Hukum Universitas Jember yang penulis banggakan.
4. Para pengajar penulis sejak Taman Kanak-kanak hingga Perguruan Tinggi yang penulis sayangi dan hormati.
PRINSIP KEKUATAN MENGIKAT PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI HAK ATAS TANAH
THE PRINCIPLE OF THE POWER OF BINDING AGREEMENTON THE SALE AND PURCHASE OF LAND RIGHTS
XXXXXX XXXXXXX XXXXXXXXX, S.H. NIM. 140720201008
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JEMBER FAKULTAS HUKUM MAGISTER KENOTARIATAN
Jember, Maret 2019
PERSETUJUAN
TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL, 25 Januari 2019
Oleh : Pembimbing Utama,
Xxxx. Xx. Xxxxxxxxx Xxxx, S.H., X.Xx.
NIP. 195701051986031002
Pembimbing Anggota,
Xx. Xxxxx Xxxxxxxx, S.H., M.H.
NIP :196912301999031001
Koordinator Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Jember
Dr. Moh. Xxx, S.H., M.H. NIP : 197210142005011002
Tesis dengan judul :
PENGESAHAN
PRINSIP KEKUATAN MENGIKAT PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI HAK ATAS TANAH
(THE PRINCIPLE OF THE POWER OF BINDING AGREEMENTON THE SALE AND PURCHASE OF LAND RIGHTS)
Oleh :
XXXXXX XXXXXXX XXXXXXXXX, S.H. NIM. 140720201008
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Universitas Jember
Xx. Xxxxx Xxxxxxx, S.H., M.H, NIP. 197409221999031003
PENETAPAN PANITIA PENGUJI
Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji pada :
hari : Jum'at
tanggal 25
Diterima oleh Panitia Penguji Fakultas Hukum Universitas Jember
Panitia Penguji
Prof. Dr. H. M. Xxxxxxx, S.H., M.Hum., CN. NIP. 196303081988021001 |
Anggota Penguji
Prof. Xx. Xxx. Xxxxxxxx Xxxxxxx, S.H.,M.S.
.……………………...
NIP. 194907251971021001
Xxxx. Xx. Xxxxxxxxx Xxxx, S.H., X.Xx.
………………………
NIP. 195701051986031002
Xx. Xxxxx Xxxxxxxx, S.H., M.H. ………………………
NIP. 196912301999031001
PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
NAMA : XXXXXX XXXXXXX XXXXXXXXX, S.H. NIM 140720201008
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa karya ilmiah dengan judul
PRINSIP KEKUATAN MENGIKAT PERJANJIAN PENGIKATAN
JUAL
BELI HAK ATAS TANAH adalah benar-benar hasil karya sendiri, kecuali jika disebutkan sumbernya, dan belum pernah diajukan pada institusi manapun, serta bukan karya jiplakan. Saya bertanggung jawab atas keabsahan dan kebenaran isinya sesuai dengan sikap ilmiah yang harus dijunjung tinggi.
Dengan pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya tanpa tekanan dan paksaan dari pihak manapun serta bersedia mendapat sanksi akademik jika ternyata di kemudian hari pernyataan itu tidak benar.
Jember, 25 Januari 2019 Yang Menyatakan,
XXXXXX XXXXXXX XXXXXXXXX, S.H. NIM. 140720201008
UCAPAN TERIMA KASIH
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat, petunjuk, dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat mengerjakan tesis ini dengan baik dan sesuai harapan. Xxxxxxxx serta salam semoga tercurahkan kepada Xxxx Xxxxxxxx Xxx, keluarga, dan para sahabat.
Tesis ini diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan menyelesaikan program studi Magister Kenotariatan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan. Tesis ini tercipta berkat usaha, semangat, dan doa yang diwujudkan dalam suatu kajian, analisis, dan pemikiran dalam koridor disiplin ilmu hukum yang dipelajari penulis yang kemudian diimplementasikan dalam bentuk tulisan berwujud tesis berjudul “Prinsip Kekuatan Mengikat Perjanjian
Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah”.
Penulis juga menyadari bahwa tesis ini tidak akan terwujud tanpa bantuan, koreksi, dorongan, semangat, dan doa dari semua pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Yang Terhormat Bapak/Ibu :
1. Xxxx. Xx. Xxxxxxxxx Xxxx, S.H., X.Xx., selaku Dosen Pembimbing Utama tesis yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis;
2. Xx. Xxxxx Xxxxxxxx, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Anggota tesis yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis;
3. Prof. Dr. H. M. Xxxxxxx, S.H., M.Hum., CN., selaku ketua penguji tesis penulis;
4. Dr. Moh. Xxx, S.H., M.H., selaku sekretaris penguji tesis penulis;
5. Prof. Xx. Xxx. Xxxxxxxx Xxxxxxx, S.H., M.S., selaku anggota dosen penguji tesis penulis;
6. Seluruh Civitas Akademika Fakultas Hukum Universitas Jember atas bimbingan dan bantuannya selama penulis menuntut ilmu;
7. Ibundaku tercinta Xxxxx, XxxxXxxxxxx serta Papaku Xxxxxxxxx tercintayang senantiasa tak pernah lelah memberi limpahan curahan doa, kasih sayang dan pengorbanan yang tak terhingga dan tiada batasnya kepada penulis;
8. Suamiku Xxxxx Xxxxxxx AMd.Par dan kedua anakku Xxxxxx dan Keeano yang tercinta, yang memberikan semangat dan dukungan tiada batas;
9. Xxx Xxxx dan Xxxxx Xxxxxxx Mertuaku yang senantiasa memberikan limpahan doa dan kasih sayang;
10. Adik-adikku tersayang Xxxxx Xxx Xxxxx M, Xxxx Xxxxxxx R, Xxxx Xxxx Xxxxxxx X.X. dan Xxxxx Xxxxx Xxxxx Xxxxxxx yang memberikan dukungan semangat dan doanya;
11. Seluruh keluarga besar yang selalu memberikan semangat dan doa;
12. Teman-temanku di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Jember angkatan 2014;
13. Teman-teman kantor Xxxxxxx Xxxxxxx K, Xxxxxxxxxx, X.X., Xxxxxxxxx E S.H, Xxxxx Xxxxx, Xxxxxxx Xxxxxxxx, dan Xxxxxxx Xxxx serta atasanku Xxxxx Xxxxxx Xxxxxx, S.H., M.H. yang selalu memberikan semangat dan dukungannya;
14. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu dan berjasa dalam penyelesaian tesis ini.
Semoga semua doa, bimbingan, pengarahan, nasehat, bantuan, semangat, dan dorongan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang lebih baik dari Allah SWT. Akhir kata, penulis berharap semoga dengan adanya tesis ini dapat memberikan sumbangsih bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan bermanfaat serta berguna bagi semua pihak yang membutuhkannya.
Jember, 25 Januari 2019
Penulis
RINGKASAN
PRINSIP KEKUATAN MENGIKAT PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI HAK ATAS TANAH
Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah pada hakikatnya sama dengan perjanjian pada umumnya, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata tentang Perjanjian. Hanya saja Perjanjian Pengikatan Jual Beli merupakan perjanjian yang lahir akibat adanya sifat terbuka sebagaimana dalam Buku III KUHPerdata yang memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada subyek hukum untuk mengadakan perjanjian asal tidak melanggar peraturan perundang- undangan, ketertiban hukum dan kesusilaan. Akan tetapi secara khusus belum ada aturan hukum yang jelas yang mengatur mengenai Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah itu sendiri. Dibuatnya Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) adalah sebagai akibat karena belum terpenuhinya beberapa syarat yang ditentukan oleh undang-undang berkaitan dengan jual beli hak atas tanah, sehingga menghambat penyelesaian transaksi dalam jual beli hak atas tanah.
Permasalahan yang akan ditetili dalam tesis ini yaitu pertama, perjanjian pengikatan jual beli terhadap pengalihan hak atas tanah. Kedua, ratio decidendi putusan mahkamah agung terhadap perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah. Ketiga, konsep pengaturan ke depan yang ideal agar perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah sesuai dengan prinsip mengikat. Metodologi penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini yaitu tipe penelitian yang bersifat yuridis normatif.Pendekatan masalah yang digunakan dalam penyusunan tesis ini yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (Conseptual approach) dan pendekatan kasus (Case Approach). Sumber bahan hukum yang digunakan adalah sumber bahan hukum primer dan sekunder.
Kesimpulan dari tesis ini yaitu kesimpulan permasalahan pertama adalah Perjanjian pengikatan Jual Beli merupakan sebuah praktik yang dilakukan oleh kalangan Notaris untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan jual-beli hak atas tanah. Status tanah yang menjadi obyek dari Perjanjian Pengikatan Jual Beli meskipun sudah dibayar lunas dan sudah diserahterimakan kepada pembeli belum terjadi pengalihan hak kepemilikan karena belum dilakukan proses jual beli dengan dibuatnya Akta Jual Beli oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah maka secara hukum tanah tersebut masih menjadi milik penjual. Kemudian kesimpulan permasalahan kedua adalah Pertimbangan hakim dalam putusan Mahkamah Agung terhadap Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak atas tanah antara lain terkait adanya pembayaran sebelum perjanjian jual beli tetapi karena dalam kwitansi tanda terima maka hal tersebut dianggap sebagai pembayaran tanah dan merupakan bagian dari pembayaran harga tanah yang diperjanjikan. Perjanjian Pengikatan Jual Beli adalah sah secara hukum karena telah memenuhi syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPerdata baik syarat subyektif maupun syarat obyektif.. Menurut perspektif hukum normatif, kemudian pengaturan kedepannya yang ideal mengenai perjanjian pengikatan jual beli agar memenuhi prinsip kekuatan mengikat adalah ketika pihak penjual yang melakukan wanprestasi bisa dituntut dengan tuntutan ganti rugi, pembatalan perjanjian, peralihan risiko dan pembayaran biaya perkara, maka dalam lingkup hukum pidana, pihak penjual yang
wanprestasi bisa dituntut melakukan tindakan penipuan karena apa yang telah diperjanjikan ternyata tidak sesuai dengan apa yang telah diberikan. Ganti rugi tersebut dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Saran untuk lembaga legislatif sebagai lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan sebaiknya mengenai pengikatan jual beli diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan terutama yang berkaitan dengan masalah pertanahan, sehingga para pihak yang memakai pengikatan jual beli sebagai perjanjian pendahuluan dalam jual beli hak atas tanah lebih terlindungi hak- hak nya. Perlu adanya aturan secara khusus yang mengatur mengenai syarat-syarat dapat dilakukannya Perjanjian Pengikatan Jual Beli dan dalam hal apa saja perjanjian pengikatan Jual Beli dapat dilakukan, serta mengenai kedudukan sertipikat hak atas tanah tersebut. Sehingga dengan diaturnya Perjanjian Pengikatan Jual Beli dalam aturan khusus, paling tidak dapat memberikan rasa aman bagi para pihak dan bagi pihak pembeli khususnya. Dengan diaturnya Perjanjian Pengikatan Jual Beli secara khusus tentunya juga akan mempermudah Notaris dan dapat dijadikan bahan atau acuan oleh Notaris dalam membuat Perjanjian Pengikatan Jual Beli. Sehingga Notaris punya rambu-rambu dalam membuat perjanjian tersebut, tidak hanya sebatas keinginan/kesepakatan para pihak saja, dan tidak sebatas karena belum dapat dilakukan AJB di depan PPAT saja, akan tetapi harus dikhususkan dalam hal apa saja dan kapan Notaris dapat membuat PPJB tersebut. Atau paling tidak apabila terhadap aturan khusus mengenai Perjanjian Pengikatan Jual Beli hak atas tanah belum dapat diatur/belum ada aturan yang mengatur secara khusus, maka seharusnya Notaris dalam hal membuat perjanjian pengikatan Jual Beli hak atas tanah harus mampu memformulasikan ke dalam isi Perjanjian Jual Beli mengenai hal-hal yang dapat melindungi pihak-pihak yang berkepentingan dalam Perjanjian tersebut. Misal perlu adanya klausula yang tegas mengenai akibat dari tidak dilakukannya prestasi dalam perjanjian tersebut, dan mengenai ganti rugi atau yang dapat dipersamakan dengan itu bagi pihak-pihak yang dirugikan akibat tidak dipenuhinya prestasi sebagaimana termuat di dalam perjanjian tersebut.
Kata kunci : kekuatan mengikat, perjanjian, pengikatan, jual beli, hak, tanah.
