Definisi Latar Belakang Masalah

Latar Belakang Masalah. Latar Belakang Masalah berisi : 1. Arti penting, urgensi dan kebaharuan permasalahan hukum untuk diteliti. 2. Problematik hukum dapat berupa : a. Adanya kesenjangan antar hukum positif. b. Adanya kesenjangan antara hukum positif dengan fakta sosialnya. 3. Contoh adanya fakta hukum atau fakta sosial.
Latar Belakang Masalah. PPJB dibuat di hadapan notaris, yang berarti dibuat dalam bentuk akta otentik. Akta menurut Xxxxx adalah surat yang ditanda tangani, diperbuat untuk dipakai sebagai bukti, dan untuk dipergunakan oleh orang, untuk keperluan siapa surat itu dibuat.1 Akta dalam bentuk surat, yang menunjukkan bahwa akta tersebut harus dibuat dalam bentuk tulisan. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 UU Jabatan Notaris, bahwa notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Dalam berbagai hubungan bisnis, kegiatan di bidang perbankan, pertanahan, kegiatan sosial, dan lain-lain, kebutuhan akan pembuktian tertulis berupa akta otentik makin meningkat sejalan dengan berkembangnya tuntutan akan kepastian hukum dalam berbagai hubungan ekonomi dan sosial, baik pada tingkat nasional, regional, maupun global, sehingga notaris mempunyai peran yang strategis dalam pencapaian kepastian hukum. Notaris membuat akta dalam bentuk akta PPJB didasarkan atas perjanjian pemberian kuasa, yang berarti terjadi hubungan hukum antara pemberi dengan penerima kuasa didasarkan atas perjanjian sebagaimana pasal 1792 B.W adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Penerima kuasa dalam hal ini pegawai pada suatu perusahaan pengembang dan perjanjian pemberian kuasa ini lazim dijumpai pada perusahaan pengembang. Misalnya pengembang membuat perjanjian pemberian kuasa di hadapan notaris untuk waktu yang tidak terbatas, padahal kuasa berakhir karena salah satu meninggal dunia atau dicabut. Ketika notaris membuat akta PPJB didasarkan akta kuasa yang dibuat di hadapan notaris lain, akan membuat PPJB tanpa harus mengetahui apakah pemberi kuasa telah meninggal dunia. Pada kondisi yang demikian notaris yang membuat PPJB tidak salah. Pada kasus yang lain akta PPJB yang dibuat di hadapan notaris dipermasalahkan oleh pengembang, karena pengembang merasa tidak pernah menandatangani akta kuasa sebagaimana kasus di bawah ini: Seorang menghadap notaris dengan berbekal surat kuasa untuk menjual, notaris hanya karena kenal baik dengan penerima kuasa dalam akta tersebut melegalisir akta pemberian kuasa dan kemudian notaris membuat akta PPJB, misalnya Akte Nomor: 28 Tahun 2000 tanggal 13 Nope...
Latar Belakang Masalah ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Negara hukum memiliki prinsip yaitu terjaminnya penyelenggaraan kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan dalam masyarakat. Terkait hal tersebut dalam rangka pemenuhan prinsip negara hukum khususnya mengenai kepastian hukum, diperlukan adanya alat bukti tertulis mengenai peristiwa maupun perbuatan hukum manusia dalam lalu lintas hukum dalam kehidupan bermasyarakat guna menentukan dengan jelas dan pasti tentang dimilikinya hak dan kewajiban oleh seseorang sebagai subjek hukum. Oleh karenanya, aktifitas manusia baik di bidang ekonomi, bisnis, atau bidang lainnya, dituntut untuk menggunakan perjanjian tertulis / kontrak guna terjaminnya kepastian hukum serta dapat digunakan sebagai pembuktian apabila di kemudian waktu timbul suatu permasalahan/sengketa apabila salah satu atau beberapa pihak melakukan wanprestasi. Perjanjian yang di dalam bahasa Inggris disebut juga dengan contract dan disebut juga dengan overeenkomst di dalam bahasa Belanda, yaitu merupakan sebuah peristiwa berjanjinya untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu yang dilakukan oleh dua orang atau lebih. Para pihak yang telah melakukan kesepakatan terhadap suatu hal yang diperjanjikan, secara langsung maupun tidak langsung mempunyai kewajiban untuk patuh terhadap pelaksanaannya, sehingga perjanjian yang telah dibuat terbentuk suatu hubungan hukum bagi para pihak, yang disebut dengan perikatan atau verbintenis. Pembuatan perjanjian oleh para pihak dapat menimbulkan hak dan kewajiban bagi mereka yang membuat perjanjian tersebut, karena itu kontrak yang mereka buat merupakan salah satu sumber hukum formal, asal kontrak tersebut merupakan kontrak yang sah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.1 Berdasarkan BW khususnya Pasal 1313, perjanjian atau persetujuan merupakan suatu bentuk perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Xxxx Xxxxx Xxxxxxx mempunyai pendapat bahwa suatu hal yg berbeda atau tidak samanya kepentingan yg dimiliki oleh para pihak merupakan awal / latar belakang dari adanya kontrak. Negosiasi di antara para pihak adalah langkah awal yang umum dilakukan dalam perumusan hubungan kontraktual. Terciptanya bentuk-bentuk kesepakatan melalui proses tawar - menawarlah sebagai hasil dari negosiasi yang dilakukan oleh para pihak, demi saling mempertemukan ses...