SUMMARY
THE PRINCIPLE OF THE POWER OF BINDING AGREEMENTON THE SALE AND PURCHASE OF LAND RIGHTS
The conclusion of this thesis is the conclusion of the first problem is the sale and purchase agreement is a legal discovery carried out by Notaries to overcome the problems faced in the implementation of sale and purchase of land rights and the deed of agreement to Buy and Sell becomes an authentic deed. Because it has been made in front of or by an authorized official (one of them Notary) so that it has fulfilled the provisions or conditions regarding authentic deeds which must be made "by" (door) or "in front of" (ten overstaan) a public official, so that it has very evidentiary strength strong and has fulfilled the principle of binding strength based on the principle of pacta sun servanda both made before the authorized official and made under the deed under the hand. Then the conclusion of the second problem is the deed of sale and purchase agreement made before the notary / PPAT has accommodated the principle of binding power. Because the deed of sale and purchase agreement is an authentic deed, this is based on the provisions in article 1 number 1 of Act Number 2 of 2014 concerning Amendment to Law Number 30 of 2004 concerning Notary Position which states that a Notary is the General Officer authorized to make deeds authentic and the provisions of article 1868 of the Civil Code regarding the requirements for the authenticity of a deed. According to the normative legal perspective, then the ideal future arrangement regarding the sale
Keywords : the power of binding, agreement, binding, sale dan purchase, right, land.
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DEPAN i
HALAMAN DAFTAR TABEL DAN BAGAN xviii
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 12
1.4 Orisinalitas Penelitian 14
1.5 Metodologi Penelitian 15
1.5.1 Tipe Peneltian 16
1.5.2 Pendekatan Masalah 17
1.5.3 Sumber Bahan Hukum 18
1.5.4 Analisis Bahan Hukum 20
BAB 2. KAJIAN TEORITIS 23
2.1 Jual Beli Tanah 23
2.1.1 Pengertian Jual Beli Tanah 23
2.1.2 Syarat sahnya Jual Beli Tanah 27
2.2 Akta 28
2.7 Teori tentang Perjanjian 47
4.1 Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak atas Tanah 56
4.1.1 Kekuatan Mengikat Perjanjian Pengikatan Jual Beli 60
4.1.2 Peralihan Hak atas Tanah pada Perjanjian Pengikatan
4.2 Ratio Decidendi Putusan Mahkamah Agung terhadap
Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak atas Tanah 78
4.2.1 Analisis Putusan MA Nomor 840K/Pdt/2005 80
4.2.2 Analisis Putusan MA Nomor 861K/Pdt/2012 87
4.3 Pengaturan ke depan Perjanjian Pengikatan Jual Beli 97
4.3.1 Pengaturan Perjanjian Pengikatan Jual Beli
4.3.2 Pengaturan Perjanjian Pengikatan Jual Beli
BAB 5. PENUTUP 108
5.1 Kesimpulan 108
5.2 Saran 109
DAFTAR BACAAN LAMPIRAN
DAFTAR TABEL DAN BAGAN
Tabel : 1. Originalitas Penelitian Bagan : 1. Kerangka Konseptual
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran :
1. Putusan MA Nomor 840K/Pdt/2005.
2. Putusan MA Nomor 861K/Pdt/2012.
1.1 Latar Belakang
Keberadaan tanah pada dasarnya sangat penting dan erat kaitannya dengan kehidupan manusia. Setiap orang tentu memerlukan tanah, bahkan bukan hanya dalam kehidupannya untuk mati ia juga memerlukan sebidang tanah. Jumlah luas tanah yang dapat dikuasai oleh manusia terbatas sekali, sedangkan jumlah manusia yang berkeinginan terhadap tanah senantiasa bertambah banyak. Tanah sangat penting dalam kehidupan manusia, karena kehidupan manusia itu tidak dapat dipisahkan dari tanah, mereka hidup diatas tanah dan memperoleh bahan pangan dengan cara mendayagunakan tanah.2 Sejarah perkembangan atau kehancurannya ditentukan pula oleh tanah, masalah tanah dapat menimbulkan persengketaan dan peperangaan yang dahsyat karena manusia-manusia atau suatu bangsa ingin menguasai tanah orang atau bangsa lain karena sumber-sumber alam yang terkandung didalamnya.
Manusia akan hidup senang serba berkecukupan kalau mereka dapat menggunakan tanah yang dikuasai atau dimilikinya sesuai dengan hukum alam yang berlaku, dan manusia akan hidup tentram dan damai kalau mereka dapat menggunakan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam masyarakat. Sebutan tanah dalam keseharian dapat dipakai dalam berbagai arti, karena itu dalam penggunaannya perlu diberi batasan agar dapat diketahui dalam
2 X.Xxxxxxxxxxxxx, Hukum Tanah, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1991), hlm.1
hal apa istilah tersebut digunakan. Xxxxx Xxxxxxx memberi batasan tentang pengertian tanah berdasarkan apa yang dimaksud dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, bahwa: Dalam hukum tanah, kata tanah dipakai dalam arti yuridis sebagai suatu pengertian yang telah diberi batasan resmi oleh UUPA sebagaimana dalam pasal 4 dinyatakan, bahwa hak menguasai dari Negara ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan hukum.3
Berdasarkan pengertian tanah dalam Pasal 4 UUPA tersebut, tanah mempunyai nilai ekonomis yang sangat tinggi sehingga menjadi kewajiban setiap orang untuk memelihara dan mempertahankan eksistensi sebagai benda yang bernilai ekonomis karena tanah selain itu bermanfaat pula bagi pelaksanaan pembangunan namun tanah juga sering menimbulkan berbagai macam persoalan bagi manusia sehingga dalam pengunaanya perlu dikendalikan dengan sebaik- baiknya agar tidak menimbulkan masalah dalam masyarakat.
Perolehan hak atas tanah lebih sering dilakukan dengan pemindahan hak, yaitu melalui jual beli. Pengertian jual beli dalam pengertian sehari hari dapat diartikan, dimana seseorang melepaskan uang untuk mendapatkan barang secara sukarela. Menurut Xxxxx 1457 KUHPerdata disebutkan bahwa:
“Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan.”
3 Xxxxx Xxxxxxx, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta : Djambatan, 2008), hlm.18
Jual beli yang dimaksud disini adalah jual beli hak atas tanah dalam praktek disebut jual beli tanah, secara yuridis adalah hak atas tanah bukan tanahnya, memang benar bahwa tujuan membeli hak atas tanah adalah supaya pembeli dapat secara sah mengusai dan menggunakan tanah.4 Keadaan tersebut berbeda dengan ketentuan tentang perjanjian jual beli yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, karena sesuai dengan Pasal 1458 KUHPerdata yang berbunyi:
“Jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak sewaktu mereka telah mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar.”5
Atas dasar ketentuan pasal tersebut, terlihat bahwa perjanjian dianggap telah ada sejak tercapai kata sepakat meskipun barang yang diperjanjikan belum diserahkan maupun harganya belum dibayar. Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.6 Sedangkan menurut Pasal 1313 KUHPerdata
“Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”
Dari perjanjian tersebut timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Arti dari perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.7
4 Xxxx Xxxxxxx, Pendaftaran dan Peraliahan Hak Atas Tanah, (Jakarta : Prenada Media Group, 2010), hlm 358
5 R.Subekti, R Xxxxxxxxxxxxx, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-Undang Agraria dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta : PT Xxxxxxx Xxxxxxxx, 2001), hlm 366
6 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 2005), hlm. 1.
7 Ibid, hlm.2
Perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian timbal balik, di mana pihak yang satu (penjual) berjanji akan menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain (pembeli) akan membayar harga yang telah dijanjikan sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya bahwa perbuatan hukum yang berkaitan dengan hak atas tanah telah diatur ketentuannya. Konsekuensi dari adanya hal-hal yang perlu juga diperhatikan sebelum pembuatan akta jual beli yaitu harus dipenuhinya causa-causa perjanjian jual beli mengenai hak atas tanah dilakukan. Beberapa hal yang perlu juga diperhatikan bisa berhubungan dengan persyaratan yang menyangkut tentang objek jual belinya maupun tentang subjek jual belinya.
Semenjak diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), maka pengertian jual beli tanah bukan lagi suatu perjanjian seperti disebutkan dalam Pasal 1457 KUHPerdata melainkan perbuatan hukum pemindahan hak untuk selama lamanya yang bersifat tunai, dan kemudian diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang menentukan bahwa jual beli tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang biasa disebut dengan (PPAT) sebagaimana yang tersirat dalam Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Selain diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, hal ini juga diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa:
“PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.”
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan tersebut di atas, bahwa jual beli tanah harus dilakukan di hadapan PPAT hal ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan, juga untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Akta otentik yang di buat oleh PPAT merupakan alat bukti terkuat dan terpenuh mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat dalam berbagai hubugan bisnis, kegiatan dibidang perbankan, pertanahan, kegiatan sosial dan lain-lain. Kebutuhan akan pembuktian tertulis berupa akta autentik makin meningkat sejalan dengan berkembangnya tuntutan akan kepentingan hukum, baik pada pada tingkat nasional, regional. Dengan akta otentik ditentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum, dan sekaligus diharapkan pula dapat dihindari terjadinya sengketa.8
Dalam perkara perdata, akta otentik yang dikeluarkan oleh Notaris sebagai pejabat yang diangkat oleh pemerintah merupakan alat bukti yang bersifat mengikat dan memaksa, mengandung maksud hakim harus membenarkan akta otentik tersebut. Adapun akta notaris batal demi hukum apabila tidak memenuhi syarat
8 Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta : Sinar Grafika, 2012), hlm.170
subyektif dan syarat obyektif (Penjelasan Atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, TLNRI Nomor 5491). 9
Pasal 1868 KUHperdata menjelaskan bahwa Akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Dengan akta otentik yang menentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum, dan sekaligus diharapkan pula dapat dihindari terjadinya sengketa. Walaupun sengketa tersebut tidak dapat dihindari, dalam proses penyelesaian sengketa tersebut, selain itu pasal 1868 KUHperdata menjeleaskan bahwa akta otentik yang merupakan alat bukti tertulis terkuat dan terpenuh memberi sumbangan nyata bagi penyelesaian perkara secara murah dan cepat.10
Terkait jual beli hak atas tanah, banyak persyaratan yang harus dipenuhi untuk jaminan kepastian hukum bagi penjual maupun pembeli. Persyaratan tentang objek jual belinya, misalnya hak atas tanah yang akan diperjualbelikan merupakan hak atas tanah yang sah dimiliki oleh penjual yang dibuktikan dengan adanya sertifikat tanah atau tanda bukti sah lainnya tentang hak tersebut, dan tanah yang diperjualbelikan tidak berada dalam sengketa dengan pihak lain, dan sebagainya. Sedangkan persyaratan tentang subjek jual belinya, misalnya ada pembeli yang mensyaratkan bahwa hak atas tanah yang akan dibelinya harus mempunyai sertifikat bukti kepemilikan hak atas tanah, sedangkan tanah yang akan
9 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx, Etika Profesi Notaris dalam Penegakan Hukum Pidana, (Yogyakarta, PT. Xxxx Xxxxx Xxxxxxx, 1997), hlm. 4
10 Ibid, hlm.9
dibeli belum mempunyai sertifikat atau harga objek jual beli belum bisa dibayar lunas oleh pembeli. Apabila persyaratan-persyaratan tersebut belum dipenuhi maka penandatanganan terhadap akta jual beli hak atas tanah belum bisa dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang bersangkutan juga akan menolak untuk membuatkan akta jual belinya sebagai akibat belum terpenuhinya semua syarat tentang pembuatan akta jual beli (AJB).
Keadaan ini tentunya sangat tidak menguntungkan atau bahkan bisa merugikan terhadap para pihak yang melakukan jual beli hak atas tanah, karena dengan keadaan tersebut pihak penjual di satu sisi harus menunda dulu penjualan tanahnya, agar semua persyaratan tersebut dapat terpenuhi, yang dengan sendirinya juga tertunda keinginannya untuk mendapatkan uang dari penjualan hak atas tanahnya tersebut. Hal yang sama juga berlaku terhadap pihak pembeli, dengan keadaan tersebut pihak pembeli juga tertunda keinginannya untuk mendapatkan hak atas tanah yang akan dibelinya. Untuk mengatasi hal tersebut, dan guna kelancaran tertib administrasi pertanahan maka ditemukan suatu terobosan hukum dan hingga kini masih dilakukan dalam praktek yaitu dengan dibuatnya akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB), meskipun isinya sudah mengatur tentang jual beli tanah namun formatnya baru sebatas pengikatan jual beli yaitu suatu bentuk perjanjian yang merupakan atau dapat dikatakan sebagai perjanjian pendahuluan sebelum dilakukannya perjanjian pokok sebagaimana diatur dalam perundang- undangan yang dibukukan dalam suatu akta yaitu akta perjanjian pengikatan jual beli.
Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah pada hakikatnya sama dengan perjanjian pada umumnya, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata tentang Perjanjian. Hanya saja Perjanjian Pengikatan Jual Beli merupakan perjanjian yang lahir akibat adanya sifat terbuka sebagaimana dalam Buku III KUHPerdata yang memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada subyek hokum untuk mengadakan perjanjian asal tidak melanggar peraturan prundang- undangan, ketertiban hokum dan kesusilaan. Akan tetapi secara khusus belum ada aturan hokum yang jelas yang mengatur mengenai Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah itu sendiri.
Dibuatnya Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) adalah sebagai akibat karena belum terpenuhinya beberapa syarat yang ditentukan oleh undang-undang berkaitan dengan jual beli hak atas tanah, sehingga menghambat penyelesaian transaksi dalam jual beli hak atas tanah. Adapun syarat tersebut timbul atau lahir dari peraturan perundang-undangan dan ada pula yang timbul sebagai kesepakatan para pihak yang akan melakukan jual beli hak atas tanah.
Syarat yang timbul dari peraturan undang-undang yaitu misalnya jual beli harus lunas baru Akta Jual beli (AJB) dapat dibuat dan ditanda tangani oleh para pihak, sedangkan syarat yang timbul karena kesepakatan para pihak misalnya yaitu biasanya sering dibuat karena obyek yang diperjualbelikan (obyek si penjual) masih dalam jaminan Bank atau dapat pula si pembeli belum mampu untuk membayar semua harga pembelian secara lunas atau pembayaran dilakukan secara bertahap sebagaimana dengan kesepakatan para pihak. Syarat yang timbul karena kesepakatan para pihak pada umunya yang sering terjadi pada masyarakat.
Perjanjian Pengikatan Jual Beli ada 2 macam, yang pertama jika bentuk Perjanjian Pengikatan Jual Beli Lunas, maka praktek yang terjadi di masyarakat terdapat kuasa untuk menjual. Fungsi dari kuasa untuk menjual ini adalah perlindungan (kepastian hukum) kepada pembeli yang sudah membayar lunas tetapi belum bisa balik nama sertifikat tersebut karena ada syarat yang belum dipenuhi. Konsep dasar transaksi jual beli tanah adalah terang dan tunai. Terang, berarti dilakukan secara terbuka, jelas objek dan subjek pemilik, lengkap surat-surat serta bukti kepemilikannya. Tunai, berarti dibayar seketika dan sekaligus. Dibayarkan pajak-pajaknya, tanda tangan Akta Jual Beli, untuk kemudian diproses balik nama sertifikatnya.
Namun, pada praktiknya, karena berbagai alasan, konsep terang dan tunai itu seringkali belum dapat dipenuhi, akan tetapi transaksi tidak bisa dilakukan, namun dengan menggunakan instrumen lain, yaitu dengan Pengikatan Jual Beli (PJB) sebagai pengikat, sebagai tanda jadi transaksi jual beli tersebut, sambil menunggu yang belum beres. Belum terpenuhinya persyaratan untuk Akta Jual Beli, bisa jadi karena pembayaran belum lunas/dicicil, sertifikat masih dalam proses pemecahan atau proses lainnya, belum mampu membayar pajak, atau kondisi lainnya yang legal. Dan yang kedua jika bentuknya adalah Pejanjian Jual Beli Belum Lunas, maka di dalamnya tidak ada kuasa, kecuali syarat-syarat pemenuhan suatu kewajiban. Sedangkan jika pembayaran sudah lunas dan dibuatkan Perjanjian Jual Beli Lunas, maka di dalamnya dibarengi dengan Kuasa untuk menjual, dari penjual kepada pembeli. Jadi, ketika semua persyaratan sudah terpenuhi, tanpa perlu kehadiran penjual-karena sudah terwakili-sudah memberikan kuasa, dengan
redaksi kuasa untuk menjual kepada pembeli, Notaris/PPAT dapat langsung membuatkan akta jual belinya untuk kemudian memproses balik nama sertifikatnya. Ketentuan Pasal 1792 KUHPerdata menyebutkan bahwa:
“Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya, menyelengarakan suatu urusan”
Adapun beberapa kasus yang terkait tentang Perjanjian Pengikatan Jual Beli. Pada kasus pertama, Xxxx Xxxxxxxxx yaitu Pemohon Kasasi dahulu Tergugat/ Pembanding merupakan pembeli atas beberapa bidang tanah milik Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx yang merupakan Termohon Kasasi dahulu Penggugat/ Terbanding. Xxxx Xxxxxxxxx si pembeli telah membeli beberapa tanah hak milik si Penjual yaitu Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx dengan harga keseluruhan Rp. 4.000.000.000,- (empat milyar rupiah), pembelian tanah tersebut dibayar secara bertahap oleh pembeli dikarenakan objek jual beli masih dalam jaminan Bank. Pihak Pembeli dan Pihak Penjual kemudian membuat kesepakatan yang dituangkan dalam Akta Perjanjian Pengikatan jual Beli yang dibuat dan ditanda tangani di hadapan Xxxx Xxxxxxx, Sarjana Hukum, Notaris di Bandung, dengan nomor 76 tanggal 27 April 2007. Dalam berlangsungnya tahapan pembayaran yang telah dilakukan oleh Pemohon Kasasi, menurut pemohon kasasi telah terjadi Wanprestasi yang dilakukan oleh Terxxxxx Xxxxxx. Akan tetapi pada kasus tersebut Mahkamah Agung membuat Putusan nomor 861 K/ Pdt/2012 yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi.
Begitu pula pada kasus ke dua yang juga hampir serupa dengan kasus pertama di atas. Pada kasus ke dua ini Xxxxxxxx Xxxxx yaitu Pemohon Kasasi dahulu
Tergugat atau Terbanding melawan Xxxxxxx Xxxxxxxx dan Bee Robin yang merupakan Para Termohon Kasasi dahulu Para Penggugat atau Pembanding. Pada kasus ini pemohon Kasasi sebagai Pembeli dan Para Termohon Kasasi sebagai Penjual juga telah melakukan transaksi Jual Beli yang pembayarannya dilakukan secara mencicil sehingga para pihak sepakat untuk membuat Perjanjian Ikatan Jual Beli, dan yang menjadi gugatan dari para termohon kasasi dahulu Para Penggugat atau Pembanding yaitu bahwa pemohon kasasi dahulu Tergugat atau Terbanding telah wanprestasi, akan tetapi pada putusan Mahkamah Agung membuat putusan nomor 840 K/Pdt/2005 yang menerima Permohonan Kasasi dari Pemohon Kaasi yaitu Xxxxxxxx Xxxxx.
Berdasarkan beberapa kasus tersebut diatas, para pihak selalu menggunakan Perjanjian Pengikatan Jual Beli sebagai jembatan apabila pembayaran belum terbayar lunas oleh pembeli dan atau pula si Penjual yang dimana syarat atau objek jual beli masih dalam jaminan Bank. Perjanjian pengikatan jual beli tanah dibuat untuk menjembatani sebelum jual beli dilakukan di hadapan PPAT, supaya di kemudian hari para pihak baik penjual maupun pembeli tidak dapat memungkirinya, bahwa penjual telah menjual dan menyerahkan obyek tersebut kepada pembeli, dan terhitung tanggal hari itu juga yang diperjual belikan berpindah tangan kepada pembeli. Berdasarkan uraian di atas perlu untuk dikaji mengenai Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah, dalam bentuk penulisan tesis hukum dengan judul: “Prinsip Kekuatan Mengikat Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah perjanjian pengikatan jual beli telah mengakibatkan terjadinya peralihan hak atas tanah?
2. Bagaimana ratio decidendi putusan Mahkamah Agung terhadap Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak atas Tanah?
3. Bagaimana konsep pengaturan ke depan perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah agar sesuai dengan prinsip kekuatan mengikat?
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan Penelitian
Menurut Xxxxxxxx, tujuan penelitian adalah hal penentuan tujuan (doelstelling) atau kepentingan pengetahuan (kennisbelang). 11 Pada dasarnya tujuan penulisan tesis ini merupakan tujuan yang berkaitan dengan obyek studi. Dalam penulisan tesis ini tujuan yang hendak dicapai adalah:
1. Untuk mengkaji dan menganalisis perjanjian pengikatan jual beli terhadap pengalihan hak atas tanah.
2. Untuk mengkaji dan menganalisis ratio decidendi putusan Mahkamah Agung terhadap Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak atas Tanah.
11 X.X.X Xxxxxxxx, Alih Bahasa Xxxxx Xxxxxxxx, Refleksi tentang Hukum, (Bandung, Citra Xxxxxx Xxxxx, 1996) hlm.216
3. Untuk mengkaji dan menganalisis konsep pengaturan ke depan perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah agar sesuai dengan prinsip kekuatan mengikat.
Manfaat Penelitian
Setiap penelitian selalu diharapkan dapat memberi manfaat pada semua pihak. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
Karya tulis ini dapat memberikan bahan pertimbangan kepada pemerintah selaku pemegang kekuasaan yang berwenang dalam membuat dan menyusun peraturan perundang-undangan di bidang Hukum Perjanjian dan Kenotariatan. Selain itu, karya tulis ini dapat dijadikan acuan ataupun bahan rujukan dalam penelitian lanjutan dalam bidang Hukum Perjanjian, khususnya perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah dan Kenotariatan.
1.4 Orisinalitas Penelitian
Karya ilmiah ini adalah benar-benar hasil karya sendiri, kecuali jika disebutkan sumbernya, dan belum pernah diajukan pada institusi manapun, serta
bukan karya xxxxxxxx. Adapun beberapa karya ilmiah yang telah ada dan mempunyai tema yang sama dalam hal kepailitan terhadap notaris dengan karya penulis antara lain :
Xxxxxxx Xxx Xxxxxxx, Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Islam Malang, Malang. | 1. Apa Dasar kewenangan Notaris untuk membuat Perjanjian Pengikatan Jual Beli dan Kuasa Untuk Menjual? | ||||
Iga Xxxxx Xxxxxx Xxxx, Magister Kenotariatan, Universitas Brawijaya, Malang | (3) jo Pasal 26 (2) Undang-Undang Nomor 5 tahun 2. Apakah Implikasi hukum dari akta perjanjian dan kuasa atas tanah yang dibuat dihadapan Notaris? | Kedudukan surat keterangan Notaris dengan kuasa menjual sebagai dasar dibuatnya akta jual beli balik nama yang dibuat oleh dan/ atau dihadapan PPAT berfungsi sebagai perjanjian bantuan dan akta di bawah tangan untuk melindungi posisi pembeli dan juga memperlancar pekerjaan Notaris/PPAT dalam membuat akta jual beli beserta pendaftaran peralihan hak atas tanah yang menjadi obyek jual beli. Dengan dibuatnya perjanjian pengikatan jual beli dan kuasa menjual haknya pembeli sudah ada dan dapat terlindungi. |
Tesis yang dibuat dalam hal ini berbeda dari berapa penelitian sejenis sebagaimana disebutkan di atas, perbedaan tersebut dari metode penelitian dalam
hal ini lebih normatif, dengan menekankan permasalahan pada prinsip kekuatan mengikat dalam pengikatan jual beli tanah. Hal lainnya yang diangkat menyangkut apakah akta notaris/PPAT sudah mengakomodasi prinsip kekuatan mengikat dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli dan konsep pengaturan kedepan perjanjian pengikatan jual beli tanah agar sesuai dengan prinsip kekuatan mengikat.
Metode Penelitian
Dalam pembuatan suatu karya ilmiah tentu tidak akan terlepas dari metode penelitian. Penelitian hukum dilakukan untuk dapat menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadap. 12 Metode penelitian ini akan mempunyai peranan penting dalam pembuatan karya ilmiah yaitu untuk mengkaji obyek agar dapat dianalisis dengan benar. Dengan pengkajian tersebut diharapkan akan mempunyai alur pemikiran yang tepat dan mempunyai kesimpulan akhir yang dapat dipertangggungjawabkan secara ilmiah.
Metode merupakan cara kerja bagaimana menemukan hasil atau memperoleh atau menjalankan suatu kegiatan, untuk memperoleh hasil yang konkrit. Menggunakan suatu metode dalam melakukan suatu penelitian merupakan ciri khas dari ilmu pengetahuan untuk mendapatkan suatu kebenaran hukum. Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Sedangkan penelitian hukum adalah suatu proses untuk
12 Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana Persada Group, 2010).
Hlm. 35. (selanjutnya disebut Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx X)
menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.13 Pada penulisan tesis ini menggunakan metode yang terarah agar dapat memberikan pemikiran yang sistematis dalam usaha menguji kebenaran ilmiah atas masalah yang dihadapi.
Tipe Penelitian
Tipe penelitian dalam tesis ini adalah Xxxxxxx Xxxxxxxx (Legal Research). Hukum sebagai konsep normatif adalah hukum sebagai norma, baik yang diidentikkan dengan keadilan yang harus diwujudkan (ius constituendum) ataupun norma yang telah terwujud sebagai perintah yang eksplisit dan yang secara positif telah terumus jelas (ius constitutum) untuk menjamin kepastiannya dan juga berupa norma-norma yang merupakan produk dari seorang hakim (judments) pada waktu hakim itu memutuskan suatu perkara dengan memperhatikan terwujudnya kemanfaatan dan kemaslahatan bagi para pihak yang berperkara. 14 Pengertian penelitian tipe Yuridis Normatif ini adalah penelitian yang dilakukan dengan mengkaji dan menganalisis substansi peraturan perundang-undangan atas pokok permasalahan atau isu hukum dalam konsistensinya dengan asas-asas hukum yang ada.15
1.5.2 Pendekatan Masalah
13 Ibid.
14 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000). Hlm. 33
15 Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx X. Op.cit. Hlm. 32.