Examples of Latar Belakang Masalah in a sentence

  • Latar Belakang Masalah ...........................................................

  • Latar Belakang Masalah .................................................................

  • Latar Belakang Masalah ..........................................................

  • Latar Belakang Masalah .............................................................

  • Latar Belakang Masalah ...........................................................................


More Definitions of Latar Belakang Masalah

Latar Belakang Masalah. Pengelolaan sumber daya alam di Indonesia hingga saat ini, secara umum lebih didasarkan pada pemenuhan kebutuhan investasi dalam rangka pemulihan kondisi ekonomi. Menurut Xxxxxx, dalam Undang – Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan yang sekarang telah diganti dengan Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), pengelolaan sumber daya alam di Indonesia pada sektor pertambangan masih berorientasi pada kekuatan modal besar, dimana pengelolaan sumber daya alam belum mengarah pada ecological and sustainable sense melainkan masih dipahami dalam konteks economics sense.1 UU Minerba tersebut awalnya dibentuk dengan tujuan memberikan kemudahan dan insentif yang menguntungkan kepada investor sebagai upaya dalam mengejar target pertumbuhan ekonomi, namun ternyata kebijakan ini justru menimbulkan polemik dimasyarakat. Kebijakan yang diterapkan menyebabkan iklim pertambangan menjadi tidak kondusif dan terjadi resistensi masyarakat, seperti terjadinya unjuk rasa, penyerobotan lahan, pemblokiran jalan dan tindakan anarkis lainnya yang dilakukan oleh masyarakat sebagai upaya menentang keberadaan perusahaan dilingkungan mereka. Kondisi ini semakin diperburuk oleh rendahnya apresiasi perusahaan terhadap berbagai tuntutan masyarakat, 1 Xxxxxx Xxxxxx, Corporate Social Responsibility, dari Voluntary menjadi Mandatory, misalnya pemberian harga yang wajar terhadap pembebasan tanah, ganti rugi atas kerusakan lingkungan, penyerapan tenaga kerja lokal, pembagian keuntungan, dan lain sebagainya. Secara umum, masyarakat sebenarnya dapat memahami falsafah bisnis perusahaan, dimana untuk dapat bertahan dalam dunia bisnis maka harus mengoptimalkan keuntungan. Namun, seiring dengan perkembangan dinamika masyarakat, perubahan cara pandang masyarakat pun turut berkembang. Masyarakat menginginkan adanya transparansi dalam setiap pengelolaan sumber daya alam dan kegiatan ekonomi di daerah mereka. Selain itu, perubahan tersebut juga berpengaruh pada daya kritis dan keberanian masyarakat dalam mengemukakan aspirasi mereka secara lebih terbuka ketika ada hak – hak mereka yang diabaikan. Perubahan paradigma ini, semestinya menjadi bahan instropeksi bagi pelaku bisnis, bahwa perusahaan bukan lagi sebagai entitas yang hanya berorientasi pada keuntungan (profit orientate) semata, melainkan sebuah entitas badan hukum (recht persoon) yang harus beradaptasi dengan lingkungan dimana dia berada, serta dapat dimintai pert...