Pada penelitian hukum, terdapat berbagai macam pendekatan yang dapat dipilih. Penggunaan pendekatan yang tepat dan sesuai akan membawa alur pemikiran pada kesimpulan yang diharapkan. 16 Dalam penulisan tesis ini digunakan pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan konseptual (conseptual approach).
Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Berdasar pendekatan ini akan dikaji kesesuaian antara undang- undang satu dengan undang-undang lain untuk mendapat argumentasi yang sesuai. Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan perudang- undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.
Pendekatan konseptual (conseptual approach) beranjak dari pandangan- pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum. Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum dalam menyelesaikan isu yang dihadapi.17
Pendekatan kasus (case approach), Pendekatan ini dilakukan dengan cara menelaah kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi dan telah menjadi putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.18 Pada Penelitian ini, Peneliti menggunakan Putusan Mahkamah Agung Nomor 840 K/Pdt/2005 dan
16 Ibid, Hlm. 93-95.
17 Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx X. Op.cit. Hlm. 95.
18 Ibid, hlm.171
Putusan Mahkamah Agung Nomor 861 K/Pdt/2012 dan digunakan sebagai contoh kasus untuk menjawab permasalahan tentang prinsip kekuatan mengikat dalam pengikatan jual beli tanah.
Sumber Bahan Hukum
Bahan hukum digunakan untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang seharusnya, diperlukan sebagai sumber- sumber penelitian. Bahan hukum yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah:
Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer mempunyai sifat autoritatif, yang artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.19 Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian tesis ini terdiri dari:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Kitab Undang Undang Hukum Perdata (BW);
3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang- undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
5. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah;
19 Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx X. Op.cit. Hlm.141.
6. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas Tanah dan/atau Bangunan Beserta Perubahannya.
7. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah.
Selain itu dipergunakan pula beberapa ketentuan perundang-undangan atau peraturan lainnya yang terkait serta semua peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dikaji. Bahan hukum primer tersebut kemudian dianalisis, dikembangkan, dibandingkan, dan diuji untuk memperoleh kebenaran pengetahuan secara teoritis dan ilmiah. Kesemuanya itu kemudian dihubungkan dan digunakan untuk mengembangkan jawaban dalam pokok permasalahan penyusunan tesis hukum ini.
Bahan Hukum Sekunder
Sumber bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu untuk menganalisis dan memahami bahan hukum primer yang telah ada. Bahan hukum sekunder juga memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti misalnya hasil karya tulis ilmiah para sarjana dan para ahli yang berupa literatur sehingga dapat mendukung, membantu dan melengkapi dalam membahas masalah-masalah yang timbul dalam rangka penyusunan tesis ini. Selain itu bahan hukum sekunder
diperoleh dari buku-buku, artikel hukum, jurnal hukum, karya tulis ilmiah, serta data-data penunjang lain yang berkaitan dengan masalah penyusunan tesis ini.
Analisis Bahan Hukum
Analisis bahan penelitian dalam tesis ini menggunakan analisis normatif kualitatif, yaitu cara untuk memperoleh gambaran singkat suatu masalah yang tidak didasarkan atas angka-angka statistik melainkan didasarkan atas suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berkaitan dengan permasalahan yang dibahas. Selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif yaitu menyimpulkan pembahasan dari hal-hal yang bersifat umum menuju ke hal- hal yang bersifat khusus.
Hal tersebut dapat diartikan sebagai suatu pembahasan yang dimulai dari permasalahan yang bersifat umum menuju permasalahan yang bersifat khusus. Sebagai cara untuk menarik kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah terkumpul dipergunakan metode analisa bahan hukum deduktif, yaitu suatu metode penelitian berdasarkan konsep atau teori yang bersifat umum di aplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data, atau menunjukkan komparasi atau hubungan seperangkat data dengan seperangkat data yang lain dengan sistematis berdasarkan kumpulan bahan hukum yang diperoleh, di tambahkan pendapat para sarjana yang mempunyai hubungan dengan bahan kajian sebagai bahan komparatif. Langkah-langkah selanjutnya yang dipergunakan dalam melakukan suatu penelitian hukum, yaitu:20
20 Ibid, hlm.171
21
a) Mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminir hal-hal yang tidak relevan untuk menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan;
b) Pengumpulan bahan-bahan hukum dan sekiranya dipandang mempunyai relevansi juga bahan-bahan non-hukum;
c) Melakukan telaah atas isu hukum yang diajukan berdasarkan bahan-bahan yang telah dikumpulkan;
d) Menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi yang menjawab isu hukum;
e) Xxxberikan preskripsi berdasarkan argumentasi yang telah di bangun di dalam kesimpulan.
Langkah-langkah ini sesuai dengan karakter ilmu hukum sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskripsi, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep- konsep hukum dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan, ilmu hukum menerapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum. Oleh karena itu, langkah-langkah tersebut dapat diterapkan baik terhadap penelitian untuk kebutuhan praktis maupun yang untuk kajian akademis.
BAB 2. KAJIAN TEORITIS
2.1 Jual Beli Tanah
2.1.1 Pengertian Jual Beli Tanah
Pengertian Jual Beli tanah Menurut Hukum Adat Menurut X.Xxxxxxx Bzn dalam hukum adat, jual beli hak atas tanah merupakan suatu perbuatan hukum yang berupa penyerahan tanah yang bersangkutan dari penjual kepada pembeli untuk selama-lamanya, pada saat mana pihak pembeli menyerahkan harganya pada penjual.21 Dalam hukum adat, jual beli hak atas tanah dilakukan oleh Kepala Desa yang karena kedudukannya bahwa jual beli itu tidak melanggar hukum yang berlaku. Jadi Kepala Desa tidak hanya bertindak sebagai saksi melainkan sebagai pelaku hukum. Kepala Desa ini juga bertindak sebagai orang yang menjamin tidak adanya suatu pelanggaran hukum yang berlaku dalam hal jual beli itu. Dengan kata lain, bahwa dengan dilakukannya jual beli oleh Kepala Desa itu, jual beli dianggap “terang” sehingga masyarakat mengakuinya akan sahnya jual beli tersebut.
Sumber hukum adat yang dimaksud di sini adalah hukum adat istiadat dari masyarakat setempat yang hidup, berdomisili, bersumber penghidupan di daerah itu, mempunyai suatu kepercayaan atau agama dan bila meninggal akan dimakamkan di daerah itu juga. Disini jual beli Tanah menurut hukum adat ada beberapa macam diantaranya : 22
1) Jual Lepas
21 Xxxxxx Xxxxxxxxxx, Hukum Perjanjian Adat, (Bandung : P.T.Citra Xxxxxx Xxxxx, 1994), hlm.108
22 Ibid, hlm.108
22
Jual lepas adalah jual beli tanah yang menyebabkan beralihnya hak milik dari penjual kepada pembeli untuk selama lamanya yang didalam bahasa jawa disebut: adol jugil (ngoko) atau sade plas, sade jugil (kromo). Beberapa sarjana menyatakan tentang jual beli lepas sebagai berikut:23
a) Xxx Xxxxxxxxxxx: “jual lepas dari sebidang tanah atau perairan ialah penyerahan dari benda itu dihadapan petugas-petugas hukum adat dengan pembayaran sejumlah uang pada saat itu atau kemudian”.
b) S.A. Hakim: penyerahan sebidang tanah (termasuk air) untuk selama lamanya dengan penerimaan uang tunai (dibayar dahulu untuk sebagian) uang mana disebut uang pembelian”
c) Xxxx Xxxxxxx: “menjual lepas (Indonesia); adol plas, runtumurun, pati- bogor (jawa) menjual jaja (Kalimantan) yaitu: menyerahkan tanah untuk menerima pembayaran sejumlah uang secara tunai, tanpa hak menebus kembali, jadi penyerahan itu berlaku untuk seterusnya.
Jadi jual lepas itu adalah perbuatan, penyerahan dengan demikian tidak sama maksudnya dengan levering menurut KUHPerdata bandingkan dengan pasal- pasal 1457, 1458 dan 1459 KUHPerdata, dimana jual beli itu memerlukan adanya perbuatan penyerahan.jika penyerahan itu bertujuan menyerahkan untuk dapat ditebus kembali, maka perjanjian itu”jual gadai” jika penyerahan itu bertujuan menyerahkan untuk selama waktu tertentu (tahunan), maka perjanjian itu, jual tahunan.24
23 Ibid. hlm 110
24 Ibid, hlm.127
2) Jual Gadai
Istilah “jual gadai” (adol sende, Jawa: ngajual akad, atau gade, Sunda) mengandung arti penyerahan tanah untuk dikuasai orang lain dengan menerima pembayaran tunai dimana si penjual (penggadai, pemilik tanah) tetap berhak untuk menebus kembali tanah tersebut dari pembeli gadai (penerima gadai, pemegang gadai, penguasa tanah gadai). Adanya” hak menebus” kembali bagi penggadai terhadap pemegang gadai menunjukkan perbedaannya dengan perbuatan “jual lepas” atau yang disebut “adol plas, xxxxx murun, pati Bogor, Jawa; menjual jaja, Kalimantan, oleh karena dalam hal jual lepas sipenjual tidak ada hak sama sekali untuk menebus kembali tanah yang telah diserahkannya kepada pembeli.25
Jual tahunan merupakan suatu perbuatan pemindahan hak secara sementara atas tanah kepada pihak lain yang dilakukan secara terang dan tunai sedemikian rupa sehingga pihak yang melakukan pemindahan hak mempunyai hak menebus kembali tanah tersebut, dengan demikian maka pemindahan hak atas tanah pada jual gadai bersifat sementara, walaupun kadang-kadang tidak ada patokan tegas mengenai sifat sementara waktu tersebut. Pembeli gadai (penerima gadai) berhak :26
a) Menikmati manfaat melekat pada hak milik.
25 Ibid, hlm.126
26 Xxxxxx Xxxxxx, Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftrannya, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), hlm.75.
b) Mengopergadaikan atau menggadaikan kembali dibawah harga tanah tersebut kepada orang lain jika sangat membutuhkan uang, karena ia tidak dapat memaksa si penjual gadai untuk menebus tanah.
c) Mengadakan perjanjian bagi hasil atau paruh hasil tanam atau maro dan sejenisnya transaksi ini biasanya disertai dengan perjanjian tambahan.
Setelah berlakunya UUPA, pengertian jual beli tanah bukan lagi suatu perjanjian seperti dalam Pasal 1457 jo Pasal 1458 KUHPerdata. Jual beli tanah sekarang memiliki pengertian, yaitu di mana pihak penjual menyerahkan tanah dan pembeli membayar harga tanah, maka perpindahan hak atas tanah itu kepada pembeli, perbuatan hukum perpindahan hak ini bersifat tunai, terang dan riil.27 Tunai berarti dengan dilakukannya perbuatan hukum tersebut, hak atas tanah yang bersangkutan berpindah kepada pihak lain untuk selama lamanya, dengan disertai pembayaran sebagian atau seluruh harga tanah tersebut. Terang berarti perbuatan hukum pemindahan hak tersebut dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) tidak dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan riil atau secara nyata adalah menunjukan kepada akta PPAT yang ditandatangani oleh kedua belah pihak.28
Dalam pengertian tunai mencakup dua perbuatan yang dilakukan bersama atau dilakukan secara serentak, yaitu: a) Pemindahan hak /pemindahan pengusaan yuridis dari penjual (pemilik/pemegang hak) kepada pembelinya (penerima hak) dan b) Pembayaran harganya. Dengan dipenuhinya poin a dan b tersebut, maka
27Sumaryono, Jual Beli Tanah Yang Dilakukan Tanpa Akta Jual Beli Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), (Semarang : Universitas Diponegoro, 2009), hlm.31
28 Ibid
20
perbuatan hukum jual beli tanah telah selesai. Apabila baru dibayar sebagian sisa harganya merupakan pinjaman atau utang piutang diluar perbuatan jual beli.
Persiapan jual beli tanah sebelum akta jual beli dibuat PPAT, maka diisyaratkan bagi para pihak untuk menyerahkan surat-surat yang diperlukan kepada PPAT, yaitu:29 1) jika tanahnya sudah bersertifikat, sertifikat tanahnya yang asli dan tanda bukti pembayaran biaya pendaftarannya, 2) jika tanahnya bersertifikat: surat keteranagan bahwa tanah tersebut belum bersertifikat, surat- surat tanah yang ada yang memerlukan penguatan oleh kepala desa dan camat, dilengkapi dengan surat-surat yang membuktikan identitas penjual dan pembelinya yang diperlukan untuk persertifikatan tanahnya.
Syarat Sahnya Jual Beli Tanah
Syarat sahnya jual beli ditentukan oleh syarat materil dari perbuatan jual beli yang bersangkutan, sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.30 Syarat materil adalah:
a. Penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan;
b. Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan;
c. Tanah hak yang bersangkutan boleh diperjual belikan menurut hukum;
d. Tanah hak yang bersangkuatan tidak dalam sengketa.