Latar Belakang Masalah. Dasar Hukum pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR) di Indonesia yaitu Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas masih terdapat banyak kelemahan mendasar dalam memenuhi kompleksitas pelaksanaan CSR dilapangan. • Kekosongan hukum ini kemudian mengakibatkan perbedaan dalam memandang CSR, yang kemudian berdampak pada munculnya berbagai rumusan tentang CSR serta program yang termasuk di dalamnya, sesuai dengan perspektif masing – masing pihak. • Puluhan Raperda (Rancangan Peraturan Daerah), Perda (Peraturan Daerah) dan kebijakan Pemerintah Daerah lainnya dengan beragam bentuk mengenai pengelolaan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) bermunculan di berbagai daerah di Indonesia. • Di Sulawesi Tengah, tanggal 14 Januari 2016, pengelolaan CSR PT. Vale Indonesia sebesar 11,7 M, dialihkan pengelolaannya kepada Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah, dan dituangkan dalam bentuk Perjanjian Hibah Nomor Nomor: 001/NHPD-Sulteng/I/2016 dan Nomor: 970/01/DISPENDA/2016 tentang Dana hibah, yang kemudian dana tersebut dimasukkan ke dalam APBD Perubahan Tahun 2016 dan didistribusikan ke 11 SKPD dan 3 Biro Pemerintahan Provinsi Sulawesi Tengah.
Latar Belakang Masalah. Latar belakang masalah merupakan penjabaran tentang konteks atau topik yang dibicarakan, persoalan-persoalan yang ditemukan, dan fokus masalah yang hendak diteliti. Juga memaparkan berbagai hal (bisa teoretis, praktis, atau aktual) yang mendorong dipilihnya topik tertentu untuk diteliti. Cara penulisannya berangkat dari realitas dan kenyataan yang berbeda, bertolak belakang, atau tidak selaras dengan aturan, ketentuan umum, teori, dan rumus baku dalam sebuah ilmu pengetahuan. Suatu kesenjangan (discrepancy) antara apa yang seharusnya (das sollen) dengan apa yang ada (das sein) dalam kenyataan, antara apa yang diperlukan dengan apa yang tersedia, atau antara harapan dengan kenyataan. Kesenjangan ini yang menjadi daya tarik penulis Skripsi untuk mengawali proses riset tersebut.
Latar Belakang Masalah. Di era global saat ini, manajemen sumber daya manusia yang berbasis kompetensi dimana sumber daya manusia terus tumbuh dan berkembang harus mampu untuk menjawab tantangan globalisasi. Dalam sebuah organisasi sumber daya manusia harus mempunyai kompetensi yang dibutuhkan agar dapat terus berjalan dan berkembang, sehingga pelaksanaannya berorientasi pada model kompetensi. Manajemen sumber daya manusia merupakan bagian dari ilmu manajemen yang berarti suatu usaha untuk mengarahkan dan mengelola sumber daya manusia di dalam suatu organisasi agar mampu berpikir dan bertindak sebagaimana yang diharapkan organisasi. Organisasi yang maju tentu dihasilkan oleh personil/pegawai yang dapat mengelola organisasi tersebut ke arah kemajuan yang diinginkan. Sebaliknya tidak sedikit organisasi yang hancur dan gagal karena ketidakmampuan dalam mengelola sumber daya manusia Taufiqurokhman, (2009). Sumber daya manusia merupakan aset yang perlu diperhatikan dan dibina dengan baik sehingga perusahaan harus memperhatikan setiap detail program- program yang berkaitan dengan pengembangan sumber daya manusia guna menghasilkan karyawan yang kompeten dan berdaya saing tinggi. Dengan SDM berbasis kompetensi tentunya perusahaan juga harus meningkatkan kinerja karyawan untuk memajukan tujuan perusahaan.
Latar Belakang Masalah. Suatu organisasi di bentuk untuk mencapai tujuan bersama, namun untuk mencapai tujuan secara efektif di perlukan kinerja pegawai yang baik dan juga kepemimpinan yang tepat. Kinerja pegawai yang baik akan membantu pencapaian tujuan secara efektif dan efisien, asalkan dapat dikelola(dimanage) secara tepat. Beberapa penelitian menunjukan adanya hubungan yang erat antara manajemen kinerja pegawai yang efektif dengan pencapaian tujuan organisasi (Nursam, 2017). Perbaikan manajemen kinerja dilakukan secara berkelanjutan untuk mengantar kinerja pegawai, tim, dan organisasi ke yang terbaik. Agar efektivitas manajemen kinerja tercapai, organisasi bisnis perlu mengembangkan supervisi dalam melakukan perbaikan manajemen kinerja. Dengan demikian kinerja dapat di lihat dari beberapa dimensi, yaitu pertama kinerja sebagai output yang telah di capai oleh seorang pegawai. Kedua adalah kinerja dilihat dari aspek prosesnya. Bagaimana prosedur-prosedur yang telah dilaluinya dan di tempuh seseorang dalam menyelesaikan tugasnya. Oleh karena itu, para manajer mengatur kinerja agar mereka dapat mencapai kinerja perusahaan yang di harapkan. Untuk menetapkan tingkat kinerja pegawai di butuhkan penilaian kinerja, Penilaian kinerja yang adil membutuhkan standar Patokan yang dapat di gunakan sebagai perbandingan terhadap kinerjaantar pegawai. Selain faktor-faktor, di dalam kinerja juga terdapat beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk menilai baik tidaknya kinerja. Dan kriteria tersebut antara lain kualitas kerja, menyangkut seberapa jauh menguasai iptek, lingkup pegawaian, tanggung jawab dan ketepatan dan kuantitas kerja,menyangkut jumlah yang dihasilkan, kecepatan dalam memperoleh hasil (Sulistiyani dan Rosidah dalam Soedjono, 2009). Kinerja sangat penting, untuk itu maka perusahaan harus memaksimalkan potensi pegawai yang dimilikinya. Salah satu hal yang dapat meningkatkat kinerja adalah Status pegawai. Penelitian dari Betteng, Kawet dan Xxxxxx (2017) berjudul Analisis Perbandingan Kinerja Aparatur Sipil Negara(ASN) dan Tenaga Harian Lepas (THL) pada Dinas Kesehatan Kota Manado, penelitian Xxxxxxx, Xxxxxxx dan Dotulong(2017), berjudul Analisis perbandingan prestasi kerja pegawai tetap dan pegawaitidak tetap di kantor Sinode GMIM, dan Xxxxx 2017 berjudul Analisis Perbandingan Kinerja antara Pegawai Tetap dan Pegawai outsourcing Pada PT. Kereta Api Indonesia (Persero) Divre 1 Sumatera Utara. Penelitian- penelitian ini menemukan bahwa terdapat perbedaan kinerja antara pegawai tet...
Latar Belakang Masalah. Perkembangan ekonomi global dan kemajuan teknologi yang demikian cepat membawa dampak timbulnya persaingan usaha yang begitu ketat dan terjadi di semua lini. Lingkungan yang sangat kompetitif ini menuntut dunia usaha untuk menyesuaikan dengan tuntutan pasar yang memerlukan respon yang cepat dan fleksibel dalam meningkatkan pelayanan terhadap pelanggan. Untuk itu diperlukan perubahan dalam pengelolaan perusahaan dengan memperkecil rentang kendala manajemen, memangkas sedemikian rupa sehingga dapat menjadi lebih efektif, efisien, dan