29 Made Xxx Xxxx Prasantha, Kepastian Hukum Pemindahan Hak Atas Tanah Melalui Jual Beli Diwah Tangan,(Mataram, Universitas Mataram, 2013), hlm.13
30 Xxxxxx Xxxxxxx, Cara Mudah Mengurus Sertifikat Tanah, (Jakarta : Kata Pena, 2013),hlm 59
Ditegaskan Keputusan Mahkamah Agung Nomor 123/K/SIP/ Tahun 1970 bahwa: Pasal 19 peraturan perintah Nomor 10 tahun 1961 berlaku khusus bagi pemindahan hak pada kadaster, sedangkan hakim menilai sah atau tidaknya suatu perbuatan hukum materiil yang merupakan jual beli (matereile handeling van verkoop) tidak hanya terikat pada pasal 19 tersebut.
Akta
Pengertian Akta
Istilah akta dalam bahasa belanda disebut “acte” dan dalam bahasa Inggris disebut “act”. Menurut S.J. Fockema Andreane dalam bukunya Rechtgelewerd Handwoorddenboek” kata akta itu berasal dari bahasa latin acta” yang berarti “geschrift” atau surat, sedangkan menurut X. Xxxxxxx Xxxxxx xxxxxxx dalam bukunya kamus hukum, bahwa akta merupakan bentuk jamak dari “actum” yang berasal dari bahasa latin yang berarti perbuatan-perbuatan. A. Pitlo mengartikan akta sebagai berikut surat surat yang ditandatangani, dibuat untuk dipakai sebagai bukti dan untuk dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat.31
Menurut sistem HIR dan RBg hakim terikat dengan alat-alat bukti sah yang diatur oleh undang-undang.dasar hukum akta atau surat diatur dalam Pasal 165, 167 HIR, Stb Nomor 29 Tahun 1867. Pasal 285-305 RBG, surat merupakan alat bukti tertulis yang memuat tulisan untuk menyatakan pikiran seseorang sebagai alat bukti. Dalam ketentuan KUHperdata juga diatur tentang permulaan bukti tertulis Pasal 1902 ayat (2) KUHperdata yang berbunyi:
31 Xxxxxxxx, Akta : Apa dan Bagaimana ?, (Jakarta : Bintang Persindo, 2007), hlm.2
Dalam segala hal dimana oleh undang-undang diperintahkan suatu pembuktian dengan tulisan-tulisan namun itu jika ada suatu permulaan pembuktian dengan tulisan di perkenankanlah pembuktian dengan saksi-saksi, kecuali apabila tiap pembuktian lain dikecualikan selain dengan tulisan yang dinamakan permulaan pembuktian dengan tulisan ialah aturan tertulis.
Menurut Xxxxx 1874 KUHPerdata:
Akta adalah suatu salinan yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu salinan yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti suatu peristiwa, dan ditandatangani.
Akta dalam arti luas adalah perbuatan hukum (rechtshandeling). Akta dapat dibedakan antara akta otentik dan akta dibawah tangan. Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat umum yang berwenang. Sedangkan dibawah tangan adalah akta yang dibuat antara pihak satu dengan pihak yang lain yang dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang untuk itu atau akta dibawah tangan adalah sah menurut ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata menerangkan, bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara dibawah tangan, sah dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang mengikatkan diri. 32
Fungsi Akta
Fungsi akta ini ada dua macam fungsi, yaitu fungsi formiil (formalitas causa) dan fungsi materiil (probationis causa). Fungsi formal, yaitu adanya akta nerupakan syarat sah suatu perbuatan hukum misalnya: Pasal 1767 BW tentang perjanjian hutang piutang dengan bunga. Fungsi materiil, yaitu fungsi akta sebagai alat bukti, meskipun bukan syarat syahnya suatu perbuatan hukum. 33
32 Xxxxxxxxx, 2009, op. cit hlm.46
33 Xxxxxxxxx, 2009, op. cit hlm.46
Pada hakikatnya kekuatan pembuktian dari akta itu selalu dapat dibedakan atas 3 (tiga) macam, yaitu: 34
1. Kekuatan pembuktian lahir;
Kekuatan pembuktian lahir ialah kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keadaan lahir dari akta itu, maksudnya bahwa suatu surat yang kelihatannya seperti akta, harus diperlakukan sebagai akta, sampai dibuktikan sebaliknya. Kekuatan pembuktian formiil;
2. Kekuatan pembuktian formiil
Kekuatan pembuktian formiil ini berarti bahwa apa yang disebutkan didalam suatu akta itu memang benar apa yang diterangkan oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Artinya pejabat dan pihak-pihak yang berkepentingan menerangkan dan melakukan seperti disebutkan dalam akta dan benar demikian adanya.
3. Kekuatan pembuktian materiil;
Kekuatan pembuktian materil berarti bahwa apa yang dimuat dalam akta itu memang benar dan memang sungguh-sungguh terjadi antara para pihak (jadi tidak hanya diucapkan saja oleh para pihak, tapi juga memang sungguh- sungguh terjadi). Bila ada yang meragukan kebenaran isi akta ini dia dapat meminta kepada hakim agar akta yamg diragukan kebenaran isinya itu diteliti kebenarnnya, bila ternyata benar akta itu palsu maka majelis hakim memerintahkan agar akta dikirim kekejaksaan untuk dituntun perkara pidana
34 Xxxxxxx Xxxxxx, Sistem Pembuktian Dalam Peradilan Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika 1996), hlm .9
sedangkan perkara perdatanya ditunda sampai selesai perkara pidana. Insiden dalam pembuktian akta otentik seperti ini dapat terjadi, baik atas inisiastif pihak yang bersangkutan maupun dari pihak majelis hakim.
Kuasa
Pengertian dari kuasa adalah pernyataan, dengan mana seseorang memberikan wewenang kepada bahwa yang diberi kuasa itu berwenang untuk mengikat pemberi kuasa secara langsung dengan pihak lain, sehingga dalam hal ini perbuatan hukum yang dilakukan oleh penerima kuasa berlaku secara sah sebagai perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemberi kuasa sendiri. Dengan perkataan lain, penerima kuasa dapat berwenang bertindak dan/atau berbuat seolah-olah ia adalah orang yang memberikan kuasa itu. Ketentuan Pasal 1792 KUHPerdata memberikan batasan (definisi) tentang “lastgeving”, bahwa “lastgeving” adalah: Suatu persetujuan, dengan mana seseorang memberikan kekuasaan (macth) kepada orang lain yang menerimanya untuk atas namanya melakukan suatu urusan”. Perkataan-perkataan “suatu urusan” (een zaak) pada umumnya diartikan sebagai suatu perbuatan hukum, sedang perkataan-perkataan “atas namanya” mengandung arti bahwa penerima kuasa bertindak mewakili pemberi kuasa. 35 Berdasarkan gambaran hubungan seperti yang dikemukakan di atas, maka dapat dilihat bahwa yang diikat dengan penyelenggaraan/pelaksanaan urusan itu adalah pemberi kuasa dan bukan si penerima kuasa. Dengan perkataan lain, akibat hukum dari pemberian
35 Xxxxx Xxxxxxxxxxx, Op.Cit, hlm. 472
kekuasaan itu yang timbul dari penyelenggaraan urusan itu menimpa diri pemberi kuasa.
Teori Kepastian Hukum
Menurut Xxxx Xxxxxx, hukum adalah sebuah sistem norma, dimana norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif. 36 Undang-Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. 37 Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.
Bagi aliran positivisme, tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kepastian hukum, fungsi hukum dapat berjalan dan mampu mempertahankan ketertiban. Kepastian hukum adalah syarat mutlak setiap aturan, persoalan keadilan dan kemanfaatan hukum bukan alasan pokok dari tujuan hukum tetapi yang penting adalah kepastian hukum.38 Ajaran positivisme timbul pada abad
19 dan termasuk jenis filsafat abad modern. Kelahirannya hampir bersamaan
36 Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Kencana, 2008), hlm.158
37 Ibid, hlm.158
38 Xxxxxx Xxxxx. Pengantar Ilmu Hukum dalam Tanya Jawab. (Bogor:Ghalia Indonesia,
dengan empirisme. Kesamaan diantara keduanya antara lain bahwa keduanya mengutamakan pengalaman. Perbedaannya, positivisme hanya membatasi diri pada pengalaman-pengalaman objektif, sedangkan empirisme menerima juga pengalaman-pengalaman batiniah atau pengalaman subjektif.39 Tokoh terpenting dari aliran positivisme adalah Xxxxxx Xxxxx (1798-1857), Xxxx Xxxxxx Xxxx (1806- 1873), dan Xxxxxxx Xxxxxxx (1820-1903).40
Xxxxxxxx memberi pendapat yang cukup mendasar mengenai kepastian hukum. Ada 4 (empat) hal yang berhubungan dengan makna kepastian hukum. Pertama, bahwa hukum itu positif yakni perundang-undangan. Kedua,bahwa hukum itu didasarkan pada fakta atau hukum yang ditetapkan itu pasti. Ketiga, bahwa kenyataan (fakta) harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping mudah dilaksanakan. Keempat, hukum positif tidak boleh mudah berubah.41 Pada dasarnya kepastian hukum merupakan pelaksanaan hukum sesuai dengan bunyinya sehingga masyarakat dapat memastikan bahwa hukum dilaksanakan. Kepastian hukum intinya adalah hukum ditaati dan dilaksanakan.
Teori Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu
39 Cita Yustisia. Analisa Persaingan Usaha di Bidang Importasi dan Distribusi Film dalam Menumbuh kembangkan Perfilman Nasional. (Jember :Universitas Jember, Proposal Penelitian Tesis, 2013),hlm. 20
40 Ibid
41 Fence M. Wantu. Peranan Hukum dalam mewujudkan Kepastian Hukum Keadilan dan Kemanfaatan di Peradilan Perdata. (Yogyakarta :Universitas Gajah Mada,Ringkasan Disertasi,
dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.42 Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah di putuskan.43
Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti, mengatur secara jelas dan logis. Jelas, artinya tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis, artinya sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan. atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk konsistensi norma, reduksi norma atau distorsi norma. Kepastian hukum menunjuk pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang subjektif. Kepastian hukum berarti setiap orang dapat menuntut hukum dilaksanakan dan tuntutan harus dipenuhi.44
Tujuan hukum yang mendekati realistis adalah kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Kaum Positivisme lebih menekankan pada kepastian hukum, sedangkan Kaum Fungsionalis mengutamakan kemanfaatan hukum, dan sekiranya dapat dikemukakan bahwa “summum ius, summa injuria, summa lex, summa crux”
42 Xxxxxx Xxxxxxxx. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum (Bandung : Citra Xxxxxx Xxxxx, 1999),
hlm.23
43 Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx. Pengantar Ilmu Hukum. Op.Cit, hlm.158
44 Sudikno dan A.Pitlo. Bab-Bab tentang Penemuan Hukum. (Yogyakarta : Penerbit Citra
yang artinya adalah hukum yang keras dapat melukai, kecuali keadilan yang dapat menolongnya, dengan demikian kendatipun keadilan bukan merupakan tujuan hukum satu-satunya akan tetapi tujuan hukum yang paling substantif adalah keadilan.45 Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.46
Sudah umum bilamana kepastian sudah menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama dari hukum. Saat dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semenjak Xxxxxxxxxxx memgeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. 47
Berdasar keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus
45 Xxxxxxxxx Xxxx, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum, (Yogyakarta : Laksbang Pressindo, 2010), hlm.59
46 Xxxxxx Xxxxxxxx, Op.Cit.
47 Ibid, hlm.27
dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.
Dalam kaitannya dengan pembahasan dalam penyusunan tesis ini bahwa teori kepastian hukum timbul dari adanya perjanjian yang dibuat berdasarkan ketentuan tentang syarat sahnya perjanjian dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata. Selain itu terkait teori kepastian hukum dalam perjanjian, disebutkan dalam ketentuan Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yaitu: Semua Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian mengikat bagi para pihak yang membuatnya sehingga bagi para pihak perjanjian tersebut sama kedudukannya sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.
Teori tentang Keadilan
Keadilan berasal dari kata “adil” yang berarti tidak berat sebelah, tidak memihak: memihak pada yang benar, berpegang pada kebenaran: sepatutnya, dan tidak sewenang-wenang. Pada hakikatnya, keadilan adalah suatu sikap untuk memperlakukan seseorang sesuai dengan haknya dan yang menjadi hak setiap orang adalah diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya, yang sama derajatnya, yang sama hak dan kewajibannya, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, dan golongan.
Teori-teori yang mengkaji masalah keadilan secara mendalam telah dilakukan sejak jaman Yunani kuno. Konsep keadilan pada masa itu, berasal dari pemikiran tentang sikap atau perilaku manusia terhadap sesamanya dan terhadap alam lingkungannya, pemikiran tersebut dilakukan oleh kalangan filosof. Inti dari berbagai pemikiran filsafat itu terdiri dari berbagai obyek yang dapat dibagi kedalam dua golongan. Pertama obyek materia yaitu segala sesuatu yang ada atau yang mungkin ada, yakni kesemestaan, baik yang konkrit alamiah maupun yang abstrak non material seperti jiwa atau rohani termasuk juga nilai-nilai yang abstrak seperti nilai kebenaran, nilai keadilan, hakekat demokrasi dan lain sebagainya. Kedua obyek forma yaitu sudut pandang atau tujuan dari pemikiran dan penyelidikan atas obyek materia, yakni mengerti sedalam-dalamnya, menemukan kebenaran atau hakekat dari sesuatu yang diselidiki sebagai obyek material.48
Salah satu diantara teori keadilan yang dimaksud antara lain teori keadilan dari Xxxxx yang menekankan pada harmoni atau keselarasan. Xxxxx mendefinisikan keadilan sebagai “the supreme virtue of the good state”, sedang orang yang adil adalah “the self diciplined man whose passions are controlled by reasson”. Bagi Xxxxx keadilan tidak dihubungkan secara langsung dengan hukum. Baginya keadilan dan tata hukum merupakan substansi umum dari suatu masyarakat yang membuat dan menjaga kesatuannya.
Dalam konsep Xxxxx tentang keadilan dikenal adanya keadilan individual dan keadilan dalam negara. Untuk menemukan pengertian yang benar mengenai
48 Xxxxxxxxxxxx dalam Xxxxxxxx Xxxxxxx, Penjabaran Filsafat Pancasila Dalam Filsafat Hukum. Sebagai Landasan Pembinaan Hukum Nasional. Disertasi, (Surabaya: Universitas Airlangga, 1998), hlm. 45.
keadilan individual, terlebih dahulu harus ditemukan sifat-sifat dasar dari keadilan itu dalam negara, untuk itu Xxxxx mengatakan.49 “let us enquire first what it is the cities, then we will examine it in the single man, looking for the likeness of the larger in the shape of the smaller”. Walaupun Xxxxx mengatakan demikian, bukan berarti bahwa keadilan individual identik dengan keadilan dalam negara. Hanya saja Xxxxx melihat bahwa keadilan timbul karena penyesuaian yang memberi tempat yang selaras kepada bagian-bagian yang membentuk suatu masyarakat. Keadilan terwujud dalam suatu masyarakat bilamana setiap anggota melakukan secara baik menurut kemampuannya fungsi yang sesuai atau yang selaras baginya.
Jadi fungsi dari penguasa ialah membagi bagikan fungsi-fungsi dalam negara kepada masing-masing orang sesuai dengan asas keserasian. Pembagian kerja sesuai dengan bakat, bidang keahlian dan keterampilan setiap orang itulah yang disebut dengan keadilan. Konsepsi keadilan Xxxxx yang demikian ini dirumuskan dalam ungkapan “giving each man his due” yaitu memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Untuk itu hukum perlu ditegakkan dan Undang-undang perlu dibuat.
Dalam kaitannya dengan hukum, obyek materianya adalah masalah nilai keadilan sebagai inti dari asas perlindungan hukum, sedangkan obyek formanya adalah sudut pandang normatif yuridis dengan maksud menemukan prinsip dasar yang dapat diterapkan untuk menyelesaikan masalah yang timbul di bidang penggunaan nilai keadilan dimaksud. Tentang nilai keadilan yang dimaksud terutama yang berkenaan dengan obyeknya yaitu hak yang harus diberikan kepada
warga masyarakat. Biasanya hak ini dinilai dan diperlakukan dari berbagai aspek pertimbangan politik dan budaya, namun intinya tetap tidak berubah yaitu suum cuique tribuere.
Dari ungkapan di atas, terlihat dengan jelas Xxxxx memandang suatu masalah yang memerlukan pengaturan dengan undang-undang harus mencerminkan rasa keadilan, sebab bagi Xxxxx hukum dan undang-undang bukanlah semata-mata untuk memelihara ketertiban dan menjaga stabilitas negara, melainkan yang paling pokok dari undang-undang adalah untuk membimbing masyarakat mencapai keutamaan, sehingga layak menjadi warga negara dari negara yang ideal. Jadi hukum dan undang-undang bersangkut paut erat dengan kehidupan moral dari setiap warga masyarakat.
Pembahasan yang lebih rinci mengenai konsep keadilan dikemukakan oleh Xxxxxxxxxxx. Jika Xxxxx menekankan teorinya pada keharmonisan atau keselarasan, Xxxxxxxxxxx menekankan teorinya pada perimbangan atau proporsi. Menurutnya di dalam negara segala sesuatunya harus diarahkan pada cita-cita yang mulia yaitu kebaikan dan kebaikan itu harus terlihat lewat keadilan dan kebenaran. Penekanan perimbangan atau proporsi pada teori keadilan Xxxxxxxxxxx, dapat dilihat dari apa yang dilakukannya bahwa kesamaan hak itu haruslah sama diantara orang-orang yang sama. 50 Maksudnya pada satu sisi memang benar bila dikatakan bahwa keadilan berarti juga kesamaan hak, namun pada sisi lain harus dipahami pula bahwa keadilan juga berarti ketidaksamaan hak. Jadi teori keadilan Xxxxxxxxxxx berdasar pada prinsip persamaan. Dalam versi modern teori itu dirumuskan dengan
ungkapan bahwa keadilan terlaksana bila hal-hal yang sama diperlukan secara sama dan hal-hal yang tidak sama diperlakukan secara tidak sama.
Xxxxxxxxxxx membedakan keadilan menjadi keadilan distributif dan keadilan komutatif. Keadilan distributif adalah keadilan yang menuntut bahwa setiap orang mendapat apa yang menjadi haknya, jadi sifatnya proporsional. Di sini yang dinilai adil adalah apabila setiap orang mendapatkan apa yang menjadi haknya secara proporsional. Jadi keadilan distributif berkenaan dengan penentuan hak dan pembagian hak yang adil dalam hubungan antara masyarakat dengan negara, dalam arti apa yang seharusnya diberikan oleh negara kepada warganya.
Hak yang diberikan dapat berupa benda yang tak bisa dibagi (undivided goods) yakni kemanfaatan bersama misalnya perlindungan, fasilitas publik baik yang bersifat administratif maupun fisik dan berbagai hak lain, di mana warga negara atau warga masyarakat dapat menikmati tanpa harus menggangu hak orang lain dalam proses penikmatan tersebut. Selain itu juga benda yang habis dibagi (divided goods) yaitu hak-hak atau benda-benda yang dapat ditentukan dan dapat diberikan demi pemenuhan kebutuhan individu pada warga dan keluarganya, sepanjang negara mampu untuk memberikan apa yang dibutuhkan para warganya secara adil, atau dengan kata lain dimana terdapat keadilan distributif, maka keadaan tersebut akan mendekati dengan apa yang disebut keadaan dimana tercapainya keadilan sosial bagi masyarakat.
Sebaliknya keadilan komutatif menyangkut mengenai masalah penentuan hak yang adil diantara beberapa manusia pribadi yang setara, baik diantara manusia pribadi fisik maupun antara pribadi non fisik. Dalam hubungan ini maka suatu
perserikatan atau perkumpulan lain sepanjang tidak dalam arti hubungan antara lembaga tersebut dengan para anggotanya, akan tetapi hubungan antara perserikatan dengan perserikatan atau hubungan antara perserikatan dengan manusia fisik lainnya, maka penentuan hak yang adil dalam hubungan ini masuk dalam pengertian keadilan komutatif.
Obyek dari hak pihak lain dalam keadilan komutatif adalah apa yang menjadi hak milik seseorang dari awalnya dan harus kembali kepadanya dalam proses keadilan komutatif. Obyek hak milik ini bermacam-macam mulai dari kepentingan fisik dan moral, hubungan dan kualitas dari berbagai hal, baik yang bersifat kekeluargaan maupun yang bersifat ekonomis, hasil kerja fisik dan intelektual, sampai kepada hal-hal yang semula belum dipunyai atau dimiliki akan tetapi kemudian diperoleh melalui cara-cara yang sah. Ini semua memberikan kewajiban kepada pihak lain untuk menghormatinya dan pemberian sanksi berupa ganti rugi bila hak tersebut dikurangi, dirusak atau dibuat tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Di dalam konsep keadilan distributif muncul pertanyaan atau masalah tentang kapan timbulnya hak tersebut dan bagaimana pembagian hak itu, apa harus merata atau harus proporsional?. Berbeda dengan keadilan komutatif yang timbul dari hak yang semula ada pada seseorang atau yang diperolehnya secara sah dalam proses keadilan komutatif, maka dalam keadilan distributif dasarnya atau perolehan hak tersebut semata-mata timbul dari keadaan di mana seseorang itu menjadi anggota atau warga dari suatu negara. Tidak seharusnya mereka yang bukan warga negara memperoleh kemanfaatan kecuali dalam hubungan yang bersifat timbal
balik terutama dalam hubungan internasional antar negara-negara modern, sehingga seseorang asing dapat pula menikmati hak-hak atau fasilitas lain dari suatu negara yang dikunjunginya.
Persamaan ini berkembang suatu pengertian bahwa persamaan bukan hanya menyangkut dengan seberapa jauh konstribusi warga negara terhadap negara atau sifat dari kontribusi tersebut, akan tetapi juga telah berkembang konsep persamaan dalam hal kemampuan, atau besar kecilnya halangan yang dialami oleh warga negara dalam memberikan konstribusinya. Orang-orang yang tidak mempunyai modal, tidak berpendidikan, cacat tubuh dan sebagainya yang tetap menjadi warga negara harus mendapat jaminan dalam keadilan distributif untuk memperoleh bagian, minimal dapat memberikan kesejahteraan hidup baginya dan keluarganya. Hal ini merupakan bagian dari prinsip hak asasi manusia yang telah memperoleh pengakuan internasional. Dalam hal yang demikian tentu saja konsep persamaan itu diartikan dalam bentuk yang proporsional, karena tidak mungkin diberikan hak-hak yang secara aritmatik sama mengingat kontribusinya berbeda. Keadilan komutatif bertujuan untuk memelihara ketertiban masyarakat dan kesejahteraan umum, sebab disini dituntut adanya kesamaan dan yang dinilai adil ialah apabila setiap orang dinilai sama oleh karena itu sifatnya mutlak.
Dari konstruksi konsep keadilan Xxxxxxxxxxx00 tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa keadilan distributif merupakan tugas dari pemerintah kepada warganya untuk menentukan apa yang dapat dituntut oleh warga negara dalam negaranya. Konstruksi keadilan yang demikian ini membebankan kewajiban bagi
51 Ibid hlm. 83-84.
pembentuk Undang-undang untuk memperhatikannya dalam merumuskan konsep keadilan kedalam suatu Undang-undang.
Secara teoritis konsep keadilan Xxxxx berdasar pada aliran filsafat idealisme, sedangkan konsep keadilan Xxxxxxxxxxx bertolak dari aliran filsafat realisme. 52 Filsafat Xxxxx mendasarkan diri pada alam ide yang bersifat mutlak dan abadi.. Dalam pandangan filsafat ini alam nyata diterima sepenuhnya sebagai suatu totalitas yang menjadi sumber dari segala apa yang ada.53 Alam nyata tersusun dan bertalian secara hirarkis serta membentuk suatu totalitas yang di dalamnya makna dan ketertiban dapat dicapai manusia melalui akal pikirannya. Akal merupakan alat untuk mengetahui dan pengetahuan tersebut memberikan norma-norma mengenai baik buruk yang berguna untuk manusia, seperti dikatakan oleh Xxxxx keadilan ialah susunan ketertiban dari orang-orang yang menguasai diri sendiri, sebaliknya Xxxxxxxxxxx menekankan filsafatnya pada kesadaran, maksudnya dalam pandangan Xxxxxxxxxxx titik sentralnya adalah kesadaran yang ada pada subyek yang berpikir..54 Gagasan Xxxxx tentang keadilan ditransformasikan oleh Augustine menjadi
suatu konsepsi yang religius. Bagi Xxxxxxxxx hakekat keadilan ialah adanya relasi yang tepat dan benar antara manusia dengan Tuhan, oleh sebab itu keadilan adalah suatu yang paling hakiki dalam bernegara dan keadilan itu hanya dapat terlaksana dalam kerajaan Ilahi yang merupakan gudang dari keadilan.55 Tuhan adalah sumber keadilan yang sesungguhnya, oleh sebab itu apabila seseorang memiliki hubungan
52 Ibid hlm. 102
53J.H. Rapar, Filsafat Politik Xxxxxxxxxxx, (Jakarta: Rajawali Press, 1993), hlm. 92.
54Ibid, hlm. 102.
55 Mulyono, Modul Pemikiran Filsafat Moderen, (Jakarta : Universitas Terbuka, 2014), hlm 21-22
yang baik dan benar dengan Tuhan maka ia akan dipenuhi oleh kebenaran dan keadilan.