produktif. Dalam kaitan itulah kemudian muncul kecenderungan outsourcing, yaitu memborongkan satu bagian atau beberapa bagian kegiatan perusahaan yang tadinya dikelola sendiri kepada perusahaan lain yang kemudian disebut perusahaan penerima pekerjaan.1 Tidak ada perusahaan yang dapat mempertahankan daya saingnya dalam ekonomi global yang berubah secara cepat, dengan semata-mata mengandalkan sumber dayanya sendiri. Dalam kaitan ini outsourcing merupakan alternatif yang baik terhadap persaingan yang sangat kompetitif sekarang. Dalam persaingan yang sangat kompetitif, tidak ada perusahaan yang mampu merangsang tingkat investasi yang
Latar Belakang Masalah. Sumber daya manusia merupakan faktor terpenting dalam suatu organisasi dalam mencapai tujuannya. Setiap organisasi memiliki cara tersendiri dalam mewujudkan tujuan organisasi tersebut. Agar tujuan tersebut dapat tercapai dan berjalan dengan baik maka sumber daya manusia dalam organisasi tersebut harus dapat dikelola dengan baik dan benar. Dalam sebuah organisasi terdapat pihak-pihak yang mempunyai kepentingan untuk membangun dan mempertahankan tujuannya dalam lingkungan yang cepat berubah. Untuk itu, organisasi dituntut untuk menunjukkan kinerja yang tinggi dan memenuhi kebutuhan seluruh pemangku kepentingannya. Keberhasilan suatu organisasi sangat dipengaruhi oleh bagaimana organisasi tersebut memahami dan memuaskan pihak yang berkepentingan baik di masa sekarang ataupun di masa yang akan datang. Pada era industri 4.0 saat ini menuntut setiap organisasi untuk terus memaksimalkan sumber daya manusia. SDM yang dimiliki diharapkan mampu menghadapi segala kendala dan tantangan dalam persaingan bisnis yang digeluti oleh perusahaan. Kondisi persaingan mengharuskan suatu institusi melakukan perumusan strategi yang tepat agar dapat tetap eksis dan mampu mencapai tujuan yang diharapkan. Upaya untuk peningkatan dan pengembangan kemampuan sumber daya manusia tersebut dapat dilakukan melalui pembinaan, pengarahan dan pelatihan sehingga memunculkan kinerja yang memuaskan. Era globalisasi yang sedang menuju pada tahapan megatrend, dimana arus globalisasi membuat semua negara saling berlomba untuk mengejar ketinggalannya. Indikasi tersebut ditandai dengan derasnya arus globalisasi digital yang mana menghampiri semua sektor kehidupan. Sumber daya manusia pada aparatur birokrasi pemerintahan perlu terus berbenah dalam menghadapi globalisasi ini agar tidak kalah dalam persaingan. Hal ini dilakukan dalam rangka memberikan pelayanan publik melalui peningkatan integritas dan sikap profesionalisme di setiap pelayanannya. Pada Undang-Undang No.5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dan terbitnya Peraturan Pemerintah No.11 Tahun 2017 tentang Manajemen ASN telah membawa transformasi baru terhadap tata kelola ASN di Indonesia. Transformasi tata kelola itu antara lain berupa pembinaan ASN yang dimulai pada proses rekrutmen hingga pengangkatan dalam jabaran yang menekankan tiga aspek muktlak yakni kualifikasi, kompetensi dan kinerja. 1.1 Jumlah Pegawai Negeri Sipil Menurut Tingkat Pendidikan di Kabupaten Nias Selatan Tahun 2021 No Tingkat Pendidikan Jenis Kelamin Jumlah La...