Konsep keadilan yang bersifat religius dari Xxxxxxxxx kemudian diperluas oleh Xxxxxx Xxxxxxx. Jika dalam konsepsi Xxxxxxxxx xxxxxxxx hanya diperoleh dalam kerajaan Ilalhi yang perwujudannya di muka bumi dijalankan oleh Gereja, maka Xxxxxx Xxxxxxx mengakui adanya persekutuan lain di samping gereja yang bertugas memajukan keadilan yakni negara.56 Oleh karena itu Xxxxxx Xxxxxxx membedakan keadilan kepada keadilan Ilahi dan keadilan manusiawi, namun tidak boleh ada pertentangan antara kekuasaan gereja dan kekuasaan duniawi. Dengan demikian konsep keadilan yang ditetapkan oleh ajaran agama, sepenuhnya sesuai dengan suara akal manusia sebagaimana terdapat dalam hukum alam. Jadi sahnya hukum selalu digantungkan pada kesesuaiannya dengan hukum atau keadilan alamiah. Sedangkan definisi yang diberikan pada keadilan berbunyi “justitia est contstans et perpetua voluntas jus suum cuique tribuendi” (keadilan adalah kecenderungan yang tetap dan kekal untuk memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya). Konsep justitia ini kemudian dianggap sebagai sifat pembawaan atau sudah dengan sendirinya melekat pada setiap hukum.57
Sebagaimana disebutkan oleh Xxxxxxxxx Xxxx00 bahwa persoalan keadilan sejalan dengan evolusi. Evolusi filsafat hukum sebagai bagian dari evolusi filsafat secara keseluruhan, berputar di sekitar persoalan tertentu yang muncul secara berulang-ulang yaitu keadilan, kesejahteraan dan kebenaran. Diantara yang paling
56 Ibid hlm. 22
57 Ibid
58 Xxxxxxxxx Xxxx, 2010, Op.Cit, hlm.58
menonjol dalam bidang hukum adalah persoalan keadilan karena hukum atau peraturan perundang-undangan harusnya adil, namun seringkali berkebalikan dan bahkan terabaikan. Hukum selalu berkaitan dengan keadilan walaupun secara empirik kurang disadari sepenuhnya. Hukum tanpa keadilan ibarat membuat gulai tanpa daging, hampa tanpa bermakna. Sebaliknya, keadilan tanpa hukum ibarat menyeberangi sungai tanpa jembatan, tertatih-tatih. Keadilan merupakan persoalan yang bersifat fundamental dalam hukum. Hakikat keadilan dalam Pancasila, Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan GBHN, kata adil terdapat pada beberapa ketentuan, diantaranya adalah :
a) Sila kedua dan kelima Pancasila;
b) Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (alinea II dan IV);
c) GBHN 1999-2004 tentang visi
Adil tidaknya suatu tindakan tidak terlepas dari teori keadilan, adapun ciri-ciri adil yaitu:
d) Sah menurut hukum (lawful);
e) Layak (fair);
f) Wajar secara moral (equitable);
g) Benar secara moral (righteous);
Xxxxxx Xxxxxxx (1748-1832) adalah seorang filsuf, ekonom, xxxxx dan reformer hukum, yang memiliki kemampuan untuk menenun dari benang “prinsip kegunaan” (utilitas) menjadi permadani doktrin etika dan ilmu hukum yang luas, dan yang dikenal dengan “utilitarianism” atau mazhab utilitis, yang mengupayakan jawaban terhadap pertanyaan “apa yang harus dilakukan seseorang?” Jawaban Xxxxxxx adalah bahwa, ia harus bertindak untuk menghasilkan konsekuensi- konsekuensi terbaik yang memungkinkan.59
Prinsip Utility dikemukakan oleh Xxxxxxx yang didefinisikan sebagai “sifat dalam sembarangan benda tersebut cenderung menghasilkan kesenangan, kebaikan atau kebahagiaan, atau untuk mencegah terjadinya kerusakan, penderitaan atau kejahatan serta ketidakbahagiaan pada pihak yang kepentingannya dipertimbangkan”. Menurut Xxxxxxx, xxxx telah menempatkan manusia dibawah pengaturan dua “penguasa” yang berdaulat (two sovereign masters), yaitu “penderitaan” (pain) dan “kegembiraan” (pleasure). Keduanya menunjukkan apa yang harus kita lakukan dan menentukan apa yang akan kita lakukan. Fakta bahwa kita menginginkan kesenangan dan berharap untuk menghadiri penderitaan, digunakan oleh Xxxxxxx untuk membuat keputusan, bahwa kita harus mengejar kesenangan.60
59 Xxxxx Xxx. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence). (Jakarta: Kencana, 2009), hlm.272
Secara etimologi kata utilitas berasal dari bahasa latin yang berarti faedah, kegunaan dan manfaat.61 Teori ini menilai baik atau tidaknya sesuatu dan susila atau tidak susilanya sesuatu ditinjau dari segi kegunaan atau faedah yang didatangkannya. Menurut teori ini, hal yang baik adalah yang berguna, berfaedah dan menguntungkan atau tidak. Teori ini mengedepankan aspek kepastian hukum dan pentingnya suatu aturan yang berlaku umum, karena hukum bertujuan untuk mewujudkan apa yang berfaedah atau yang sesuai dengan daya guna (efektif).62 Tujuan hukum menurut teori ini adalah untuk menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi manusia dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya. Pada hakikatnya, hukum dimanfaatkan untuk menghasilkan sebesar-besarnya kesenangan atau kebahagiaan bagi jumlah orang yang terbanyak.
Teori tentang Perjanjian
Pengertian perjanjian diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (untuk selanjutnya disebut KUHPerdata) yang menyebutkan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Definisi tersebut tidak jelas karena setiap perbuatan dapat disebut dengan perjanjian. Ketidakjelasan definisi tersebut disebabkan dalam rumusan hanya disebutkan perbuatan saja, sehingga yang bukan perbuatan hukum pun disebut dengan perjanjian.63 Buku III KUH Perdata mengatur
61 Kamus Besar Bahasa Indonesia, (KBBI Daring edisi III,2010), hlm.49
62 Dudu Xxxxxxx Xxxxxxxxx. Pengantar Ilmu Hukum Sebuah Sketsa. (Bandung: Xxxxxx xxxxxxx, 2010), hlm.26
perihal hubungan hukum antara orang dengan orang (hak-hak perseorangan), meskipun mungkin yang menjadi obyek juga suatu benda. Sebagian besar Buku III KUH Perdata ditujukan pada perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian, jadi berisikan hukum perjanjian. Perikatan merupakan suatu pengertian abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu peristiwa hukum yang kongkrit. 64 Rumusan Pasal 1313 KUH Perdata selain tidak jelas juga sangat luas, perlu diadakan perbaikan mengenai definisi tersebut, yaitu : 65
a. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum.
b. Menambahkan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal 1313 KUH Perdata.
Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, dengan mana satu orang atau lebih saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.66 Perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.67 Isi dari perjanjian adalah mengenai kaidah tentang apa yang harus dilakukan oleh kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian, berisi hak dan kewajiban kedua belah pihak yang harus dilaksanakan. Perjanjian adalah suatu peristiwa seseorang berjanji kepada orang lain atau dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Bentuk perjanjian berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau
64 R. Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung : Citra Xxxxxx Xxxxx, 1995), hlm. 122
65 R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Intermasa, 2005), hlm. 1
66 Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung : Bina Cipta, 1994), hlm. 49
67 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta : Liberty, 1992), hlm. 15
ditulis. Jadi perjanjian hanyalah mengikat dan berlaku bagi pihak-pihak tertentu saja. Perjanjian mengandung beberapa unsur yang mempertegas perjanjian itu sendiri sehingga dapat menimbulkan akibat hukum. Dalam perjanjian terdapat unsur-unsur yang melekat didalamnya sebagai berikut : 68
a) Unsur Essensialia adalah unsur mutlak yang harus ada bagi terjadinya perjanjian. Unsur ini mutlak harus ada agar perjanjian itu sah.
b) Unsur Naturalia adalah unsur yang lazimnya melekat pada perjanjian, yaitu unsur yang tanpa diperjanjikan secara khusus dalam perjanjian secara diam- diam dengan sendirinya dianggap ada dalam perjanjian karena sudah merupakan pembawaan atau melekat pada perjanjian.
c) Unsur Accidentalia adalah unsur yang harus dimuat atau disebut secara tegas dalam perjanjian. Unsur ini harus secara tegas diperjanjikan.
Menurut Black’s Law Dictionary dalam Xxxxxxxx Xxxxxxxxxxx 69
perjanjian yang diartikan dengan contract yaitu :
“An aggreement between two or more person whichcreates an obligations to do or not to do particular thing.”
Artinya, kontrak atau perjanjian adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih untuk melaksanakan kewajiban baik untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan lebih yang sesuatu secara sebagian. Berdasarkan beberapa definisi perjanjian di atas dapat dijabarkan bahwa pengertian perjanjian adalah perbuatan hukum antara dua pihak atau saling mengikatkan diri untuk menimbulkan hak dan kewajiban. Perjanjian tidak merupakan suatu perbuatan hukum, akan tetapi
68 Ibid. hlm.113
69 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2007), hlm. 118-119
merupakan hubungan hukum antara dua orang yang bersepakat untuk menimbulkan akibat hukum.
Perjanjian berisi kaidah tentang apa yang harus dilakukan oleh kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian. Perjanjian berisi hak dan kewajiban kedua belah pihak yang harus dilaksanakan. Perjanjian tersebut dikatakan sah jika memenuhi beberapa syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang sehingga diakui oleh hukum. Perjanjian dikatakan sah apabila syarat-syarat sahnya perjanjian dapat dipenuhi oleh pihak-pihak yang melakukan hubungan hokum dalam perjanjian tersebut. Terkait syarat-syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, sebagai berikut :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
Dua syarat yang pertama dinamakan syarat subjektif, mengenai orang- orangnya atau subjek yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir adalah syarat objektif mengenai perjanjiannya atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan. 70 Syarat pertama dan kedua Pasal 1320 KUH Perdata disebut syarat subjektif, karena melekat pada diri orang yang menjadi subjek perjanjian. Saat syarat ini tidak dipenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan. Saat tidak dimintakan pembatalan kepada hakim, perjanjian tersebut mengikat kepada
70 Ibid. hlm. 20
para pihak, walaupun diancam pembatalan sebelum waktunya. 71 Syarat ketiga dan keempat Pasal 1320 KUHPerdata disebut syarat objektif, karena mengenai sesuatu yang menjadi objek perjanjian. Saat syarat ini tidak dipenuhi, perjanjian batal. Perlu diperhatikan bahwa perjanjian yang memenuhi syarat menurut undang-undang, diakui oleh hukum. Perjanjian yang tidak memenuhi syarat, tidak diakui oleh hukum meskipun diakui oleh pihak-pihak bersangkutan.72
Asas merupakan landasan dasar yang digunakan dalam melakukan suatu perbuatan hukum pada suatu perjanjian terdapat beberapa asas, yang wajib diketahui oleh para pihak yang ada, yaitu: 73
Asas kebebasan berkontrak dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata.74 Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan para pihak untuk:
a) Membuat atau tidak membuat perjanjian;
b) Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
c) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya;
d) Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
Asas kebebasan berkontrak bukan berarti tanpa adanya batasan, tetapi kebebasan seseorang dalam membuat perjanjian hanya sejauh perjanjian yang dibuat tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban
71 Ibid. hlm. 21
72 Ibid. hlm. 22
73 Xxxxx X.X, Op.Cit, hlm.13
74 Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata : Semua Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku undang-undang bagi mereka yang membuatnya
umum dengan ketentuan dalam Pasal 1337 KUH Perdata. Asas ini dipandang dari segi isi perjanjian, dengan konsekuensinya hakim atau pihak ketiga tidak berhak intervensi untuk mengurangi, menambah, atau menghilangkan isi perjanjian. 75
Asas Konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. 76 Kesepakatan merupakan persesuaian kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belahpihak. Asas konsensualisme diatur dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, ditentukan syarat-syarat sahnya perjanjian, yaitu: Kesepakatan Para pihak, Kecakapan untuk membuat perjanjian, Suatu hal tertentu dan Suatu sebab yang diperbolehkan.
Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya undang- undang. 77 Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.
75 Ibid. hlm. 23
76 Ibid. hlm. 24
77 Ibid. hlm. 25
4) Asas itikad baik.
Asas itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata dinyatakan bahwa Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Asas itikad baik merupakan asas bahwa para pihak yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak. Asas ini dipandang dari segi pelaksanaan perjanjian. Konsekuensinya hakim atau pihak ketiga dapat intervensi untuk mengurangi, merubah, atau menghilangkan isi perjanjian jika ada. Terkait dengan asas itikad baik (te goeder trouw, in good faith), 78 sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1338 KUH Perdata adalah ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian, dalam pelaksanaan perjanjian itu apakah mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan serta perjanjian tersebut telah sesuai dengan aturan yang berlaku.
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang melakukan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja.79
78 Ibid. hlm. 26
79 Pasal 1315 KUH Perdata dan Pasal 1340 KUH Perdata dinyatakan : Pada umumnya seseorang tidak boleh mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri. Pasal 1340 KUH Perdata dinyatakan bahwa Perjanjian hanya berlaku bagi antara pihak yang membuatnya. Perjanjian juga dapat diadakan untuk kepentingan pihak ketiga
Menumbuhkan kepercayaan diantara para pihak bahwa satu sama lain akan memegang janjinya sehingga terpenuhinya prestasi. Sehingga tanpa adanya kepercayaan maka mustahil suatu perjanjian akan terjadi.
Bahwa para pihak tidak dibedakan dalam segala aspek. Tetapi para pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan.
Tiap orang yang membuat perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik, artinya bahwa perjanjian tersebut dilaksanakan dengan hal yang baik dan benar. Undang-undang sendiri tidak memberikan rumusan maksud kepatutan dan kesusilaan itu. Saat dilihat dari arti katanya, kepatutan atinya kepantasan, kelayakan, kesesuaian, kecocokan. Pengertian dari kesusilaan adalah kesopanan dan keadaban. Arti kata-kata ini dapat digambarkan kiranya kepatutan dan kesusilaan itu sebagai “nilai yang patut, pantas, layak, sesuai, cocok, sopan dan beradab” sebagaimana sama-sama dikehendaki oleh masing-masing pihak yang berjanji.80
80 Ibid. hlm. 27
Selisih pendapat tentang pelaksanaan dengan itikad baik (kepatutan dan kesusilaan), hakim diberi wewenang oleh undang undang untuk mengawasi dan menilai pelaksanaan, apakah ada pelanggaran terhadap norma-norma kepatutan dan kesusilaan itu. Ini berarti bahwa hakim berwenang untuk menyimpang dari isi perjanjian menurut kata-katanya, apabila pelaksanaan menurut kata-kata itu akan bertentangan dengan itikad baik, yaitu norma kepatutan dan kesusilaan. Pelaksanaan yang sesuai dengan norma kepatutan dan kesusilaan itulah yang dipandang adil. Tujuan hukum tersebut adalah menciptakan keadilan.
BAB 3. KERANGKA KONSEPTUAL
Perjanjian Pengikatan Jual Beli terhadap Peralihan Hak atas Tanah
Ratio Decidendi putusan Mahkamah Agung terhadap Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak
Konsep pengaturan ke depan perjanjian pengikatan jual beli tanah agar sesuai dengan prinsip kekuatan mengikat
Prinsip Kekuatan Mengikat Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah
SARAN
BAB 5. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Perjanjian pengikatan Jual Beli merupakan suatu bentuk perjanjian sebelum dilaksanakannya jual beli hak atas tanah. Tahapan tersebut karena beberapa hal yang mengakibatkan belum dapat dilaksanakannya Akta Jual Beli seperti sertipikat belum pecah dan sebagainya. Status tanah yang menjadi obyek dari Perjanjian Pengikatan Jual Beli meskipun sudah dibayar lunas dan sudah diserahterimakan kepada pembeli belum terjadi pengalihan hak kepemilikan karena belum dilakukan proses jual beli dengan dibuatnya Akta Jual Beli oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah maka secara hukum tanah tersebut masih menjadi milik penjual.
2. Pertimbangan hakim dalam putusan Mahkamah Agung terhadap Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak atas tanah antara lain terkait adanya pembayaran sebelum perjanjian jual beli tetapi karena dalam kwitansi tanda terima maka hal tersebut dianggap sebagai pembayaran tanah dan merupakan bagian dari pembayaran harga tanah yang diperjanjikan. Perjanjian Pengikatan Jual Beli adalah sah secara hukum karena telah memenuhi syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPerdata baik syarat subyektif maupun syarat obyektif.
3. Pengaturan ke depan agar Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak atas Tanah mempunyai kekuatan mengikat yaitu memasukkan Perjanjian Pengikatan
Jual Beli ke dalam tahapan sebelum akta jual beli. Hal tersebut dimasukkan ke salah substansi Rancangan Undang-Undang Pertanahan yang sampai saat ini masih dibahas dan belum diundangkan. Dengan diaturnya Perjanjian Pengikatan Jual Beli hak atas tanah di Undang-Undang pertanahan nanti, maka hal tersebut mendukung dasar kewenangan Notaris dalam membuat Perjanjian Pengikatan Jual Beli yaitu Pasal 15 ayat (2) huruf f bahwa Notaris berwenang membuat Akta yang berkaitan dengan Pertanahan.
Saran
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan oleh penulis pada bab pembahasan, maka penulis mempunyai beberapa saran sebagai berikut :
2. Dengan diaturnya Perjanjian Pengikatan Jual Beli secara khusus tentunya juga akan mempermudah Notaris dan dapat dijadikan bahan atau acuan oleh Notaris dalam membuat Perjanjian Pengikatan Jual Beli. Sehingga Notaris
punya rambu – rambu dalam membuat perjanjian tersebut, tidak hanya sebatas keinginan/kesepakatan para pihak saja, dan tidak sebatas karena belum dapat dilakukan AJB di depan PPAT saja, akan tetapi harus dikhususkan dalam hal apa saja dan kapan Notaris dapat membuat PPJB tersebut. Atau paling tidak apabila terhadap aturan khusus mengenai Perjanjian Pengikatan Jual Beli hak atas tanah belum dapat diatur/belum ada aturan yang mengatur secara khusus, maka seharusnya Notaris dalam hal membuat perjanjian pengikatan Jual Beli hak atas tanah harus mampu memformulasikan ke dalam isi Perjanjian Jual Beli mengenai hal – hal yang dapat melindungi pihak – pihak yang berkepentingan dalam Perjanjian tersebut. Misal perlu adanya klausula yang tegas mengenai akibat dari tidak dilakukannya prestasi dalam perjanjian tersebut, dan mengenai ganti rugi atau yang dapat dipersamakan dengan itu bagi pihak – pihak yang dirugikan akibat tidak dipenuhinya prestasi sebagaimana termuat di dalam perjanjian tersebut.
DAFTAR BACAAN
A. Buku
A. Kohar, 1984. Notaris Berkomunikasi. Bandung: Alumni.
-----------, 1983. Notaris Dalam Praktek Hukum. Bandung: Alumni. Xxxxx Xxxxx Xxxxxxxx, 1980. Hukum Perjanjian. Bandung: Alumni.
Xxxxxx Xxxxxx, 2006. Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftrannya. Jakarta: Sinar Grafika.
Xxxxx Xxx, 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence). Jakarta: Kencana.
Arie S. Hutagalung, 2002. Condominium dan Permasalahannya. Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Xxxxxxx Xxxxxx, 1996. Sistem Pembuktian Dalam Peradilan Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Xxxxx Xxxxxxx, 2008. Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Djambatan.
------------------, 2005. Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang- undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djembatan.
Xxxxxxxxx Xxxx, 2010. Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum. Yogyakarta: Laksbang Pressindo.
Dudu Xxxxxxx Xxxxxxxxx, 2010. Pengantar Ilmu Hukum Sebuah Sketsa.
Xxxxxxxxxx Xxxxxxx, 2006. Kewajiban Dan Kewenangan Notaris Dalam Pembuatan Akta. Bandung: Sumber Ilmu.
X.Xxxxxxxxxxxxx, 1991. Hukum Tanah. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Xxxxx Xxxxx, 2009. Sekilas Dunia Notaris dan PPAT Indonesia. Bandung: Mondar maju.
---------------, 2009. Hukum Notaris di Indonesia Tafsir Tematik Terhadap UU No 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Bandung: PT. Xxxxxx Xxxxxxx.
Xxxxxxxxx Xxxxxx, 2010. Kewajiban-Kewajiban Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Bersertifikat. Jakarta: Pustaka Ilmu.
Xxxxxxx Xxxxxxx, 2009. Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan. Bandung: PT. Citra Xxxxxx Xxxxx.
Xxxxxx Xxxxxxxxxx, 1994. Hukum Perjanjian Adat. Bandung: P.T.Citra Xxxxxx Xxxxx.
J.H. Rapar, 2017. Filsafat Politik Xxxxx. Jakarta: Rajawali Press.
--------------, 1993. Filsafat Politik Xxxxxxxxxxx. Jakarta: Rajawali Press.
X.X.X Xxxxxxxx, 1996. Alih Bahasa Xxxxx Xxxxxxxx, Refleksi tentang Hukum. Bandung, Citra Xxxxxx Xxxxx.
Xxxxxx Xxxxxxx, 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Edisi Revisi, Cetakan II. Malang: Banyumedia Publishing.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2010.
Xxxxxx Xxxxxxx, 2013. Cara Mudah Mengurus Sertifikat Tanah. Jakarta: Kata Pena. Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx, 1997. Etika Profesi Notaris dalam Penegakan Hukum
Pidana,. Yogyakarta: PT. Xxxx Xxxxx Xxxxxxx.
Made Xxx Xxxx Prasantha, 2013. Kepastian Hukum Pemindahan Hak Atas Tanah Melalui Jual Beli Diwah Tangan. Mataram: Universitas Mataram.
Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx. 2016. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
-----------------------------, 2008. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana.
X. Xxxxxxxx Xxxxxxxxxxxx, 1993. Hukum Notariat Di Indonesia Suatu Penjelasan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Xxxxxx Xxxxxxxx, 1999. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Bandung: Citra Xxxxxx Xxxxx.
Xxxxxx Xxxxxxxxx, 2004. Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Xxxxxx Xxxxx, 2005. Pengantar Ilmu Hukum dalam Tanya Jawab. Bogor:Ghalia Indonesia.
R. Subekti, 1995. Aneka Perjanjian. Bandung: Citra Xxxxxx Xxxxx.
-------------, 2005. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa.
X.Xxxxxxx, R Xxxxxxxxxxxxx, 2001. Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang- Undang Agraria dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: PT Xxxxxxx Xxxxxxxx.
Xxxxx Xxxxxxxx Xxxxxxxx, 1988. Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta: Rinneka Cipta.
Xxxxx XX, 2003. Hukum Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika.
Xxxxxxxx, 2007. Akta : Apa dan Bagaimana ?.Jakarta : Bintang Persindo. Setiawan, 1994. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung: Bina Cipta. Subekti, 2005. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT. Intermasa.
Sudikno dan A.Pitlo, 1993. Bab-Bab tentang Penemuan Hukum. Yogyakarta: Penerbit Citra Xxxxxx Xxxxx.
Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx, 1992. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty.
----------------------------, 2007. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Liberty.
Xxxxxxxxx, 2009. Jual Beli Tanah Yang Dilakukan Tanpa Akta Jual Beli Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Semarang: Universitas Diponegoro.
Supriadi, 2012. Hukum Agraria. Jakarta: Sinar Grafika.
The Xxxxx Xxx, 2002. Teori-teori Keadilan. Yogyakarta: Sumber Sukses.
Xxxx Xxxxxxx, 2010. Pendaftaran dan Peraliahan Hak Atas Tanah. Jakarta: Prenada Media Group.
Xxxxx Xxxxxxx, 1986. Segi-segi Hukum Perjanjian, cet 2. Bandung: Alumni.
B. Peraturan Perundang-undangan :
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Pejabat Pembuat
Akta Tanah;
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas Tanah dan/atau Bangunan Beserta Perubahannya.
Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah.
C. Makalah/ Jurnal/ Karya Ilmiah Lainnya.
Xxxxx Xxxxx, Pertanggungjawaban Pelaku Usaha Melalui Kontrak Baku Xxx Xxxx Kepatutan dalam Perlindungan Konsumen, (Medan: Disertasi, 2013)
Cita Yustisia. Analisa Persaingan Usaha di Bidang Importasi dan Distribusi Film dalam Menumbuh kembangkan Perfilman Nasional. (Jember :Universitas Jember, Proposal Penelitian Tesis, 2013)
Fence M. Wantu, 2011. Peranan Hukum dalam mewujudkan Kepastian Hukum Keadilan dan Kemanfaatan di Peradilan Perdata. Yogyakarta :Universitas Gajah Mada,Ringkasan Disertasi.
Xxxxxxx Xxxxxxx, artikel “Pengikatan Jual Beli dan Kuasa Mutlak” Majalah Renvoi, edisi Tahun I, No. 10, Bulan Maret 2004
Xxxxxx X. Latumenten, “Kuasa Menjual Dalam Akta Pengikatan Jual Beli (Lunas) Tidak Termasuk Kuasa Mutlak”, Jurnal Renvoi 4 (September 2003:37)
Xxxxxxxxxxxx dalam Xxxxxxxx Xxxxxxx, Penjabaran Filsafat Pancasila Dalam Filsafat Hukum. Sebagai Landasan Pembinaan Hukum Nasional. Disertasi, (Surabaya: Universitas Airlangga, 1998)
Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx, artikel Arti Penemuan Hukum”, Majalah Renvoi, edisi tahun I, No.12, Bulan Mei 2004.